Sabtu, 27 Februari 2021
Stagflasi 1970-an : Ketika Keynesian Dibuat Tak Berkutik
1960-an dibuka dengan kemakmuran era 1950-an yang membawa optimisme di negara-negara industri maju, terutama Amerika Serikat. Teori ekonomi Keynesian yang menjadi salah satu mazhab utama teori ekonomi modern menjadi primadona di Barat sejak tiga dekade sebelumnya hingga saat itu. Kemudian, 1970-an datang dan membongkar kelemahan sistem ini. Bagaimanakah kisahnya?
Klik gambar untuk menuju sumber gambar
Keynesian yang Manjur atasi Depresi Besar
John Maynard Keynes.
Pada 1930-an, hampir seluruh dunia dilanda Depresi Besar. Mayoritas negara di dunia melakukan proteksionisme dalam perdagangan dan pemerintah di seluruh dunia mengerem belanjanya.
Pada 1930-an, ekonom termashyur Britania Raya, John Maynard Keynes, menawarkan solusi bagi negara-negara industri maju di Eropa dan Amerika Utara, khususnya negerinya sendiri yang kelimpungan menghadapi kemerosotan ekonomi akibat Depresi Besar. Ketimbang melakukan penghematan besar-besaran terhadap belanja pemerintah dan membiarkan “tangan tak terlihat” bekerja menyeimbangkan pasar seperti yang sudah-sudah, pemerintahlah yang semestinya bekerja mencapai keseimbangan tersebut. Belanja pemerintah harus digenjot, walaupun pemerintah harus menanggung tekor alias defisit, agar masyarakat dan pelaku bisnis dapat memiliki insentif untuk melakukan aktivitas kembali yang ujungnya membuat perekonomian dapat berputar kembali. Apabila perekonomian mulai menunjukkan gejala overheating, pemerintah perlu menaikkan tarif pajak sebagai cara mendinginkannya.
Keynesian menjadi salah satu teori utama makroekonomi modern.
Tiga prinsip utama Keynesian adalah permintaan agregat dipengaruhi oleh berbagai keputusan ekonomi yang dibuat pemerintah maupun swasta, harga dan terlebih upah merespon perubahan tingkat permintaan dan penawaran dengan lambat, dan perubahan dalam permintaan agregat, diantisipasi maupun tidak, akan berpengaruh besar dalam jangka pendek terhadap produksi dan lapangan kerja, bukan harga.
Resep ini pun diikuti oleh pemerintahan Franklin Delano Roosevelt di Amerika Serikat. Pemerintahannya, yang dinilai terlalu besar dibandingkan yang sudah-sudah, memberikan banyak bantuan kepada berbagai lini ekonomi masyarakat, mulai dari pertanian, industri, bahkan sektor hiburan. Pemerintah dan The Fed memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil akan menciptakan lapangan kerja semaksimal mungkin.
Resep ini juga beriringan dengan tren negara-negara Barat meninggalkan Standar Emas pada 1930-an. Standar yang membatasi jumlah uang beredar sesuai jumlah cadangan emas yang dimiliki pemerintah/bank sentral dianggap menghambat pemulihan karena membatasi kemampuan untuk menstimulasi perekonomian lewat pelonggaran kebijakan moneter.
Periode booming ekonomi Pasca-Perang Dunia II menjadi saat berjayanya Keynesian. Didukung oleh stabilitas sistem moneter global lewat Sistem Bretton Woods, ekonomi AS, Kanada, negara-negara Eropa Barat, dan Jepang mengalami pertumbuhan tinggi. Dolar AS menjadi mata uang pilihan banyak negara untuk melakukan kegiatan ekspor-impor dan menyimpan cadangan devisa. Pemerintah AS menjamin banyak untuk setiap 35 dolar AS yang dipegang negara-negara ini dapat ditukarkan dengan 1 troy ons (31,1034 gram) emas yang terdapat di brankas Federal Reserve.
Namun, sistem Bretton Woods tidak kompatibel dengan kebijakan moneter domestik banyak negara yang ingin memutar cepat roda perekonomiannya dengan kebijakan moneter longgar.
Awal Stagflasi
Iain MacLeod, pencetus istilah "stagflasi".
Stagflasi adalah penggabungan kata stagnasi dan inflasi. Ini merujuk pada keadaan saat inflasi dan stagnasi ekonomi terjadi secara bersamaan. Normalnya, tingkat inflasi akan rendah saat terjadi resesi ekonomi, bahkan dapat terjadi deflasi. Ini dikarenakan tingkat upah dan pengeluaran rumah tangga maupun bisnis menurun. Ini pun membuat tingkat permintaan agregat menurun sehingga pasar menjadi kelebihan penawaran dan harga harus diturunkan untuk mencapai keseimbangan baru. Pada keadaan ini, tingkat inflasi tinggi diiringi dengan tingkat pengangguran yang juga tinggi.
Istilah stagflasi dicetuskan untuk kali pertama oleh Iain Macleod, politisi Partai Konservatif Britania Raya, di tengah-tengah perdebatan di House of Commons pada 17 November 1965. Macleod mengatakan :
Quote:
We now have the worst of both worlds —not just inflation on the one side or stagnation on the other, but both of them together. We have a sort of "stagflation" situation and history in modern terms is indeed being made...
Kita saat ini mengalami yang terburuk dari keduanya - bukan hanya inflasi di satu sisi atau stagnasi di sisi lain, tetapi keduanya secara bersamaan. Kita sedang mengalami situasi "stagflasi" dan sejarah dalam pengertian modern tentu saja sedang tercipta...
Ketika itu, Britania Raya dilanda krisis neraca pembayaran. Perdana Menteri Harold Wilson bahkan terpaksa mendevaluasi mata uang pound sterling sebesar 14,67 persen pada 18 November 1967 untuk mengurangi beban defisit neraca pembayaran yang pada 1967 mencapai 294 juta pound sterling. Devaluasi pound sterling menyebabkan inflasi meningkat.
Pada pertengahan dan akhir 1960-an, Pemerintah AS di bawah Presiden Lyndon Baines Johnson mengeluarkan belanja yang besar untuk membiayai operasi militer di Vietnam Selatan dan program Great Society. Terjadilah hal yang dianggap tidak mungkin terjadi sebelumnya : Tingkat inflasi dan tingkat
pengangguran yang tinggi secara bersamaan. Biasanya, kenaikan tingkat inflasi akan memicu penurunan angka pengangguran. Ini dikarenakan kenaikan tingkat inflasi menjadi indikator meningkatnya aktivitas perekonomian yang berarti meningkatnya permintaan akan tenaga kerja.
Keynesian tidak memiliki resep untuk merespon keadaan seperti ini.
Kejutan 1970-an
Pemandangan SPBU yang kosong karena kehabisan BBM menjadi hal yang jamak di AS pada musim dingin 1973, masa embargo OPEC.
Stagflasi 1970-an didorong oleh tiga kejutan sepanjang dekade tersebut.
Kejutan pertama terjadi pada 15 Agustus 1971. Sebagai dampak dari terus bertumbuhnya perdagangan internasional dan investasi AS ke luar, arus keluar dolar AS ke luar negeri semakin deras karena dolar AS menjadi mata uang pilihan utama banyak negara untuk berdagang. Apalagi AS mulai mengalami defisit neraca perdagangan dan peningkatan pengeluaran militer pada 1960-an.
Semakin banyak dolar yang dipegang pihak luar, semakin banyak emas yang akan diklaim dari The Fed. Jumlah dolar yang dapat mengklaim ini ternyata telah melebihi jumlah emas yang dimiliki AS.
Presiden Richard Nixon mencabut pertukaran bebas dolar AS dan emas. Dengan diputusnya pilar utama Bretton Woods ini, runtuhlah sistem tersebut, meskipun ada upaya singkat untuk memulihkannya, dan uang kertas yang ada menjadi fiat seutuhnya. Dengan tidak adanya lagi batasan legal dalam jumlah uang yang dicetak, nilai dolar pun turun dengan cepat. Sejak 1971, daya beli dolar telah tergerus hampir 85 persen (inflasi kumulatif AS sejak 1971 mencapai 545,88 persen).
Kejutan kedua terjadi pada Oktober 1973. Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) memberlakukan embargo minyak mentah ke negara-negara yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur. Harga minyak mentah melonjak 300 persen dari 2,9 dolar AS per barel pada Oktober 1973 menjadi 11,65 dolar AS per barel pada Januari 1974. Di negara-negara Barat, salah satunya AS, terjadi kelangkaan bahan bakar minyak.
Kenaikan harga minyak akibat pemotongan suplai dari produsen Timur Tengah tidak dapat diimbangi dengan peningkatan suplai dari produsen AS karena kekurangan tempat untuk menampung kelebihan produksi.
Meskipun embargo dicabut pada Maret 1974, harga minyak tetap tinggi. Harga minyak bahkan kembali melonjak setelah kejutan ketiga, Revolusi Iran 1978-79, menurunkan produksi minyak Iran (7 persen produksi global saat itu) dan memicu ketakutan dan spekulasi. Harga minyak yang semula 13 dolar AS per barel pada pertengahan 1979 meningkat menjadi 34 dolar AS pada pertengahan 1980.
Di AS, periode inflasi tinggi berlangsung antara 1965 dan 1982. Pada 1964, tingkat inflasi AS hanya sekitar 1 persen. Kombinasi dari pengeluaran federal besar-besaran, 2 kali kejutan harga minyak, dan diputusnya Sistem Bretton Woods membuat inflasi mulai merayap naik pada pertengahan 1960-an. Antara 1973 dan 1981, inflasi AS selalu di atas 6 persen dengan pengecualian pada 1976 (4,86 persen). Periode ini baru berakhir setelah Gubernur The Fed yang ditunjuk Presiden Jimmy Carter, Paul Volcker, menaikkan tingkat suku bunga acuan Fed Funds Rate hingga 19 persen meskipun sebagai akibatnya terjadi resesi pada 1981-82.
AS mengalami resesi pada 1973-75 dan 1981-82. Tingkat pengangguran mencapai 9 persen pada Mei 1975.
Pasar saham AS juga mengalami fase "roller coaster" pada 1970-an. Pada 1973, indeks Dow Jones mencapai angka 1.051,70 setelah menembus 1.000 setahun sebelumnya. Namun, pada penutupan perdagangan 1979, Dow Jones berada di angka 838,74.
Rentetan kegagalan kebijakan pada 1970-an memberi jalan bagi sistem ekonomi neoliberalisme yang berkutat pada supply-side economics dan pendekatan monetaris ketimbang fiskal dalam kebijakan ekonomi. Milton Friedman menjadi salah satu penggagasnya dan Presiden Ronald Reagan di AS dan Perdana Menteri Margareth Thatcher di Britania Raya menjadi motor utamanya.
Pada saat yang sama, harga minyak pada 1985-86 anjlok. Harga minyak sempat mencapai 10 dolar AS per barel pada 1986, setelah bertahan di angka 30 dolar AS per barel hingga 1985. Negara Barat sudah meningkatkan produksi mandirinya, permintaan global menurun, dan persediaan global melimpah.
Kegagalan Keynesian merespon stagflasi 1970-an memunculkan "New Keynesian" pada 1980-an yang memberikan modifikasi dari teori awal.
Keynesian kembali terangkat pada masa krisis 2007-08 dan 2020, diindikasikan dengan stimulus besar-besaran terhadap perekonomian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar