Uni Eropa resmi mengumumkan ekonominya mengalami krisis. Di Asia, Singapura dan Korea Selatan sudah lebih dulu mengibarkan bendera krisis. Dua kuartal berturut-turut ekonomi mereka minus.
Negara-negara itu memang sektor perdagangannya tinggi. Ekspor-impor cukup dominan. Jadi ketika permintaan dunia lesu, otomatis ekonomi mereka kena imbas parah. Pertumbuhan langsung minus.
Berbeda dengan Indonesia yang sebagian ekonominya ditopang belanja rumah tangga. Aktivitas domestik lebih dominan. Meski demikian, pada kuartal kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi kita juga sudah minus sih. Angkanya tidak separah Singapura atau Korsel.
Karena itu juga salah satu jalan untuk menyelamatkan ekonomi adalah dengan mempertahankan daya beli. Rakyat dikasih bantuan tunai. Subsidi listrik. Sembako. Penjaminan kredit bagi usaha padat karya. Dan sebagainya.
Kita membaca kekecewaan Presiden ketika mengetahui serapan anggaran masih rendah. Sebab serapan anggaran itu justru diharapkan menjadi penahan krisis. Meski belanja pemerintah porsinya hanya 9% dari PDB, tapi saat seperti ini akan sangat berpengaruh pada perputaran roda ekonomi.
Seluruh pemerintahan di dunia sedang mengasah otak untuk keluar dari hisapan lumpur hidup krisis ini. Covid19 belum ada vaksinya. Ekonomi juga butuh bergerak. Dua fokus yang tidak mudah bagi semua pemerintahan di dunia.
Makanya Presiden Jokowi berkali-kaki mengebrak-gebrak bawahannya. Para menteri dibombardir dengan tuntutan kerja lebih keras. Sebab kita sedang menghadapi tsunami dasyat. Dunia sedang demam. Kerja harus lebih serius.
Mestinya menteri-menteri juga menyadari skala persoalan di hadapannya. Mereka semua bertanggungjawab pada anggaran kementeriannya. Jangan sampai mandeg. Kalau mandeg sama saja tidak membantu melancarkan sirkulasi darah di tubuh perekonomian. Apalagi kalau mandegnya karena keribetan birokrasi.
Bukan hanya di level kementerian. Suasana bathin bahwa di depan muka kita ada krisis, juga harus dipahami semua kepala daerah. Sebentar lagi mungkin pajak daerah akan jauh menyusut. Karena dunia usaha yang stagnan. Ini akan berakibat lambannya gerak pemerintahan.
Artinya, kepala daerah juga harus putar otak agar wilayah mereka gak kolaps. Masa penghasilan daerah cuma bisa bayar gaji doang. Lantas buat masyarakatnya mana?
Untuk jangka pendek, program bantuan memang bisa menahan gempuran krisis. Tapi gak bisa diharapkan punya daya tahan lebih panjang. Langkah jangka panjangnya juga harus diperhatikan. Agar ekononi bergerak. Agar pajak maksimal lagi. Agar di daerah pembangunan semarak lagi.
Artinya dunia usaha harus didorong lebih semarak. Caranya, mereka jangan diribetin. Jangan dibebankan dengan kerepotan izin dan urusan tetek bengek. Seluruh energi pemerintah dan orang yang sadar kondisi harus bahu-membahu menciptakan suasana bisnis yang jauh lebih mudah.
Jadi ada dua faktor penting. Pertama adalah orangnya. Kualitas pengambil kebijakannya. Mau menteri, kek. Mau kepala daerah, kek. Sepanjang di tangannya ada tanggungjawab anggaran dan melaksanakan aturan, mereka harus punya skala prioritas.
Jika menteri gak kapabel dalam suasana seperti ini, ya reshuffle. Jika kepala daerah, masih petantang petenteng dalam suasana kayak gini, tegur keras.
Yang kedua, yang juga sanga ppenting adalah deregulasi perizinan usaha. Agar para pengusaha makin mudah menjalankan bisnisnya. Agar investor makin tertarik masuk ke Indonesia. Agar ekonomi bergerak lagi.
Sepertinya RUU Ciptakerja adalah salah satu jawaban untuk menghindari Indonesia terjerembab krisis. Tapi, kenapa masih ada yang menentang?
Yups. Para penentang RUU Ciptakerja, sepertinya lebih suka kita porak poranda diterkam tsunami ekonomi. Mereka gak peduli dengan masa depan bangsa ini. Yang mereka pikirkan, bagaimana caranya mengacau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar