Sejak awal tahun ini, kemunculan virus yang lebih produktif menyelinap ke India. Pada bulan Januari, virus mutasi baru bernama B.1.617 ditemukan dalam sampel yang dikumpulkan di Maharashtra, wilayah India yang paling parah terkena dampak pandemi. Negara terlambat hadir, bahkan Narendra Modi menahan anggaran besar untuk pembelian vaksin. Hingga akhirnya virus dengan kekuatan berlipat ganda itu bergentayangan ke seluruh India. Tapi angka-angka sering kali gagal meyakinkan orang. Mereka berfikir, apa yang tak dialami sendiri adalah sesuatu yang antah berantah. Virus gelombang kedua lalu menyerang India: ratusan ribu terpapar dalam sehari.
India sejak awal berusaha menghalau Covid-19 melalui "lockdown" yang membatasi pergerakan orang - efek yang melumpuhkan sosial dan ekonomi, mematikan kebutuhan paling utama manusia dalam bertahan hidup. Tapi virus itu terlalu sewenang-wenang. Ternyata wabah mengeram terlalu lama, dan orang India tidak sanggup menahan diri untuk segera berhamburan keluar rumah. Bayangkan hidup dalam negara dengan kurang lebih seukuran 4 kali pulau Kalimantan, dihuni hampir 1.4 milyar manusia, dipaksa diam di dalam rumah adalah kematian perlahan. Tapi India bukan hanya persoalan alienasi manusia, ia juga soal ketidakpedulian sosial dan politik.
India pernah mengalami kematian hebat dalam pandemi tahun 1918. Pujangga Suryakant Tripathi menulis perih tentang ini dalam buku Kulli Bhat: "Segera kembali, istrimu sakit parah", pesan telegram diterima Nirala dalam rantau. Dia bergegas naik kereta ke kampung halamannya di Uttar Pradesh. Ketika Nirala mencapai tepi Sungai Gangga, dia mengamati bahwa "Sungai Gangga membengkak dengan mayat". Di rumah, istrinya sudah meninggal. Menyusul seluruh anggota keluarganya hingga tak tersisa. Sebuah laporan dari pemerintahan kolonial saat itu tertulis: "semua sungai di seluruh India tersumbat dengan mayat karena kekurangan kayu bakar untuk kremasi".
Pandemi adalah pelajaran bagi kita. Soal vaksin, aturan yang mengekang, mencurigai satu sama lain - ketika kematian semakin akrab bukan waktunya untuk berdebat. Setiap nyawa harus dijaga, dan setiap mulut harus disumpal dengan masker.
#lawanintoleransi
#antiradikalisme
.
.
.
Islah Bahrawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar