Walikota Surabaya Tri Rismaharini mendadak jadi pusat perhatian seluruh Indonesia. Ia bersujud di depan para dokter sambil terisak menangis merasa bersalah. Risma bahkan mencatut dirinya dengan kata goblok.
Tidak ada orang Surabaya meragukan kapasitas seorang Risma. Risma adalah ratu kesayangan. Ia dicintai dan disayang warga Surabaya. Ia bekerja sungguh2. Penuh totalitas dan kerja keras. Surabaya yang bersih, nyaman, hijau dan maju terwujud karena tangan dingin Risma.
Model leadership Risma memimpin anak buahnya keras dan ngotot. Ia bekerja detail. Devil is in detail.
Kebijakan yang dibuatnya secara detail diurainya dengan runut. Controlling dan evaluasi progres di lapangan rutin disidaknya.
Tidak heran banyak anak buahnya kelabakan saat disidak Risma. Risma tidak segan memuntahkan kemarahannya saat sidak. Suaranya kencang. Amarahnya lama. Apalagi jika menyangkut kepentingan warganya. Risma tidak kenal kompromi. Risma tidak segan tongkrongin lokasi sampai masalah selesai.
Saya termasuk orang luar Surabaya yang kesengsem sama Risma. Siapa sih yang gak kesengsem sama tangan dinginnya.
Ia mampu mengubah kota yang tadinya macet, kumuh, jorok jadi kinclong, hijau, bersih dan nyaman.
Belum lagi sentuhan humanisnya saat kotanya diserang teroris. Beberapa gereja dibom sekitar Mei 2018. Puluhan jatuh korban. Dalam hitungan jam Risma turun ke lapangan. Ia memeluk satu persatu keluarga korban. Ikut meratap. Ikut menangis. Korban bom merasa tenang dalam pelukan ibu mereka.
Sayangnya, dalam kondisi extra ordinary pandemi Covid 19 tangan dingin Risma seperti kehilangan magicnya.
Setidaknya data dan kurva kasus Covid 19 menunjukkan itu. Surabaya masih zona hitam. Kasus baru harian mencapai 3 digit terus naik . CFR Case Fatality Rate sekitar 7.3 persen. Lebih tinggi dari angka CFR nasional sekitar 5.2 persen.
Apa yang terjadi di Surabaya atau Jatim sesungguhnya?
Pasti tak banyak yang tahu apa sesungguhnya yang terjadi di Surabaya. Publik malah menangkap pesan ada drama yang terjadi. Risma nangis2 bersujud di depan para dokter. Inti persoalan malahan hilang ditelan video drama sujud Risma.
Seorang teman pengajar di Surabaya cerita. Suatu hari di bulan Maret ibunya teman saya itu mendadak drop. Mereka langsung membawa ke rumah sakit.
Kamar rumah sakit semuanya penuh. Padahal ibunya perlu ditangani segera. Ibunya harus menunggu di lobby cukup lama. Untung akhirnya dapat kamar. Itu kejadian di bulan Maret. Kondisinya sudah megap2.
Pokok persoalan utama di Surabaya sejak awal adalah faskes yang kewalahan menampung pasien. Daya tampung rumah sakit tidak cukup. Tenaga kesehatan akhirnya kelimpungan.
Nakes di hilir pontang panting menangani banjir pasien dari hulu yang terus meningkat kasusnya. Banyak juga nakes menjadi korban. Meninggal dunia.
Kemarin, para dokter bertemu Walikota Surabaya di Balai Kota.
Dokter Sudarsono memaparkan kondisi rumah sakit rujukan di Surabaya yang disebut telah kelebihan kapasitas atau overload. Kondisi itu membuat banyaknya pasien meninggal dunia.
"Pasien yang meninggal itu ada dua. Pasien meninggal setelah mendapatkan perawatan yang optimal, sudah ventilator macem-macam, tapi karena orangnya sudah tua, komorbid-nya banyak, dia meninggal," kata Sudarsono di halaman Balai Kota Surabaya, Senin (29/6).
Sedangkan yang kedua, adalah pasien yang tak bisa dirawat dengan optimal, karena kondisi rumah sakit yang overload. Hal itu membuat rumah sakit tak mampu lagi menampung pasien. Akibatnya sejumlah pasien pun meninggal dunia.
Sudarsono mengatakan kondisi overload itu berdasarkan laporan beberapa dokter jaga, di rumah sakit rujukan lain di Surabaya.
Sejumlah pasien yang sudah kritis, katanya, tak bisa mendapatkan perawatan.
"Saya itu tiap malam dikonsultasi dokter-dokter jaga di rumah sakit, 'dok mohon maaf saya konsul nggeh, kayak gini bagaimana', ini PDP masuk dirawat, 'Enggak ada tempat dok, rujuk enggak ada tempat', Itu RS seperti itu, pasien mati sia-sia, karena memang overload," katanya
Sudarsono mengatakan selain terjun langsung di IGD, Poli dan ruang isolasi untuk merawat pasien Covid-19, ia juga seringkali mendapatkan permintaan konsultasi dari dokter rumah sakit rujukan lain.
"Saya tahu, tidak langsung di Soetomo, tapi saya di WhatsApp karena mereka [dokter] itu mantan-mantan murid saya," katanya.
Ia juga bercerita bahwa dirinya sempat menangis saat dimintai tolong oleh pasien yang membutuhkan ruang perawatan. Namun karena kapasitas yang penuh, ia mengaku tak bisa berbuat apa-apa.
Selain itu, Sudarsono juga seringkali tak bisa menahan air matanya ketika melihat sejumlah rekannya, baik dokter maupun perawat, yang meninggal dunia saat bertugas.
"Saya nangis, di poli ada pasien nangis-nangis minta dicarikan tempat, saya nangis, gimana ya gak ada tempat. Saya juga nangis melihat teman-teman saya berguguran, melihat perawat juga melihat masyarakat yang seperti ini," ujarnya.
Ia pun mempertanyakan persoalan yang di hulu, sehingga pasien corona terus membludak dan membanjiri hilir, atau rumah sakit.
"Kita itu yang di hilir (rumah sakit) dikasih (mendapatkan banyak pasien) terus saban hari, berarti yang di hulu (masyarakat) ini ada apa," ujarnya.
Sudarsono mengakui Risma telah gencar mengingatkan masyarakat Surabaya untuk tertib protokol kesehatan.
Namun, nyatanya masih banyak warga yang tak perduli. Hal itu dilihat oleh mata kepalanya sendiri.
"Usaha Bu Risma sudah sangat bagus, cuma saya melihat, di daerah itu, di jalan-jalan kecil itu masih ada warung kopi, anak-anak muda [ramai]," katanya.
Dengan kondisi itu, Sudarsono pun meminta agar Pemkot Surabaya menjalin koordinasi dengan para rumah sakit rujukan di Surabaya, hal itu tersebut dilakukan agar permasalahan ini bisa segera teratasi.
"Mohon nanti ada koordinasi, konsolidasi, saya ingin ketemu Bu Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Surabaya, Febria Rachmanita dengan stafnya, karena saya merasa kurang koordinasi," ucapnya.
Mendengar pernyataan-pernyataan Sudarsono, Risma menjawab, "Mohon maaf Pak Sudarsono, saya memang goblok, nggak pantas saya jadi Wali Kota Surabaya," ujar Risma.
Usai mengatakan itu, mendadak Risma sujud di lantai. Menangis. Kontan para dokter kikuk. Serba salah. Bingung. Walhasil episode curhat nakes berakhir dengan tontonan drama yang bikin haru.
Apakah sujud dan airmata Risma akan menyelesaikan persoalan?
Belum hilang ingatan kita drama marah2 Risma saat dua mobil labotarium PCR dibelokkan ke Tulung Agung oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Risma mencak2. Ia merasa disabotase. Risma yang minta labotarium mobile itu ke Doni Monardo, mengapa malah dibelokkan ke daerah lain?
Dari kejadian itu akhirnya publik tahu ada masalah besar antara gubernur dan walikota. Mereka tidak kompak. Berseteru. Saling memunggungi.
Keduanya tidak bisa bekerja bersama dan tidak bisa bekerja sama.
Tidak heran, akhirnya publik Surabaya yang jadi korban. Secara umum Indonesia juga terkena. Angka yang tinggi di Jatim menyumbang cukup signifikan pada kurva angka nasional.
Dalam teori kepemimpinan hanya ada dua kemungkinan.
Meminjam kutipan Eldridge Cleaver.
'There is no more neutrality in the world. You either have to be part of the solution, or you're going to be part of the problem.'
Atau lebih sederhananya If you are not part of the solution, you must be part of the problem.
Saya kira, gubernur Khofifah dan walikota Risma jika tidak bisa kerja sama dan bekerja bersama pokok persoalan di Jatim tidak akan selesai.
Dalam kasus Pandemi Covid 19 ini kedua belah pihak gubernur dan walikota bukan bagian dari solusi tapi bagian dari masalah. Ujung2nya rakyat Jatim dan nakes yang jadi korban.
Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar