Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 November 2021

Mengenal Agama asli Nusantara



Agama asli Nusantara atau kepercayaan adat adalah agama-agama suku (agama bersahaja atau etnis) pribumi yang telah ada sebelum agama-agama asing masuk ke Nusantara.
Kerohanian asli pada umumnya juga meliputi sejumlah aliran/organisasi kepercayaan baru yang didirikan di Nusantara.

Agama/kepercayaan nenek moyang suku bangsa Austronesia serta bangsa Papua yang telah ada di Nusantara sebelum masuk agama-agama asing dari subbenua India (Hindu dan Buddha), Arab (Islam), Portugis (Kristen Katolik), Belanda (Kristen Protestan), dan Tiongkok (Konghucu).

Sebelum Nusantara didiami bangsa berkulit cokelat (Austronesia), bangsa proto Melanesia (berkulit hitam) menganut kepercayaan monoteistik yang sekarang dikenal dengan nama kapitayan. Seiring dengan datangnya orang-orang Austronesia, kepercayaan itu turut dianut oleh mereka.



Kepercayaan masyarakat purba telah mempunyai mitologi kaya serta wiracarita, memuliakan dewa-dewi, roh leluhur dan roh kekuatan alam yang menghuni air, gunung, hutan. Hakikat tak terlihat yang memiliki kekuatan supernatural ini disebut oleh orang Jawa, Sunda, Melayu, Bali sebagai Hyang dan oleh suku-suku Dayak sebagai Sangiang.

Beberapa dari agama asli masih hidup baik yang murni maupun telah gabungan (sinkretis) dengan agama asing, umpamanya agama Hindu Bali, Kejawen serta Masade (Islam Tua). Akan tetapi kepercayaan asli yang telah hilang bisa hidup sebagai agama rakyat di antara umat Islam atau Kristen di dalam praktik adat di luar agama resmi, misalnya syamanisme Melayu dan kepercayaan kaum Abangan Jawa.

Keagamaan asli juga meliputi sejumlah aliran/organisasi kepercayaan baru (gerakan spiritual) yang didirikan di Nusantara pada abad ke-19–21-an dan terkait dengan agama-agama asli, yakni Saminisme, Subud, Sumarah, dll. Namun, gagasan universal aliran kepercayaan di Indonesia sebagai sumber dari Tuhan YME dan hubungan pribadi dengan Dia tidak menyiratkan mengikuti wajib kepada adat agamawi etnis.

Hingga kini, tak satu pun agama-agama asli Nusantara yang diakui di Indonesia selaku agama, hanya sebagai aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sekaligus sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017 dengan No. 97/PUU-XIV/2016, para penghayat kepercayaan dapat mencantumkan nama “penghayat kepercayaan” dalam dokumen kependudukan mereka dan memiliki hak yang sama-sama seperti para penganut enam agama.

Untuk melegalkan status mereka, beberapa agama asli (Aluk Todolo, Kaharingan, Pemena, dan Tolotang) pada tahun 1970-an dan 80-an berada di bawah naungan agama resmi Hindu sebagai aliran-alirannya.

Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) adalah wadah tunggal sebagai payung bagi kumpulan-kumpulan kepercayaan.

Berikut ialah daftar agama kuno asli Nusantara yang masih hidup:

1. Adat Musi (suku Talaud, Sulawesi Utara)

Tempat suci penghayat ADAT Musi.

Adat Musi adalah sebuah agama asli Nusantara yang berasal dari ajaran Bawangin Panahal. Adat Musi juga merujuk ke organisasi agama tersebut yang bernama Gereja Adat Musi. Adat Musi mengajarkan bahwa manusia harus selalu sadar terhadap kesalahan dan dosa dirinya, senantiasa bertaubat dan berdoa kepada Tuhan, dan bersifat rendah hati, mengasihi, dan berbuat baik kepada sesama manusia dan alam. Penganut Adat Musi meyakini bahwa Bawangin Panahal menerima wahyu dari Tuhan dan dari perantaranya yang disebut Onto'a atau Onto'a Ruata.

Musi merupakan nama sebuah desa di Pulau Salibabu, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, tempat lahir dan hidup Bawangin Panahal serta tempat agama ini pertama kali diturunkan dan disebarkan. Kata "adat" (juga ditulis "ADAT", kapital seluruhnya) dalam Adat Musi telah disebut sebagai kependekan dari frasa "Allah dalam tubuh".


Pentua ADAT Musi

Ajaran Adat Musi menyebutkan bahwa Tuhan berada di tempat paling tinggi dan tidak ada yang menyerupainya atau menyamai kedudukannya. Tuhan merupakan segalanya bagi manusia. Tuhan bersifat Mahakasih, Maha Penyelamat, Maha Pembebas, Maha Pelindung, Maha Penjaga, Maha Pemelihara, dan Maha Pembela Kebenaran dan Keadilan dan melindungi kedamaian di dunia bagi manusia. Tuhan merupakan pemilik dari dunia. Tuhan dikelilingi oleh cahaya kebesarannya sehingga fisik manusia tidak dapat melihat Tuhan. Di dalam Adat Musi, Tuhan memiliki beberapa sebutan yaitu Mawu Ruata (Tuhan Allah), Mawu Ruata Na'ala'a (Tuhan Allah Pencipta), Ruata Ualuadda (Tuhan Pembela, Pelindung, dan Pembimbing Pemelihara yang benar), Tuang (Tuhan Yang Maha Esa).

Adat Musi mempercayai bahwa manusia memiliki tujuan untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya di dunia maupun setelah mati dan caranya adalah dengan mengamalkan ajaran Tuhan. Setelah kematian, manusia yang menjalankan kebaikan dan ajaran Tuhan akan hidup bahagia di suatu tempat suci sementara yang tidak akan mengalami penyiksaan. Manusia berkewajiban taat kepada Tuhan, selalu bersyukur, berdoa, menghormati sesama ciptaan Tuhan, dan melaksanakan ritual.

2. Adat Papua (suku Asmat dll, Papua)

Tengkorak nenek moyang Asmat

Dalam hal kepercayaan orang Asmat yakin bahwa mereka adalah keturunan dewa yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari.

Menururt keyakinan orang Asmat, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh di pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai ia tiba di tempat yang kini didiami oleh orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan. Dalam mitologi orang Asmat yang berdiam di Teluk Flaminggo misalnya, dewa itu namanya Fumeripitsy. Ketika ia berjalan dari hulu sungau ke arah laut, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Perahu lesung yang ditumpanginya tenggelam. Dalam perkelahian sengit yang terjadi, ia dapat membunuh si buaya, tetapi ia sendiri luka parah. Ia terbawa arus yang mendamparkannya di tepi sungai Asewetsy, Desa Syuru sekarang.

Untung ada seekor burung Flamingo yang merawatnya sampai ia sembuh kembali; kemudian ia membangun rumah yew dan mengukir dua patung yang sangat indah serta membuat sebuah genderang Em, yang sangat kuat bunyinya. Setelah ia selesai, ia mulai menari terus-menerus tanpa henti, dan kekuatan sakti yang keluar dari gerakannya itu memberi hidup pada kedua patung yang diukirnya. Tak lama kemudian mulailah patung-patung itu bergerak dan menari, dan mereka kemudian menjadi pasangan manusia yang pertama, yaitu nenek-moyang orang Asmat.

Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam berbagai macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan.

Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi keturunannya.

Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.

Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.

Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan roh nenek moyang seperti berikut ini:

Mbismbu (pembuat tiang)

Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)

Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)

Yamasy pokumbu (upacara perisai)

Mbipokumbu (Upacara Topeng)

Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

Roh-roh dan Kekuatan Magis
Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam sekitarnya. Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori:

1. Setan yang membahayakan hidup. Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).

2. Setan yang tidak membahayakan hidup. Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow

Kekuatan magis dan Ilmu sihir
Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan pemburuan binatang.

Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang hilang, barang curian ataupun menunjukkan si pencuri barang tersebut. Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.

Upacara suku Asmat:

Ritual hari Kematian
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan dukacita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.

Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yang tingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.

Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.

Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.

Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan lancar.

Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.

Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.

Upacara Bis
Upacara Bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (Bis) apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara Bis ini diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga dari pihak yang membunuh.

Untuk membuat patung leluhur atau saudara yang telah meninggal diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.

Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.

Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.

Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga) pemiliknya.

Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, tetapi apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru, yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan penabuhan tifa.


3. Aluk Todolo (suku Toraja, Sulawesi Selatan)

Upacara Rambu Solo merupakan ritual kematian dalam keyakinan Aluk Todolo (Foto: coklatkita.com)

Aluk Todolo adalah agama leluhur nenek moyang suku Toraja yang hingga saat ini masih dipraktikkan oleh sejumlah besar masyarakat toraja. Pada tahun 1970, Aluk Todolo sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Aluk Todolo adalah kepercayaan Animisme tua, dalam perkembangannya Aluk Todolo banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hidup konfusius dan agama Hindu. Oleh karena itu, Aluk Todolo merupakan suatu kepercayaan yang bersifat pantheisme yang dinamistik.

Istilah Aluk Todolo sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Toraja yaitu "aluk" dan "todolo". Kata aluk memiliki arti aturan atau cara hidup, sementara todolo berarti nenek moyang. Dengan demikian, Aluk Todolo berarti agama para leluhur, atau cara/aturan hidup para leluhur.

Dalam Aluk Todolo, keyakinan, dan ajaran hidup orang Toraja terdahulu, mereka meyakini bahwa "Orang Toraja berasal dari Langit". Tidak hanya manusia saja, tetapi juga kerbau, ayam, kapas, hujan, besi, bisa, dan padi sebagai unsur dasar dari alam ini, dibuat dan diturunkan dari langit. Adalah Datu' Laukku yang dianggap sebagai nenek moyang manusia. Ia dibuat langsung oleh Sang Pencipta yang disebut Puang Matua, dari bahan emas murni, dengan perantaraan Sauan Sibarrung.

Datu' Laukku beserta keturunannnya tetap hidup di langit hingga beberapa generasi, dan dari keturunannya itu yang pertama kali diturunkan ke bumi adalah Pong Bura Langi. Di bumi, Pong Bura Langi kemudian memiliki keturunan yang pertama dan disebut Pong Mula Tau. Pong Mula Tau inilah yang dianggap dan disebut sebagai manusia pertama.

Namun menurut orang Toraja, Pong Bura Langi bukanlah satu-satunya yang turun dari langit. Beberapa keturunan Datu' Laukku lainnya juga turun ke Bumi. Di antara yang turun dari langit adalah Puang Soloara di Sesean, Puang Tamboro Langi (Sawerigading) di Kandora, dan Puang Ri Kesu di Gunung Kesu. Mereka ini disebut tomanurun di langi’ yang artinya adalah orang yang turun dari langit. Kali ini Toraja tidak sendirian menganut kepercayaan tomanurun di Langi. Suku-suku lain yang mendiami wilayah seputaran semenanjung Sulawesi Selatan juga percaya adanya tomanurun di langi’, hanya saja mengenai tempat kedatangannya sangat bervariasi.

Kepercayaan Aluk Todolo ini bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk serba seratus (sanda saratu'). Aluk Sanda Pitunna (aluk 7777) merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia. Oleh karena itu, Aluk Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja. Sementara itu, Aluk Sanda Saratu' datang kemudian, namun Aluk Sanda Saratu' hanya berkembang didaerah Tallu Lembangna.

Aluk Sanda Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka') dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa' pentaunina). Disebut tiga aluk karena ia meliputi upacara yang menyangkut aluk tau atau manusia.

Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak zaman dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepercayaan. Dalam hal kepercayaan, penduduk Suku Toraja percaya kepada Sang Pencipta, yang disebut dengan istilah Puang Matua. Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, sang pencipta ini. Di dalam menjalankan ritualnya, Aluk Todolo memiliki dua macam upacara yaitu upacara berduka disebut Rambu Solo' dan Rambu Tuka sebagai upacara kegembiraan. Upacara Rambu Solo' meliputi tujuh tahapan, yaitu Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, Todi Tanaan. Serta upacara Rambu Tuka juga meliputi tujuh tahapan diantaranya Tananan Bua, Tokonang Tedong, Surasang Tallang, Remesan Para, Tangkeuan Suru, Kapuran Pangguan.

Aluk Todolo sendiri menjadi tali pengikat masyarakat Toraja yang begitu kuat, bahkan menjadi landasan kesatuan sang torayan yang sangat kokoh sehingga ke manapun orang Toraja pergi, mereka akan selalu teringat dengan kampung halaman, dan rindu untuk kembali kesana. Ikatan batin yang begitu kokoh tentu saja adalah buah-buah hasil dari tempaan Aluk Todolo itu. Karena itu memprihatinkan bila aluk todolo kini nyaris lenyap diterpa arus dunia modern.

Ajaran
Menurut ajaran Aluk Todolo, Puang Matua menciptakan segala isi bumi ini pertama-tama dengan menciptakan delapan Makhluk di atas langit melalui tempayan yang disebut Saun Sibarrung, yang menurut mitos ajarannya berbunyi: "Berangkatlah sang pencipta ke sebelah barat mengambil sebakul emas dan kembali membawa bakulnya itu dan dimasukkannya kedalam sebuah tempayan yang dinamakan Saun Sibarrung dan kemudian dihembusnya Saun Sibarrung itu lalu terciptalah delapan macam nenek makhluk dari dalamnya dan masing–masing diberi nama:

Datu' La Ukku', yaitu Nenek dari Manusia

Merrante, yaitu Nenek dari Racun

La Ungku', yaitu Nenek dari Kapas

Irako, yaitu Nenek dari Besi

Menturini, yaitu Nenek dari Kerbau

Pong Pirik–Pirik, yaitu Nenek dari Hujan

Lamemme, yaitu Nenek dari Padi

Menturiri, yaitu Nenek dari Ayam"

Setelah Puang Matua menciptakan kedelapan mahluk terseut maka kepada Nenek Manusia yaitu Datu’ La Ukku’ diberikan kepadanya satu aturan atau ketentuan setelah Puang Matua menikahkannya dengan To Tabang Tua yang juga diciptakan oleh Puang Matua. Aturan itulah yang kemudian dinamakan sukaran aluk yang kelak diikuti oleh keturunan Datu' La Ukku' bernama Pong Mula Tau sebagai manusia pertama yang turun dari langit membawa sukaran aluk.

Sebelum kata Toraja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Toraja, sebenarnya dahulu negeri tersebut adalah negeri yang berdiri sendiri yang dinamai "Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo" yang artinya adalah negeri yang pemerintahan dan kemasyarakatannya berketuhanan yang merupakan kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bundaran bulan/ matahari.

Nama Lepongan Bulan atau Matari' Allo adalah bersumber dari terbentuknya negeri ini dalam suatu kesatuan tata masyarakat yang terbentuk berdasarkan:

1. Persekutuan berdasarkan suatu ajaran Agama / Keyakinan yang sama yang dinamakan Aluk Todolo, mempergunakan suatu aturan yang bersumber / berpancar dari suatu sumber yaitu "Marinding Banua Puang" yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777)

2. Beberapa Daerah Adat yang mempergunakan satu Aturan Dasar Adat dan Budaya yang bersumber dari satu Aturan.

3. Dibentuk oleh satu suku bangsa Toraja

Aluk Sanda Pitunna (Aluk 7777) di dalamnya mencakup:
Aturan hidup dan kehidupan manusia (etika dan etiket)

Aturan Pemujaan kepada Puang Matua (Tuhan Yang Maha Esa)

Aturan persahabatan dengan alam semesta untuk menjaga harmonisasi

Aturan menyembah kepada Tolendu' Membali Puang/Todolo (Arwah leluhur)

Upacara Rambu Solo'
Upacara Rambu Solo' dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang sangat menonjol dari ajaran Aluk Todolo. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah "hidup untuk mati", di satu sisi ada kebenarannya, apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi namun dari pihak yang lain dapat disimpulkan bahwa tradisi orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius.
Pengorbanan dalam Rambu Solo' mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di dunia dan sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo' adalah dout des yang artinya "saya memberi agar engkau memberi" yaitu dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah mereka memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar.

Dalam ajaran Aluk Todolo, orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum dilakukan upacara untuknya masih dikategorikan sebagai tomakula' (makula' berarti panas, sakit). Ia tetap dilayani oleh keluarganya layaknya melayani orang yang masih hidup. Ia masih diberi makan, minum, rokok, sirih dan lain-lain. Menjelang upacara puncak pemakamannya barulah ia dianggap "sungguh-sungguh" telah meninggal dunia. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara ia dibaringkan dengan arah utara-selatan dengan kepala menghadap ke selatan, sebelumnya ia dibaringkan ke arah timur-barat dengan kepala menghadap ke barat.

Karena upacara Rambu Solo' adalah bagian dari aluk (lesoan aluk), sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dan stratifikasi sosial masyarakat toraja tersebut dibagi ke dalam empat kelompok berikut:

Tana' Bulaan (tana' berarti patokan, bulaan berarti emas) yaitu kasta bangsawan tinggi.

Tana' Bassi (bassi berarti besi) yaitu golongan bangsawan menengah.

Tana' Karurung (karurung berarti batang enau) yaitu golongan orang-orang merdeka.

Tana' Kua-kua (kua-kua merupakan sebangsa rerumputan) yaitu golongan hamba atau budak (kaunan).

Dari pembagian kelompok di atas dapat diketahui bahwa status sosial seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo'. Untuk lebih jelasnya, maka di bawah ini diuraikan secara sepintas urut-urutan pelaksanaan upacara Rambu Solo' khususnya untuk golongan menengah ke atas. Urutan-urutan ini merupakan pola umum upacara Rambu Solo' di seluruh wilayah adat Toraja. Pada prinsipnya upacara Rambu Solo’khususnya yang dirapa'i dapat dibagi dalam dua bagian. Kedua bagian ini ialah upacara yang dilaksanakan di sekitar rumah tongkonan (dikenal dengan istilah dialuk pia) dan yang dilaksanakan di rante atau lapangan upacara. Upacara yang dilaksanakan di Rante tersebut biasa disebut juga dialuk rante yaitu rangkaian acara yang berhubungan dengan pemindahan jenazah dari rumah Tongkonan ke rante. Adapun urutan acaranya secara garis besar adalah:

Ma'tundan, yaitu membangunkan jenazah yang diiringi pukulan gong serta ma'badong atau lagu duka.

Mebalun, yaitu membungkus jenazah dengan segala macam perhiasan yang melambangkan status sosial sang jenazah. Dilaksanakan setelah hari ketiga ma'tundan berjalan.

Mengkalao Alang, yaitu menyemayamkan jenazah di dalam lumbung padi selama tiga malam. Dilaksanakan setelah hari keempat mebalun berjalan.

Ma'pangsolo atau ma'palao, yaitu mengarak jenazah ke rante atau lapangan upacara.

Karampoan Tau, yaitu menerima tamu yang datang untuk melayat sang jenazah sehari setelah ma'pangsolo dilaksanakan.

Mantunu, yaitu penyembelihan kerbau yang telah disiapkan oleh keluarga jenazah lalu dagingnya dibagikan kepada para tamu sesuai ketentuan adat.

Meaa atau Ma'peliang, yaitu proses memasukkan jenazah ke dalam kubur batu yang merupakan kuburan kaum yang berasal dari satu Tongkonan yang sama.

Ma'parundun Bombo, yaitu mengantarkan makanan (sesajian) ke liang kubur seminggu setelah meaa.

Pembukaan poteyang oleh pemimpin upacara atau tomebalun di hari kedelapan setelah meaa (satu hari setelah ma'parundun bombo).
Massapa'i, yaitu membersihkan diri pasca rambu solo'.

Ma'pakende masero, yaitu memutuskan hubungan dari segala kegiatan upacara Rambu Solo'.

Simbol upacara Rambu Solo'
Tongkonan: Tongkonan merupakan rumah adat dari satu rumpun keluarga atau marga dimana persekutuan darah daging dipelihara. Tongkonan adalah tempat pembinaan dan pemeliharaan aluk. Di samping itu Tongkonan juga berfungsi sebagai sumber wibawa kepemimpinan. Tongkonan bermakna simbolik sebagai lembaga kekuasaan, kebesaran, dan kemuliaan sang pendiri juga keturunan yang dibangun di atas keunggulan, manfaat, dan kondisi tertentu.

Pakaian: Dalam upacara rambu solo' pakaian yang digunakan adalah pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam adalah simbol kekelaman atau kedukaan. Oleh karena itu dalam suatu upacara rambu solo' keluarga dan semua orang yang datang ke tempat itu umumnya menggunakan kain berwarna hitam.

Ukiran dan Perhiasan: Pada upacara rambu solo' tingkat rapasan, rumah, halaman dan pondok serta peti jenasah diberi ukiran dan hiasan-hiasan yang semuanya bermakna melambangkan kebesaran yang meninggal dunia. Hiasan-hiasan dan ukiran-ukiran yang digunakan dalam rambu solo' dimaksudkan sebagai pengantar arwah untuk memasuki dunia seberang yaitu puya. Oleh karenea itu, kesemarakan suasana dalam pelaksanaan upacara rambu solo' diyakini oleh penganut aluk todolo sebagai kesempurnaan sang jenazah memasuki puya.

Kesenian: Dalam upacara rambu Solo', kesenian dan tari-tarian mempunyai arti yang dalam. Jenis kesenian dan tari-tarian yang mempunyai arti yang dalam, jenis kesenian dan tari-tarian yang dipentaskan dalam upacara Rambu Solo’, antara lain:
Baddong, merupakan lagu yang dinyanyikan dalam keadaan berdiri, disertai dengan gerakan tangan dan hentakkan kaki sambil berputar dalam kelompok yang membentuk lingkaran.
Retteng, merupakan lagu duka cita yang dinyanyikan secara berbalasan oleh dua orang atau lebih.

Dondi', merupakan lagu yang dinyanyikan sekelompok orang secara berbalas-balasan.
Marraka, merupakan lagu duka cita yang dinyanyikan dengan iringan seruling bambu.
Randing, merupakan sejenis tarian perang yang disertai dengan hentakkan kaki dan pekikan suara oleh para penari pria. Randing hanya dilakukan pada pemakaman seorang lelaki yang dianggap pahlawan.

Tau-tau: Tau tau merupakan patung atau arca yang berfungsi sebagai personifikasi dari seseorang yang meninggal dunia dan hanya diadakan dalam tingkat upacara rambu solo' bagi golongan bangsawan menengah ke atas.

Rante: Rante merupakan tempat diselenggarakanya upacara rambu solo'.

Erong: Erong merupakan peti jenazah yang bentuknya menyerupai sebuah perahu.


4. Arat Sabulungan (suku Mentawai, teristimewa subsuku Sakuddei, Sumatra Barat)

Salah seorang Sikerei di Dusun Tinambu, pedalaman Siberut, Kepulauan Mentawai, melakukan ‘turuk’, salah satu metode pengobatan tradisional Mentawai. Maturuk adalah salah satu aplikasi dari Arat Sabulungan. (Foto: Yose Hendra)


Arat Sabulungan adalah kepercayaan asli bagi masyarakat suku bangsa Mentawai yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia, teristimewa orang Sakuddei di pulau Siberut. Secara bahasa, Arat berarti adat, Sa berarti sekitar, dan bulungan artinya daun. Sebutan Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan yang disebut dengan Ulau Manua.

Awalnya, istilah arat tidak dipergunakan dan nama yang lebih sering dipakai adalah punen yang memiliki arti kegiatan, upacara, atau pesta. Seiring berjalannya waktu, diperkenalkanlah istilah arat pada era 1950-an untuk menyebut kepercayaan ini. Jadi, kata arat mewakili kepercayaan atau ideologi sementara punen lebih sering mengacu pada perayaan seremonial dan upacara.

Dipakainya istilah arat dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemerintah dan para misionaris untuk menyebut berbagai agama, termasuk sistem kepercayaan tradisional. Sabulungan kemudian dikategorikan sebagai agama setelah ditambahkan istilah arat. Istilah ini juga diberikan kepada agama yang dibawa dari luar Mentawai seperti arat Katolik, arat Protestan, dan arat Islam.

Kepercayaan Arat Sabulungan mengandung dua keyakinan, yaitu keyakinan mengenai adanya hubungan gaib antara berbagai hal yang berbeda. Kemudian keyakinan kedua adalah adanya kekuatan gaib yang memiliki kesaktian namun tidak berkemauan dalam alam sekitar manusia. Meski mayoritas masyarakat Mentawai sudah menganut agama Katolik di sampung Protestan, Islam, atau Baha'i, kepercayaan Arat Sabulungan masih mampu bertahan bersama sebagian penganutnya.

Arat Sabulungan mengajarkan agar adanya keseimbangan antara alam dan manusia. Artinya, manusia sudah semestinya memperlakukan alam dan seisinya seperti tumbuh-tumbuhan, air, dan hewan seperti mereka memperlakukan dirinya sendiri. Ajaran mengenai keseimbangan manusia dan alam terefleksi dari bagaimana alam dimaknai oleh penganutnya. Alam dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa sehingga harus dihormati. Jika sikap hormat itu tidak ada, maka manusia akan ditimpa malapetaka. Menurut antropolog Reimar Schefold, wawasan orang Mentawai mengenai alam lingkungan dan jagat raya tidak berasal dari cerita dongeng, melainkan dari kisah yang benar-benar pernah terjadi.

Pada zaman dahulu, Arat Sabulungan menjadi patokan norma untuk mengatur hubungan antara manusia dan alam serta dalam hubungan batin dengan tuhan. Dari sini, kemudian terjalin sikap hormat orang Mentawai terhadap alam. Jika alam dirusak, maka pemiliknya yang memiliki kekuatan sangat besar pun akan mengirim bencana. Pelanggaran terhadap aturan pun akan berakibat hukuman. Hukuman ini ditentukan melalui musyawarah di uma. Jika ada satu orang yang melanggar, maka seluruh anggota masyarakat juga dianggap akan terkena dampaknya.


Mitologi dan Sistem Kepercayaan
Dalam kepercayaan Arat Sabulungan, diyakini bahwa roh leluhur nenek moyang yang disebut Ketsat adalah zat yang memiliki kesaktian. Selain itu, dipercaya bahwa roh terkandung dalam setiap objek yang ada di dunia, baik itu benda mati maupun makhluk hidup. Roh ini terpisah dari jasad yang berkeliaran secara bebas di alam luas. Pemahaman ini berbeda dengan agama-agama Samawi yang dominan di Indonesia dewasa ini di mana roh diyakini hanya terdapat pada makhluk hidup.

Arat Sabulungan mengajarkan bahwa bukan manusia saja yang memiliki jiwa. Roh setiap objek di dunia dipercaya menempati seluruh ruang di alam semesta, baik itu di darat, laut, dan udara. Perlu diketahui, gagasan mengenai roh dan jiwa adalah hal yang berbeda di mana jiwa dapat berdiam di dalam tubuh manusia yang sudah meninggal dunia meski rohnya sudah pergi.

Roh-roh yang banyak dikenal dalam kepercayaan Arat Sabulungan turut kerap dijumpai dalam mitos yang menceritakan asal-usul dunia di mata orang Mentawai. Mitos-mitos ini dirangkum dalam sebuah buku berjudul Mitos dan Legenda Suku Mentawai yang ditulis oleh Bruno Spina. Dicatat bahwa dunia ini diyakini diciptakan oleh roh-roh dengan cara dilempar dari langit hingga terbentuklah pulau-pulau Sumatra dan sekitarnya. Kemudian roh-roh menciptakan pula manusia dan hewan yang menghuni pulau tersebut dan memberikan berbagai bimbingan kepada manusia pertama mengenai cara-cara hidup.

Roh orang yang sudah meninggal dipercaya bisa berkomunikasi dengan manusia yang masih hidup dan tinggal di dunia. Komunikasi ini diperantarai oleh Sikerei alias tabib atau dukun tradisional Mentawai. Roh orang yang meninggal tersebut bahkan bisa menuturkan certia mengenai kematiannya atau menitipkan pesan kepada keluarga yang ditinggalkan untuk kemudian disampaikan kepada keluarga oleh sikerei.

Jika asal-usul dunia bisa dijelaskan melalui cerita mitologi yang berkaitan dengan roh, gagasan mengenai asal-usul manusia justru sebaliknya karena tidak ada penjelasan apapun yang diyakini orang-orang Mentawai. Menurut Spina, kepercayaan yang dipegang orang Mentawai mengenai asal-usul keberadaan manusia konsepnya berbeda dengan banyak suku bangsa lain di Indonesia. Tidak ada cerita atau konsep mengenai asal-usul eksistensi manusia.

Bagi orang Mentawai, dunia adalah tempat besar di mana mereka bisa hidup dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada di alam. Maka dari itu manusia diwajibkan menjalin hubungan baik dengan roh-roh dengan cara selalu berterima kasih dan tidak menyalahgunakan segala yang bisa didapatkan. Dunia yang dihuni ini dianggap bukanlah milik manusia.

Ada beberapa roh yang dikenal dalam kepercayaan Arat Sabulungan di mana roh-roh tersebut memiliki peran dan karakter yang berbeda satu-sama lain. Konsep pengetahuan akan hal gaib berupa roh yang menyebabkan orang dapat hidup disebut dengan Simagre. Roh yang dikenal di antaranya Sabulungan, yaitu roh yang keluar dari tubuh dan dianggap keluarnya terkadang hanya untuk sesaat, misalnya ketika seseorang sedang terkejut. Selain itu ada pula roh yang tidak pergi jauh dari tempat yang dihuni manusia di bumi, di air, udara, hutan belantara dan pegunungan. Di dalam uma, yaitu rumah yang berfungsi sebagai balai pertemuan dan tempat digelarnya acara-cara adat Mentawai juga bahkan dikenal terdapat roh penunggu. Roh ini disebut dengan nama kina. Tak hanya roh baik, dikenal pula roh yang bersifat jahat yang kerjanya menebarkan penyakit dan menimbulkan gangguan bagi manusia yang disebut sanitu. Roh ini berasal dari roh manusia yang bergentayangan setelah mati dengan cara yang tidak wajar, misalnya mati dibunuh atau bunuh diri.

Sementara itu, istilah magere digunakan untuk merujuk pada jiwa manusia. Magere ini diyakini beerada di bagian ubun-ubun kepala. Magere bisa keluar dari tempatnya berdiam dan melakukan petualangan saat manusia sedang tertidur hingga menimbulkan mimpi. Jika magere bertemu dengan roh jahat ketika sedang keluar, maka tubuh manusia tersebut akan sekit. Sedangkan jika tubuh meminta pertolongan kepada leluhur maka tubuh akan meninggal dengan roh yang telah pergi. Perginya roh sekaligus membuat tubuh hanya ditempat oleh jiwa yang disebut pitok.

Pitok adalah sosok yang ditakuti oleh masyarakat Mentawai. Pitok dipercaya mencari tubuh manusia lain sebagai korban agar ia bisa terus berada di bumi. Karena alasan inilah masyarakat Mentawai kerap menggelar upacara-upacara untuk mengusir pitok.

Selain roh dan jiwa, pengakuan terhadap keberdaaan dewa-dewa juga dikenal dalam Arat Sabulungan. Setidaknya ada tiga dewa yang diposisikan secara terhormat. Pertama Tai Kalelu, yakni dewa hutan dan gunung. Kedua Tai Leubagat, yaitu dewa laut. Yang ketiga adalah dewa langit pemberi hujan dan kehidupan yang disebut Tai Kamanua.

Ritual dan Upacara
Ada beberapa ritual yang biasa dilakukan masyarakat Mentawai penganut kepercayaan Arat Sabulungan. Misalnya ada masa nyepi di mana oang-orang akan menghentikan aktivitas rutinnya untuk sementara. Masa nyepi ini ada dua macam, aitu Lia dan Punen. Lia adalah menghentikan akfitas karena adanya peristiwa-peristiwa hidup yang dianggap penting seperti kelahiran, kematian, atau ada anggota keluarga yang sakit. Kegiatan pembuatan perahu pun termasuk masa-masa yang perlu diiringi dengan lia.

Sementara itu, punen adalah nyepi yang dilakukan oleh masyarakat secara keseluruhan di mana pelaksanannya menyangkut masa pembangunan uma, kecelakaan, merebaknya wabah penyakit, atau adanya pembunuhan. Selama pelaksanaan lia dan punen, masyarakat tidak diperbolehkan bekerja. Sedangkan kegiatan makan dan minum masih diizinkan untuk dilakukan. Lia tergolong sebagai upacara kecil yang dalam perayaannya tidak disertai acara seperti berburu hewan atau pementasan tari-tarian. Lia dan punen pun ada beragam macamnya, misalnya lia sagu dan lia sapuo, kemudian untuk punen di antaranya ada punen matutu, punen, lalai angalou, punen pangambok, dan punen abinen.

Bagi orang Mentawai penganut Arat Sabulungan, ritual dalam daur hidupnya sudah dilakukan sejak seseorang baru dilahirkan ke dunia. Pangabela adalah ritual pertama yang dilakukan oleh seseorang sesaat setelah lahir sebagai bayi. Tujuannya, memperkenalkan sang bayi dengan alam serta roh-roh di dalamnya. Dengan pangabela seorang bayi diharapkan terhindar dari penyakit dan keberadaannya tidak menimbulkan gangguan bagi roh-roh. Pangabela dilakukan tiga hari setelah kelahiran dengan memberi sang bayi makanan dan memandikannya di sungai hingga kulitnya memucat karena kedinginan. Setelahnya, dibawakanlah api di suluh dan tanaman-tanaman jenis tertentu untuk ditanam. Ibu sang bayi kemudian membawa anaknya pulang ke rumah sambil menuangkan air sungai di sepanjang jalan. Tak lupa, api yang dibawa dengan suluh juga ikut dibawa. Untuk memberikan nama untuk bayi pun diperlukan ritual khusus yang disebut pangambok. Ritual yang disertai penyembelihan hewan kurban berupa ayam atau babu ini si bayi akan mendapatkan nama Mentawainya.

Seiring waktu dengan bertambah usia orang Mentawai, ritual akan kembali diadakan untuk menjadikan seseorang yang beranjak remaja memiliki kemampuan untuk menang hewan, baik itu lewat berburu di hutan atau menangkap ikan di sungai. Bagi anak laki-laki, upacara ini disebut eneget sementara untu perempuan adalah sogunei.

Jika orang Mentawai anak menikah, ritual khusus kembali digelar dengan nama pangurei yang beruapa acara makan bersama antara mempelai pria dan perempuan. Dilakukan pula pemberian persembahan berupa seekor ayam dan telur serta babi. Pelaksanaan pangurei ini mengalami perubahan setelah dianutnya agama-agama dari luar. Pangurei dewasa ini disertai dengan doa-doa dari agama yang dianut dan terkadang digelar setelah pernikahan digelar, bahkansaat kedua mempelai sudah memiliki anak.

Dalam kematian sebagai tahap terakhir dari daur hidup manusia di dunia, kepercayaan Arat Sabulungan memiliki ritual untuk membersihkan rumah dari pengaruh roh orang yang meninggal itu. Ritual tersebut berupa acara memercikkan rumah orang yang meninggal dengan air. Selain itu, barang-barang milik orang yang meninggal juga dikeluarkan dari rumah dengan harapan roh orang yang meninggal tidak datang lagi untuk mengambilnya. Seperti beragam ritual Arat Sabulungan lain, ritual kematian ini juga sudah dipengaruhi pengaruh agama yang datang dari luar. Air yang dipercikkan misalnya, digunakan air suci yang telah diberkati oleh imam. Doa-doa yang dibacakan pun juga berupa doa katolik.

Pantangan Sehari-hari
Pantangan atau keikei juga lekat sekali dengan kehidupan orang Mentawai yang memegang kepercayaan Arat Sabulungan. Ada banyak pantangan yang dikenal dan tidak boleh dilakukan dalam aktivitas sehari-hari mulai dari menyagu, beterna babi, berburu, membuat obat, dan membuat sampan. Jika akfitas itu diwarnai sebuah insiden atau nasib kurang baik seseorang, adahal hal biasa jika orang Mentawai menganggap penyebabnya adalah adanya pantangan yang dilanggar.

Pantangan ini masih terkait dengan keyakinan terhadap roh-roh dan keharusan untuk hidup selaras dengannya di dunia. Nasib kurang baik bermula dari pantangan yang dilanggar sehingga roh-roh merasa terganggu oleh tindakan yang mencelakai mereka. Begitupun jika nasib baik menghampiri, itu dianggap karena roh-roh menunjukkan sikap yang menguntungkan mereka.

Saat berburu di hutan contohnya, orang Mentawai perlu meminta izin kepada roh penjaga hutan agar roh-roh hewan buruan tidak taut dan mau menunjukkan dirinya kepada menusia. Mereka juga harus pergi diam-diam agar kegiatannya tidak diketahui roh jahat yang bisa mencelakai mereka. Di tengah perburuan pun tidak diperbolehkan adanya pertengkaran, orang yang marah-marah, atau pemukulan terhadap anjing yang dibawa berburu. Setelah mendapatkan hasil buruan, daging hewan disisihkan sebagian sebagai persembahan kepada roh-roh nenek moyang. Tulang tengkorak hewan buruan juga digantung di beranda uma agar roh-roh hewan ini bisa memanggil kawan-kawannya dan manusia bisa mendapat hewan buruan kembali.

Tidak hanya bagi orang Mentawai yang sepenuhnya menganut Arat Sabulungan, prinsip untuk tidak melanggar pantangan juga tetap dipegang orang yang sudah menganut agama dari luar seperti Katolik, Protestan, dan Islam. Mereka tetap beribadah menurut agama-agama Samawi, namun di sisi lain pantangan-pantangan yang ada pun tetap dijaga. Bahkan akibat yang muncul dari pelanggaran atas pantangan dirasa lebih menakutkan ketimbang pelanggaran ajaran agama.

Tato
Tradisi lain yang lekat dengan kepercayaan Arat Sabulungan adalah tato. Penganutnya meyakini bahwa tato tidak boleh lepas dari kehidupan orang Mentawai. Tato yang disebut titi memiliki berbagai ragam motif yang menunjukkan identitas klan. Cara membuatnya mengandalkan tinta dari arang kayu atau bekas pembakaran yang dihaluskan lalu dicampur perasan tebu. Duri atau jarum kemudian dicelupkan pada tinta tadi lalu ditusukkan ke lapisan kulit.



Motif tato yang digambar pada tubuh seseorang tidak bisa dipilih sembarangan karena setiap gambar memiliki maknanya sendiri. Gambar tato bisa berarti banyak hal mulai dari tempat asal, status sosial, hingga penanda seberapa hebat seseorang dalam berburu. Selain itu, orang Mentawai juga percaya tato merupakan pencaran roh dari kehidupan mereka. Orang Mentawai bisa membuat tato di sekujur tubuhnya, mulai dari mata kaki, jari, dada rusuk, leher, hingga pipi. Tato Mentawai dianggap sebagai tato tertua di dunia mendahului tato Mesir yang sudah ada pada tahun 1300 sebelum masehi.

Bukan sekadar kebiasaan, tato bagi orang Mentawai bisa dibilang sebagai pakaian abadi yang dibawa hingga mati. Ada pula yang menyebut tato akan berguna untuk orang yang sudah meninggal agar bisa saling mengenal leluhur mereka. Untuk menato tubuh juga tidak bisa sembarangan karena ada proses adat yang harus diikuti.

Seseorang baru boleh menato tubuh ketika anak berusia 11 sampai 12 tahun. Sikerei dan rimata (kepala suku) akan dipanggil oleh orang tua untuk menentukan waktu penentuan dilakukannya proses penatoan. Setelah waktu disepakati, langkah berikutnya adalah memilih sipatiti alias seniman tato yang akan menjalankan prosesnya dengan imbalan seekor babi.


5. Fanömba adu (suku Nias, Sumatra Utara)



Fanömba adu merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Pulau Nias yang masuk daerah administrasi Sumatra Utara. Fanömba adu sebenarnya hanya merujuk pada sebuah ritual, yaitu pemujaan patung tetapi kemudian berkembang penggunaanya menjadi istilah terhadap kepercayaan suku Nias secara umum. Beberapa penulis menyebut kepercayaan ini sebagai pelebegu yang juga mengacu kepada kepercayaan tradisional suku lain di Indonesia seperti Batak dan Aceh. Dalam melaksanakan ritualnya, penganut fanömba adu melakukan Molehe Adu, yaitu kegiatan pemujaan roh leluhur. Sebagai sarana ritual, dipergunakan patung-patung kayu (adu). Patung-patung tersebut dipercaya ditempati oleh roh-roh para leluhur. Contoh dari patung yang berkaitan dengan leluhur di antaranya Adu Zatua atau patung kayu nenek moyang dari pihak keluarga laki-laki, atau Adu Nuwu yang merupakan patung nenek moyang dari pihak keluarga perempuan. Terkait patung-patung ini, penganut fanömba adu juga membuatnya untuk menyimbolkan berbagai sosok seperti ksatria, pemburu andal, atau orang yang memiliki kekuatan.

Dalam kepercayaan fanömba adu, terdapat beberapa dewa yang dikenal oleh para penganutnya. Dewa pertama adalah Lowalangi. Dewa ini diposisikan sebagai dewa yang terpenting dari dewa-dewa lainnya.[butuh klarifikasi] Lowalangi dianggap sebagai penguasa dunia atas atau sang pencipta. Lowalangi memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Istilah Lowalangi kini digunakan sebagai penyebutan Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias, pertama kali diperkenalkan oleh misionaris Denninger pada tahun 1865.

Lowalangi dipercaya memiliki keluarga yang anggota-anggotanya juga dewa bagi orang penganut fanömba adu. Dewa Lature Danö dianggap sebagai saudara tua dari Lowalangi sekaligus raja dari dewa-dewa di dunia bawah. Lature Danö bertindak sebagai dewa yang menyebarkan berbagai bencana seperti penyakit, kematian, dan gempa bumi. Selanjutnya, ada Silewe Nazarata yang bertindak sebagai dewa pelindung para pemuka agama sekaligus istri dari Lowalangi.[butuh klarifikasi]

Pendapat lain juga menyebut adanya peran lain dari Silewe Nasarata, yaitu penghubung antara dewa yang ada di dunia atas dengan dunia bawah, juga antara kaum dewa dan umat manusia.

Seperti halnya manusia, dewa-dewa juga diyakini diciptakan. Adapun yang dipercaya sebagai pencipta dari dewa-dewa tersebut dikenal dengan nama Ida Samihara Luo. Apa yang disebut dengan Ida Samihara Luo ini tidak memiliki realitas, namun darinya tercipta dua anak kembar. Selanjutnya, dua ana kembar ini kimpoi dan perkimpoiannya menghasilkan para dewa dan manusia. Sebelum dewa Lowalangi dan Lature Danö ada, kepercayaan juga menyebutkan ada dewa-dewa lain yang eksis setelah alam semesta masih berwujud kekacauan dan kegelapan. Adalah Tuha Sihai yang dianggap sebagai dewa pertama yang ada. Tuha Sihai tinggal di alam paling atas seukuran rumah dan mendapat dukungan oleh angin. Dari napas Tuha Sihai kemudian tercipta Aloloa Nangi dan dari kepalanya muncul pohon Toro'a. Pohon Toro'a menghasilkan tiga tunas tumbuhan dan dari tunas paling ataslah dewa Lowalangi dan Lature Danö lahir. Selain keduanya, lahir pula dua roh jahat bernama Nadaoya dan Afökha. Sementara itu dari tunas tengah lahir satu roh baik dan roh jahat, sedangan tidak ada dewa atau roh yang dilahirkan dari tunas paling bawah.

Selain dewa, roh juga memiliki posisi penting dalam kepercayaan fanömba adu. Para penganutnya mengenal macam-macam roh sebagai penjelmaan dari orang yang sudah meninggal dunia. Ada banyak roh yang dikenal dan dibedakan berdasarkan apa yang dialaminya semasa hidup. Misalnya ada Matiana/Maciana, roh perempuan yang meninggal karena melahirkan anak. Roh ini dianggap ada untuk menganggu para perempuan yang akan melahirkan. Kemudian dikenal Solofo yang merupakan roh orang yang piawai dalam hal berburu. Ada pula Bekhu, roh orang yang mati biasa.

Jika roh sudah sampai ke dunianya, maka yang dilakukannya kemudian adalah melanjutkan hidupnya seperti di dunia semasa hidupnya. Jika adalah seorang raja meninggal misalnya, maka di dunia seberang (Tetehöli Ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja. Sebaliknya, orang yang miskin saat hidup di dunia manusia pun akan hidup miskin di dunia seberang.

Sistem Kepercayaan
Pemaknaan tentang kehidupan dan kematian dalam ajaran fanömba adu tercermin dalam adanya konsep mengenai dua macam tubuh, yaitu boto atau tubuh kasar serta tubuh halus yang terdiri dari dua jenis, yaitu noso (napas) dan lumölumö (bayangan). Saat seseorang meninggal dunia, maka noso-nya akan kembali kepada Lowalangi (Tuhan). Sementara itu, bayangannya berubah menjadi bekhu atau roh.

Kehidupan setelah kematian juga dikenal dalam ajaran fanömba adu dengan adanya gagasan mengenai perjalanan orang yang meninggal menuju Teteholi Ana'a atau dunia ruh. Untuk mencapai ke sana, orang yang meninggal harus menyeberangi sebuah jembatan yang dijaga ketat oleh seorang dewa beserta kucingnya (mao). Di bawah jembatan itu, terletak neraka. Hanya orang-orang yang melakukan kebaikan selama hidup yang bisa masuk ke Teteholi Ana'a, sementara orang yang berdosa dan belum diupacarakan akan masuk ke dalam neraka yang ada di bawah jembatan.

Mitos lain mengenai Teteholi Ana'a adalah tempat ini merupakan asal mula orang Nias. Di Teteholi Ana'a, sembilan orang putra dari raja Sirao diusir dari sana karena berebut kekuasaan atas takhta Sirao. Kesembilan orang itulah yang dianggap sebagai orang-orang pertama yang hadir di Pulau Nias. Sirao sendiri adalah manusia yang diciptakan oleh Lowalangi. Manusia pertama ini tinggal di langit lapis kedelapan yang berada tepat di atas dunia manusia.

Keadaan yang ada di Teteholi Ana'a berbanding terbalik dengan apa yang ada di dunia. Satu hal baik yang ada di dunia akan menjadi buruk di Teteholi Ana'a. Hal itulah yang membuat adanya kebiasaan orang Nias bahwa bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya maka barang itu akan dirusak. Keadaan terbalik ini juga diyakini berlaku untuk bahasa dan waktu, yaitu jika di dunia manusia sedang siang hari maka di Teteholi Ana'a sedang dalam waktu malam.

Menurut versi Pastor Johannes M. Hammerle, orang Nias tidak mengharapkan firdaus dalam hidup yang akan datang, tidak pula suatu neraka. Baik hukuman maupun imbalan tidak mereka harapkan karena orang Nias percaya bahwa semuanya akan berakhir. Orang Nias tidak takut akan sesuatu dan tidak mengharapkan sesuatu. Hanya inilah yang merupakan imbalan atau hukuman bagi orang Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang terhormat Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada kenyataanya orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi kehidupan.


6. Hindu Bali (Suku Bali)

Persembahyangan umat Hindu Bali di Pura Goa Lawah, Kabupaten Klungkung, Bali

Agama Hindu Bali (disebut pula Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha ("Agama Air Suci") adalah suatu praktik agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh mayoritas suku Bali di Indonesia. Agama Hindu Bali merupakan sinkretisme (penggabungan) kepercayaan Hindu aliran Saiwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan asli suku Bali.

Peninggalan terkuno yang dikenal di Indonesia berkaitan dengan agama Hindu adalah arca Ganesha dan Siwa yang ditemukan di pulau Panaitan dan diperkirakan dari abad pertama setelah Masehi. Selain itu, ada juga tujuh buah yupa yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur, dan diperkirakan dari sekitar tahun 400 Masehi. Di Bali, peninggalan terkuno yang dikenal adalah arca Siwa yang ditemukan di Bedulu, Gianyar, dan diperkirakan dari abad ke-8 yang coraknya mirip dengan arca Siwa yang ditemukan pada abad ke-8 di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.


Seorang perempuan Hindu Bali sedang sembahyan pribadi.

Caturwarna
Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Caturwarna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Caturwarna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Caturwarna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.


Para pedanda Bali.

Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.

Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.

Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).

Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.

Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Caturwarna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Caturwarna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.

Hari Raya
Umat Hindu Bali memiliki sistem kalender sendiri yang berbeda dengan sistem penanggalan hari raya Hindu di India dan Nepal. Hari raya keagamaan bagi umat Hindu Bali umumnya dihitung berdasarkan wewaran dan pawukon, kombinasi antara Pancawara, Saptawara, dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka dari India.


Sesajian sewaktu hari raya.

Hari Raya berdasarkan Wewaran
Galungan — Jatuh pada: Buda, Kliwon, Dungulan
Kuningan — Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan
Saraswati — Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
Banyupinaruh — Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta
Pagerwesi

Hari Raya berdasarkan Kalender Saka
1. Siwaratri
2. Nyepi

Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma, berkolaborasi dengan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan yang hanya ditemukan di Bali.

Manusa Yadnya
Otonan, adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan 210 hari.
Upacara Potong Gigi, adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.
Pitra Yadnya Sunting

Upacara Ngaben, adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara).


7. Hindu Jawa (suku Jawa, teristimewa suku Tengger)

Sajian Tengger, 1971.

Agama Hindu atau penggabungan Hindu-animisme telah dipertahankan oleh sejumlah masyarakat tradisional Jawa yang menganggap keluarganya sebagai keturunan dari prajurit dan pangeran Majapahit. Suku Osing di Jawa Timur adalah sebuah komunitas yang agamanya menunjukkan banyak kesamaan dengan agama Hindu Dharma suku Bali. Sebagian masyarakat suku Tengger secara resmi adalah penganut Hindu, namun agama mereka mencakup banyak unsur Buddhisme, termasuk penyembahan Buddha bersama dengan Trimurti agama Hindu, Siwa, Wisnu, dan Brahma. Suku Badui juga memiliki agama mereka sendiri yang menggabungkan corak-corak agama Hindu.


8. Buda Tengger (suku Jawa, teristimewa suku Tengger)

Dengan pakaian adat khas Suku Tengger, mereka melakukan pujabhakti dalam tradisi Buddha Jawa Sunyata. Pujabhakti dimulai dengan sesembahan, yaitu mempersembahkan sarana puja; dupa, bunga, dan buah serta aneka sesaji pada Buddha.


Agama Buda Tengger adalah sebutan bagi agama/kepercayaan/jalan hidup yang dilakukan oleh penduduk di daerah Tengger. Sekitar gunung Gunung Bromo dan gunung Gunung Semeru. Sebutan Buda sebenarnya adalah nama yang diberikan pada agama non-islam dan non-kristen di Jawa pada masa lalu. Orang Tengger mengenal jenis agama Buda lain, yaitu Buda Jawa (saat ini disebut Kejawen) dan Buda Bali (saat ini disebut Agama Hindu Bali).

Pemimpin agama Buda Tengger disebut Dukun. Dukun di Tengger berbeda dengan dukun di luar kawasan Tengger. Dukun juga disebut dukun pandhita atau dukun gede (besar) untuk membedakan dengan dukun cilik (kecil) di luar kawasan Tengger. Nama kuno Dukun Tengger adalah Rsi Pujangga, sesuai yang tertera dalam mantra Purwabumi Kamulan. Dukun Tengger tidak berurusan dengan ilmu hitam, pesugihan, pengasihan, dan lain sebagainya. Dukun Tengger berperan sebagai pemimpin pada upacara-upacara tahunan rutin maupun upacara daur hidup penduduk tengger. Setiap desa Tengger setidaknya memiliki satu dukun. Desa-desa yang yang penduduknya padat, dapat memiliki banyak dukun. Dukun-dukun ini bernaung dalam perkumpulan yang disebut Paruman Dukun Pandita Kawasan Tengger. Dalam tugasnya, dukun dibantu oleh beberapa asisten, yaitu Pak Sepuh, Pak Legen, Mbok Dandan, dan Pak Sanggar. Pak Sepuh atau Wong Sepuh (orang tua) adalah seorang lelaki yang biasanya lebih tua daripada Dukun. Tugas Pak Sepuh antara lain untuk membuka dan memberi pengantar pada sebuah upacara. Pak Legen adalah seorang lelaki muda yang bertugas mempersiapkan dan membawa alat-alat upacara milik dukun. Mbok Dandan atau Wong Dandan biasanya adalah istri Dukun atau Legen yang bertugas membuat dan menata sesaji saat upacara. Sedangkan Pak Sanggar adalah lelaki yang bertugas menjaga dan merawat sanggar (tempat suci orang tengger)

Menurut Raffles pada buku the History of Java (Sejarah Pulau Jawa), Tuhan tertinggi Penduduk Tengger disebut Bhumi Truka Sanghyang Dewata Batur dan kitab sucinya disebut Panglawu.

9. Jingi Tiu (suku Sabu, Nusa Tenggara Timur)

Proses pembuatan perahu dalam Upacara Hole sebelum kemudian dilarung ke laut di pantai Napae

Jingi Tiu merupakan aliran kepercayaan atau agama asli dari suku Sabu yang juga dikenal sebagai Savu, Sawu, atau Hawu yang berasal dari Rai Hawu, Kabupaten Sabu Raijua, Pulau Sabu di provinsi Nusa Tenggara Timur. Kepercayaan Jingitiu meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di Rai Wawa atau dunia bawah ini yaitu berupa manusia, langit, tumbuh-tumbuhan, laut, hewan, bumi secara tidak langsung berasal dari tuhan atau zat ilahi yang mereka sebut sebagai Deo Ama yang berarti TUHAN Bapak. Deo Ama adalah Sang Pencipta yang berada jauh dari kehidupan sehari-hari. Deo Ama merupakan tokoh tertinggi, penuh misteri, paling dihormati, dan paling ditakuti bagi Suku Sabu. Oleh karena itu, tidak ada aturan sesaji yang dipersembahkan kepada Deo Ama dan namanya tidak boleh disebut bagi Suku Sabu. Adapun Deo Ama memiliki nama lain seperti Deo Woro Deo Penynyi yang artinya TUHAN Mengumpulkan Menciptakan.

Asal mula kepercayaan
Awalnya kepercayaan Jingi Tiu sama sekali tidak memiliki nama sampai datangnya para penginjil dan pendeta dari Portugis ke kampung suku Sabu pada tahun 1625 menamai kepercayaan tersebut dengan nama Gentios yang artinya kafir atau tidak bertuhan. Jingi Tiu sendiri berasal dari cara pelafalan suku Sabu terhadap kata Gentios tersebut. Jingi berarti menolak, Ti artinya dari, Au atau U artinya Tuhan sehingga dapat diartikan Jingi Tiu berarti "menolak perintah Tuhan" menurut ajaran agama Kristen.

Para orang Sabu dan para Mone Ama atau pemuka agama awalnya tidak menyadari arti kata Jingi Tiu tersebut sehingga mereka tidak membantah dan dianggap menerima saja istilah Jingi Tiu dari para penginjil dan pendeta Portugis tersebut. Setelah menyadari bahwa Jingi Tiu memiliki konotasi negatif, para orang Sabu dan para Mone Ama atau pemuka agama awalny ingin mengubah nama tersebut namun sudah terlambat. Alasannya karena nama Jingi Tiu sudah terlanjur melekat sebagai identitas kepercayaan mereka dan orang-orang sudah terbiasa dengan nama Jingi Tiu sehingga para orang Sabu dan para Mone Ama atau pemuka agama tetap sepakat menyandang Jingi Tiu sebagai nama ajaran mereka sampai sekarang.

Konsep dasar kepercayaan Jingi Tiu tidak mengenal istilah khusus yang mewakili kepercayaan mereka. Bagi orang Suku Sabu Jingi Tiu adalah penerapan keprcayaan terhadap kehidupan sehari-hari dibawah aturan Uku yang artinya Aturan Adat agar terjadi keseimbangan antara manusia dan alam. Penyimpangan dari Uku tersebut dapat mengganggu keseimbangan tersebut yang timbul berupa krisis dalam kehidupan mereka seperti terjadi kematian yang tidak wajar ditengah-tengah mereka, kemarau yang berkepanjangan, timbulnya serangan hama yang menyerang hasil pertanian mereka, dan bencana lainnya.

Selain itu Suku Sabu juga percaya adanya berbagai makhluk halus yang tingkatannya lebih rendah dari Deo Ama. Makhluk halus tersebut terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu Rai Balla yang menjaga bumi, Dahi Balla yang menjaga laut, dan Riru Balla yang menjaga langit. Makhluk halus tersebut mengatur berbagai aspek kehidupan manusia terutama Suku Sabu seperti mengatur musim hujan oleh Bani Ae yang artinya Puteri Agung, mengatur nira, mengatur musim kemarau, melindungi dan mengembangbiakkan berbagai hewan ternak terutama Kambing, menjaga keseuburan tanah, serta menumbuhkan tanaman oleh Riru Balla.

Selain untuk mengatur kehidupan manusia, ada makhluk halus lain yang bertugas untuk melindungi kampung penduduk Suku Sabu. Makhluk halus tersebut terdiri dari Uli Rae dan Maki Rae yang artinya Pengendali Kampung. Uli Rae berjaga disebelah kanan gerbang timur kampung sementara Maki Rae berjaga disebelah kiri gerbang timur kampung. Selain itu ada Tiba Rae yang artinya Penangkis Kampung serta Aji Rae yang artinya Penahan Kampung. Mereka semua berjaga agar menjadi Ngita Nano Ngita Adu yang artinya Agar Dapat Diandalkan Dapat Keras serta Ngita Kemaki Ri Ngallu Apa yang artinya Tahan Terhadap Serangan Angin Buruk.

Hubungan dan kesatuan antara alam dengan Suku Sabu diterapkan dalam berbagai upacara adat tradisional seperti perlunya mengadakan upacara adat dan sesajen terhadap Rai Balla setelah menggarap usaha tani guna memulihkan tanah yang luka serta agar Rai Balla tidak murka, bukan untuk persembahan kepada Deo Ama. Upacara adat tersebut juga berfungsi sebagai pemelihara keseimbangan antara Suku Sabu sebagai manusia, alam, serta dengan kekuatan gaib dari ketiga makhluk halus tersebut yang mereka percayai.
Salah satu keseimbangan yang lain adalah keseimbangan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanan tugas dan kewajibannya masing-masing dalam suatu rumah tangga. Keseimbangan lainnya adalah mendatangkan Meringgi dan Menggeru serta dijauhi dari Pana. Meringgi yang artinya Dingin memiliki maksud keadaan damai dan sentosa. Menggeru yang artinya Hijau atau Subur memiliki maksud kesuburan pada hasil pertanian dan peternakan. Pana yang artinya Panas memiliki maksud malapetaka atau bencana yang datang.

Saat ini jumlah penghayat kepercayaan Jingi Tiu menurun seiring perkembangan zaman. Mayoritas penduduk Suku Sabu pindah memeluk salah satu agama resmi di Indonesia yaitu Kristen Protestan yang pada tahun 2016 tercatat sekitar 89.86% dibandingkan dengan penghayat Jingi Tiu sebanyak 7.24%. Agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan masuk ke daerah Suku Sabu sekitar tahun 1970an. Walaupun menganut agama Kristen Protestan beberapa norma dan upacara dari kepercayaan Jingi Tiu masih dipertahankan.

Dewan Mone Ama sebagai majelis adat dan agama
Dewan Mone Ama merupakan dewan adat Suku Sabu yang memimpin jalannya sebagian besar upacara adat serta menetapkan Uku atau peraturan adat yang berlaku di Suku Sabu. Seluruh anggota Mone Ama adalah tokoh adat yang merepresentasikan berbagai makhluk halus yang mengatur kehidupan kampung Suku Sabu yang dilantik secara Dou Pehami yang artinya Orang Yang Diolesi atau Diurapi. Berikut adalah anggota dari Dewan Mone Ama:

Deo Rai
Deo Rai merupakan kepala adat dan memegang peranan tertinggi di Mone Ama. Deo Rai bertanggung jawab untuk memimpin seluruh upacara adat. Selain itu Deo Rai secara gaib juga bertanggung jawab dalam kegiatan pada musim hujan.

Mau Kia
Mau Kia merupakan panglima perang yang bertanggung jawab mengenai kegiatan perang dalam adat Suku Sabu.

Pulodo Wadu
Pulodo Wadu merupakan pemelihara adat yang bertanggung jawab dalam menjaga Uku atau peraturan adat Suku Sabu.[5] Selain itu, Pulodo Wadu secara gaib juga bertanggung jawab dalam kegiatan pada musim kemarau serta memelihara kesuburan tanah pertanian.

Do Heleo
Do Heleo merupakan pengawas kampung yang bertanggung jawab dalam mengawasi segala sesuatu di kampung Suku Sabu.

Rue
Rue merupakan tokoh yang bertanggung jawab untuk menyucikan atau membersihkan kembali setelah terjadinya penyimpangan dalam kehidupan Suku Sabu.

Rumah Ibadah
Rumah ibadah para penghayat kepercayaan Jingi Tiu digunakan untuk melaksanakan berbagai upacara adat Suku Sabu dan juga digunakan sebagai tempat ibadah keyakinan Jingi Tiu. Ada tempat lain yang dikenal sebagai Nada berupa lapangan luas yang khusus digunakan untuk meletakkan persembahan kepada makhluk halus diatas Wadu atau Wowadu yang artinya batu untuk meminta berbagai hajat. Rumah ibadah Suku Sabu memiliki berbagai nama yang mewakili fungsinya masing-masing:

Ammu Deo yang artinya rumah tuhan tempat berlangsungnya upacara dan pemujaan yang dipimpin oleh Deo Rai

Ammu Kepue atau Ammu Ada atau Ammu Ngaa Kewahhu yang artinya rumah asal bagi satu keturunan untuk berkumpul kembali (Pe Ada) untuk melaksanakan upacara (Ngaa Kewahhu) pada waktu-waktu tertentu. Ammu Kepue juga disebut sebagai Ammu Ae (Rumah Besar) yang artinya rumah besar yang dapat menampung banyak orang ketika melaksanakan upacara adat yang dipimpin oleh Bangngu Udu yang artinya Kepala Marga.

Ammu Maja yang artinya rumah untuk menghormati tokoh bernama Maja Pai Jawa dengan melaksanakan upacara yang disebut Mone Ama.
Ammu Rue yang artinya rumah untuk melaksanakan upacara penyucian setelah melakukan pelanggaran, terutama Perzinahan. Upacara dilangsungkan oleh pemangku adat yang mereka sebut sebagai Rue.

Adapun bentuk bangunan rumah ibadah berbentuk persegi panjang dengan bagian samping melebar yang berbentuk setengah lingkaran membentuk elips. Bagian atap rumah ibadah ini sendiri berbentu perahu terbalik dan dilapisi dengan dedaunan lebat yang mereka sebut sebagai Roukoko yang artinya bulu leher. Ukuran Roukoko sendiri mengikuti panjang balok bubungan yang disebut Bangngu.

Dari panjangnya balok Bangngu dapat pula ditentukan jumlah kasau (balai-balai pada atap rumah) yang disebut sebagai Worena. Jumlah Worena wajib berjumlah ganjil dengan sisa 1 Worena terletak di belakang rumah. Penyebutan Ammu atau rumah sendiri mengikuti banyaknya jumlah Worena seperti Wo Tallu yang artinya 3, Wo Lammi yang artinya 5 , Wo Pidu yang artinya 7, Wo Heo yang artinya 9, dan seterusnya. Bentuk tiang rumah ibadah berbentuk bulat karena menurut mereka bulat artinya kuat, utuh dan mampu menolak bala. Salah satu keunikan rumah ibadah ini adalah ketiadaannya dinding karena menurut Suku Sabu menandakan keterbukaan eskistensi manusia terhadap Tuhan terutama dalam hubungan penyucian dan pelanggaran sehingga tidak ada penghalang lagi diantara mereka. Bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran diwajibkan untuk mengitari Ammu Rue sebanyak 3 kali sembari diasapi oleh pemangku adat yang disebut sebagai Rue. Proses upacara penstabilan tersebut dinamai Alle Pe Kehao Rowi Rue yang artinya telah disucikan atau telah dibasuh oleh Rue.

Upacara adat kepercayaan
Upacara Dabba Ana
Upacara Dabba Ana merupakan upacara pemandian bayi setelah dilahirkan. Upacara tersebut seperti halnya upacara Basuh Lantai di Daik Lingga, provinsi Kepulauan Riau tetapi berbeda tatacara dan maknanya. Upacara yang dilaksanakan pada bulan Dabba Aki ini bertujuan agar sang bayi diterima oleh Deo Ama dan dibaptis agar diakui menjadi Jingi Tiu. Proses upacara Dabba Ana diawali dari prosesi pemandian bayi dalam suatu wadah penampungan air hingga diakhiri dengan prosesi mencukur rambut. Jika bayi yang dilahirkan meninggal sebelum upacara Dabba Ana maka bayi tersebut disebut sebagai Anak Domehari sehingga tidak perlu melaksanakan ritual Dabba Ana.

Upacara Tali Manu Dabba
Upacara Tali Manu Dabba merupakan upacara adat berupa Sabung ayam yang dilakukan selama 2 (dua) hari dalam setahun kalender adat Suku Sabu di sebuah arena yang disebut Dara Nada. Adanya upacara Tali Manu Dabba merupakan respon dari Suku Sabu atas pentingnya Hak Asasi Manusi karena punahnya generasi penerus jika peperangan antar suku terus dilanjutkan. Oleh karena itu para leluhur mengganti peperangan antar manusia menjadi peperangan antar hewan yaitu ayam. Upacara adat Tali Manu Dabba dibentuk menjadi 2 kubu yaitu kubu atas yang disponsori oleh Hari Djuda dan kubu bawah yang disponsori oleh Nagngi Lay. Kedua kubu tersebut terdiri dari beberapa kelompok yang disebut sebagai Ada. Pada Ada atas terdiri dari Ada Gopo, Ada Rae Kewore, Ada Dabba, dan Kota Hawu. Sementara untuk Ada bawah terdiri dari Ada Hului, Ada Eiko, Ada Raja Mara, Ada Ei Tede, dan Ada Rae Wiu.

Upacara Heko Nyale Dabba atau Hibu Nyale Dabba
Upacara Heko Nyale Dabba atau Hibu Nyale Dabba merupakan upacara adat dalam menangkap Nyale atau biasa disebut sebagai cacinng laut yang hidup di lubang-lubang karang yang terletak dibawah permukaan laut. Menurut legenda Suku Sabu, Nyale tersebut merupakaan jelmaan dari seorang putri yang terkena penyakit kulit dan berubah menjadi cacing laut ketika mencari ikan bersama ibunya di laut. Ketika berubah menjadi Nyale putri tersebut berkata pada ibunya akan muncul pada waktu tertentu dan tidak akan menampakkan diri jika terdapat perempuan hamil, perempuan menyusui, perempuan yang tegah datang bulan, serta orang tua yang anaknya belum dimandikan dalam upacara Dabba Ana. Berdasarkan legenda tersebut, perempuan hamil, perempuan menyusui, perempuan yang tegah datang bulan, serta orang tua yang anaknya belum dimandikan dalam upacara Dabba Ana dilarang untuk mengikuti upacara Heko Nyale Dabba atau Hibu Nyale Dabba tersebut.

Upacara Pemau Do Made
Upacara Pemau Do Made merupakan upacara penyucian arwah orang yang sudah meninggal sebelum berangkat menuju nirwana atau surga. Upacara adat Pemau Do Made dilaksanakan selama 3 hari secara berturut-turut. Pada hari pertama keluarga dari orang yang telah meninggal saling berkumpul. Dari pihak laki-laki bertugas membawa hewan ternak seperti kamping atau babi beserta pangan lain seperti Padi, Kacang hijau, dan Sorgum sementara pihak perempuan mengumpulkan bahan-bahan tersebut. Pada hari kedua keluarga tersebut akan berpakaian berwarna putih kemudian keluar berkeliling kampung sembari menyanyi nyanyian adat diiringi tangisan ratapan menuju tempat pembuangan. Setelah sampai di tempat pembuangan tersebut, mereka semua nantinya disucikan kembali menggunakan asap dupa dan air. Pada hari ketiga dimulailah penyembelihan seluruh hewan ternak yang telah disediakan di hari pertama. Seluruh hewan ternak tersebut disembelih sebagai persembahan disebuah tempat yang disebut Pai. Nantinya sisa dari hewan ternak yang belum disembelih akan disembelih untuk dibagikan ke seluruh masyarakat Suku Sabu.

Upacara Bui Ihi Hole
Upacara Bui Ihi Hole merupakan upacara yang dilaksanakan dalam rangka mengungkapkan rasa syukur terhadap hasil panen yang telah dipeorleh. Upacara ini dilaksanakan bertujuan untuk menyucikan kembali ladang yang telah mereka panen serta dijauhi dari malapetaka seperti hal-hal jahat dan penyakit dan wabah. Upacara Bui Ihi Hole ini diselenggarakan dengan nyanyian adat dengan sebuah tarian dengan gerakan sederhana yang disebut tarian Padoa

Kalender adat suku Sabu
Menurut kefettoran (distrik) Seba terdapat pembagian waktu selama 1tahun sebanyak 12 bulan yang tiap bulan terdapat almanak kerja permanen yang dipelopori dan dikerjakan oleh Mone Ama. Pekerjaan tersebut terdiri dari pekerjaan sehari-hari maupun upacara-upcara keagamaan Jingi Tiu. Kalender adat Suku Sabu yang disebut sebagai Kewehu Rai ini menghitung hari ritualnya berdasarkan perhitungan bulan komariah. Kedua belas bulan tersebut terdiri dari:

Helila Wadu atau Kelila Wasu
Bulan Helila Wadu atau Kelila Wasu jatuh pada bulan Juli sampai Agustus. Pada bulan ini Suku Sabu diselenggarakannya salah satu amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Puru Hogo berupa masak gula dan iris tuak. Gula dan Tuak yang merupakan salah satu bahan makanan pokok Suku Sabu.

Tunu Manu
Bulan Tunu Manu jatuh pada bulan Agustus sampai September. Pada bulan ini waktunya untuk menyelenggarakan upacara persembahan berupa penyembelihan seekor ayam dan seekor babi diatas batu persembahan bernama Wowadu Tunu Manu yang terletak di desa Rai Nyale.

Bagaraé
Bulan Bagaraé jatuh pada bulan September sampai Oktober. Pada bulan ini diselenggarakannya salah satu amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Baga Rae sebagai tanda berakhirnya kegiatan masak gula dan iris tuak. Penyelenggaraan upacara Baga Rae selain untuk memeriksa curah hujan pada musim penghujan yang akan datang juga sebgai antisipasi tidak terjadi malapetaka seperti terhindar dari musuh dan adanya korban jiwa. Dari sisi sosial, penyelenggaraan upacara Baga Rae agar tali persaudaraan antara warga udu dan kerongo makin erat.

Koöma
Bulan Koöma jatuh pada bulan Oktober sampai November. Pada bulan ini diselenggarakannya salah satu amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Djelli Ma sebagai tanda untuk membersihkan kebun. Penyelenggaraan upacara Djelli Ma untuk persiapan terakhir sebelum memasuki musim tanam di sawah atau di ladang.

Naiki Kebui
Bulan Naiki Kebui jatuh pada bulan November sampai Desember. Pada bulan ini tidak ada penyelenggaraan upacara sehingga Suku Sabu melakukan aktivitas lain seperti menyiangi sawah dari hama rumput. Jika tidak terjadi hujan, orang Suku Sabu dibawah pimpinan Deo Rai menyelenggarakan upacara meminta hujan kepada Deo Ama.

Wila Kolo
Bulan Wila Kolo jatuh pada bulan Desember sampai Januari. Pada bulan ini Suku Sabu menyelenggarakan upacara untuk meminta kepada Deo Ama agar hasil pangan baik dari kebun maupun sawah terhindar dari berbagai malapetaka seperti angin topan, angin badai, serta gelombang air laut. Selain itu, mereka juga meminta agar hasil panen nanti kian melimpah.

Hanga Dimu
Bulan Hanga Dimu jatuh pada bulan Januari sampai Februri. Pada bulan ini dilaksanakannya upacara sebelum memulai panen kacang hijau. Pelaksanaan upacara tersebut dalam rangka syukur kepada Deo Ama yang telah telah mengabulkan doa mereka saat pelaksanaan upacara di bulan Wila Kolo sebelumnya.

Dabba Akki
Bulan Daba Akki jatuh pada bulan Februari sampai Maret. Pada bulan ini diselenggarakannya 2 amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Dabba dan sebagai tanda pembatisan bayi yang baru lahir serta Hapo sebagai pengesahan anak dalam daur hidup Suku Sabu. Adapun daur hidup Suku Sabu terdiri dari:
Metana yang artinya Lahir
Pe Wie Ngara yang artinya Pemberian Nama
Hapo yang artinya Pengakuan atau Pengesahan Anak
Dabba yang artinya Baptis
Leko Wue yang artinya Belajar Mengenakan Pakaian
Bagga yang artinya Sunat
Peloko Nga'a yang artinya Potong Gigi dan Perkimpoian
Made yang artinya Kematian.

Dabba Aé
Bulan Dabba Aé jatuh pada bulan Maret sampai April. Pada bulan ini tidak ada penyelenggaraan upacara adat melainkan penyelenggaraan pesta dalam rangka menyambut hari ketiga setelah panen sorgum dan pesta Pado'a

Banga Liu
Bulan Banga Liu jatuh pada bulan April sampai Mei. Pada bulan ini diselenggarakannya 2 amanat dari Dewan Mone Ama yaitu Banga Liu dan Hole. Upacara Banga Liu diadakan bertujuan untuk mendinginkan berbagai objek benda yang umumnya berkaitan dengan pertanian seperti kebun kelapa, kebun kapas, pinang, serta hewan ternak. Sementara itu pada bulan yang sama juga diadakan Upacara Pe-do'a Bui Ihi Hole dengan membawa sirih pinang ke kuburan leluhur untuk menghormati arwah para leluhur.

Werru Aa atau Aá
Bulan Werru Aa atau Aá jatuh pada bulan Mei sampai Juni. Pada bulan ini diselenggarakan upacara persembahan berupa pembenaman seekor ayam jantan kedalam sungai dalam keadaan hidup-hidup. Penyelenggaran upacara tersebut untuk menutup mulut sungai agar segala hasil pertanian Suku Sabu tidak keluar dari kampung mereka sehingga mereka tidak terkena kelaparan karena kekurangan pangan.

Ari
Bulan Ari jatuh pada bulan Juni sampai Juli. Pada bulan ini tidak ada penyelenggaraan upacara adat.[

Penyusunan 12 (dua belas) bulan tersebut berdasarkan atas 9 (sembilan) amanat dari Dewan Mone Ama disusun oleh Deo Ama yang terdiri dari:
Puru Hogo
Baga Rae
Djelli Ma
Hanga Dimu
Daba
Banga Liu
Holle
Hapo
Made

Tokoh kemerdekaan berkeyakinan Jingi Tiu
1. Julian Hendrik atau dikenal sebagai Ludji He oleh masyarakat sekitar yang diangkat sebagai perintis kemerdekaan oleh Menteri Sosial Sapardjo pada tahun 1980 di masa pemerintahan Soeharto. Julian Hendrik tatkala berumur 24 tahun pada 3 Februari 1933 mengajak kru marine untuk mengambil alih kapal perang De Zeven Provincien (Kapal Tujuh Provinsi) dari pihak Kolonial Belanda yang dikenal sebagai Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi.

2. Riwu Ga yang dijuluki sebagai terompet kemerdekaan oleh Soekarno. Tepat setelah proklamasi pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945, Riwu Ga berani dan nekat mengumumkan berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia atas izin Laksamana Maeda. Riwu Ga kala itu mengumumkan sambil mengibarkan bendera merah putih mengitari kota Jakarta dengan mobil Jip yang dikendarai oleh Sarwoko.

Riwu Ga juga berjasa menggagalkan aksi pelarian Soekarno ke Australia oleh pihak Kolonial Belanda karena Soekarno bersikeras membawa Riwu Ga tetapi dilarang oleh pihak kolonial Belanda.Riwu Ga diasuh oleh pihak keluarga Soekarno semasa pernikahannya dengan Inggit Garnasih.


10. Kaharingan (suku Dayak, teristimewa Kalimantan Tengah)

Balai Basarah, tempat ibadah umat Kaharingan.

Kaharingan adalah kepercayaan/agama asli suku Dayak di Kalimantan, ketika agama-agama besar belum memasuki Kalimantan. Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan). Kaharingan percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying Hatalla Langit), dianut secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Karena pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, sejak 20 April 1980 Kaharingan dikategorikan sebagai salah satu cabang dalam agama Hindu (Hindu Kaharingan), seperti halnya Tollotang pada suku Bugis yang memiliki persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya kemudian menjadi Hindu Tollotang.

Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.

Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawur (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.


Panaturan, Kitab Suci umat Kaharingan.

Hingga kini penganut Kaharingan masih memperjuangkan hak, yaitu Kaharingan yang merupakan kepercayaan nenek moyang secara turun-temurun agar diakui sebagai agama di Indonesia. Belum diakuinya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat adat Meratus. Ketika membuat E-KTP masyarakat adat Dayak Meratus harus mengosongkan kolom agamanya. Berdasarkan catatan Kedamangan Dayak Meratus, komunitas tersebut hingga 2003 mempunyai 60.000 orang anggota, sekitar dua persen dari penduduk Kalsel yang sekarang berjumlah 3,6 juta jiwa.

Di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), kepercayaan Dayak ini serta Momolianisme tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun. Masyarakat Dayak di Malaysia tidak mengakui agama Hindu. Kebanyakan Dayak di Malaysia beragama Kristen.[butuh rujukan]

Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

Sebagian penganut Kaharingan yang menentang integrasi dengan agama Hindu dan berpaham Kaharingan sebagai agama mandiri mendirikan Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) di Kalimantan Tengah serta Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan (MUKK) di Kalimantan Selatan.


11. Kejawen (suku Jawa)

Seorang petapa Jawa sedang bersemadi di bawah pohon beringin di era Hindia Belanda 1916.


Kejawen (Jawa: Kajawèn; Carakan: ꦏꦗꦮꦺꦤ꧀; Pegon: كجَوَين) adalah sebuah pandangan hidup yang terutama dianut di Pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen merupakan kumpulan pandangan hidup dan filsafat sepanjang peradaban orang Jawa yang menjadi pengetahuan kolektif bersama, hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh Filsuf Jawa.

Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan: Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya: Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:

Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
Mamayu Hayuning Kulawarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
Mamayu Hayuning Bhawana (sebagai rahmat bagi alam semesta)

Berbeda dengan kaum abangan, kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi. Jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti: Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.


Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama di mana semua agama yang dianut oleh orang Jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.

Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah spiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.

Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

Hari-hari penting
Sultan Agung Mataram dianggap sebagai filsuf peletak fondasi Kejawen Muslim yang kemudian sangat mempengaruhi upacara-upacara penting terutama yang paling tampak adalah penanggalan dalam menentukan hari-hari penting. Hari-hari penting kejawen tidak lepas dari "Kelahiran – Pernikahan – Mangkat" (kematian), yang ketiganya adalah kehidupan dalam tradisi Jawa. Orang Jawa akan mendapatkan nama pada ketiga peristiwa tersebut, yaitu nama saat kelahiran, nama saat pernikahan, nama saat mangkat (nama kematian dengan menambahkan "bin"/"binti" nama orang tua di belakang nama kelahiran). Semua hari-hari penting itu ditetapkan sesuai kalender Jawa yang memiliki Primbon sebagai aturan-aturan dalam menentukan hari penting dan tata caranya. Berikut adalah hari-hari penting dalam Kejawen:

Suran (Tahun Baru 1 Sura).

Sepasaran (upacara kelahiran) dan akikah bagi muslim.

Mantenan (pernikahan dengan segala upacaranya).

Mangkat (upacara kematian) – Mengirim doa (kenduri, wirid, ngaji) 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, 3000 hari.

Megeng Pasa – Tanggal 28 dan 29 bulan Ruwah (bulan Arwah), digunakan untuk mengirim doa kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi.

Megeng Sawal – Tanggal 29 dan 30 bulan Pasa, digunakan untuk mengirim doa kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi bagi yang tidak ada kesempatan pada Megeng Pasa.

Riadi Kupat (Hari Raya Kupat) – Tanggal 3, 4 dan 5 bulan Sawal (bagi orang tua yang ditinggalkan anaknya sebelum menikah).

Karena filsafat kejawen juga beragama, hari besar agama juga merupakan hari penting kejawen. Berikut ini adalah beberapa hari penting tambahan untuk kejawen muslim:
Hari Raya Idulfitri.
Hari Raya Iduladha.
Hari Raya Jumat.
Muludan (Maulid Kanjeng Nabi Muhammad, S.A.W.).
Sekaten (Syahadatain).

Para penganut kejawen sangat menyukai berpuasa dalam ajaran Islam karena dianggap sama dengan ajaran leluhurnya selain juga tafakur yang dianggap sama dengan bertapa.

Pasa Weton – Puasa pada hari kelahiranya sesuai penanggalan Jawa.

Pasa Sekeman – Puasa pada hari Senin dan Kamis.

Pasa Wulan – Puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan kalender Jawa.

Pasa Dawud – Puasa selang-seling, sehari puasa sehari tidak.

Pasa Ruwah – Puasa pada hari-hari bulan Ruwah (bulan Arwah).

Pasa Sawal – Puasa enam hari pada bulan Sawal kecuali tanggal 1 Sawal.

Pasa Apit Kayu – Puasa 10 hari pertama pada bulan ke-12 kalender Jawa.

Pasa Sura – Puasa pada tanggal 9 dan 10 bulan Sura.

Selain puasa di atas kejawen juga memiliki puasa biasanya untuk menggambarkan kezuhudan (kesungguhan) dalam mencapai keinginan, jenis puasa tersebut adalah sebagai berikut:

Pasa Mutih – Puasa ini dilakukan dengan jalan hanya boleh makan nasi putih, tanpa garam dan lauk pauk atau makanan kecil dan lain-lain, serta minumnya juga air putih.

Pasa Patigeni – Puasa tidak boleh makan, minum, dan tidur serta hanya boleh di kamar saja tanpa disinari cahaya lampu.

Pasa Ngebleng – Puasa tidak boleh makan dan minum, tidak boleh keluar kamar, boleh sekadar keluar tetapi sekadar buang hajat dan boleh tidur tetapi sebentar saja.

Pasa Ngalong – Puasa tidak makan dan minum tetapi boleh tidur sebentar saja dan boleh pergi.

Pasa Ngrowot – Puasa yang tidak boleh makan nasi dan hanya boleh makan buah-buahan atau sayur-sayuran saja.

Pasa Wungon - Puasa yang tidak boleh makan dan minum, duduk bersila, kedua tangan diletakkan di atas lutut sambil berkonsentrasi apa yang diinginkan.

Pasa Tapa Jejeg - Puasa yang tidak boleh makan dan minum, serta harus berdiri minimal 12 jam lamanya.

Pasa Ngelowong - Puasa yang tidak boleh makan dan minum dalam waktu yang ditentukan sendiri, misalnya 3 jam atau 6 jam.


Kitab dan Teks Utama
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang Jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam jenis karya tulis sebagai berikut:

Kakimpoi (Sastra Kawi) – Kitab sastra metrum kuno (lama) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang berjumlah 5 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan bahasa Jawa Kuno

Macapat (Sastra Carakan) – Kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang terdiri lebih dari 82 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan huruf Pegon

Babad (Sejarah) – Kitab yang menceritakan sejarah nusantara berjumlah lebih dari 15 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan bahasa Jawa Kuno serta aksara Jawa dan bahasa Jawa

Suluk (Jalan Spiritual) – Kitab tata cara menempuh jalan supranatural untuk membentuk pribadi hanjawani yang luhur dan dipercaya siapa saja yang mengalami kesempurnaan akan memperoleh kekuatan supranatural yang berjumlah lebih dari 35 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan huruf Pegon. Suluk juga merupakan jenis sastra yang ditembangkan.

Kidung (Doa-doa) – Sekumpulan doa-doa atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada khas, sama seperti halnya doa lain ditujukan kepada tuhan bagi pemeluknya masing-masing yang berjumlah 7 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa

Piwulang (Pengajaran) – Secara bahasa berarti "yang diulang-ulang" berupa kitab yang mengajarkan tatanan terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani, ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa

Primbon (Himpunan) – Secara bahasa berarti "induk", "kumpulan", atau "rangkuman" berupa kitab praktik praktis dalam pelaksanaan tatanan adat sepanjang waktu, juga biasanya dilengkapi cara untuk membaca gelagat alam semesta untuk memprediksi kejadian. ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa

Naskah-naskah di atas mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), dan ada ribuan naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama di atas dalam bentuk karya tulis, biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan), dan sebagainya.

Beberapa Aliran Kejawen
Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu.

Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktikkan ajaran agama lain. Kejawen memiliki beberapa cabang aliran, diantaranya:

Padepokan Cakrakembang
Sapta Dharma
Kawruh Begia
Maneges
Abangan
Pangestu
Sumarah

Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon yang ingin mengembalikan agama orang Jawa kembali ke aliran Sapta Dharma yang dianggap sebagai agama asli menurut Sabdapalon.


12. Marapu (suku Sumba, Nusa Tenggara Timur)

Masyarakat adat Sumba masih mempertahankan kepercayaannya terhadap roh-roh Marapu. (CNN Indonesia/Lalu Rahadian)

Marapu adalah sebuah agama asli Nusantara yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba dan juga nama sebuah organisasi penghayat kepercayaan yang didaftarkan pada tahun 1982. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk kepercayaan ini. Agama ini memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.

Upacara keagamaan marapu seperti upacara kematian dan sebagainya selalu dilengkapi penyembelihan hewan seperti kerbau dan kuda sebagai korban sembelihan. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun yang terus dijaga di Pulau Sumba.

Orang Sumba percaya bahwa roh nenek moyang ikut menghadiri upacara penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan kepada mereka. Roh hewan untuk roh nenek moyang dan daging atau jasad hewan dimakan oleh orang yang hidup. Sama halnya dengan upacara yang lain [Kebamoto, 2015] Dan marapu sangat di pertahan kan oleh sebagian besar orang sumba.

Sistem kepercayaan
Agama Marapu adalah agama asli yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Agama ini merupakan sistem keyakinan yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur. Dalam bahasa Sumba, arwah-arwah leluhur disebut Marapu yang artinya adalah “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Itulah sebabnya agama yang mereka anut juga disebut Marapu.

Kepercayaan terhadap roh
Dalam kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi segala nuku-hara (hukum dan tata cara) yang telah ditetapkan oleh para leluhur.

Menurut kepercayaan, terdapat dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamangu ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa’’. Ndiawa juga ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula.

Marapu
Marapu dibayangkan sebagai makhluk-makhluk mulia yang mempunyai pikiran, perasaan, dan kepribadian seperti manusia, tapi dengan kepandaian dan sifat-sifat yang lebih unggul. Mereka dapat berjenis kelamin pria dan wanita serta berpasangan sebagal suami istri. Keturunan mereka ada yang menghuni bumi dan dianggap sebagai nenek moyang yang menjadi cikal-bakal dari kabihu-kabihu. Secara hierarki, para Marapu dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang mempunyai kedudukan yang tertinggi.

Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipuja agar segala doa dan kehendak mereka disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu diupacarakan dan dipuja dalam rumah-rumah, terutama di rumah besar atau pusat yang disebut uma bokulu atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkimpoian, kematian, menanam, memungut hasil dan sebagainya.

Mawulu Tau-Majii Tau
Walaupun terdapat banyak Marapu yang dipuja dan sering dimintai pertolongan, tetapi tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia) atau Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Tuhan Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sementara itu, para Marapu dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya. Para marapu inilah yang telah menerima nuku - hara (hukum dan cara) atau tata tertib hidup bermasyarakat dari Maha Pencipta yang wajib ditaati oleh manusia.

Kalimat-kalimat kiasan yang ditujukan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa itu antara lain:

1. Na Mapadikangu Tau (Pencipta Manusia)
2. Na Mawulu Tau Na Majii Tau (Yang Membentuk dan Membuat Manusia)
3. Na Mawulu Tanga Mata Kalindi Uru-Na Mahangatu RI Wihi RI Lima (Yang Membentuk Alis Mata dan Batang Hidung. Yang Menyayat Tulang Kaki dan Tulang Tangan)
4. Na Ndiawa Tumbu-Na Ndiawa Dedi (Dewa Yang Menumbuhkan dan Dewa Yang Menjadikan)
5. Ina Nuku-Ama Hera (Ibu Hukum dan Bapak Cara)
6. Na Mapadikangu Awangu Tana (Pencipta Langit dan Bumi)
7. La Hupu Ina-La Hupu Ama (Ibu Segala Ibu dan Bapak Segala Bapak)
8. Na Ina Mbulu-Ama Ndaba (Ibu dan Bapak Seisi Alam)
9. Na Ina Pakawurungu-Na Ama Pakawurungu (Ibu dan Bapak dari Seluruh Yang Ada)
10. Na Pandanyura Ngara-Na Pandapiaka Tamu (Yang Tidak Disebut Gelarnya dan Yang Tidak Dikatakan Namanya)
11. Mayapa Watu Wulu-Matema Loja Lala (Pemegang Batu Ciptaan dan Penadah Kuali Leburan)
12. Ndiawa Mbulungu -Pahomba Mbulungu (Jiwa dan Roh Yang Esa)
13. Ina Bai-Ama Bokulu (Ibu Agung dan Bapak Besar)
14. Ina Makaluni-Ama Makaluni (Ibu dan Bapak Yang Kudus)
15. Na Mabokulu Wua Matana- Na Mambalaru Kahiluna (Yang Besar Biji Matanya-Yang Lebar Telinganya, Yang dapat melihat dan mendengar seluruhnya)
16. Na Mailu Paniningu-Na Mangadu Katandakungu (Yang Memandang dengan Teliti dan Meninjau dengan Tuntas, Yang mengetahui segala perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku manusia)
17. Mapatandangu Manjipu-Na Mapatandangu Mandoku Mandanga (Yang Memperha tikan yang Salah dan Menimbang yang Keliru)
18. Na Matimba Nda Haleli-Na Mandahi Nda Panjilungu (Hakim Yang Maha Adil)
19. Na Kandapu Nda Ngihirungu-Na Karangga Nda Lelingu (Bukit Yang Tak Beranjak dan Ranting Yang Tak Bergerak,Yang Abadi)

Makhluk-makhlus halus
Selain memuja arwah leluhur, agama Marapu juga percaya kepada bermacam roh yang ada di alam sekitar tempat tinggal manusia sehingga perlu pula dipuja. Terdapat kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya memiliki jiwa dan perasaan seperti manusia, juga percaya adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa.

Patau Tana
Patau tana adalah roh-roh halus yang dapat berasal dari alam,dan bukan berasal dari manusia. Biasanya mereka menjadi penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, gua-gua, hutan atau di kuburan. Patau tana ini bersifat jahat dan selalu mengganggu manusia, karena itu sangat ditakuti. Patau tana yang berasal dari manusia adalah roh dari orang-orang yang mati secara tidak wajar, misalnya disebabkan kecelakaan, bunuh diri, dibunuh dan sebagainya. Roh-roh semacam ini menjadi jahat karena penasaran atau kesal tidak dapat terlepas dari hidupnya yang lama. Penduduk memberi mereka sesaji agar tidak mengganggu.

Mamarungu
Mamarungu adalah roh halus yang bukan berasal dari manusia dan mempunyai sifat jahat. Kedudukan roh halus ini lebih rendah dari marapu karena mereka merupakan pesuruh-pesuruh para marapu. Karena sifatnya yang jahat, mereka sering mengganggu dan mencelakakan manusia dengan memasuki tubuh manusia yang hidup. Orang yang kerasukan mamarungu ini akan menjadi jahat pula dan selalu ingin mencelakakan orang lain. Oleh karena itu, orang yang sering mencelakakan orang lain disebut mamarungu juga. Pada masa lampau orang semacam ini dibunuh karena dianggap membahayakan orang lain.

Maranongu
Maranongu adalah roh halus yang sederajat dengan mamarungu, tetapi mempunyal sifat baik dan suka menolong manusia.

Katiku kamawa
Katiku kamawa adalah makhluk halus yang termasuk kategori patau tana, tetapi bukan berasal dari manusia dan tidak diketahui asal-usulnya. Penampilan katiku kamawa berupa kepala manusia tanpa rambut dan berkulit hitam legam. Kebiasaannya berguling-guling di tanah sambil tertawa. Makhluk halus ini suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di pohon-pohon besar atau di pohon mangga.

Bumbu
Bumbu adalah makhluk halus yang berupa kambing jantan. Makhluk halus ini pun suka mengganggu manusia dan bertempat tinggal di antara pepohonan, gunung-gunung atau di tempat-tempat sunyi.

Kekuatan gaib
Orang Umalulu percaya bahwa di sekeliling mereka ada kekuatan-kekuatan gaib dalam gejala-gejala dan hal-hal luar biasa yang dapat berupa gejala-gejala alam, tokoh-tokoh manusia, bagian-bagian tubuh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dan suara-suara yang luar biasa.

Ngilu katiu
Ngilu katiu adalah angin yang bertiup dan arah udik, karena dapat menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang ternak. Untuk mencegah penyakit yang dibawa oleh angin itu, orang Umalulu menyelipkan ruu kamala pau (daun mangga) pada atap di sekeliling rumah mereka.

Tokoh-tokoh manusia
Tokoh-tokoh manusia yang dianggap mempunyal kekuatan gaib ialah para ratu, tau mapingu papuhi, dan na mapingu muru, karena mereka ini dianggap mempunyal kekuatan untuk menguasai tenaga alam seperti hujan, menyembuhkan penyakit atau mencelakakan orang dengan cara gaib (mengucapkan mantra-mantra tertentu). Ilmu gaib (puhi) yang dilakukan oleh para ratu atau oleh tau mapingu papuhi untuk mendatangkan hujan ialah dengan melaksanakan upacara kanjiku. Upacara ini dilakukan di katuada dengan membawa persembahan pahapa, kawadaku, hunggu maraku, seekor kambing dan empat ekor anak ayam kepada para marapu terutama kepada Uma Ndapataungu.

Seorang tau mapingu papuhi ketika melakukan ilmu gaib yang bersifat agresif, mempersembahkan pahapa, kawadaku dan beberapa ekor ayam (dua, empat atau delapan ekor tergantung kebutuhan) kepada para marapu yang berada di uta muru-kaba watu (hutan hijau dan tebing batu ), yaitu para marapu yang dipuja oleh kabihu Menggitu atau pada Marapu Ratu Kabuarangu dan Marapu Kabala. Kemudian melakukan upacara sembahyang dan mengucapkan mantra-mantra (tundu wara) dengan maksud agar orang yang dituju menjadi sakit, mendapat kesialan atau kematian. Ada pula ilmu gaib lain yang disebut kabeli mata (membalik mata), yaitu ilmu gaib semacam sihir yang dapat mengubah manusia menjadi binatang, pohon atau batu.

Apabila ada seseorang yang ditimpa penyakit, maka ia dapat meminta pertolongan kepada mapingu muru untuk mengobatinya. Mapingu muru biasanya akan memberi muru (obat dari ramuan daun-daunan) atau tada ai (obat dri ramuan akar-akar pohon atau kulit kayu) yang telah diberi mantra-mantra tertentu kepada si sakit.

Bagian tubuh manusia
Bagian tubuh manusia yang paling dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah kapai atau ngati (kemaluan wanita). Bila kapai ini sampai terlihat oleh orang lain (terutama pria), maka dianggap akan membawa sial kepada yang melihatnya. Hal itu berlaku pula untuk suami si wanita. Itulah sebabnya persetubuhan harus dilakukan pada malam hari atau di tempat gelap. Alat kelamin wanita dianggap palili (tabu) karena merupakan tempat keluar sesuatu yang penuh dengan kekuatan gaib, seperti roh anak yang lahir dan darah. Darah, terutama yang keluar ketika haid dianggap mengandung kekuatan gaib yang dapat membawa kesialan kepada orang lain. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dilarang memasuki uma marapu atau tempat-tempat suci lainnya, dilarang menyiapkan sesajian untuk para marapu dan tidak boleh mandi di sungai. Wanita yang sedang haid harus berdiam di kamar dan mandi di kamarnya pula dengan menggunakan air panas yang diberi ramuan kayu dan daun kahi jawa (asam) yang gunanya untuk menghangatkan badan dan melancarkan keluarnya darah.

Bagian tubuh manusia yang juga dianggap mengandung kekuatan gaib ialah air ludah. Air ludah digunakan untuk obat, antara lain untuk menghilangkan rasa pegal-pegal yang diakibatkan oleh sakit malaria, yaitu dengan cara melumuri badan dengan hadabai (rumput yang tumbuh di batu-batu) yang dikunyah bersama sirih pinang dan dicampur air ludah. Demikian pula bayi yang baru lahir, agar luka pada pusarnya cepat sembuh maka luka itu dilumuri air ludah yang telah bercampur dengan kunyahan sirih pinang.

Rambut adalah bagian tubuh manusia yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena itu, rambut seseorang yang dipotong ketika ia baru lahir akan disimpan di dalam kahipatu dengan maksud agar selama hidupnya terhindar dan mara bahaya. Kelak bila orang itu meninggal, maka rambut dalam kahipatu itu akan dikuburkan pula bersamanya.

Binatang
Binatang yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara Iain wangi (burung hantu), kuu (burung alap-alap) dan nggangga (burung gagak). Ketiga jenis burung itu ditakuti oleh orang Umalulu karena dianggap dapat membawa kesialan. Binatang lain yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan mempunyai kedudukan khusus dalam kepercayaan mereka ialah wei (babi), karambua (kerbau), njara (kuda), manu (ayam) dan ahu (anjing).

Babi merupakan hewan korban yang utama dalam upacara-upacara keagamaan dan dianggap mempunyai kekuatan gaib karena dapat menyampaikan segala kehendak manusia kepada para marapu. Diterima atau tidaknya suatu permohonan dapat dilihat melalui hati babi.

Kerbau merupakan binatang yang biasa dikorbankan pada upacara-upacara keagamaan, terutama pada upacara perkimpoian, kematian, membangun rumah baru dan panen. Secara simbolis daging kerbau yang dikorbankan itu dipersembahkan kepada para arwah. Menurut kepercayaan, kerbau-kerbau korban itu merupakan bekal arwah orang yang meninggal dalam perjalanannya ke parai marapu, dan setibanya di parai marapu digunakan untuk menjamu arwah keluarganya yang telah lebih dahulu berada di sana. Selain itu kerbau dianggap binatang yang dapat membawa keberuntungan pada pemiliknya. Oleh karena itu, ada tempat pemujaan khusus yang disebut uma karambua, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kekayaan.

Binatang yang melambangkan ketaatan paling utama dan dianggap membawa kejayaan pada pemiliknya ialah kuda. Ketaatan kuda ini tidak terbatas di dunia saja, tapi juga di akhirat sebagai tunggangan majikannya. Oleh karena itu, ketika majikannya meninggal, kuda kesayangan harus dikorbankan untuk mengantar arwah majikannya ke parai marapu. Seperti halnya kerbau, maka kuda pun ada tempat permujaan khusus yang disebut uma njara, yaitu tempat memuja leluhur untuk memohon kejayaan dan kekayaan.

Jenis binatang lainnya yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah ayam jantan. Bulu-bulu ayam jantan dianggap mempunyai kekuatan untuk menolak bahaya dan dapat memayungi arwah seseorang dalam perjalanannya menuju parai marapu. Selain itu kokok ayam jantan dianggap dapat membangunkan arwah orang yang meninggal agar bersiap untuk menempuh perjalanan ke alam baka.

Anjing adalah binatang peliharaan yang senantiasa mengikuti majikannya jika sedang bepergian atau berburu. Anjing kesayangan dinilai sebagai kawan senasib sepenanggungan yang tidak terbatas di dunia saja, tetapi juga di akhirat. Pada upacara kematian, anjing kesayangan dikorbankan agar arwahnya dapat mengikuti arwah majikannya. Selain itu anjing dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat melihat makhluk-makhluk halus.

Tanaman
Tumbuh-tumbuhan yang dianggap mempunyal kekuatan gaib antara lain kalala (kaktus), karangga langadi (akar bahar), pau (mangga), dan menggitu (lontar). Kekuatan gaib yang ada dalam tanaman tersebut ialah dapat menolak bahaya dan penyakit. Selain itu mereka pun percaya bahwa semua daun-daunan yang mempunyal khasiat sebagai obat, misalnya kuta (sirih), kabaru (waru), kahi jawa (asam jawa), muru mangandingu (sejenis sulur-suluran), yawilu (kayu manis), kunu buti (Lat: Hyptis suaveolens), dan rutu (Lat: Albizza marginata meer) juga dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat menghilangkan perryakit. Pohon yang dianggap keramat tetapi tidak mempunyai akibat buruk ialah wangga (beringin), mayela, kunjuru (teniring, Lat: Cassia fistula), dan kanawa (angsana).

Benda-benda
Benda.-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan merupakan lambang suci para marapu ialah tanggu marapu. Benda-benda lain yang juga dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah benda-benda pusaka, seperti parang,kain-kain, perhiasan mas, perhiasan manik-manik (ana hida) dan hiwaru (jimat) yang dikeluarkan atau dibawa hanya pada saat-saat tertentu saja oleh pemiliknya.

Suara-suara
Suara-suara yang dianggap mempunyai kekuatan gaib ialah mantra-mantra atau tundu wara yang diucapkan para ratu, tau mapingu papuhi dan mapingu muru. Selain itu suara-suara nyanyian dan irama pukulan gong yang dibawakan pada suatu upacara dianggap mempunyai kekuatan gaib juga, karena mampu menciptakan suasana yang diperlukan.


Pemujaan
Benda-benda keramat
Kehadiran para Marapu di dunia nyata diwakili lambang-lambang suci yang berupa perhiasan emas atau perak (terkadang berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang kebesaran dan kehadiran Umbu Endalu ialah sebuah perhiasan mas dengan panjang 8 cm dan bergaris tengah 12 mm . Selain itu terdapat pula dua buah guci yang disebut mbalu rara-kihi muru (guci merah dan hijau). Guci merah melambangkan bumi, sedangkan guci hijau melambangkan langit. Ketika dilakukan upacara wunda lii hunggu-lii maraku (upacara persembahan kepada Umbu Endalu yang diselenggarakan delapan tahun sekali), guci hijau digunakan untuk menimba air di sungai yang kemudian air itu ditumpahkan ke dalam guci merah yang selalu tetap berada di tempatnya. Air yang ditumpahkan dari guci hijau ke guci merah adalah lambang hujan. Apabila air yang ditumpahkan itu berlebihan, maka hal itu pertanda akan dilimpahi banyak hujan. Sebaliknya apabila ternyata air yang ditumpahkan itu tidak memenuhi guci merah, maka pertanda akan kekurangan hujan. Kini kedua guci tersebut sudah tidak ada lagi.

Berdasarkan fungsinya. benda-benda keramat itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu benda-benda upacara dan alat-alat upacara. Benda-benda upacara dijadikan objek pemujaan, karena dianggap sebagai lambang yang mewakili para marapu. Sedangkan alat-alat upacara tidak dijadikan objek pemujaan. Walaupun demikian, alat-alat itu dianggap keramat pula karena telah lama digunakan sebagai alat pemujaan

Benda-benda upacara yang dikeramatkan itu disebut tanggu marapu (bagian leluhur). Tanggu marapu dapat dibagi ke dalam dua golongan:

1. tanggu marapu la hindi (bagian marapu di atas loteng), yaitu benda-benda yang sangat dikeramatkan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuh benda-benda itu kecuali ratu dan paratu. Menurut kepercayaan, roh-roh leluhur ada di dalam benda-benda itu (biasanya terbuat dan emas) sehingga dianggap sebagai marapu itu sendiri.

2. tanggu marapu la kaheli (bagian leluhur di balai). Tanggu marapu golongan ini merupakan benda-benda pusaka yang dimiliki oleh suatu kabihu dan tidak sekeramat tanggu marapu la hindi. Tanggu marapu la kaheli ini antara lain berupa perhiasan—perhiasan mas perak, kain kain, gelang gading, kalung manik-manik, gong, perhiasan kepala dan sebagainya.

Adapun alat-alat upacara antara lain berupa wadah-wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar, tempurung kelapa, piring tembaga atau perunggu, pisau, parang, tombak, gunting, piring kayu, lesung, periuk tanah, tali dan kendali kuda.

Tempat pemujaan
Uma bokulu
Lambang-lambang suci disimpan di Pangiangu Marapu (kediaman Marapu), yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu. Khusus untuk Marapu Umbu Endalu di Umalulu dibuat tempat persemayaman tersendiri yang tidak boleh dihuni manusia, yaitu yang disebut Uma Ndapataungu-Panongu Ndapakelangu. Selain Uma Bokulu, rumah-rumah lain yang khusus digunakan untuk tempat upacara pemujaan terhadap marapu yang mempunyai kekuasaan atau tugas tertentu, antara lain:

1. Uma karambua ialah tempat memuja leluhur untuk meminta kekayaan
2. Uma andungu ialah tempat semuja leluhur untuk minta keberhasilan dalam peperangan
3. Uma payenu ialah tempat memuja leluhur untuk memohon berkat bagi setiap pengantin baru
4. Uma pakilungu ialah tempat memuja leluhur untuk menolak bahaya penyakit
5. Uma menggitu ialah tempat memuja leluhur untuk mengundang arwah-arwah yang berada di hutan-hutan atau di gua-gua agar turut serta dalam mengalahkan musuh
6. Uma mbaradita tempat memuja leluhur untuk meminta kekuatan, keberanian dan kekebalan
Kehidupan masyarakat pedesaan di Umalulu berdasarkan kesatuan hidup setempat yang disebut paraingu, yaitu suatu perkampungan besar yang dihuni oleh beberapa kabihu yang berhimpun di dalamnya. Setiap kabihu membangun rumah-rumah mereka pada suatu bagian paraingu yang disebut kuataku. Pengertian paraingu dapat disamakan dengan desa, sedangkan kuataku disamakan dengan kampung.

Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia. Oleh karena itu, rumah pemujaan tersebut diberi nama Uma Ndapataungu (rumah yang tak berorang), yang dalam luluku (bahasa puisi berbait) disebut Uma Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga yang tak berpijak). Menurut kepercayaan masyarakat Umalulu, Umbu Endalu mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara fisik rumah itu terlihat kecil, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar. Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut, karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan.

Rumah permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu Umalulu. Bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah pemujaan adalah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa). Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali — Waruwaka dan sekitarnya.

Katuada
Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katuada. Katuada merupakan tempat upacara pemujaan berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa serta sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Batu pipih tersebut merupakan tempat untuk meletakkan bermacam-macam sesaji kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu, antara lain berupa pahapa (sirih pinang), kawadaku (keratan mas), dan uhu mangejingu (nasi kebuli).[1]

Katuada ini ada bermacam-macam menurut tempat dan fungsinya, yaitu:

1. Katuada kimpoidu (tugu halaman), tugu sembahyang yang dipancangkan di halaman setiap rumah. Pada tugu inilah tiap-tiap keluarga batih melakukan upacara pemujaan kepada dewa-dewi agar dijauhkan dari bahaya penyakit. Selain itu dari tugu ini pula para marapu dari luar rumah diajak masuk bila ada upacara di dalam rumah, dan sebaliknya para marapu yang berada di dalam rumah diajak ke luar bila ada upacara di luar rumah.
2. Katuada paraingu ( tugu kampung ), tugu sembahyang yang dipancangkan di muka uma bokulu. Tugu ini merupakan tempat upacara yang meliputi kepentingan seluruh warga paraingu atau warga kuataku, misalnya pada upacara hiri paraingu, puru la manangu dan pamangu langu paraingu.
3. Katuada pindu (tugu pintu), tugu sembahyang yang dipancang di pintu kampung dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk menolak mara bahaya dari luar kampung. Selain itu sebagai tempat untuk mengajak para marapu dan para arwah lainnya agar masuk ke kampung bila ada upacara. Demikian pula sebaliknya.
4. Ketuada padangu (tugu padang), tempat melakukan upacara sembahyang di padang rumput untuk meminta agar hewan ternak berkembang biak dengan baik.
5. Katuada wuaka (tugu kebun), tugu sembahyang yang dipancangkan di katiku wuaka (kepala kebun) dan merupakan tempat upacara sembahyang untuk minta kesuburan tanaman serta menolak segala bencana.
6. Katuada latangu (tugu sawah), tugu sembahyang yang dipancangkan di ngaru wai (mulut air), yaitu tempat permulaan air masuk ke sawah. Tugu ini tempat upacara sembahyang untuk meminta keamanan dan kelimpahan hasil tanaman di sawah.
7. Katuada padira tana (tugu batas tanah), tempat mengulpulkan arwah-arwah dari seluruh tanah perkebunan agar tidak mengganggu tanaman dalam kebun itu.
8. Katuada bungguru (tugu persekutuan), tempat upacara sembahyang yang meliputi seluruh daerah perkebunan dan persawahan, yaitu untuk mengucapkan terima kasih kepada Mawulu Tau — Majii Tau, para marapu dan para arwah yang berada di situ karena telah menjaga serta memberikan hasil panen yang baik.
9. Katuada patamangu (tugu perburuan). tempat upacara sembahyang ketika hendak berburu dengan permohonan agar arwah-arwah yang berada di tempat perburuan menolak segala bahaya dan memberikan hasil buruan seperti yang diharapkan.
10. Katuada mananga (tugu muara), tugu sembahyang yang dipancangkan di muara sungai dan merupakan tempat upacara untuk memohon kebersihan lahan, menolak segala bencana dan agar hujan turun dengan baik. Upacara sembahyang di katuada mananga ini biasanya dilakukan oleh seorang mangu tanangu (tuan tanah).
11. Andungu (tiang). merupakan sebuah katuada juga, tapi karena tugu ini merupakan tiang kekuatan dan seluruh kabihu maka disebut andungu. Ada dua macam andungu, pertama yang disebut andu uhu (tugu padi), yaitu tugu tempat upacara mengenai padi yang biasanya dipancangkan di rumah pusat mangu tanangu; kedua yang disebut andu katiku (tugu kepala), yaitu tugu tempat memancangkan kepala-kepala manusia yang berhasil di penggal dalam peperangan. Tugu ini dipancang di muka rumah kabihu yang leluhurnya mempunyai kewajiban untuk keperluan tersebut.
12. Pahuamba (penyembahan), merupakan suatu timbunan batu yang biasanya berada di bawah pepohonan dan merupakan tempat upacara pemujaan kepada para marapu terutama yang berasal dan Kiri Awangu — Mata Lodu (ujung langit dan matahari). Upacara pemujaan pada pahuamba ini dilakukan ketika diadakan Pamangu Ndiawa (perjamuan dewa) yaitu upacara pemujaan dan persembahan kepada para marapu agar seluruh warga tiap-tiap kabihu diberi perlindungan dan kemakmuran.

Pemuka agama
Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya, orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu (pendeta). Penetapan waktu upacara didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia.

Masyarakat Umalulu di Sumba Timur juga percaya tentang adanya suatu kekuatan sakti dalam alam yang dapat menyusahkan hidup manusia, tetapi dapat digunakan bila dikendalikan dengan ilmu gaib. Caranya dengan mempelajari mantra-mantra tertentu, para tau mapingu puhi atau na mapingu muru (dukun) dapat diminta bantuannya untuk mendatangkan hujan atau menyembuhkan penyakit.

Kesusasteraan suci
Karena tidak mengenal tulisan, kesusasteraan suci mereka diturunkan secara lisan oleh para ahli atau pemuka-pemuka agama. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diceriterakan pada saat upacara-upacara keagamaan sambil diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan suci ini dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak.

Upacara keagamaan
Menurut Koentjaraningrat,[2] dunia gaib dapat dihadapi manusia dengan rasa hormat, bakti, takut dan sebagainya, atau dengan suatu campuran dari segala macam perasaan tersebut. Perasaan-perasaan itu akan mendorong manusia untuk melakukan hubungan dengan dunia gaib yang disebut kelakuan keagamaan. Seperti yang telah dikemukakan bahwa perasaan yang mendorong orang Umalulu untuk melakukan hubungan dengan para marapu berlainan sekali dengan dorongan terhadap mamarungu dan patau tana. Perasaan yang melatarbelakangi hubungan orang Umalulu dengan para marapu didasari oleh rasa cinta,hormat dan bakti, sebaliknya terhadap mamarungu atau patau tana didasari oleh rasa takut dan benci. Perasaan-perasaan yang berbeda inilah yang menentukan serta mewarnai kelakuan keagamaan mereka, dan kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan baku yang biasa disebut upacara keagamaan.

Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu, manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan.

Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, manusia harus melaksanakan berbagai upacara.

Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkimpoian dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat. Oleh karena itu, tempat-tempat upacara, saat pelaksanaan, alat-alat upacara, serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat pula. Pada setiap upacara keagamaan, berbagai bentuk kesenian biasanya juga ditampilkan dan menjadi pengiring bagi religi mereka.

Upacara kehamilan dan kelahiran
Pada saat sekitar kelahiran seorang bayi, ada beberapa peristiwa penting yang harus mendapat perhatian orang tua dan kaum kerabatnya. Misalnya pada bulan keempat masa kehamilan, diadakan upacara Pamandungu pelungu (meneguhkan tumpuan) dengan mempersembahkan pahapa, kewadaku dan mangejingu kepada para marapu dan Ndiawa Tumbu — Ndiawa Dedi (Dewa Tumbuh dan Lahir) agar kandungan luput dari mara bahaya. Selain itu untuk mencegah adanya kekuatan-kekuatan gaib yang bersifat jahat, seorang wanita yang sedang hamil selalu menyelipkan sebilah pisau bertuah di pinggangnya. Selama kehamilan suami-istri harus mentaati beberapa pantangan makanan dan perbuatan agar nantinya tidak menyulitkan kelahiran dan tidak menimbulkan cacat kepada anak yang akan lahir.

Bila saat kelahiran telah tiba dilakukanlah upacara Hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu untuk menyambut tamu yang baru datang dari alam gaib. Menurut anggapan orang Umalulu, ana rara (bayi) yang akan lahir adalah makhluk gaib yang datang dari alam gaib dengan tena (perahu). Oleh karena itu, untuk melancarkan kelahirannya, segala dosa orang tuanya harus diakui dan segala kelalaian dalam memenuhi kewajiban terhadap para marapu harus dinyatakan. Setelah bayi dimandikan dan diberi nama melalui upacara Dekangu tamu, dilakukan lagi upacara Hamayangu baha kaheli untuk membersihkan segala kekotoran dan menghaturkan terima kasih kepada para marapu.

Ketika bayi sudah berumur empat hari dilakukan upacara Kikiru (cukur). Kemudian rambut dan tali pusar si bayi disimpan dalam kahipatu untuk turut dikuburkan bila dia meninggal di kemudian hari. Apabila sudah berumur delapan hari dilakukan upacara Hangguru, yaitu upacara penyambutan si bayi di tengah kaum kerabatnya. Pada masa inilah ia mulai menginjak tanah dan turut mandi di sungai. Upacara-upacara tersebut selalu disertai dengan persembahan pahapa, kawadaku dan mangejingu. Khususnya persembahan mangejingu pada upacara Hangguru, harus disediakan seekor babi yang seIuruh tubuhnya berwarna hitam (wei mitingu).

Setelah berumur antara dua sampai tiga tahun dilakukan upacara peralihan dari masa anarara menjadi anakiada (kanak-kanak), yaitu upacara Papaita wai huhu (memahitkan air susu, penyapihan). Upacara ini dilakukan dengan permohonan kepada para marapu agar si anak cepat besar, diberikan rejekinya dan keselamatan. Pada masa ini seorang anakiada sudah boleh makan telur ayam dan mengikuti orang tuanya bekerja di ladang.

Upacara menjelang dewasa
Anakiada yang berusia antara dua sampai delapan tahun biasanya disebut anakiada kudu. Pada usia ini, anak perempuan disebut pula hiliwuku kudu (gadis kecil), karena rambut mereka dicukur gundul hanya bagian atasnya saja, bagian belakang dibiarkan panjang, sedangkan bagian atas dahi disisakan sedikit. Setelah melalui masa anakiada kudu, yaitu antara usia delapan sampai enam belas tahun, anakiada ini disebut anakiada matua atau hiliwuku bokulu (gadis besar). Rambut mereka masih dicukur seperti anakiada kudu tetapi sudah lebih teratur. Sedangkan untuk anak laki-laki biasanya hanya dicukur pendek saja, kecuali pada masa anakiada kudu mempunyai potongan yang sama dengan anak perempuan.

Pada waktu anakiada beralih menjadi bidi tau, yaitu antara usia enam belas sampai dua puluh empat tahun, dilakukan berbagai upacara untuk menghadapi saat krisis dalam menginjak dewasa. Untuk para bidi mini (pemuda) dilakukan upacara Puru la wai (turun ke air) yang disebut juga upacara Waku atau Kari. Beberapa pemuda dengan jumlah genap berpasangan mempersiapkan diri selama tiga hari untuk merayakan upacara itu. Mereka membuat suatu pondok yang tersembunyi di dekat sungai. Ke pondok itulah mereka membawa makanan berupa ayam, babi dan kambing yang mereka peroleh secara meminta atau mencuri di kampong-kampung sekitarnya. Pada hari keempat, ratu atau paratu yang bertindak sebagai pengatur upacara mengundang para ama bokulu untuk melakukan upacara hamayangu dengan persembahan pahapa, kawadaku, dan mangejingu yang dilanjutkan dengan pemotongan ayam dan babi. Sementara itu masing-masing calon mengaku dosa dan memohon ampun. Kemudian kulup alat kemaluan mereka ditetak atau ditoreh dengan pisau tajam di atas tempurung. Beberapa hari kemudian setelah mereka sembuh, diadakan selamatan dengan memotong ayam, babi atau kerbau, Dengan dilaksanakannya upacara itu diharapkan tambahan kekuatan gaib untuk kesuburan dan kesejahteraan. Setelah upacara sunat itu selesai, masih ada lagi upacara yang harus dilakukan oleh pemuda menjelang dewasa, yaitu upacara rondangu (memapar gigi) yang disertai dengan kamiti (menghitamkan gigi). Selanjutnya dibuat katatu (rajah tubuh) dengan berbagai gambar. Rajah tubuh ini perlu dilakukan karena sebagai tanda pengenal bila masuk ke Parai Marapu. Menurut kepercayaan setempat, orang yang tidak mempunyai katatu akan ditolak memasuki Parai Marapu.

Bagi para bidi kimpoii (pemudi) atau disebut juga anakaria (anak dara) dilakukan upacara Nggutingu (menggunting) sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa. Selain itu dilakukan pula upacara Rondangu, Kamiti dan membuat katatu. Ketika melaksanakan upacara Rondangu, dilakukan pula upacara pemujaan secara sederhana dengan persembahan dan hewan kurban.


Upacara pernikahan
Saat peralihan lain yang merupakan saat krisis dan dianggap penting dalam kehidupan seseorang ialah saat perkimpoian. Untuk menghadapi saat krisis itu, orang Umalulu melakukan upacara Pamau papa (memberkati jodoh) dengan maksud meminta pertolongan, perlindungan, pemeIiharaan dan berkat dari para marapu.

Upacara kematian
Saat peralihan lainnya yang dianggap penting pula ialah kematian. Saat kematian merupakan saat perubahan atau perpindahan dari alam nyata ke alam gaib yang dalam luluku dikatakan njulu la kura luku — halubu la mandu mara (menjelma bagai udang sungai dan berubah bagai ular darat). Tubuh yang mati hanyaiah sebagai tada (kulit) atau haruma (selaput) dan tidak bersifat kekal, sedangkan yang hidup kekal ialah ndiawa (roh). Roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau — Majii Tau. Akan tetapi, Selama tubuh yang mati itu belum dikebumikan dengan berbagai upacara, maka selama itu pula rohnya masih melayang-layang dan dapat membawa bahaya, baik terhadap kerabatnya maupun terhadap orang lain.

Upacara Patingu adalah ritual untuk membebaskan jiwa kerabat yang sudah meninggal dari ikatan dunia. Arwah-arwah yang belum diupacarakan dapat membawa bahaya bagi keluarganya dan juga masyarakat umum karena merasa tidak dihiraukan. Seseorang yang telah jatuh dalam dosa, maka Ia harus menyerahkan diri kepada seorang wai maringu (air dingin) untuk menebus segala dosanya, dan kelak bila dia mati harus dikebumikan dengan berbagal upacara. Apabila tidak demikian halnya, maka selama itu rohnya akan hidup merana karena tidak diterima di parai marapu dan akan bergabung dengan makhluk-makhluk halus lainnya yang selalu berusaha mengganggu kehidupan manusia.

Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang dilaksanakan, terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga terkesan pemborosan. Namun, bagi orang Sumba, hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan di antara mereka.

Orang Umalulu membedakan dua macam kematian, yaitu meti mbana (kematian panas) dan meti maringu (kematian dingin). Adapun yang dimaksud dengan meti mbana ialah kematian yang bukan disebabkan oleh ketuaan atau penyakit, melainkan karena mati terlantar (njadangu), kecelakaan ( manjurangu) dan akibat perang ( meti la pabiara). Sedangkan meti maringu ialah kematian yang disebabkan oleh usia tua atau penyakit.

Pada saat kematian seseorang diumumkan, keluarga dan kenalan dekatnya datang dengan membawa kain kapan, sarung, selimut dan ikat kepala. Pahapa dan mangejingu dipersiapkan, gong dibunyikan disertai lagu duka dan ludu ratu. Kemudian dilakukanlah upacara Pahadangu, yaitu upacara pemasukan janazah ke dalam kabangu (keranda) secara duduk dengan lutut dilipat dan bertopang dagu serupa janin dalam rahim ibu. Semua kain bawaan orang yang datang melayat diselubungkan pada jenazah. Kemudian jenazah dipindahkan ke kaheli bokulu (balai besar) dan selama empat malam dijaga bergiliran oleh kaum keluarganya. Pada waktu itu pula dipersembahkan korban kerbau, kuda, babi dan ayam.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberi persembahan pada saat kematian adalah:

1. Yubuhu — karandi (kapan dan pengikat), terdiri dan kain selimut (hinggi) dan kain pengikat (tiara) bila si mati itu laki-laki, sedangkan untuk wanita ialah sarung (lau) dan tiara. Hal ini pun dibedakan menjadi dua bagian, yaitu yubuhu la tana (kapan di tanah) yang harus disertakan dengan si mati ke dalam kubur, dan yubuhu kaheli (kapan di balai-balai) untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Yubuhu karandi ini dibawa oleh pihak yiara- anamini (ipar dan saudara laki-laki).

2. Dangangu - ihi ngaru (iringan dan isi mulut), terdiri dari perhiasan mas dan perak, kerbau dan kuda. Dangangu dibedakan antara danga meti (iringan mati ), yaitu kurban yang harus dipotong, dan danga luri (iringan hidup ) yaitu yang diberikan kepada keluarga si mati sebagai sumbangan. Sedangkan Ihi ngaru dibedakan antara ihi ngaru la tana (isi mulut di tanah), yaitu perhiasan mas perak yang harus disertakan ke dalam kubur, dan ihi ngaru la kaheli (isi mulut di balai-balai) yang diberikan untuk keluarga si mati sebagai sumbangan. Dangangu — ihi ngaru ini dibawa oleh pihak laiya - anakimpoii (ipar dan saudara wanita).
Pembawaan orang pada saat kematian selalu dari dua jurusan, yaitu dan pihak yiara (pemberi wanita) dan dari pihak laiya (penerima wanita). Orang lain yang termasuk kerabat dapat membawa salah satu dari dua macam pembawaan tersebut. Selain itu jenazah baru boleh dikuburkan setelah semua sengketa antar keluarga (bila ada) didamaikan, suatu hal yang kadang-kadang menuntut waktu lama.

Apabila kemungkinan pelaksanaan pemakaman masih lama lagi, maka untuk menyimpan jenazah dilakukan upacara kaba tana kawaru watu. Dalam upacara ini jenazah dimasukkan ke dalam peti tanah atau batu kemudian dimakamkan, tetapi belum pemakaman yang sesungguhnya. Cara lainnya lagi ialah jenazah dimasukkan ke dalam kabangu (keranda), kemudian diletakkan di dalam sebuah kawarungu (pondok) yang dibuat di tengah halaman dekat pekuburan, atau dapat pula diletakkan di kaheli bokulu. Jenazah dalam kabangu itu selalu dijaga oleh orang-orang yang khusus untuk maksud itu yang disebut pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah). Setiap malam diadakan persembahan berupa makanan kepada arwah, berupa pahapa dan kurban ayam atau babi. Adakalanya pula dipotong kerbau atau kuda, yaitu bila ada kerabat lain yang hendak pawala (berjaga). Penyimpanan jenazah ini dapat berlangsung empat bulan, delapan bulan atau lebih, bahkan adakalanya hingga bertahun-tahun, terganturig pada mungkin atau tidaknya upacara pemakaman dilaksanakan.

Apabila ternyata segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara pemakaman memungkinkan, maka empat atau delapan hari sebelumnya dilakukan dundangu (mengundang) ke seluruh kerabat, handai-taulan di dalam atau di luar kampung untuk menghadirinya. Biasanya keluarga yang jauh tempat tinggalnya, datang sehari sebelumnya. Sedangkan keluarga yang bertempat tinggal dekat serta undangan lainnya datang pada hari pemakaman. Mereka disambut tuan rumah dengan segala hormat dan dipersilakan duduk di bangga hanamba, kemudian dibagikan sirih pinang dalam tanga wahilu. Kaum wanita biasanya langsung naik ke kaheli bokulu untuk meratapi jenazah. Setelah penyambutan tamu dan menetapkan perimbangan bawaan, dipersiapkan perbekalan si mati untuk ke alam arwah. Untuk keperluan itu disembelih seekor kerbau. Gong dibunyikan disertai nyanyian lagu duka dan ratap tangis para kerabat. Sementara itu para pahapanggangu (yang dipapah, pengawal arwah) didandani dengan pakaian dan perhiasan yang indah.

Ketika saat pemakaman tiba, jenazah diturunkan dari rumah dan diarak dengan banyak pengawal ke pekuburan. Pengawal yang menunggang kuda dipayungi dengan payung yang dilapisi kain sutera. Pada saat itu para pengawal menjadi tidak sadar (trance) sehingga harus dipapah. Sementara itu dua pasang kuda disembelih dan perbekalan arwah si mati dibuang ke arah matahari terbenam. Setibanya di pekuburan, jenazah dikeluarkan dari keranda, lubang kubur ditutupi kain, kemudian jenazah diturunkan dan didudukkan menghadap ke arah matahari terbenam. Pada saat inilah kaum keluarga yang ingin memberi bekal kepada arwah si mati melemparkan benda-benda berharga ke dalam lubang kubur. Setelah itu lubang ditutupi tanah dan di atasnya ditutupi lagi dengan watu reti (batu kubur). Pada kalangan bangsawan, mulut lubang kubur itu ditutupi batu rata, kemudian di atasnya ditaruh sebuah batu besar yang diberi kaki, dan pada bagian kepala serta kaki didirikan penji reti (batu nisan). Kubur yang semacam itu disebut reti pawihi. Ketika jenazah diturunkan ke dalam lubang kubur, disembelih lagi dua pasang kuda agar arwah si mati dapat mengendarainya ke Parai Marapu Sesudah semuanya beres, para pengurus jenazah mencuci tangan mereka dengan air kelapa empat buah di atas kubur. Para wanita meletakkan pahapa dan menyirami bagian hulu kubur dengan minyak wangi.

Selanjutnya dilakukan upacara Pahewa (berpisah), yaitu upacara perpisahan antara si mati dengan kaum kerabatnya yang datang dan kampung lain. Peristiwa itu ditandai dengan diberikannya kain kepada pihak layia, dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama. Empat hari kemudian dilakukan upacara Padita waimata (menaikkan air mata). Saat itu merupakan saat terakhir meletakkan pahapa di atas kubur dan berakhir pulalah saat perkabungan. Dalam upacara ini dikorbankan seekor kerbau atau babi. Keesokan harinya semua kerabat diberi jamuan makan minum, memberi kain kepada pihak layia, memberi kuda dan perhiasan mas perak kepada pihak yiara dan masing-masing diberi pula kameti (daging kurban). Setelah itu berpisahlah mereka semua.

Empat tahun kemudian dilakukan upacara perpisahan terakhir, yaitu upacara Palundungu. Upacara ini dilaksanakan untuk menyampaikan arwah si mati ke Parai Marapu, karena menurut kepercayaan, sebelum dilakukan upacara ini maka arwah si mati hanya tinggal di luar kampung saja. Upacara dimeriahkan dengan memotong babi dan kerbau sebagai kurban bagi para marapu dan hidangan bagi kaum kerabat. Sebagai tanda bahwa hubungan dengan alam nyata sudah putus, maka tempat sirih pinang si mati dibuang ke luar kampung. Dengan berakhirnya upacara tersebut, arwah si mati sudah menjadi marapu seperti arwah para leluhur lainnya. Para arwah itu setahun sekali diundang untuk menikmati persembahan pada pesta Pamangu langu paraingu yang diadakan setiap Wulangu Mangata.

Pamangu kawunga dan Wunda lii hunggu
Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di Uma Ndapataungu ialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali.

Hierarki para dewa
Masyarakat Umalulu, Sumba Timur mempunyai banyak dewa (Marapu) dan ada susunannya secara hierarki, tetapi tidak merupakan suatu panteon tersendiri karena setiap dewa mempunyai tempat persemayaman sendiri di rumah suatu kabihu yang memujanya. Para Marapu tidak selalu berada di tempat persemayamannya, kecuali saat ada upacara tertentu.

Marapu kerabat Ratu Umbu Endalu
Para Marapu dapat digolongkan berdasarkan hubungan kekerabatan dan pemerintahan dengan Marapu Ratu Umbu Endalu yang biasa disebut sebagai Uma Ndapataungu. Marapu yang termasuk kerabat Umbu Endalu ialah Rambu Pudu Kawau yang merupakan permaisurinya dan dua orang putra, yaitu Umbu Kaluu Rihi dan Umbu Tunggu Watu. Istri Umbu Endalu yang kedua bernama Rambu Kahi Liaba yang biasa disebut Rambu Henda Mandari dan mempunyai seorang putri serta dua orang putra, yaitu Rambu Konga Wandalu, Umbu Mula, dan Umbu Lu.

Marapu pemerintahan Ratu Umbu Endalu
Marapu yang tergolong dalam pemerintahan Umbu Endalu antara lain:
A. Umbu Endalu oleh keturunannya dipuja sebagai Ina Ratu - Ama Konda, Na Pamalilingu Langu-Na Papalilinqu Hida (ibu bapak para ratu dan raja, yang dipantangkan kata dan yang tak terkalang aturan) dan dianggap sebagai dewa kesuburan serta kemakmuran.
B. Umbu Kaluu Rihi, bertugas sebagai Ratu (imam, pendeta) yang mengurus hal keagamaan. Dalam menjalankan tugasnya sebagai ratu, Umbu Kaluu Rihi dibantu oleh beberapa ratu lainnya:

1. Umbu Pandi Makahihiru, pembantu Umbu Kaluu Rihi yang bertugas sebagai paaungu (pemanggil) para ratu lainnya dalam segala urusan golongan ratu
2. Kunda - Mbala yang bertugas sebagai pesuruh di kalangan ratu
3. Umbu Hamata dan Umbu Harahapu yang bertugas sebagai pembawa barang-barang pusaka
4. Umbu Manggedingu dan Umbu Malara Nau yang bertugas sebagai utusan untuk menghadap Na Mawulu Tau-Na Majii Tau, sebagai wunangu (duta, perantara) dan sebagai pemelihara kebersihan tempat pemujaan.

C. Umbu Tunggu Watu, putra kedua Embu Endalu, ditetapkan sebagai Maramba (raja) yang bertugas menjalankan pemerintahan dan memimpin dalam segala bidang kehidupan, termasuk urusan keagamaan sebagai pengawas, pelindung, pendorong, dan mengadakan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan upacara pemujaan. Dalam menjalankan tugasnya, Umbu Tunggu Watu dibantu oleh:

1. Umbu Dimu dan Umbu Rawa yang bertugas sebagai penolak mara bahaya yang datang dari arah udik dan bahaya penyakit
2. Umbu Rumbu dan Umbu Kapala Rikatu sebagal panglima perang
3. Umbu Tundu Mbiru dan Umbu Kahi Laku sebagai pengawal
4. Titi-Nini sebagai penasihat
5. Umbu Diawa Lodu dan Umbu Diawa Mada sebagai penjaga matahari dan ahli bela diri
6. Umbu Panda dan Umbu Baka sebagai pemberi ampun dan berkat
7. Umbu Ropa dan Umbu Nyali sebagai pemegang kilat
8. Umbu Owa dan Umbu Kalaki sebagai ahil berburu
9. Umbu Watu Kambaru dan Umbu Rengga Mbulu sebagai penjaga laut
19. Umbu Meha Wulu dan Umbu Mandarimu sebagai ahli pertukangan
11. Umbu Lawahu dan Umbu Kambaru Hihu sebagai pengatur dalam hal perkimpoian dan menentukan waktu pertukaran tahun
12. Umbu Katindi dan Umbu Luwa Ratu sebagal ahli pertanian

Marupu berdasarkan jumlah pemuja
Para Marapu dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan jumlah pemujanya, yaitu dalam satu paraingu dan dalam suatu kabihu. Marapu golongan pertama ialah mereka yang termasuk kerabat Marapu Ratu Umbu Endalu, walaupun mereka itu tidak bersemayam dalam satu tempat pemujaan karena masing-masing marapu mempunyal tempat persemayaman sendiri. Marapu-marapu golongan kedua ialah mereka yang merupakan leluhur tiap-tiap kabihu dan bersemayam di uma bokulu dari masing-masing kabihu yang memujanya.

Legenda dalam prosa rakyat (kareuku)
Marapu turun dari langit
Langit, tempat asal semua Marapu, terdiri dari delapan lapis yang disebut Awangu Walu Ndani dan berbentuk seperti hawita panggubulungu (kukusan tertelungkup). Pada lapisan yang pertama bersemayamlah La Hupu Ina – La Hupu Ama, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Di lapisan pertama yang bernama Hupu Makanjudingu – Hupu Makapatangu (ujung yang gelap gulita ) ini, diciptakan seorang pria dan seorang wanita. Kedua orang itu ditempatkanNya di suatu tempat yang bernama Kandau Ndai-Kabundu Tana Mulungu (hutan tua dan bukit binasa) yang merupakan lapisan kedua.

Di lapisan kedua, lahir Walu mini marimba-Walu kimpoii ratu (delapan laki-laki raja dan delapan wanita ratu) dan delapan pasang ata (hamba). Akan tetapi, karena di lapisan kedua itu terlalu sempit dan gelap, maka turunlah mereka bersama La Hupu Ina-La Hupu Ama ke lapisan ketiga yang bernama Tana Tanjuruku- Watu Pahinggangu (tanah yang longsor dan batu yang disangga).

Tanah di lapisan ketiga mudah longsor sehingga harus disangga dengan batu, lagi pula di lapisan ketiga itu masih terlalu gelap. Oleh karena itu mereka turun lagi ke lapisan keempat yang bernama Lia Kanjindingu-Lia Kapatangu (lubang yang gelap gulita). Di tempat ini masih gelap gulita karena berada di dalam lubang. Kemudian turunlah mereka ke lapisan kelima yang bernama Liangu Lira-Ngamba Watu (lubang sempit dan tebing batu). Tempat itu pun masih terlalu sempit dan bertebing, tetapi tebing ini terbuat dari emas. Dari lapisan kelima ini terlihatlah oleh mereka sinar terang yang tembus dari bawah. Kemudian tebing emas itu dipecahkan oleh Umbu Pambalu- Rambu Rubu. Setelah itu turunlah mereka ke lapisan keenam yang bernama Reti Wula-Kulu Mbaya, Reti Ananjara-Pindu Anatau (kubur bulan dan tempurung kuningan, kubur anak kuda dan pintu patung manusia).

Di lapisan keenam, Tara Hau-Lulu Weu menempa emas dari pecahan tebing di lapisan kelima untuk dijadikan dua buah matahari dan dua buah bulan. Setelah jadi, lalu bermusyawarahlah mereka untuk memutuskan hendak di manakah kedua matahari dan kedua bulan itu digantungkan. Kemudian diputuskan bahwa kedua matahari dan kedua bulan itu akan digantungkan di langit lapisan kelima oleh Tara Hau - Lulu Weu dengan mengendarai hanggeji ruu patola-hanggeji mata taki (pelangi). Ternyata dengan adanya dua buah matahari, hawa menjadi terlalu panas, maka yang sebuah diambil lagi, jadi yang tinggal hanya sebuah matahari saja. Beberapa lama kemudian, kedua buah bulan berselisih memperebutkan seorang wanita bernama Rambu Mbana yang berakhir dengan kematian salah satu bulan, sehingga kini hanya satu bulan saja yang ada.

Pada waktu berada di lapisan keenam tersebut, para marapu belum mengetahui adanya siang dan malam. Oleh karena itu, mereka meminta bantuan burung rawa (punai) untuk menentukannya. Akan tetapi, burung rawa menentukan siang selama satu tahun dan malam selama satu tahun pula, sehingga para marapu tidak menyetujui karena terlalu lama. Kemudian mereka minta bantuan burung kuaka (murai). “Kuaka waihangu, kuaka waihangu !” (“Besok siang, besok siang !”), seru burung kuaka setiap pagi. Akhirnya penentuan oleh burung kuaka itu disetujui para marapu.

Di langit lapisan keenam itu pun para marapu tidak tinggal lama. Mereka turun lagi ke lapisan ketujuh yang bernama Tana Mumu – Watu Nggela (tanah berguncang dan batu bergoyang). Akan tetapi kini La Hupu Ina – La Hupu Ama tidak ikut turun, tetap tinggal di lapisan keenam dan ditemani oleh ahu walu ngiu – tawongu walu tiu (anjing delapan ekor dan lebah delapan sarang). Ternyata keadaan di lapisan ketujuh itu pun tidak aman, sehingga para marapu memutuskan untuk turun lagi ke lapisan kedelapan, kecuali Tara Hau – Lulu Weu yang tetap tinggal di lapisan ketujuh.

Di lapisan kedelapan, para marapu tinggal lama dan mereka belajar segala pengetahuan serta nuku – hara yang sampai kini diikuti oleh keturunannya di bumi. Langit pada lapisan kedelapan ini bernama Taluara Mbidahu - Mau Mundi, Bangga Bila-Mau Njati ( halaman rata dan balai bercahaya di bawah naungan pohon jeruk dan pohon jati). Akan tetapi, pada lapisan kedelapan ini para marapu masih merasa tidak aman, karena itu mereka menyuruh Mbongu-Mbaku (kabut dan elang) terbang untuk mencari tempat yang lebih baik bagi kediaman mereka. Pada suatu saat dalam penerbangannya, Mbongu - Mbaku mendapatkan bahwa di bawah lapisan kedelapan ada suatu dataran yang sangat luas. Namun setelah diselidiki ternyata yang terlihat seperti dataran itu hanyalah air semata. Kemudian kembalilah mereka untuk mengabarkan hal tersebut kepada para marapu. Setelah mendengar penjelasan itu, para marapu mengutus Mbongu - Mbaku untuk menghadap La Hupu Ina-La Hupu Ama di lapisan keenam. Di lapisan keenam, Mbongu-Mbaku menceritakan maksud mereka kepada La Hupu Ina – La Hupu Ama yang kemudian memberi mereka berjenis-jenis tanah dan batu agar dihamburkan ke seluruh permukaan air. Sekembalinya dan lapisan keenam dan menyampaikan segala pesan La Hupu Ina- La Hupu Ama tersebut kepada para marapu, kemudian Mbongu-Mbaku menghamburkan tanah dan batu itu ke seluruh permukaan air sehingga terjadilah pulau-pulau besar dan kecil. Sesudah segala pulau besar dan kecil itu ada, maka bermufakatlah para marapu untuk turun ke bumi dengan panongu bahi- panongu atu (tangga besi dan teras kayu). Mereka turun di Malaka-Tana Bara, kemudian mereka berlayar dengan menggunakan karaba rongu-karaba rita (sampan randu dan puli) melalui Hapa Riu-Ndua Riu, Hapa Njawa - Ndua Njawa, Ruhuku Mbali, Ndima- Makaharu, Endi-Ambarai, Enda-Ndau, Haba-Rai Njua dan akhirnya tiba di Haharu Malai- Kataka Lindiwatu (Tana Humba, Pulau Sumba).


13. Masade (suku Sangir, Sulawesi Utara)

Makam Penganging, salah satu penyebar Islam Masade di Kampung Bukide, Kecamatan Nusa Tabukan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)


Islam Tua atau Masade adalah agama yang berkembang di Kepulauan Sangihe. Islam Tua adalah sebutan yang diberikan orang luar kepada penganut kepercayaan ini karena menganggap sebagian ajarannya lebih dekat pada agama Islam, sedangkan para pemeluknya sendiri menyebut agama ini Masade.

Akibat tekanan pemerintahan dan berkembangnya zaman, agama ini mengalami beberapa perubahan nama. Pertama kali agama ini dikenali sebagai agama Masade, kemudian Islam Handung, kemudian Penghayat, dan pada akhirnya agama ini disebut oleh sebagian orang Sangihe sebagai Islam Tua.

Para penganut Islam Tua pun dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perkimpoian dengan cara Islam Tua tidak diakui dan harus melalui pengadilan. Di kolom agama KTP, mereka diwajibkan menulis agama Islam.

Beberapa peneliti menghubungkan agama Islam Tua dengan penyebaran Islam Syiah di Nusantara.

Beberapa tata cara keagamaan yang berbeda dengan agama Islam:

1.Diko’u Soro Acara yang hanya dilakukan tiga hari sebelum Idul Fitri.
2. Sembahyang Ajaran ini mengajarkan salat yang hanya seminggu sekali, yakni hari Jumat. Seorang imam berada di tengah-tengah jemaah yang melingkarinya dan berdoa bersama.
3. Pemilihan Imam Penunjukan seorang Imam yang diberikan kepada seorang yang dirasa mampu dalam pengetahuan agama Masade atau “Islam Tua”.


14. Momolianisme (suku Dayak Kadazandusun, Sabah, Malaysia Timur)

Kaum Bobolian, th. 1921


Momolianisme, Bobolianisme, kepercayaan Kadazandusun adalah salah satu agama asli Nusantara, yakni aliran kepercayaan suku Dayak Kadazandusun di Sabah, Kalimantan, Malaysia. Orang Kadazandusun ialah bumiputera dan meliputi 27 subsuku: Dusun Liwan, Dusun Lotud, Rungus, Tagahas, Tangara dan lainnya yang kebanyakan kini telah beragama Kristen, akan tetapi agama nenek moyang masih bertahan dan penganutnya secara resmi mencakup 0,09% dari penduduk Malaysia

Nama Momolianisme berasal dari kata Bobohizan (logat Tangara Kadazan) alias Bobolian (logat Dusun Liwan). Bobolian merupakan gelar bagi golongan pendeta wanita yang memimpin upacara persembahan. Bobolian pertama dipercayai diajar oleh jelmaan roh Dewi Huminodun, yaitu Unduk Ngadau. Unduk Ngadau mengajarkan jampi-jampi serapah yang diamalkan sehingga sekarang. Dewi itu juga dikatakan sebagai orang yang pertama kali mengajar Bobolian mantra-mantra. Bobolian ini terdiri dari kaum perempuan, karena berdasarkan cerita rakyat, Sang Dewi selama empat tahun memanggil seseorang untuk diajari di tengah gelapnya malam, akan tetapi cuma seorang wanita berani yang tidak gentar menemui roh.

Kaum Bobolian dikhawatirkan tak mampu mengendalikan roh yang kuat. Dalam upacara yang diadakan, ada kalanya pukulan gong mengiringi upacara yang diadakan untuk memanggil Roh-roh tertentu, seperti roh tempurung kepala sewaktu perayaan Magang. Selepas itu, Bobolian akan mengucapkan mantra serta memainkan kombuongo atau peralatan dalam rangka menyatukan dua alam yang berbeda. Setelah dirasuki oleh roh tersebut Bobolian bercakap-cakap dengan seseorang yang merupakan roh yang dipanggilnya. Ada kalanya roh tersebut menginginkan tumbal (ayam kampung, 10 butir telur rebus, nasi kunyit, dan tapai/lihing).

Dewa-Dewi
Agama Momolianisme merupakan agama animisme. Penganutnya menyembah dan percaya kepada alam roh (Susukuon) dengan lima macam makhluk halus: Dewa-Dewi (makhluk halus tertinggi); Rusod (roh semua benda hidup kecuali manusia); Koduduwo (roh manusia, berarti “kamu kedua”); Tombiruo (roh orang yang telah meninggal di akhirat Akinabalu, gunung Kinabalu); dan Rogon (roh jahat).

Dewa Kinoingan (logat lain: Kinorohingan/Kinoringan) disembah sebagai Tuhan (“Minamangun”) dan merupakan dewa pencipta, selain itu ada roh padi yang dikenal sebagai Bambaazon (roh sumber makanan). Istrinya ialah Dewi Suminundu. Sebelum orang menjamah hewan yang ia buru, mereka akan memotongnya sedikit dan meyerahkannya sebagai pengormatan kepada roh yang memberikannya.

Anak perempuan mereka ialah Dewi Huminodun (berarti “yang dikorbankan”) yang telah mengorbankan dirinya kepada roh bumi sebagai balasan untuk hasil tanaman yang lumayan untuk umat manusia. Suatu ketika, orang Kadazandusun mengalami bencana kelaparan karena tidak ada sumber makanan. Sang Kinoingan merasa kasihan terhadap kesengsaraan kaum Kadazandusun lalu kemudian mengorbankan Huminodun dan jasadnya disemadikan di bumi lalu tumbuhlah tumbuhan padi dan dari situlah kaum Kadazandusun mendapat sumber makanan. Dipercayai jelmaan roh Huminodun hidup kembali setelah tujuh hari sebagai Unduk Ngadau (berarti “gadis yang dinobatkan sinar matahari”) dari dalam Keakanan, setelah tujuh hari dia dikorbankan.

Perayaan
Tadau Kaamatan/Pesta Kaamatan dirayakan sepanjang bulan Mei walaupun perayaan ini hanya pada 30 dan 31 Mei) dan merupakan upacara perayaan khusus untuk menghormati Bambaazon yaitu roh padi. Perayaan ini biasanya diadakan setelah selesai panen padi.

Puncak perayaan Kaamatan adalah ajang pemilihan Ratu Kecantikan atau Unduk Ngadau yang diadakan untuk mengenang roh Dewi Huminodun dan pengorbanannya. Kata Unduk Ngadau digunakan untuk melambangkan kecantikan dan keluhuran budi.

Mantra-mantra
Antara mantranya (rinait atau inaait) adalah seperti berikut:

doi kada kati gangang arai
kotunguan ko do pais
otimbaar ko do sadap
odoi kososodop zou do mogiginipi
kosou ku do nokotimung kito do pamakanan do karamaian diti
Nga ino noh maan zou do mamagavau do paai diti
Do ounsikou nodi ka'ka do bambaazon
Do kosuni vagu do toun tiso do kaanu no vagu kotimung kito
om ogumu nodi do pamakanan tokou mantad do paai

Artinya:
aku megambil pisau ini
untuk di jadikan persembahan
bagi menyucikan makan ini(padi)
semalam aku bermimpi
aku berjumpa dengan engkau(huminodun)dan kita telah makan bersama dalam keramaian itu
sebab itu lah aku memuja semangat padi ini
supaya bersukacitalah semangat padi(bambaazon)
dan tumbuh lagi padi-padi pada tahun hadapan supaya dapatlah kita berkumpul lagi
dan banyaklah lagi makanan kita yang tercipta dari padi

Asal-usul kaum Kadazandusun
Melalui legenda, “Nunuk Ragang” merupakan tempat tinggal pertama suku Kadazandusun (daerah Ranau, Bagian Pantai Barat, Sabah). Di mana nenek moyang mereka telah hidup di hutan secara kolektif dengan mendiami rumah panjang yang mengumpulkan beberapa keluarga (seperti sedikit suku Kadazandusun yang masih hidup bersama antara 150-200 orang) dan belum mengenal padi.

Pada tahun 2004 gerakan “Kadazan-Dusun Cultural Association (KDCA)” telah membangun sebuah tempat peringatan di lokasi kampung pertama menurut legenda.

15. Naurus (suku Manusela, Nuaulu, Maluku)

Suku Nuaulu


Naurus adalah salah satu agama asli Nusantara yang masih hidup, yakni aliran kepercayaan suku-suku Manusela serta Nuaulu di Pulau Seram, Maluku, Indonesia. Agama Naurus boleh mengamati sebagai sebuah aliran sinkretis agama Hindu di Indonesia, karena keberadaan unsur-unsur Hindu dan sebutan umatnya diri selaku orang Hindu. Unsur-unsur Hinduis dimasukkan ke dalam kepercayaan asli Seram dari Kerajaan Hindu Butuan di Pulau Mindanao pada zaman dulu (kini Filipina). Dewa-Dewi agama Naurus kemungkinan mencakupi nama-nama dari wiracarita Ramayana: Rabie (Rama), Hainuwele (Hanuman), dan naga. Akan tetapi Rabie serta Hainuwele ("Gadis Kelapa") lebih baik adalah figur-figur mitos pribumi. Nama Tuhan tertinggi adalah Allahatala.



16. Parmalim (suku Batak, teristimewa suku Batak Toba, Sumatra Utara)


Warga Parmalim di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Balige, Tobasa, yang merupakan pusat perkampungan warga Parmalim Hutatinggi. (GATRA/Jones/far)


]Parmalim atau par ugamo malim adalah warga penganut atau penghayat sistem religius ("agama") Batak asli "ugamo malim", yang tersebar di daerah sekitar Danau Toba & Pulau Samosir di Sumatra Utara. Meyakini Tuhan, yaitu Mulajadi Nabolon. Ugamo malim ini telah lebih dahulu dianut oleh masyarakat Batak jauh sebelum masuknya agama-agama Islam, Kristen, dan Katolik. Berupa bentuk religiusitas spiritual yang melekat dalam ritual kehidupan masyarakatnya, tanpa label "agama".

Munculnya proses revitalisai Ugamo Malim, di masa kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII tidak terlepas dari konteks sosial, ekonomi, dan politik yang sedang bergejolak serta masuknya pengaruh agama dari luar pada saat itu yang kemudian menjadikan pelembagaan kembali agama ini sebagai respon atas fenomena tersebut.

Ugamo Malim adalah agama asli lokal di kalangan masyarakat Batak. Umumnya, penganut Ugamo Malim adalah masyarakat Batak yang berdomisili di Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, Tapanuli Utara, juga di sebagian daerah lain seperti Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Pakpak Bharat, & Kabupaten Tapanuli Tengah. Dewasa ini Parmalim juga menyebar di berbagai daerah di Indonesia sejalan dengan penyebaran warga Parmalim itu sendiri merantau dari daerah asalnya.

Pengertian
Ugamo Malim adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap Pencipta alam semesta Tuhan Yang Maha Esa, Mulajadi Nabolon, yang merupakan kelanjutan dari perkembangan simultan sistem religius ke-Tuhanan yang dianut suku Batak sejak dahulu kala. Orang Batak memahami dan memaknai religiusitas dengan memperlakukan alam sebagai tumpuan hidup dan merupakan anugrah Mulajadi Nabolon yang harus dijaga, baik sebagai sumber kehidupan (keberadaan dirinya) maupun sebagai sumber penghidupan (keberlangsungan dan kepemilikan hidupnya). Spiritualitas memelihara alam ciptaaan Mulajadi Nabolon, dipadukan dengan rasa syukur dan berserah diri pada kuasa Sang Pencipta dipelihara dengan rirual-ritual yang diselaraskan dengan kronologi KEHIDUPAN dan PENGHIDUPAN. Beberapa ritual tersebut dilaksanakan dalam bentuk upacara persembahan kepada sang Pencipta. Aktivitas mempersiapkan perlengkapan upacara dan perlengkapan “Pelean” (persembahan), dilakukan dengan sangat hati-hati menurut tata laksana dan aturan ketentuan yang telah menjadi “Patik” dalam upacara terkait. Kegiatan menata persiapan upacara dan terutama menata “Pelean” persembahan dinamakan “mang-UGAMO-hon”. Selaras dengan itu orang-orang yang senantiasa melaksanakan ritual persembahan, mendapat julukan “par-UGAMO” atau “parugama” dalam bahasa Batak lama. Sebutan “parugamo” itu kembali populer di Toba, ketika pengaruh “religiusitas – asing” sudah marak di tanah Batak, menjadi entitas dan identitas orang yang eksis dengan sistem keyakinan religiusitas asli Batak. Ugamo artinya keberaturan, penataan dengan benar. Orang sering juga menyebut atau menuliskannya Agama Malim.

Dalam bahasa Batak, orang yang menganut dan mengikuti serta menghayati ajaran Ugamo Malim disebut par-Ugamo Malim, dan disingkatkan menjadi Parmalim. Namun dalam sebutan populer saat ini, kata Parmalim sering digunakan (pihak eksternal) juga untuk lembaga kepercayaan UGAMO MALIM itu sendiri. Sekumpulan orang dalam melaksanakan satu kegiatan dan satu tujuan dalam bahasa Batak disebut Punguan. Punguan Parmalim dapat diartikan sebagai perkumpulan penganut Ugamo Malim dan wadah maupun sarana tempat perkumpulan Parmalim melakukan ritual kepercayaanya. Punguan Parmalim (inganan parpunguan) sebagai identitas tempat ibadah dan lembaga perkumpulan parmalim. Lazim digunakan sejak awal berdirinya Bale Pasogit Partonggoan di Hutatinggi Laguboti, yang diamanahkan Raja Sisingamangaraja – Raja Nasiakbagi – Patuan Raja Malim kepada muridnya Raja Mulia Naipospos.

Ringkasnya dapat diterangkan: Ugamo Malim adalah ajararan kepercayaan, Parmalim adalah orang penghayatnya, Bale Pasogit Parmalim adalah Pusat peribadatan Ugamo Malim. Sedangkan Punguan Parmalim memiliki dua maksud yang sangat berbeda yaitu; 1). Tempat perhimpunan/perkumpulan beribadah, unit warga parmalim bernaung dalam satu tempat peribadatan/ Bale Parsantian yang dipimpin seorang Ulu Punguan. Ulu Punguan menjalankan tugas dan fungsi yang didelegasikan Ihutan Parmalim dari Bale Pasogit Parmalim. Ulu Punguan mewakili Ihutan Parmalim memimpin peribadatan dalam lingkup Punguan Parmalim yang dipimpinnya. Dan 2) Organisasi Punguan Parmalim sebagai wadah penghayat Ugamo Malim (parmalim) untuk urusan non religiusitas (internal), dan dalam hubungan administratif Ugamo Malim dengan pemerintah dan masyarakat (eksternal).

Sejarahnya
Semasa eksistensi Dinasti Sisingamangaraja, Bale Pasogit Pamujian ada di Bakkara, tetapi selama masa perang saat “penjajah” membumi-hanguskan Bakkara juga termasuk Bale Pasogit Sisingamangaraja ikut di bakar. Tatkala pengaruh asing melanda tanah Batak, menimbulkan berbagai guncangan sporadis pada tatanan kehidupan masyarakatnya sebagai akibat penjajahan Belanda dan aktivitas penyebaran agama kristen, Raja Sisingamangaraja mengamanatkan kepada muridnya untuk mendirikan Bale Pasogit kelak, sebagai wadah tempat “Pamujian Nabolon” menghimpun kelak orang-orang yang setia dengan keyakinan terhadap Mulajadi Nabolon. (Amanat tersebut kembali diingatkan setelah peristiwa 17 Juni 1907, oleh sosok yang menamakan diri Nasiakbagi seraya menunjuk tempat “kedudukan” dan gambar rupa Bale Pasogit yang akan didirikan kelak oleh Raja Mulia.)

Terkait amanah mendirikan Bale Pasogit, Raja Mulia melapor dan menyampaikan maksudnya kepada pemerintah Belanda melalui Kantor Demang di Balige sekitar tahun 1913. Pemerintah Belanda mengadakan penyelidikan atas kegiatan penyebaran ajaran Ugamo Malim selama beberapa tahun, barulah tahun 1921 Belanda mengizinkan Raja Mulia mendirikan Bale Pasogit di Hutatinggi Laguboti melalui Surat Contoleur van Toba Nomor 1494/13 tanggal 25 Juni 1921. Bermula dari sini, Ugamo Malim secara terbuka melaksanakan upacara ritual, pengembangan ajaran secara terpusat di Hutatinggi dibawah pimpinan Raja Mulia Naipospos.

Kepemimpinan
Raja Si Singamangaraja sebagai Malim dan Imam bagi orang Batak, mengajarkan dan menegakkan titah menyembah dan memuja Sang Pencipta, Tuhan Mulajadi Nabolon, dalam ajarannya, ia menamakan diri Raja Nasiakbagi-Patuan Raja Malim. Hal ini seturut dengan pahit getirnya hidup beliau selama menegakkan Ugamo Malim sebagai perintah Tuhan. Dan agar kelak pengikutnya mengenang dan meneladani pengorbanan dan penderitaan menjalankan Ugamo Malim.Raja Mulia Naipospos merupakan salah satu muridnya.

Raja Mulia Naipospos
Raja Nasiakbagi menunjuk dan mengamanahkan kepada muridnya Raja Mulia Naipospos untuk memimpin pengikutnya dan menyebarkan Ugamo Malim disebut Ihutan Bolon Par-Malim disebut juga Induk bolon (Pemimpin Besar), setelah diangkat dan ditabalkan oleh sang malim Raja Nasiakbagi sebagai generasi I pemimpin Parmalim.

Raja Ungkap Naipospos
Selanjutanya putera tunggal dari Raja Mulia Naipospos yang bernama Raja Ungkap Naipospos, meneruskan kepemimpinan pada tahun 1956 sebagai Ihutan Parmalim generasi ke II. Pada masa sebelumnya, tahun 1939 beliau telah mendirikan Parmalim School bertempat di Bale Pasogit Parmalim dan mendapat dukungan penuh dari Raja Mulia. Di sekolah ini anak-anak Parmalim dari semua pelosok bisa sekolah, agar tidak ketinggalan dengan sekolah zending Kristen. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, sekolah ini ditutup karena anak-anak Parmalim sudah diterima pada sekolah pemerintah di tempat tinggal masing-masing.Selama kepemimpinannya, beliau melakukan terobosan dalam pola pembinaan pengajaran Parmalim. Beliau menulis ajaran dan menyebarkannya kepada seluruh Parmalim. Juga membuat ajaran-ajaran tertulis yang disimpan secara rapi, yang sebelumnya hanya bersifat lisan. Pengembangan bangunan bagunan fisik pusat peribadatan parmalim di Hutatinggi dilakukan masa ini, Bale Pasogit diperbaharui, mendirikan Bale Parpitaan dan Bale Pangaminan serta Parhobasan, melengkapi fasilitas pendukung Bale Pasogit. Juga beliau memprakarsai merenovasi kembali Balepasogit Sisingamangaraja dan Batu Siungkapungkapon di Bakkara tahun 1974 (Situs Istana Raja Sisingamangaraja) Pengorganisasian Parmailim secara administratif pun dimulai di masa ini, yang dilaksanakan beliau sendiri. Menjelang akhir hayat Raja Ungkap Naipospos, Ugamo Malim Hutatinggi-Laguboti, terdaftar pada inventarisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dilaksanakan pemerintah (Depdikbud) pada tahun 1980 yaitu keputusan Depdikbud RI No. I.136/F.3/N.1.1/1980. Raja Ungkap wafat pada hari Senin tanggal 16 Februari 1981.

Raja Marnangkok Naipospos
Setelah Raja Ungkap wafat, kepemimpinannya diteruskan putera sulungnya Raja Marnangkok Naipospos sebagai Ihutan Parmalim generasi ketiga. Raja Marnangkok Naipospos yang lahir pada tanggal 18 Juli 1939, meneruskan pekerjaan Ihutan Parmalim. Melakukan pemeliharaan bangunan fisik bangunan yang sudah ada dengan melibatkan swadaya umat Parmalim, Dalam upaya meningkatkan pembinaan Parmalim, Raja Marnangkok mengumpulkan dan membukukan ajaran dan bimbingan tertulis yang pernah dibuat Raja Ungkap, kemudian membukukan dan mencetaknya untuk disebarluaskan di kalangan parmalim. Raja Marnangkok Naipospos wafat pada tahun 2016

Raja Monang Naipospos
Sejak tahun 2017 kepemimpinan dilanjutkan Raja Monang Naipospos, hingga saat ini. Pada masa beliau kerja sama Parmalim dengan pemerintah semakin ditingkatkan, termasuk dengan Direktorat PKT Dirjen Kebudayaan Kemendikbud,sebagai lembaga pemerintah dalam pembinaan Penghayat kepercayaan di Indonesia. Pada masa ini beliau mengupayakan pembinaan revitalisasi nilai spiritualitas Ugamo Malim dalam perilaku hidup warga parmalim pengikutnya. Beliau juga sangat konsen dalam aktivitas lintas sektoral setingkat nasional mengoptimalkan perjuangan pemenuhan hak-hak sipil Penghayat Kepercayaan di Indonesia bekerja sama dengan berbagai pihak. Di internal Parmalim, Raja Monang Naipospos memperkuat tatanan administrasi dan struktur Keorganisasian dalam Parmalim. Memamfaatkan teknologi informasi digital dalam kegiatan pembinaan warganya pun dilakunnya.

Ajarannya
Ugamo Malim memiliki ajaran sujud dan berserah diri pada Tuhan, Patik berupa ajaran tentang Perintah dan Larangan sesuai kehendak Tuhan, Poda Hamalimon sebagai anutan berpikir bertindak dan berperilaku terhadap sesama dan alam, serta "Tona" sebagai amanah Tuhan yang disampaikan kepada Manusia.

Parmalim melaksanakan ritual peribadatan rutin setiap hari Sabtu (Marari Sabtu) sebagai wujud rasa syukur, pemujaan dan memuliakan Mulajadi Nabolon sang pencipta langit dan bumi. Selain Maraisabtu Parmalim juga melaksanakan berbagai aturan peribadatan Ugamo Malim antara lain "Pameleon Bolon" sebagai ibadah ritual syukuran kehidupan yang dilaksanakan pada bulan ke-Lima (sipaha lima), ritual pengampunan dosa "Mangan Napaet" pada bulan ke-12 dan mensyukuri memperingati lahirnya utuan Tuhan kepada manusia yang dirayakan pada hari kedua dan ketiga bulan ke-satu "sipaha sada" sesuai kalender Batak.


17. Pemena (suku Batak Karo, Sumatra Utara)

Rumah adat Karo dengan beberapa geriten, Kabanjahe, Sumatra Utara.

Pemena adalah kepercayaan ataupun agama suku masyarakat suku Karo. Pemena, dalam Bahasa Karo, memiliki arti pertama atau yang awal. Pemena memiliki makna kepercayaan yang pertama, yang dipegang dan dipahami oleh orang Karo.

Sejarah
Suku Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito). Percampuran ini disebut umang. Hal ini terungkap dalam legenda Raja Aji Nembah yang menikah dengan putri umang. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupan umang di beberapa tempat. Pada abad pertama setelah masehi, terjadi migrasi orang India Selatan ke Indonesia termasuk ke Sumatra. Mereka beragama Hindu. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta, Pallawa, dan ajaran dalam agama Hindu. Pada abad kelima, terjadi pula gelombang migrasi india yang memperkenalkan agama Buddha dan tulisan Nagari. Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno.

Orang-orang dari India Selatan yang datang ke Tanah Karo memperkenalkan ajaran Pemena. Pemena berarti pertama, yang artinya kepercayaan awal orang Karo. Mereka juga mengajarkan beberapa aksara, yang kemudian menjadi aksara Karo. Akhirnya, orang-orang Karo mulai mengenal agama ini dan menganutnya.

Ajaran-ajaran
Dibata
Masyarakat Karo percaya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang dapat dilihat maupun yang tak dapat dilihat, adalah merupakan ciptaan Dibata.[5] Ada tiga pemahaman dibata menurut orang Karo, yakni:

Dibata Datas. Dibata Datas disebut juga Guru Batara, yang memiliki kekuasaan dunia atas (angkasa).

Dibata Tengah. Dibata Tengah disebut juga Tuhan Padukah ni Aji, Dibata inilah yang menguasai dan memerintah di bagian dunia kita ini.
Dibata Teruh. Dibata Teruh juga disebut Tuhan Banua Koling. Dibata inilah yang memerintah di bumi bagian bawah bumi.

Selain itu, ada dua unsur kekuatan yang diyakini, yaitu sinar mataniari (sinar matahari) dan si Beru Dayang. Sinar Mataniari adalah simbol cahaya dan penerangan. Ia berada saat matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara ketiga Dibata. Siberu dayang adalah seorang perempuan yang tinggal di bulan. Si beru dayang sering kelihatan dalam pelangi. Ia bertugas membuat dunia tengah tetap kuat dan tidak digoncangkan angin topan.

Manusia
Manusia dalam kepercayaan masyarakat Karo terdiri dari:

1. Tendi (jiwa).
2. Begu (Roh orang yang sudah meninggal, Hantu).
3. Kula (Tubuh).

Ketika seseorang meninggal, maka tendi akan hilang dan tubuhnya akan hancur. Namun, begu tetap ada. Tendi dengan tubuh merupakan kesatuan yang utuh. Ketika tendi berpisah dengan tubuh, maka seseorang akan sakit. Pengobatan dilakukan dengan mengadakan pemanggilan tendi. Jika tendi tidak kembali, maka yang terjadi adalah kematian.

Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari alam semesta. Setiap manusia dianggap sebagai semesta kecil. Manusia merupakan kesatuan dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai `keseimbangan dalam manusia'.

Daya pikiran manusia dianggap bertanggung jawab ke luar guna menjaga keseimbangan dalam dengan keseimbangan luar. Bentuk pemahaman ini menggambarkan manusia sebagai semesta besar. Manusia merupakan kesatuan dari dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar. Hal ini menunjukkan suatu pandangan bahwa keseimbangan dalam semesta kecil tidak akan sempurna tanpa tercapainya suatu keseimbangan "alam semesta secara luas. Oleh karena itu, banyak orang Karo melakukan acara-acara adat dengan tujuan mencapai keseimbangan pada diri manusia.


https://id.m.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara#CITEREFPopov2017

https://tirto.id/agama-agama-yang-dipinggirkan-bnP3

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Adat_Musi

https://manado.antaranews.com/berita/42551/penghayat-adat-musi-pertahankan-tradisi-dalam-perubahan

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Aluk_Todolo

https://1001indonesia.net/mengenal-aluk-todolo-agama-leluhur-suku-toraja/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Arat_Sabulungan

https://padangkita.com/kisah-penggulungan-arat-sabulungan-agama-asli-mentawai/

https://pesonaindonesia.kompas.com/read/2019/04/09/205921227/mengenal-tato-mentawai-seni-rajah-tertua-di-dunia

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Fan%C3%B6mba_adu

http://phdi.or.id/artikel/nias-tradisi-pemujaan-leluhur-yang-hilang

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Bali

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Jawa

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Buda_Tengger

https://buddhazine.com/umat-buddha-suku-tengger-waisakan-di-kota-surabaya/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jingi_Tiu

https://riaupos.jawapos.com/feature/10/01/2020/219970/upacara-hole-dan-kepercayaan-kepada-leluhur-di-sabu.html

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kaharingan

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kejawen

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Marapu

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161203225324-26-177177/merapah-identitas-marapu-di-tanah-leluhur-sumba

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Islam_Tua

https://m.liputan6.com/regional/read/3118686/menelusuri-keberadaan-islam-masade-di-kepulauan-sangihe

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Momolianisme

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Naurus

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pemena