Ekonomi kita kuartal II tahun ini memgalami pertumbuhan minus 5,32%. Jika kuartal III ekomomi kita minus lagi, artinya kita masuk ke alam resesi. Saat itu tidak mudah membangkitkan ekomomi. Sebab kalau dua kuartal ekonomi minus, dipastikan sudah banyak usaha bergelimpangan. Terutama bagi perusahaan yang nafasnya pendek.
Jika usaha mereka sudah berhenti, biaya membangkitkannya lagi akan jauh lebih besar. Set-up ulang usaha. Menata pasar yang hilang. Memompa semangat yang loyo. Semua itu butuh biaya yang sangat besar dibandingkan jika usaha masih jalan, tetapi tinggal menggenjot saja.
Namun masalahnya perusahaan yang mau menggenjot produksi kepentok karena permintaan pasar yang masih sepi. Mereka akhirnya berproduksi jauh di bawah skala ekonomis. Ujung-ujungnya rugi. Mana ada perusahaan yang sanggup menanggung kerugian dalam jangka terlalu panjang.
Ini sesuai dengan data persepsi publik terhadap ekonomi kita, hasil survei SMRC. Saat PSBB dilonggarkan Juni 2020, terlihat persepsi masyarakat membaik. Hal itu disebabkan karena mereka bisa beraktivitas lagi.
Tapi menurun lagi pada Agustus, karena rupanya mereka tidak bisa berproduksi seperti sebelumnya. Serapan pasar masih bermasalah. Ini artinya ekspansi usaha akan direm. Seperti juga keinginan belanja dikurangi. Jika ada dana lebih, fokus diarahkan untuk disimpan.
Data perbankan juga menunjukan hal serupa. Tabungan agak meningkat. Tapi serapan kredit mengendur. Serapan kredit yang mengendur, artinya ekspansi usaha melempem. Artinya lagi ekonomi gak bergerak. Artinya pertumbuhan defisit. Dan gerbang resesi terbuka lebar.
Makanya pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan daya beli rakyat. Semua energi dikerahkan. Yang paling mudah dan simpel dengan memberi bantuan sosial.
Kelas miskin dijejali dengan beragam bantuan. Kini disasar lagi kelas menengah bawah. Karyawan dengan gaji di bawah Rp5 juta akan mendapat bantuan Rp600 ribu perbulan selama empat bulan.
Padahal Indonesia sedang mempersiapkan diri menyambut bonus demografi. Angkatan muda tumbuh lebih banyak. Kebutuhan pada dunia kerja melonjak. Sementara kondisi sedang begini. PHK terjadi. Beban pengangguran terhampar.
Jika kondisi normal saja dengan komposisi penduduk yang gemuk pada kelompok masyarakat usia produktif, Indonesia butuh percepatan untuk menyerap tenaga kerja. Apalagi dalam kondisi seperti ini. Saat gerbang resesi mulai terbuka. Diperlukan langkah besar untuk menanggulanginya.
Jika kita perhatikan komposisi skala usaha di Indonesia, hampir 80% tenaga kerja diserap oleh usaha-usaha kecil dan skala mikro. Artinya jika pemerintah berkepentingan membuka lapangan kerja selebar-lebarnya, fokus harus diarahkan untuk para pengusaha kecil ini. Merekalah tulang punggung ekonomi Indonesia sekarang.
Saat ini sudah banyak insentif fiskal dan kemudahan perpajakan yang diiberikan pemerintah kepada pengusaha kecil dan mikro. Kredit Usaha Rakyat juga ditingkatkan jumlahnya. Bunganya diturunkan dari 7% menjadi hanya 6% saja. Tapi apakah cukup?
Kayaknya belum. Memberikan insentif dan kredit memang membantu usaha yang sudah jalan. Namun yang lebih dibutuhkan adalah mendorong orang yang belum berusaha untuk mudah membuka usaha.
Disinilah dibutuhkan kebijakan menyeluruh. Utamanya dengan melakukan deregulasi perizinan sektor UMKM ini.
RUU Cipta Kerja memotret kondisi ini dengan cukup baik. RUU ini dibentuk untuk memutus rantai birokrasi yang sebelumnya ruwet. Artinya keberadaan RUU ini otomatis menghapus aturan-aturan lain yang sebelumnya menjadi penghalang orang membangun usahanya.
Ketika UMKM diberikan kemudahan mendirikan usaha, ada beberapa hal positif yang akan terbangun. Pertama penyerapan tenaga kerja akan makin maksimal. Karena itu tadi, komposisi pekerja Indonesia sebagian besar berada di sektor UMKM.
Kedua, otomatis juga akan menambah jumlah pengusaha. Sebab kemudahan mendirikan usaha akan membuat pengusaha-pengusaha baru merasa tidak dipersulit. Kita tahu, di Indonesia ini, jumlah pengusahanya hanya 3%. Bandingkan dengan Singapura yang mencapai 31% dari penduduk, atau Thailand 17%, dan Malaysia 13%. Indonesia butuh ditumbuhkan lapisan pengusaha baru untuk menjawab kebutuhan ke depan.
Jika suasana tidak krisis, dorongan untuk menumbuhkan usaha baru juga mutlak diperlukan. Karena bonus demografi membuat kebutuhan lapangan pekerjaan meningkat drastis. Apalagi jika suasananya kayak gini, dihantam pendemi.
RUU Cipta Kerja itu salah satu jawaban paling rasional. Jika tidak secepatnya dieksekusi, kita akan memasuki jurang ekonomi yang bahaya. Pengangguran akan meningkatkan sistabilitas sosial dan politik. Belum lagi ditambah para pengacau yang menjajakan agama. Makin ruwet bangsa kita.
Orang yang perutnya kenyang, bisa diajak mikir rasional. Masyarakat yang lapar bawaanya mau ngamuk melulu.
Nah, para penentang RUU Cipta Kerja itu tahu, bagaimana dampaknya jika aturan tersebut gagal. Indonesia beresiko menjadi negara rawan sosial. Kondisi itulah yang mereka tunggu.
Sebab burung bangkai hanya bisa berpesta, ketika ada mayat yang tergeletak.
RUU Cipta Kerja ini membuat ekonomi kita tetap hidup. Agar tidak menjadi santapan burung bangkai.
[Eko Kuntadhi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar