Ny. Hancock menguburkan anak dan suaminya sendiri
Pada tanggal 1 November 1666, seorang petani bernama Abraham Morten menghembuskan nafas terakhirnya, dia merupakan korban terakhir dari 260 orang yang meninggal karena wabah pes di desa terpencil di Derbyshire, bernama Eyam. Saat itu seisi desa membuat keputusan luar biasa untuk mengkarantina diri mereka sendiri dalam upaya heroik untuk menghentikan penyebaran Wabah Pes ini. Berikut adalah kisah para penduduk desa yang memberanikan diri untuk menghadapi wabah yang mematikan ini.
Abraham berusia akhir 20-an ketika dia meninggal. Dia adalah salah satu dari 18 anggota keluarga Mortens yang terdaftar sebagai korban wabah dalam sebuah catatan gereja. Tetapi sebenarnya kisah wabah di Eyam telah berlangsung selama 14 bulan. Wabah itu dimulai dengan kedatangan sepaket kain yang dikirim dari London, tempat penyakit itu telah membunuh ribuan penduduk. Diketahui bahwa 1 bal kain yang tampak basah itu mengandung kutu yang membawa wabah penyakit.
Awal mula
George Viccars, korban pertama wabah ini
Cerita dimulai dari seorang yang bernama George Viccars, asisten seorang penjahit yang membuka bal kain itu dan menggantungkannya di depan perapian untuk dikeringkan. Tanpa disadari kutu-kutu penyakit yang terkandung dalam bungkusan itu menyebar keluar dan menjangkiti Viccars. Dia menjadi korban pertama penyakit itu di Eyam.
"Pria malang itu baru saja mengunjungi Eyam untuk membantu membuat pakaian untuk Wakes Week (sebuah festival keagamaan) dan dia tetap tinggal disitu sampai kematuannya" kata penjaga gereja Eyam, Joan Plant, yang telah meneliti kejadian tersebut.
GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI
Segera setelah itu, sampar menyebar ke seluruh penjuru desa. Antara September-Desember 1665, 42 penduduk desa meninggal dan pada musim semi tahun 1666, warga desa sudah berencana untuk segera meninggalkan desa tersebut untuk menyelamatkan diri. Pada titik inilah seorang pendeta yang baru diangkat, William Mompesson, turun tangan. Dia berniat untuk mencegah wabah itu menyebar ke kota-kota terdekat di Sheffield dan Bakewell hingga makin meluas, maka ia memutuskan desa harus segera melakukan karantina.
Namun, usahanya bukanlah usaha yang mudah, karena seruannya itu seakan menyuruh warga desanya untuk mengorbankan nyawa dengan diam di desa, selain itu, dia juga belum cukup populer didesa itu.
Mompesson dan "Cordon Sanitaire"
William Mompesson
William Mompesson dikirim ke Eyam pada April 1664 menggantikan pendeta sebelumnya, Thomas Stanley yang dicopot penugasannya. Stanley dicopot karena menolak untuk mengakui Act of Uniformity 1662, yang mengharuskan semua doa dan tatacara ibadah menggunakan Buku Doa Umum yang diperkenalkan oleh Charles II dalam pelayanan keagamaan. Stanley dan mayoritas penduduk di Eyam adalah pendukung Oliver Cromwell dan pemerintahan Puritannya hingga monarki dipulihkan kembali pada tahun 1660.
Mompesson yang menyadari bahwa dia yang kurang populer disana membutuhkan bantuan dan memutuskan untuk menghubungi Stanley. Mompesson berharap dia dan mantan pendeta Stanley bisa membujuk penduduk desa untuk melaksanakan rencana karantinanya. "Stanley tinggal di pengasingan disekitar pinggiran desa, dia dicopot dari posisinya sehingga umat paroki tidak suka dan tidak percaya pada Mompesson," ungkap Ken Thompson, sejarawan dan ketua Museum Eyam. "Namun, mereka sepakat untuk bertemu dan rencana yang mereka buat sangat luar biasa."
Mompesson dan Stanley bertemu dan saling sepakat
Pada 24 Juni 1666, Mompesson mengatakan kepada umatnya bahwa desa itu harus ditutup, dengan tidak ada yang diizinkan untuk masuk atau keluar. Dia juga mengatakan Earl of Devonshire, yang tinggal di dekatnya di Chatsworth, telah menawarkan untuk mengirim makanan dan persediaan jika penduduk desa setuju untuk dikarantina.
Mompesson mengatakan jika mereka setuju untuk dikarantina dan bertahan dengan kemungkinan terburuk menghadapi kematian, ia akan mengusahakan segalanya untuk meringankan penderitaan mereka dan tetap bersama mereka sampai saat-saat terakhir, juga mengatakan kepada mereka bahwa ia bersedia mengorbankan hidupnya sendiri daripada melihat penduduk disekitarnya hancur.
GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI
Istrinya, Catherine, mencatat dalam buku hariannya: "Mungkin sulit untuk memprediksi hasilnya karena kebencian terhadap peran William di paroki, tetapi mengingat Stanley sekarang berada disisinya, mungkin dia akan mendapatkan dukungan yang diperlukan dikemudian hari". Selama rapat dengan Stanley, terdapat banyak keraguan atas kebijakan rencananya, tulis Chaterine. Namun, ia menyimpulkan bahwa dengan bantuan dari Stanley, yang ikut menyatakan "cordon sanitaire/karantina" adalah cara paling efektif untuk menangani wabah tersebut, sehingga penduduk desa yang tersisa walau dengan enggan menyetujui rencana tersebut.
Puncak Wabah
Mompesson dan Stanley mengadakan ibadah sekaligus memohon warga desa untuk Karantina
Dr Michael Sweet, seorang spesialis penyakit satwa liar dari Universitas Derby, mengatakan "Keputusan untuk mengkarantina desa juga berarti memutus kontak dari manusia-ke-manusia, terutama dengan mereka yang berada di luar desa yang pada akhirnya secara signifikan akan mengurangi potensi dari penyebaran patogen penyakit tersebut. Tanpa pengekangan penduduk desa, lebih banyak orang (terutama) dari desa-desa tetangga, yang kemungkinan besar akan terjangkit dan tewas akibat penyakit ini. Sungguh luar biasa efektiftifitas dari isolasi" tambahnya.
Kuburan para korban wabah yang sampai saat ini masih dapat dilihat
Pada Agustus tahun 1666 adalah saat dimana jatuh jumlah korban terbanyak, puncaknya mencapai lima sampai enam kematian dalam sehari. Cuaca yang sangat panas ketika musim panas saat itu membuat kutu-kutu penyebab wabah lebih aktif, dan penyebaran sampar menjadi tidak terkendali ke seluruh desa. Meskipun demikian, hampir tidak ada yang melanggar peraturan.
Pada bulan itu juga, seorang wanita bernama Elizabeth Hancock menguburkan enam orang anaknya dan suaminya, mereka tinggal didekat sawah desa. Mereka semua tewas dalam waktu delapan hari secara bergantian. Nyonya Plant berkata, "Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya. Kehilangan suami dan enam anak dalam waktu delapan hari, sungguh tidak terbayangkan."
Kuburan keluarga Hancock
Orang-orang dari desa Stoney Middleton berdiri menyaksikan dari atas bukit namun mereka terlalu takut untuk membantu. Orang lain yang bernama Howe juga menguburkan keluarganya sendiri tanpa bantuan orang lain. Awal kisah kematian keluarganya adalah Ketika jumlah korban meningkat, dan banyak keluarga di desa tersebut musnah, Howe ditugaskan untuk mengubur mereka. Dia terinfeksi pada tahap awal wabah, namun berhasil selamat. Percaya bahwa dia tidak bisa terinfeksi dua kali, dia menikmati pekerjaan sebagai pengubur jenazah, disisi lain dia suka mencuri harta korban yang kadang dikuburkan bersama si jenazah. Karena kelakuannya, Howe kemudian akan menguburkan putranya sendiri, William yang berusia dua tahun, dan istrinya, Joan. Besar kemungkinan keluarganya terinfeksi melalui barang-barang yang dia curi dari kematian. Kisah ini dituturkan oleh Ny. Plant. Ny. Plant merupakan keturunan langsung Margaret Blackwell, salah satu dari sedikit penduduk desa yang selamat dari wabah itu, mengatakan: "Saat itu adalah saat yang sangat menakutkan, tetapi setiap keluarga menjadi semakin percaya kepada Tuhan, dan mereka menjadi tidak takut terhadap kematian".
GRATIS BELAJAR CARA MENDAPATKAN PENGHASILAN DARI TRADING KLIK DISINI
Dalam surat-suratnya, Mompesson menggambarkan aroma "kesedihan dan kematian". Dia juga menulis tentang istrinya, yang sekarat karena tertular wabah dan disaat yang bersamaan harus membantu orang lain. Pada tanggal 22 Agustus 1666, Mompesson dan istrinya jalan-jalan ke bukit-bukit didesa tersebut dan Catherine bercerita bahwa dia mencium wangi yang harum di udara, tragisnya setelah itu, dia meninggal keesokan paginya, saat usianya masih 27 tahun.
Pendeta saat ini, Mike Gilbert, mengatakan: "Ketika Anda membaca surat-surat dari Mompesson, orang-orang pasti mengira ia akan jatuh sakit dan sekarat, dalam salah satu suratnya ia menuliskan kata-kata 'Saya orang yang sekarat'. Dia sebenarnya dihinggapi oleh rasa takut yang hebat, namun dia tetap melakukan itu semua. Pasti ada harapan akan surga yang membuat dia terus maju, tetapi tetaplah keadaan saat itu sangat sulit untuk dihadapi karena kematian akibat wabah itu bukanlah cara yang diharapkan untuk mati. 'Saya akan mati dalam kesakitan dan tidak ada yang bisa membantu saya dalam kematianku'. Hampir tidak masuk akal untuk memikirkan seperti apa rasanya saat itu, saya kira rasa takut membuntuti mereka semua disetiap hari dalam hidup mereka pada saat itu."
Saat ini, tiga setengah abad telah berlalu, kisah itu masih terkenal diantara orang-orang di Eyam. Sejarawan setempat, Mr Thompson mengatakan, "Siapa yang dapat mengira mereka akan setuju untuk melakukan karantina tersebut dan menempatkan diri mereka dan keluarga mereka dalam bahaya yang besar, sehingga setidaknya sepertiga dari populasi Eyam tewas karena wabah saat itu. Mereka tahu bahwa mereka mempertaruhkan nyawa dan anggota tubuh mereka, namun mereka setuju untuk menghadapinya".
Pekuburan umum di gereja Eyam hingga saat ini
Dalam surat-suratnya, Mompesson menggambarkan aroma "kesedihan dan kematian". Dia juga menulis tentang istrinya, yang sekarat karena tertular wabah dan disaat yang bersamaan harus membantu orang lain. Pada tanggal 22 Agustus 1666, Mompesson dan istrinya jalan-jalan ke bukit-bukit didesa tersebut dan Catherine bercerita bahwa dia mencium wangi yang harum di udara, tragisnya setelah itu, dia meninggal keesokan paginya, saat usianya masih 27 tahun.
Pendeta saat ini, Mike Gilbert, mengatakan: "Ketika Anda membaca surat-surat dari Mompesson, orang-orang pasti mengira ia akan jatuh sakit dan sekarat, dalam salah satu suratnya ia menuliskan kata-kata 'Saya orang yang sekarat'. Dia sebenarnya dihinggapi oleh rasa takut yang hebat, namun dia tetap melakukan itu semua. Pasti ada harapan akan surga yang membuat dia terus maju, tetapi tetaplah keadaan saat itu sangat sulit untuk dihadapi karena kematian akibat wabah itu bukanlah cara yang diharapkan untuk mati. 'Saya akan mati dalam kesakitan dan tidak ada yang bisa membantu saya dalam kematianku'. Hampir tidak masuk akal untuk memikirkan seperti apa rasanya saat itu, saya kira rasa takut membuntuti mereka semua disetiap hari dalam hidup mereka pada saat itu."
Saat ini, tiga setengah abad telah berlalu, kisah itu masih terkenal diantara orang-orang di Eyam. Sejarawan setempat, Mr Thompson mengatakan, "Siapa yang dapat mengira mereka akan setuju untuk melakukan karantina tersebut dan menempatkan diri mereka dan keluarga mereka dalam bahaya yang besar, sehingga setidaknya sepertiga dari populasi Eyam tewas karena wabah saat itu. Mereka tahu bahwa mereka mempertaruhkan nyawa dan anggota tubuh mereka, namun mereka setuju untuk menghadapinya".
Pekuburan umum di gereja Eyam hingga saat ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar