Senin, 08 Maret 2021

Kontroversi RUU KUHP: Kriminalisasi Kumpul Kebo-Pidana Perempuan Pulang Malam

 Kontroversi RUU KUHP: Kriminalisasi Kumpul Kebo-Pidana Perempuan Pulang Malam



DPR tinggal menggelar rapat paripurna sekali lagi agar Rancangan KUHP sah menjadi UU. Draf usulan Pemerintah yang disusun sejak 50 tahun itu diharapkan akan mengganti peninggalan hukum Belanda. Ada sejumlah pasal kontroversial di dalamnya.

Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery mendukung keinginan Mahfud agar RUU KUHP segera disahkan. Herman menilai KUHP sebagai induk hukum pidana juga butuh diperbarui seiring dengan perkembangan zaman.

"Komisi III menyambut baik keinginan pemerintah terkait RUU KUHP. Niat itu sejalan dengan semangat Komisi III yang terus mendorong pemerintah sebagai pengusul RUU KUHP untuk segera melakukan pembahasan lebih lanjut," kata Herman.

Berikut sebagian isu krusial yang sempat menjadi polemik di masyarakat sebagaimana dirangkum detikcom, Senin (8/3/2021). Yuk baca lagi biar tidak disinformasi:

Pasal Penyuluhan Kontrasepsi
Kontroversi:
Kontraproduktif dengan program pencegahan HIV-AIDS sekaligus menghambat program keluarga berencana (KB) yang digagas pemerintah.

Versi RUU KUHP
Tidak ditujukan bagi orang dewasa melainkan untuk memberikan pelindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas. Pengecualian ketentuan Pasal ini:

1. Jika dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan untuk ilmu pengetahuan.
2. Jika dilakukan untuk pendidikan dan lain-lain diatur dalam Pasal 416 ayat (1), termasuk apabila yang melakukan adalah relawan yang kompeten yang ditunjuk oleh pejabat berwenang.

Pasal Kumpul Kebo
Kontroversi:
Pengaturan mengenai Kohabitasi dalam RUU KUHP berpotensi mengaburkan ranah publik dan ranah privat, terutama dengan diberikannya kewenangan pengaduan kepada kepala desa sebagai perwakilan masyarakat.

Versi RUU KUHP:
1. Ketentuan Pasal ini merupakan delik aduan.
2. Aduan hanya dapat diajukan oleh orang- orang yang paling terkena dampak.
3. Pengaduan hanya dapat dilakukan oleh Suami/Istri (bagi yang terikat perkimpoian); atau Orang Tua atau anaknya (bagi yang tidak terikat perkimpoian).
4. Masih diperdebatkan di DPR, apakah kepala desa bisa menjadi pengadu atau tidak.

Pasal Perluasan Zina (Seks di Luar Nikah)

Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II (denda Rp 10 juta).

Sesuai KUHP saat ini, yang dimakud dengan zina apabila dilakukan oleh salah satu telah menikah atau dua-duanya telah menikah.

Kontroversi:
1. Akan mengaburkan ranah publik dan ranah privat.
2. Dengan mengatur delik ini sebagai delik aduan yang bisa diberikan oleh orang tua, kemungkinan yang akan terjadi adalah peningkatan jumlah perkimpoian anak.
3. Permohonan perkimpoian anak dilakukan atas karena orang tua khawatir anaknya akan berzina.
4. Tingginya angka perkimpoian anak sejalan dengan tingginya angka putus sekolah dan kematian Ibu karena sistem reproduksi dari anak perempuan yang menjadi calon Ibu belum mumpuni untuk melakukan persalinan

Versi RUU KUHP

1. Indonesia didasari pada sila "Ketuhanan yang Maha Esa", sehingga nilai agama pasti akan terinkorporasi dalam sistem hukum di Indonesia
2. Tidak ada satu pun agama yang diakui di Indonesia yang memperbolehkan perzinaan
3. Perzinaan merupakan kejahatan tanpa korban (victimless crime) yang secara individual tidak langsung melanggar hak orang lain, tetapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat.
4. Pasal ini merupakan penghormatan kepada lembaga perkimpoian
5. Perzinaan dimaknai dalam konteks dan nilai-nilai masyarakat Indonesia (bukan masyarakat kota besar saja)
6. Ketentuan dalam pasal ini tidak dikaitkan dengan perceraian
7. Dirumuskan sebagai delik aduan yang hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak (suami, istri, Orang Tua, atau anaknya)

Pasal Gelandangan
Kontroversi:
1. Perempuan yang pulang malam dapat dipidana.
2. Kegagalan mengatasi penggelandangan tidak seharusnya menjadi dasar untuk mempidanakan gelandangan

Versi RUU KUHP
1. Pasal ini dirumuskan demi menjaga ketertiban umum.
2. Sanksi yang dijatuhkan bukanlah pidana perampasan kemerdekaan (penjara) tetapi hanya pidana denda.
3. Dimungkinkan untuk dijatuhkan pidana alternatif (berupa pidana pengawasan atau pidana kerja sosial).
4. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-X/2012 yang memperkuat pengaturan penggelandangan dalam RUU KUHP.

Pasal Suami Perkosa Istri/Marital Rape
Kontroversi: Masyarakat berpendapat bahwa suami yang memaksa istri untuk berhubungan seksual dengannya seharusnya tidak dipidana.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Versi RUU KUHP:
Marital Rape (Perkosaan dalam Perkimpoian) ditambahkansupaya konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan.

Kriminalisasi LGBT
Kontroversi:
Melanggar HAM

Versi RUU KUHP:
1. Indonesia didasari pada sila "Ketuhanan yang Maha Esa", sehingga nilai agama pasti akan terinkorporasi dalam sistem hukum di Indonesia.
2. Tidak ada satu pun agama yang diakui di Indonesia yang memperbolehkan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT)/homoseksual.
3. Putusan MK yang menyatakan kriminalisasi LGBT menjadi hak DPR.

Di RUU KUHP disebutkan delik cabul dengan definisi:
1. memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain.
2. memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau
3. memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.

Pasal Aborsi
Kontroversi:
RUU KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur mengenai pengecualian pemidanaan untuk aborsi yang dilakukan kepada perempuan korban perkosaan atau karena indikasi kedaruratan medis.

RUU KUHP:
1. RUU KUHP memberikan pengecualian terhadap dokter, bidan, dan paramedis.
2. Tidak berlaku dalam hal perempuan yang menggugurkan kandungannya merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 120 hari atau memiliki indikasi kedaruratan medis.

https://news.detik.com/berita/d-5485...240.1579675154


Tidak ada komentar:

Posting Komentar