TAHUN 74 saya masih kelas 5 SD. Tahun itu ada demonstrasi mahasiswa yang terkenal dengan nama peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974).
Karena gue tinggal di belakang Karet Semanggi, saya dan teman-teman senang bisa berlari-lari saat demo di Jalan Sudirman yang sepi. Kalo sesekali ada panser atau truk ABŔI yang lewat, kita bersorak-sorak gak paham dengan apa yang sedang terjadi.
Kepada abang saya yang nomer satu saya nanya, ini rame-rame ada apa? Dia jawab, ini puncak kekesalan mahasiswa terhadap pembangunan Taman Mini. Pembangunan yang katanya menghambur-hamburkan uang di saat rakyat dalam kesulitan.
Setelah kerusuhan Malari mereda, ternyata pembangunan TMII jalan terus. Malah makin dikebut. Poyek impian ibu Tien Soeharto pun akhirnya terwujud.
Pada 20 April 1975, TMII diresmikan. Ternyata tahun itu kakak gue yang nomer lima diterima kerja sebagai pegawai pemda DKI dan ditempatkan di Taman Mini. Tepatnya di Anjungan Paviliun DKI.
Karena abang saya bekerja di situ, saya sering diajak main ke sana. Saking seringnya, rasanya saya sudah menjelajah ke semua pelosok taman kontroversial itu. Saya sudah mencoba semua wahana dengan gratis.
Di sanalah saya juga pernah dikenalin sama teman-teman abang saya para pelenong Betawi pengisi setia panggung seperti Bokir, Nasir, sampai Mandra yang belum terkenal.
Pengalaman paling berkesan saat naik kereta gantung. Dari ketinggian saya bisa menikmati dan mengagumi Taman Mini yang oleh banyak orang begitu dibenci. Tempat rekreasi yang dibangun oleh negara tapi boleh dikelola oleh Yayasan Harapan Kita milik keluarga cendana.
Sampai suatu hari, saya diajak abang gue yang tugasnya setiap bulan ngambil gaji untuk karyawan Paviliun DKI.
Saya sih seneng-seneng aja diajak jalan-jalan. Sekalian pingin tahu kantor pengelola Taman Mini, Yayasan Harapan Kita.
Ternyata saya salah. Abang saya ngambil gajinya bukan di kantor Yayasan Harapan Kita, tapi di kantor Pemprov DKI. Kata abang gue, "Kami kan bekerja di bawah pemerintah provinsi DKI. Jadi gajinya ya dari DKI. Bukan dari Yayasan Harapan Kita."
Saya yang sudah duduk di SMP cuma manggut-manggut bloon. Gak paham hubungan antara Taman Mini yang dibangun pake duit negara tapi di kelola keluarga cendana.
Tapi gak saya pikirin sampai kemudian gue lupa karena abang saya mengundurkan diri dari PNS. Alasannya gak kuat terpaksa terlibat banyak proyek gak halalnya. Daripada tersiksa makan duit haram, dia lalu memilih berniaga tas Alphina. Pilihan yang membuatnya lebih makmur ketimbang PNS.
Setelah lama lupa, misteri gaji itu baru terjawab 44 tahun kemudian, setelah pemerintah di bawah Presiden Jokowi mengambil alih hak pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita berdasarkan Perpres Nomor 19 Tahun 2021. Karena memang punya negara.
Dengan perpres ini diharapkan TMII nantinya dapat berkontribusi kepada keuangan negara. Lho?
Gile bener. Artinya selama 44 tahun TMII pengelolaannya pakai duit negara dengan segala kerugiannya, tapi keuntungannya masuk kas yayasan keluarga cendana. Cakeeep.
Bayangkan. Nikmat mana lagi yang mereka masih bisa dustakan pada rakyat Indonesia.
Oh iya. Nama abangku Bustaman. Dulu kalo lagi muter-muter naik Bus Taman Mini, suka saya ledekin. "Serasa naik mobil pribadi. Pake nama sendiri. Bustaman."
Sayang abang saya sudah lama almarhum. Kalo enggak, saya ajak dia napak tilas ke sana sambil nunggu taman lain seperti Taman Bunga Nusantara dan Taman Buah Mekarsari diambil juga oleh negara.
Ramadhan Syukur
Foto: TMII kalo dilihat dari ketinggian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar