Dari balik pintu kamar, Ade Irma dan Yanti (kakaknya) mengintip. Sementara di dalam kamar yang tampak remang, seorang lelaki tampan sedang membaca sepucuk surat. Ade dan Yanti merasa geli menyaksikan betapa seriusnya lelaki muda tersebut. Tiba-tiba muncul ide mereka untuk menggodanya. Yanti lalu menghidupkan lampu kamar.
Quote:
Bagi agan dan sista yang dulu semasa kecilnya mendapat kewajiban menonton film Pengkhianatan G30S/PKI, pasti beberapa ada yang masih ingat percakapan diatas, walaupun kebanyakan dari agan dan sista pasti sudah ada yang lupa dengan adegan percakapan tersebut.
Percakapan yang TS tulis diatas terdapat dalam film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer yang dirilis tahun 1984. Ade dan Yanti merupakan putri dari Jenderal Abdul Haris Nasution, sementara Letnan Satu Pierre Tendean adalah ajudan Jenderal Nasution.
Lewat adegan membaca surat dari sang kekasih itulah sosok Pierre Tendean diperkenalkan dalam film. Dalam iringan suara biola Idris Sardi, adegan itu menggambarkan citra Pierre Tendean sebagai pria yang tengah dilanda rindu. Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa sebenarnya saat kejadian G30S/PKI, Pierre Tendean sudah memiliki pujaan hati yang bernama Rukmini.
Rukmini dan Pierre Tendean.
Ilustrasi: Repro buku biografi resmi Pierre Tendean "Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi"
Punya wajah yang tampan khas Eropa membuat pria yang menjadi salah satu lulusan terbaik dari Atekad (Akademi Teknik Angkatan Darat) waktu itu banyak dilirik oleh para wanita. Namun, Pierre Tendean tidak menghiraukan para wanita yang coba mendekatinya waktu itu. Ia lebih memilih fokus terhadap tugasnya sebagai seorang tentara, meski memiliki wajah yang tampan, ia tidak menggunakan kelebihan fisiknya untuk menjadi seorang 'playboy'.
Pierre Tendean memiliki darah Eropa dari ibunya yang bernama Maria Elizabeth Cornet, seorang wanita Belanda yang berdarah Prancis. Sementara ayahnya Dr. A.L Tendean adalah seorang dokter yang berdarah Minahasa. Meski banyak wanita yang mendekati Pierre, namun semuanya tidak cocok di hati. Pierre baru merasa ada yang cocok di hati tatkala ia berkenalan dengan gadis bernama Rukmini.
Sewaktu bertugas sebagai ajudan Jenderal Nasution, Pierre memang sedang menjalin asmara dengan seorang wanita asal Medan keturunan Jawa. Nurindah Rukmini Chamim, demikian nama lengkap sang gadis pujaan hati. Mimin adalah nama panggilan sayang Pierre kepada Rukmini. Sementara Rukmini memanggil Pierre dengan sebutan “Mas Pierre”.
Potret Rukmini.
Ilusttasi: nasional.okezone.com
Pierre dan Rukmini pertama kali bertemu di Medan pada tahun 1963. Saat itu, Pierre baru saja menamatkan pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) dan bertugas dalam satuan Batalion Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.
Sementara Rukmini saat itu masih duduk di bangku SMA. Mereka terpaut beda usia yang lumayan jauh. Pierre Tendean lebih tua delapan tahun dari Rukmini. Perkenalan keduanya merupakan hasil comblangan dua rekan Pierre, Satrijo Wibowo dan Setijono Hadi.
Rukmini merupakan putri sulung dari Raden Chamim Rijo Siswopranoto, seorang pengusaha di Sumatra Utara. Rukmini memiliki paras yang ayu, seperti umumnya gadis Jawa. Keluarganya penganut Islam yang taat, keluarga besar Rukmini juga termasuk dalam Barisan Muhammadiyah Kota Medan dan Yogyakarta.
Awalnya Pierre sempat menolak dikenalkan dengan Rukmini, alasannya karena ia ingin fokus di batalyon tempatnya bertugas. Namun, Setijono dan Satrijo juga tidak menyerah begitu saja membujuk rekannya tersebut. Mereka memaksa Pierre, hingga akhirnya Pierre yang jengkel atas ajakan teman-temannya tersebut kemudian menurut dan mengiyakan untuk bertemu dengan Rukmini.
Setelah bertemu sekaligus berkenalan dengan Rukmini, ternyata gadis tersebut pada akhirnya berhasil membuat Pierre jatuh hati. Di mata Pierre, Rukmini adalah sosok yang sederhana dan lembut. Pierre cukup beruntung waktu itu, tak disangka rumah sang pujaan hati ternyata tidak berada jauh dari tempatnya bertugas.
Ilustrasi: mazini_giusepe/Twitter
Setelah menjalin hubungan asmara, Pierre pun rajin berkunjung ke rumah keluarga Chamim di Jalan Sekip 4B, Medan. Lokasinya tidak jauh dari asrama Pierre di Sei Sikambing di kawasan Markas Kodam II/Bukit Barisan. Pada awal kunjungan ke rumah Rukmini, Pierre masih di kawal kedua sahabatnya. Namun, pada kunjungan-kunjungan berikutnya ia memberanikan diri pergi sendiri, untuk mengenal lebih dalam sang pujaan hati.
Pierre sebelumnya tidak pernah terpikir untuk mencari jodoh saat pergi bertugas ke Medan. Namun, pada akhirnya ia menyadari bahwa sosok Mimin telah mengisi kekosongan hatinya, yang selama ini selalu diisi oleh jiwa patriotisme.
Ada beberapa kepribadian yang mirip antara Rukmini dan Pierre, salah satunya adalah tegas, meski dibungkus oleh sifat yang lemah lembut. Kesederhanaan Mimin begitu menonjol, dan itu menjadi daya tariknya. Rukmini bukan tipe perempuan yang senang berfoya-foya meski keluarganya terbilang cukup terpandang saat itu.
Ade Irma dan Pierre Tendean.
Ilustrasi: kompas.com
Sewaktu di Medan, Pierre kerap kali menjadi penerjemah bahasa saat ada kunjungan dari tamu-tamu asing yang kebetulan merapat ke pelabuhan Belawan. Pierre sendiri menguasai berbagai bahasa kala itu, mulai dari bahasa Prancis, Inggris, Belanda sampai Jerman. Karena kepandaian serta kemampuannya sebagai komandan pleton waktu itu, Pierre kemudian dipanggil untuk menempuh pendidikan intelijen TNI AD di Bogor, Jawa Barat.
Pendidikan yang dilakukan selama 3 bulan ia selesaikan dengan nilai sempurna. Berkat prestasi ini Pierre kemudian dipercaya untuk melaksanakan berbagai tugas intelijen. Pierre kemudian ditugaskan dalam Operasi Dwikora dan dikirim untuk mengadakan penyusupan ke wilayah Malaysia.
Ilustrasi persiapan Operasi Dwikora.
Foto: Arsip Nasional RI
Pada Maret 1964 Pierre Tendean juga dipercaya sebagai Komandan Basis Y di Pasir Panjang, Karimun. Saat itu disana memang disiapkan pasukan untuk misi pengintaian sekaligus sabotase untuk menyusup ke Malaysia melalui Johor. Pierre Tendean waktu itu memimpin tim kedua yang akan diberangkatkan ke Malaysia.
Karena wajah bule dan kemampuan menguasai berbagai bahasa, ia kerap kali menyamar sebagai turis. Dalam setahun selama Operasi Dwikora, Pierre sampai tiga kali ditugaskan menyusup ke daratan Malaysia. Sering pergi jauh dari rumah, tak membuat Pierre lupa terhadap keluarga dan orang terdekatnya. Sepulang dari Operasi Dwikora misalnya, Pierre Tendean juga tak lupa membelikan buah tangan untuk keluarganya, termasuk juga Rukmini.
Saat bertugas dengan durasi cukup lama, sudah pasti Pierre selalu disergap rasa rindu terhadap sang kekasih. Karena itu tatkala mendapat waktu libur maupun cuti, selain pulang ke rumah orang tuanya di Semarang, Pierre juga menyempatkan pergi ke Medan untuk bertemu Rukmini.
Pierre Tendean berfoto bersama keluarga.
Ilustrasi: mazini_giusepe/Twitter
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Pada bulan April 1965 setelah Operasi Dwikora, Pierre yang sudah naik pangkat menjadi Letnan Satu terpilih sebagai ajudan Jenderal A.H. Nasution yang menjabat sebagai Menteri Keamanan dan Pertahanan. Salah satu alasan terpilihnya Pierre karena sosoknya bisa dipercaya. Selain itu reputasi dan prestasinya selama Operasi Dwikora juga jadi pertimbangan.
Selain karena kemampuannya yang sudah terbukti, terpilihnya Pierre juga tak lepas dari peran sang ibu, Nyonya Cornet. Ibunda Pierre sangat menyayangi anak lelaki satu-satunya tersebut, karena tugas yang diemban cukup berat, beliau tidak ingin melihat putranya bertugas di garis depan lagi. Nyonya Cornet lantas mengirim surat permohonan kepada Jenderal A.H. Nasution untuk memindahkan tugas sang anak, kebetulan Nyonya Cornet mengenal baik mertua Pak Nas.
Nyonya Cornet juga mengirim surat kepada Mayjen Dendi Kadarsan yang mengenal Pierre ketika menjadi taruna. Permohonan tersebut akhirnya dikabulkan, lalu Pierre terpilih sebagai ajudan Pak Nas tanggal 15 April 1965. Orang tua Pierre pun lega, anaknya tidak lagi berada di tengah medan pertempuran. Saat menjadi ajudan Pak Nas, Pierre sangat akrab dengan kedua anak beliau, Yanti Nasution dan Ade Irma Nasution. Hubungan mereka sudah seperti keponakan dan paman.
Ilustrasi: mazini_giusepe/Twitter
Suatu hari saat mendampingi Jenderal Nasution bertugas ke Medan, pada tanggal 31 Juli 1965, Pierre menyempatkan diri menemui keluarga Rukmini untuk melamar. Lamaran pun diterima, kemudian hari pernikahan disepakati bulan November tahun 1965. Meski berbeda keyakinan, hal itu tidak menghalangi Pierre untuk mengajak Rukmini melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Saat kemabli ke Jakarta, untuk menambah biaya pernikahan, ia setiap malam mengambil kerja sampingan sebagai sopir traktor untuk meratakan tanah pembangunan proyek Monumen Nasional (Monas). Pierre yang saat itu masih berpangkat Letnan Satu bahkan sudah mencari lokasi tempat tinggal di kawasan Menteng untuk ia huni bersama Rukmini saat sudah menikah nanti.
Pembangunan Monas zaman dulu.
Ilustrasi: mazini_giusepe/Twitter
CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI
Meski Rukmini dan Pierre saling mencintai dan merasa cocok, namun kedua sejoli ini pada akhirnya memang tidak berjodoh. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Pierre ditangkap oleh pasukan Tjakrabirawa yang sebenarnya hendak menculik Jenderal Nasution. Pasukan tersebut kemudian membawa Pierre ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Menurut penuturan salah satu anggota Tjakrabirawa, disana Pierre ditembak sebanyak 4 kali.
Ada beberapa versi terkait ditangkapnya Pierre oleh Tjakrabirawa, versi pertama seperti yang kita lihat dalam film. Di hadapan pasukan Tjakrabirawa, saat ditanya "Dimana Nasution ?" Pierre lalu menjawab "Saya Nasution". Namun, versi kedua yang diceritakan oleh beberapa pasukan Tjakrabirawa dan ajudan yang bertugas saat itu, mereka tidak mendengar Pierre berkata demikian. Karena diburu waktu, para pasukan yang ditugaskan menculik Pak Nas (Jenderal Nasution) langsung membawa Pierre ke Lubang Buaya. Entah versi mana yang benar ?
Berita kepergian Piere tentu saja membuat sedih hati Rukmini. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Rukmini untuk memulihkan perasaannya. Di hari perayaan Kesaktian Pancasila tahun 1967, Rukmini pun datang untuk mengenang sosok kekasih tercinta yang dipisahkan oleh maut. Pada tahun 1972, Rukmini akhirnya menemukan jodohnya kembali. Bukan seorang tentara, melainkan seorang karyawan bank.
Ilustrasi: mazini_giusepe/Twitter
Dikutip dari buku Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi suntingan Abie Besman. Rukmini dikaruniai 3 anak serta 5 cucu dan hidup berbahagia sampai akhir hayat sang suami di tahun 2014. Saat ditemui tim penulis biografi Pierre Tendean, Rukmini sendiri enggan membahas lebih dalam tentang hubungan cintanya dengan Pierre.
Menurut Noviriny Drivina, salah satu tim penulis biografi resmi Pierre Tendean, Rukmini tertutup bila ditanya soal Pierre. Tahun 2018, tim penulis menyambangi Rukmini yang tentu saja sudah sepuh dan tinggal bersama tiga cucunya di Bekasi. Rukmini hanya berkenan mengkonfirmasi apa yang didapat oleh tim penulis.
Menurut Rukmini, hubungannya dengan Pierre adalah privasi mereka berdua. Mengenai sifat Pierre yang berkesan maupun pertemuan dengan Pierre, Rukmini tidak mau menjawab. Hingga beliau meninggal pada tanggal 27 Juli 2019, Rukmini tetap menyimpan rapat kenangan terhadap sosok Pierre Andries Tendean.
Untuk menghormati Pierre Tendean yang gugur dalam tragedi G30S/PKI, TNI AD memberikan kenaikan pangkat satu tingkat menjadi Kapten Czi. Bersama enam perwira lainnya, Pierre Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pierre Tendean dan para Jenderal korban G30S kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.
Ilustrasi: mazini_giusepe/Twitter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar