Tidak banyak catatan sejarah pengetahuan yang membahas orang-orang Yahudi di tengah kecamuk revolusi kemerdekaan. Publik negeri ini cenderung menganggap komunitas Yahudi sebagai “yang asing”, liyan. Padahal, orang-orang Yahudi turut menyusun narasi perjuangan negeri ini.
Ketika militer Jepang masuk ke kawasan Nusantara pada tahun 1942, orang-orang Yahudi mengalami penyiksaan, persekusi bahkan pembunuhan. Di beberapa kota, orang-orang Yahudi mengalam siksaan berat dalam tawanan penjara rezim Jepang.
Orang-orang Yahudi mengalami kekerasan fisik dan mental, lantaran Jepang merupakan sekutu Jerman pada Perang Dunia II. Di bawah komando Nazi, Jerman melancarkan serangan terhadap komunitas-komunitas Yahudi di pelbagai kawasan Eropa.
Sementara, di Asia Tenggara, militer Jepang juga mendiskriminasi orang-orang Yahudi, merampas harta benda, sekaligus meningkatkan siksaan. Antisemitisme tumbuh subur, kebencian terhadap Yahudi meningkat yang disulut kobaran api diskriminasi dari Nazi Jerman.
Di tengah prahara ini, sebagian besar orang-orang Yahudi di kawasan Hindia Belanda berpindah mencari ruang aman bagi keluarganya. Mereka bermigrasi ke beberapa negara, di antaranya Australia dan Amerika Serikat. Banyak di antara mereka yang kemudian menetap di negara-negara itu, sebagian lain pindah ke Israel ketika komunitas Yahudi resmi mendirikan negara.
Di tengah kecamuk zaman perang ini, ada seorang keluarga Yahudi yang menolak pindah ke negeri lain. Ia bersikukuh berdiam di Indonesia, negeri yang selama ini menjadi tanah air, sekaligus tempat berkarya dan bekerja. Orang Yahudi itu bernama Charles Mussry.
Charles Mussry lahir dari keluarga pasangan Jacob Mussry, seorang Yahudi Baghdadi yang berasal dari Irak dan Toba Solomon Kattan. Keduanya bertemu dan menikah di Aceh. Keluarga pasangan ini kemudian pindah ke Surabaya, kota besar di Jawa pada awal abad 20.
Pada paruh pertama abad 20, Surabaya merupakan idaman bagi orang-orang Yahudi, baik keturunan Eropa maupun dari Timur Tengah. Orang-orang Yahudi Eropa, khususnya dari Belanda, menjadi pegawai pemerintahan dan militer. Sementara, keluarga Yahudi dari kawasan Timur Tengah, sebagian besar menjadi pengusaha.
Pada tahun 1930-an, komunitas Yahudi di Surabaya meningkat pesat. Mereka menikmati fasilitas yang sejajar dengan penduduk Eropa. Bagi keluarga Yahudi, mereka sangat senang bisa memiliki akses untuk beli mobil, menaiki kuda ke pedesaan, serta punya beberapa asisten rumah tangga. Tentu saja, ini sebuah kemewahan, yang antara lain karena fasilitas dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal ini dikisahkan Eli Dwek, dalam esainya “The Demish of the Jewish Community in Surabaya”.
Di Surabaya, Charles Mussry dikenal sebagai pengusaha Yahudi yang terpandang dan kaya raya. Ia punya bengkel mobil dan rumah sakit di Jalan Simpang (kini Jalan Pemuda) Surabaya. Selain itu, aset dan kekayaannya tersebar di Jawa Timur, di antaranya beberapa bangunan villa di Tretes, Pasuruan.
Dalam pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, Charles Mussry ikut berjuang bersama laskar-laskar rakyat untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Charless membantu logistik, mensuplay dapur umum, serta ikut serta dalam pengadaan senjata.
Akses dan jaringan Charles Mussry yang luas sebagai pengusaha, menguatkan perjuangannya membantu arek-arek Soeroboyo. Dari perjuangan ini, Charles Mussry dikenal dekat dengan Presiden Soekarno (Faisal Assegaf, Berdarah Yahudi, Bertanah Air Indonesia, merdeka.com, 11 November 2013).
Keluarga Charles Mussry mendapatkan akses Kartu Tanda Penduduk pada akhir 1950-an. Pada awalnya, keluarga Mussry mengisi agama Yahudi pada kolom agama Kartu Tanda Penduduk yang dimilikinya dari Pemerintah Indonesia. Namun, ketika hendak memperpanjang kartu ini, mereka diminta mengisi satu dari lima agama resmi waktu itu.
David Mussry, saudara Charles Mussry, memilih agama Hindu. Kisah ini diceritakan Jeffery Hadler pada paper risetnya, “Translation of Antisemitism: Jews, the Chinese and Violence in Colonial and Post-Colonial Indonesia”. Riset Hadler ini melengkapi kepingan khazanah publikasi internasional tentang komunitas Yahudi di Indonesia.
Saudara Charles, David Mussry merupakan penggerak dan aktifis Yahudi di Surabaya. Ia menjadi Ketua Perkumpulan Israelitische Gementee Soerabaja (Jemaat Israel di Surabaya). Komunitas ini didirikan pada 31 Juli 1923 oleh dua tokoh Yahudi, yakni Izak Ellias Binome Ehrenoreis Rechte Grunfeld dan Emma Mizrahie.
Perkumpulan Yahudi berkembang pesat sejak didirikan. Orang-orang Yahudi dari komunitas ini lantas mendirikan sebuah sinagoge di Jalan Bubutan, Surabaya. Seiring waktu, perkumpulan ini membeli sebidang tanah milik Ny Ada Henriette Burch Krusemann yang terletak di Jalan Kayoon. Di lahan itulah, orang-orang Yahudi Surabaya kemudian mendirikan Sinagoge Beit Hashem.
Tidak banyak yang mengenal Charles Mussry, dalam narasi perjuangan kemerdekaan. Ia meninggal dalam kesunyian, setelah bertahun-tahun menetapkan diri sebagai bagian dari manusia Indonesia.
Charles menikah dengan Djoedjoek, seorang putri asal Madiun. Pasangan ini melahirkan dua putra dan satu putri, di antaranya Irean Danny Mussry, Jacky Mussry dan Leitiza Mussry. Irwan Mussry sekarang menjadi pengusaha ternama, CEO Time International, juga suami dari Maia Estiyanti.
Charles Mussry meninggal dan dimakamkan di Surabaya. Ia beristirahat selamanya di Pemakaman Ereveld Kembang Kuning, yang dikelola Yayasan Pemakaman korban perang Oorlog Graven Stichting (OGS). Batu nisan makam Charles Mussry terukir aksara Ibrani. Carless Musrry, terlahir pada 9 Oktober 1919 dan meninggal 23 Agustus 1971. Ia menjadi orang Yahudi yang memilih berjuang untuk Indonesia.
https://alif.id/read/munawir-aziz/se...esia-b224596p/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar