Rabu, 10 Juni 2020

BELAJAR JADI TIDAK MUNAFIK DARI ALI SADIKIN....


"Saya juga tidak meminta izin DPRD, sebab saya berkeyakinan, kalau waktu itu saya minta izin DPRD, izin saya peroleh, lembaga itu akan dicaci masyarakat".... 
ALI SADIKIN saat setelah mengeluarkan kebijakan legalisasi Judi dan pembukaan lokalisasi WTS Kramat Tunggak di Jakarta
Hehehehe ….

Masih bicara orang “ galak “ .. sekali lagi buat saya Ahok masih termasuk “santun” di banding sang “Legenda “ Bang Ali 🤣..… di tabok sama di maki maki “goblok” adalah hal wajar di Pemda DKI kala itu… masa Cuma di teriak di mass media aja.. “ kasar “ … cengeng amat hehehehehe…. 

Dalam buku Ali Sadikin (Visi dan Perjuangan Guru Bangsa), pria yang akrab disapa Bang Ali itu, disebutkan sebagai orang yang sangat membenci stafnya yang suka banyak bicara, suka membuat laporan yang ngolor (Asal bapak Senang), suka menjilat atasan, dan tega mengkhianati teman sendiri.

Kata bang Ali, sikap menjilat dan memberi laporan bohong, sama artinya dengan menggali lubang maut bagi atasan. Makanya, banyak pegawai yang mengungkapkan bahwa kalau berhadapan dengan Bang Ali berkatalah jujur dan bertanggung jawab.

Tak percaya? Selama Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI Jakarta, dia memberhentikan sekira 300 pegawai yang terbukti menyelewengkan atau menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya. Tapi tindakan ini sengaja dilakuan secara diam-diam. Tujuannya agar tidak meresahkan masyarakat.
Mata dan telinga Ali Sadikin sangat peka terhadap laporan dari masyarakat terkait ketidakberesan PNS di lingkungan pemprov DKI Jakarta. Hampir setiap hari Bang Ali membaca surat kabar. Yang dia tuju halaman berita terkait kinerja pemerintahannya.
Pernah, suatu ketika, Ali Sadikin membaca berita mengenai ketidakberesan bawahannya. Diapun mengambil spidol merah, mencoret berita di koran itu dan berteriak. "Goblok, sontoloyo, panggil orangnya," kata Ali Sadikin ketika itu.

Disiplin dan kerasnya Bang Ali memimpin Ibu Kota bukan tanpa sebab. Kata pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, 7 Juli 1927 itu, untuk memimpin Jakarta diperlukan orang yang keras. "Dalam artian lurus dan selalu berpihak kepada rakyat," kata Bang Ali.

Soal kerasnya Bang Ali memimpin bawahannya pun diakui olehnya. "Sifat saya yang paling jelek, cepat naik darah dan meledak-ledak. Sedangkan perasaan saya biasanya sangat halus dan peka, terhadap ketidakadilan. Pada dasarnya, saya tidak akan marah tanpa alasan. Kalau saya marah pun saya jelaskan kenapa saya marah, sehingga jarang yang dendam pada saya. Dendam itu tidak boleh," ujarnya.
Diakui pula oleh putra Bang Ali, Boy Benardi Sadikin. Boy mengatakan, ayahnya tak kompromi soal kedisiplinan. “Bapak emang orangnya begitu, keras ya keras,” kata Boy kepada Okezone, beberapa waktu lalu.
Boy mengisahkan, setiap pagi, semua koran selalu ada di meja Bang Ali. “Yang dia baca yang mengenai warga Jakarta, keluhan, jadi enggak cuma yang bagus-bagusnya doang dikumpulin, yang jelek juga. Dijadikan kliping. Sampai enam bulan juga tetap dikumpulin,” ujar Boy.

Nah, dari Kliping Koran itulah Bang Ali langsung menghubungi setiap kepala dinas bila ada masalah.

“Jangan coba ganggu kalau dia lagi baca. Saya pernah. Kan mejanya ngampar (berantakan) tuh koran-koran. Nah saya iseng, baca-baca. Terus saya taruh saja. Eh pas dia balik, marah besar dia. ‘Sampai mana tadi gue baca?’ Katanya. Dia paling ngamuk tuh kalau begitu,” kata Boy.

April 1966, Ali Sadikin ditunjuk presiden Soekarno sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia mengalahkan empat orang kandidat lainnya yang telah dikantongi Soekarno. Presiden RI pertama itu menginginkan sosok Gubernur yang memiliki sifat "Koppig" alias keras kepala. Gaya Bang Ali dianggap cocok dengan kondisi Jakarta yang ketika itu semrawut. Alhasil, 28 April 1966 dia dilantik menjadi orang nomor satu di Jakarta. "Saya merasa tidak gembira, saya merasa asing dengan pekerjaan baru ini, saya bukan orang pamong praja," kata Bang Ali.
Bang Ali terbilang tegas untuk menegakan semua peraturan. Bahkan untuk membuat peraturan yang menyangkut kepentingan masyarakat, Ali Sadikin mengaku terkadang tidak pernah meminta pengarahan dari atasan. Misalnya ketika akan memutuskan untuk mengizinkan legalisasi perjudian di wilayah Jakarta.

"Saya juga tidak meminta izin DPRD, sebab saya berkeyakinan, kalau waktu itu saya minta izin DPRD, izin saya peroleh, lembaga itu akan dicaci masyarakat" kata Bang Ali.

Hari kedua menjabat, Bang Ali naik bus umum keliling kota. Dia terhenyak melihat buruknya pelayanan bus kota yang tidak manusiawi. Penumpang berjejalan dan mandi keringat. Sopir bus berhenti dan ngetem seenaknya.
"Lalu lintas di Jakarta brengsek. Sayalah yang paling tidak puas terhadap keadaan itu. Di tengah orang-orang yang berdesakan dan berlari-larian, di tengah bau apek, bau keringat dan keberengsekan, saya mengadakan tanya jawab dengan para penumpang bus. Saya menjadi tahu apa yang mereka butuhkan," ujar Bang Ali dalam memoar Ali Sadikin karangan Ramadhan KH.

Simak juga saat Bang Ali didemo para ulama yang tak setuju Bang Ali melegalkan judi dan membuat tempat prostitusi di Kramat Tunggak. Bang Ali diam saja saat para ulama berbicara panjang lebar.

Setelah semuanya bicara baru Bang Ali yang bicara. "Kalau begitu, bapak-bapak kyai semua ini kalau keluar pesantren naik helikopter saja. Karena semua jalan dan jembatan itu dibangun dari hasil judi. Kalau menganggap haram, jangan menginjakkan kaki di jalan yang dibangun Pemprov," kata Bang Ali.
"Begitu juga dengan sekolah, rumah sakit, dan fasilitas lain dibangun dari hasil judi. Jangan pergi ke rumah sakit yang dibangun Pemprov kalau sakit dan katanya haram," tambahnya.
Para ulama itu terdiam. Mereka kemudian berhenti mengkritik Bang Ali. Mereka sadar saat itu Jakarta tak punya dana untuk membangun. Inisiatif Bang Ali walau kontroversial telah menyediakan dana untuk membangun Jakarta.

Yang lebih galak dari Ahok, Bang Ali dikenal doyan main tampar. Apalagi saat proyek dikerjakan asal-asalan dan molor. Simak cerita saat Bang Ali memarahi kontraktor proyek yang tak beres-beres.

Bang Ali bertanya kenapa sampai terlambat. Apakah dia tidak sadar bahwa proyek ini untuk kepentingan warga ibukota? Ternyata jawabannya berbelit-belit dan tidak jelas. Bang Ali pun naik pitam. Plak! Dia menampar direktur itu. Tidak cukup sekali, Bang Ali menamparnya tiga kali. Plak! Plak! Plak!
"Saya marah sekali, saya tempeleng dia tiga kali. Barulah dia berjanji akan segera memenuhi kontraknya. Benar juga, pada hari berikutnya kiriman semen sudah masuk ke proyek," kata Bang Ali.

Memang butuh orang galak untuk mengurus Jakarta….

Bang Ali cuma ga mau munafik!.. Dosa itu di tanggung masing masing...

Beny Rusmawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar