Saya mendukung langkah ini: Pertamina jalan terus saja. Dua investor asing memang sudah mundur --untuk dua proyek kilang besar. Tapi bukan berarti proyek harus macet.
Saya salut. Proyek kilang besar Pertamina ternyata tidak dihentikan. Khususnya yang di Balikpapan dan Cilacap. Dan juga Tuban. Hanya yang Bontang saya belum tahu.
Dari mana dananya?
Bukankah tiga proyek raksasa itu perlu --total-- sekitar Rp 450 triliun?
Soal dana seperti itu sudah bukan masalah teknis. Itu sudah menyangkut taktik. Di level taktik ini yang berperan adalah ilmu entrepreneurship. Bukan lagi level manajerial skill.
Ups... Bukan ilmu entrepreneurship, tapi kemampuan entrepreneurship. Ada perbedaan antara ilmu, skill, dan kemampuan.
Dari tiga level itu entrepreneurship adalah kasta tertingginya.
Jadi, dari mana pendanaannya?
Bukankah kilang Balikpapan saja perlu USD 6,9 miliar? Cilacap USD 8,5 miliar? Dan Tuban USD 15,7 miliar?
Ini sudah menyangkut bukan dari mana dananya. Tapi bagaimana taktik pendanaannya.
Tanyalah pada pengusaha real estate. Yang punya proyek 100 triliun. Apakah pengusaha itu punya uang Rp 100 triliun?
Paling ia baru punya izin lokasi. Ditambah uang untuk membebaskan secuil tanah. Yakni tanah yang di posisi-posisi kunci saja. Sekaligus untuk mengunci tanah di belakangnya.
Untuk membebaskan tanah selebihnya? Untuk membuat infrastruktur? Untuk membangun rumah atau apartemennya?
Ia belum punya uang!
Kok sudah dimulai? Sudah pula dijajakan kepada konsumen?
Itulah kasta entrepreneur.
Tidak hanya di bidang real estate. Banyak bidang lainnya. Yang seperti itu dilakukan hampir di semua bidang.
Kali ini termasuk Pertamina. Tiga proyek kilang itu tetap diteruskan. Dengan kemampuan dana internal yang ada.
Pertamina pasti tidak punya uang nganggur sebanyak itu. Tapi Pertamina punya nama besar.
Lewat nama besar Pertamina itu, kontraktor, dan pemasok masih percaya. Tagihan pasti akan dibayar. Meski kadang harus kapan-kapan.
Kontraktor dan pemasok masih akan rebutan. Inilah nafas proyek Pertamina yang sesungguhnya.
Proyek tetap bisa jalan dengan dana pihak ketiga seperti itu. Kontraktor dan pemasok adalah investor sebenarnya proyek seperti itu.
Pun proyek seperti real estate. Yang saya jadikan contoh di atas.
Long live kontraktor!
Hidup supplier!
Terutama kontraktor yang mau dibayar kapan-kapan.
Jadi, dari mana dana tiga proyek Pertamina itu?
Sebagian ya dari kontraktor dan pemasok itu.
Sebagian lagi kan dari Anda. Lewat pembelian BBM yang harganya lebih mahal dari seharusnya itu.
Pertamina punya dana internal. Yang sebagian adalah pendapat harian jualan BBM itu.
Saya tentu mendukung taktik pendanaan seperti itu. Agar proyek tetap jalan. Berarti Pertamina sedang menjalankan kemampuan entrepreneurial-nya.
Mestinya bisa sukses. Nama besar Pertamina masih bisa dipertaruhkan. Ada jaminan produknya terjual habis. Dengan cepat. Tidak ada yang meragukannya --berarti ada jaminan pendapatan pasti.
Harga jual pun bisa dibuat yang seperti apa maunya. Baru di sini kelas Pertamina berbeda dengan entrepreneur murni.
Pertamina kalah kelas dengan properti tadi --yang harga jual rumahnya mengikuti harga pasar.
Dan banyak lagi.
Yang saya dukung adalah taktik entrepreneurship-nya di tiga proyek itu. Bukan soal harga jual yang dibuat kemahalan itu.
Saya tahu di Pertamina ada dirut yang gigih. Di dalam struktur barunya pun ada direktur khusus untuk mega proyek.
Dan di jajaran komisaris ada Budi Sadikin. Yang melekat dengan jabatan wakil menteri BUMN. Yang punya track record sukses menangani bisnis besar yang sulit.
Budi juga sudah menunjukkan bukti. Yang bersama menteri Ignasius Jonan sudah menunjukkan reputasi hebat: berhasil menerobos Freeport yang bersejarah itu.
Mungkin juga keberadaan Komut BTP ikut berperan di pemikiran entrepreneurial itu.
Saya merasa cocok dengan jalan pikiran entrepreneur seperti itu. Toh itu hanya taktik. Pada saatnya investor akan datang. Setelah Pertamina mengerjakan proyek itu sampai tahap tertentu.
Terlalu lama kalau tiga proyek itu sepenuhnya hanya mengandalkan dana pahlawan seperti kontraktor, pemasok, dan konsumen.
Dalam perjalanan taktik seperti itu akan ada yang disebut ”tahap mistis”. Di tahap itulah akan terjadi --saya sebut saja-- ”ledakan momentum”.
Sampai di momentum seperti itu, jalan yang semula penuh lubang bisa kaget: seperti tiba-tiba menemukan jalan tol di depan.
Semua pengusaha sukses pernah mengalami tahap ”ledakan momentum” seperti itu.
Saya tidak tahu apakah ”ledakan momentum” yang saya maksud pernah dibahas secara ilmiah di forum akademis.
Di tiga proyek tersebut, Pertamina juga akan menemukan ”ledakan momentum” itu.
Kapan?
Perkiraan saya, mungkin setelah proyek berjalan 30 persen. Atau 40 persen. Atau ketika baru berjalan 20 persen. Tidak ada ilmu pastinya.
Berarti Pertamina hanya perlu dana 10 persennya. Yang 20 persennya lagi uangnya kontraktor/supplier. Yang diutang.
Ketika tahap ”ledakan momentum” itu terjadi, saat itulah investor tiba-tiba datang sendiri. Pun tanpa diundang. Bahkan bisa rebutan. Dengan tawaran yang lebih baik dari investor lama.
Justru Pertamina yang kelak akan bisa punya nilai tawar yang lebih baik. Pertamina bisa bilang ke investor sudah keluar uang 30 persen --meski yang 20 persen sebenarnya uang kontraktor.
Banyak misteri di dunia entrepreneur. Campur aduk di situ. Ada misteri malaikat. Ada misteri jin. Tentu ada juga setannya.
Jumat, 19 Juni 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar