Sabtu, 29 Januari 2022

AGNOSTIK


Ada sebuah cerita, ilmu fisika pernah berutang budi kepada pandemi.  Ketika di tahun 1665 sampar menyerang London,  dan sekitar 25% penduduk  mati dalam waktu 18 bulan,  Universitas Cambridge, 80 km jauhnya,  tutup. Di kampus di utara itu hampir seribu orang mati. 

Isaac Newton mengungsi ke rumah keluarganya di pedalaman, di  Londonshire. Selama  dua tahun itulah pemuda yang baru lulus BA ini, dalam usia 22, menemukan pelbagai theori penting.  Masa wabah itu pun disebut annus mirabilis, “tahun yang menakjubkan”. 

Kejadiannya agaknya tak sedramatis itu. Hasil kerja ilmiah tak pernah seketika.  Newton sendiri berkata, jika ada penemuannya yang berguna, itu lebih disebabkan perhatiannya yang sabar, “bukan  karena bakat lain”. Ketika ditanya bagaimana ia menemukan hukum gaya berat, Newton menjawab: “Dengan memikirkannya hampir sepanjang waktu”. 

Tapi tetap menarik kisah  fiktif tentang buah apel yang jatuh ke kepalanya, yang membuat dia berpikir tentang gaya berat bumi: sebuah cerita sebab dan akibat yang sederhana.

Dilihat sekarang, fisika Newton memang sederhana. Fisika klasik ini memandang   realitas bak  mesin besar yang bergerak maju bersama waktu, dengan konfigurasi yang berubah mengikuti hukum yang pasti,  misalnya tiga hukum tentang gerak yang ditemukan Newton. Bagi ilmuwan yang saleh ini, ada tertib dalam semesta,  sebab  Tuhan membuat alam  yang rumit  ini bisa dipahami dengan hukum yang lugas. Tulis Alexander Pope, penyair yang hidup sezaman Newton, "Semua yang rusuh bertikai/sebenarnya harmoni yang tak dipahami”.

Tapi zaman berubah.  400 tahun setelah Newton, fisikawan menemukan sebuah semesta yang tak berperilaku seperti jam dengan detik yang ajeg,  melainkan lebih mirip mesin pachinko. Yang diperoleh: cetusan  “probabilistik”.  Fisika kuantum meneguhkan itu.

Fisika ini tak berhubungan dengan benda-benda solid yang kita lihat, dengar, sentuh — yakni dunia “makroskopik” di mana perubahan bersifat mekanistis.  Fisika ini mengamati  dunia “mikroskopik” yang jauh lebih renik ketimbang atom, yang merupakan 96% dari kosmos. Dan di sana, elektron berperilaku  berbeda.

Menurut fisika kuantum, elektron dapat berada di beberapa tempat atau keadaan sekaligus. Elektron adalah partikel dan juga  gelombang. Mereka selalu dalam “superposisi”. Tapi anehnya ini hanya terjadi jika partikel-partikel itu tak diobservasi.  Begitu kita mengamati sebuah sistem kuantum, ia akan memilih satu lokasi tertentu.  Seakan partikel itu berujar:  Aku diamati, aku diukur, maka aku ada.

Mungkin sebab itu, salah satu pelopor fisika kuantum, Heisenberg,  tak mengakui ide tentang adanya dunia benda-benda di luar kesadaran kita. Batu dan pohon itu  ada tapi tak terlepas dari kita yang mengamatinya. Bagi fisika kuantum sang pengamat niscaya bertaut dengan yang diamati. Fisika ini bisa mengatakan, pohon di hutan rubuh tanpa bunyi ketika ia tumbang tanpa disaksikan.

Para  fisikawan kuantum memang cenderung menampik “realisme”: pandangan yang mengakui bahwa di luar kesadaran kita ada realitas yang mandiri. Ini tampak dalam pertemuan-pertemuan mereka di Kopenhagen.  Niels Bohr, bapak fisika kuantum dan tokoh utama  kelompok Kopenhagen, tak berangkat dari adanya  “dunia kuantum”. Sebab baginya yang ada hanya “deskripsi kuantum yang abstrak”.  Dalam The Unity of Human Knowledge (1968-1962), sikap anti-realis Bohr lebih mengemuka:  “Ilmu fisika tak harus dipandang sebagai telaah tentang sesuatu yang secara a priori ada, melainkan lebih berupa perkembangan metode dalam menata dan mensurvei pengalaman manusia”. 

Bahwa hasil eksperimen fisika ini  bisa dilihat, dipegang, atau dijilat, itu karena elektron — elemen yang di bawah atom yang tak pernah tegas posisinya —  “dipaksa menetap”. Pascual Jordan, fisikawan  Jerman yang kemudian bergabung dengan Partai Nazi, mengatakan, “kami paksa elektron mengambil posisi yang jelas pasti…Kami sendiri memproduksi hasil pengukuran”.

Kesimpulan ini terdengar ganjil — dan terkenal bahwa Einstein menolaknya.  Katanya: “Fisika Kuantum menghindar dari realitas dan nalar”.  Einstein menyamakan Bohr dengan seorang “filosof talmud” yang tak mau tahu “realitas”, karena menganggap “realitas hanyalah bayangan hantu dari mereka yang naif”.

Perdebatan  antara kedua pandangan yang diartikulasikan Einstein dan Bohr itu berlanjut — terkadang dikemukakan dengan cemooh, tapi tetap  saling menghormati. Dengan segala kemampuan dan tradisi sains, ternyata tak mudah  disebutkan siapa yang menang.  Atau bisa dikatakan, yang menang skeptisisme, sikap yang siap ragu dan bertanya.

Tak berarti sia-sia.  Ada energi, keasyikan, kegairahan, atau kearifan, yang lahir dari sana.  Dalam Scientific American, 14 August  2021, John Horgen menyebut Tuhan, fisika kuantum, dan soal badan-dan-jiwa  yang membuatnya memilih “agnotisisme”: ia berpegang pada sikap meragukan  tanpa menghina mereka yang memilih percaya.  Agnotisisme itu penangkal dogmatisme tentang Tuhan, kebenaran ilmu dan filsafat. Horgen mengutip Voltaire: “Ragu itu keadaan yang tak nyaman, tapi kepastian itu absurd.”

Newton lebih puitis: ragu itu ibarat menyusur pantai. “Aku sendiri seperti anak kecil di tepi pantai,  menyibukkan diri  mencari kerikil yang lebih halus atau  kerang yang lebih cantik…sementara samudera  kebenaran terbentang luas, tak terungkap,  di hadapanku.”

Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar