Di pusat pemerintahan Hindia Belanda, penyebaran virus Flu Spanyol cukup sulit dikendalikan. Penanganannya pun kerap tersendat.
Perawat di bangsal rumah sakit di Amerika Serikat sedang melihat kondisi pasien Flu Spanyol (Wikimedia Commons)
Pandemi virus Covid-19 di Indonesia belum berakhir. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kasus harian di sejumlah daerah di Indonesia masih cukup tinggi. Pada awal Agustus 2021 saja terjadi kenaikan yang signifikan di beberapa daerah. Yang tertinggi berada di wilayah Jawa Tengah dengan 4331 kasus. Disusul Jawa Barat dan Jawa Timur, masing-masing mencatatkan angka 4301 dan 4113 kasus.
Meski ketiga daerah tersebut mengalami lonjakan kasus harian yang signifikan, wilayah dengan jumlah keseluruhan kasus Covid terbesar hingga Agustus 2021 tetap dipegang oleh DKI Jakarta. Dilansir laman resmi Satgas Covid-19, jumlah kasus terkonfirmasi di ibu kota mencapai 820,370 kasus. Tercatat ada lebih dari 12 ribu orang meninggal dunia dan 13 ribu orang dalam perawatan. Sementara sisanya telah dinyatakan sembuh.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, sebagaimana dikutip CNN Indonesia, menyebut jika tingginya angka kasus di Jakarta disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, imbuh Riza, karena Jakarta itu ibu kota RI dan pusat interaksi warga. Selain itu Jakarta juga merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi RI.
Faktor kedua, Jakarta menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tingkat kapasitas testingnya melebihi standar WHO. Sejak Maret 2020 Dinas Kesehatan Jakarta sudah melakukan tes kepada lebih dari 3 juta orang. Sementara faktor lain, menurut Riza, terjadi lantaran mobilitas masyarakat yang tinggi karena sudah merasa jenuh berada di rumah.
“Semua orang yang melakukan interaksi banyak sekali di Jakarta, sehingga kalau potensi interaksi tinggi menyebabkan potensi penularan juga semakin tinggi,” tutur politisi Gerindra tersebut.
Rupanya tidak hanya masa pandemi Covid-19 saja Jakarta menjadi pusat persebaran virus di Indonesia, pada masa pandemi Flu Spanyol tahun 1918-1919 kota itu juga memiliki tingkat penularan penyakit yang tinggi. Tercatat lebih dari seribu orang meninggal akibat virus asal benua Eropa tersebut. Lantas apakah kondisi Jakarta saat itu lebih mengkhawatirkan daripada sekarang?
Kota Batavia, sebutan Jakarta masa kolonial, merupakan pusat pemerintahan dan salah satu pusat ekonomi di Hindia Belanda. Kota itu menjadi titik temu masyarakat dari berbagai daerah yang umumnya datang untuk berdagang dan urusan politik. Mobilisasi masyarakat di sana sangat tinggi. Setiap orang bebas berinteraksi dan keluar-masuk kota. Kondisi tersebut membuat Batavia rawan akan persebaran penyakit. Terlebih setelah virus Flu Spanyol merangsek masuk ke Hindia Belanda awal abad ke-20.
“Bisa dibilang Batavia menjadi salah satu titik penyebaran utama dari Flu Spanyol selama gelombang kedua dari pandemi tersebut,” tulis Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919.
Sayangnya bahaya virus Flu Spanyol di Batavia, begitu juga daerah lain di seluruh Hindia Belanda, telat mendapat perhatian masyarakat maupun pemerintah kolonial.
Menurut Arie Rukmantara, dkk dalam Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, mereka terlalu menganggap enteng keberadaan virus tersebut. Tidak sedikit juga yang menyamakan Flu Spanyol dengan influenza dengan gejala yang sedikit lebih berat dari biasanya.
Semua pihak baru benar-benar memperhatikan wabah Flu Spanyol ini pada akhir Oktober 1918, ketika koran-koran di Batavia memberitakan situasi kesehatan di Hindia Belanda yang kian memburuk. Padahal serangan virus itu sudah memasuki gelombang yang kedua. Sin Po, misalnya, menyebut bahwa serangan virus dari hari ke hari semakin berbahaya dan gelombang kedua itu lebih menakutkan dari sebelumnya.
Dalam sebuah laporan di Rumah Sakit Umum Batavia, pasien influenza bertambah secara signifikan dalam waktu singkat. Diketahui pada akhir 1918 rumah sakit tersebut telah merawat sebanyak 435 pasien yang umumnya menderita sakit paru-paru. Menurut Ravando, besar kemungkinan mereka itu adalah korban dari virus Flu Spanyol.
Mengutip surat kabar Sin Po,31 Oktober 1918, Ravando menyebut bahwa peningkatan jumlah korban virus itu membuat bangsal-bangsal rumah sakit di seluruh Batavia mendadak penuh. Bahkan rumah sakit militer yang cukup besar, dengan kapasitas 600 tempat tidur pun terpaksa harus menambah jumlahnya menjadi 700 agar bisa menampung lebih banyak pasien.
“Merebaknya Flu Spanyol di Batavia ditengarai juga tidak lepas dari keadaan higienitas kota tersebut yang sangat buruk, lantaran kondisi udara dan sistem sanitasinya yang sangat mengkhawatirkan,” kata Ravando.
Kondisi genting itu juga membuat kegiatan masyarakat Batavia selama akhir tahun 1918 amat terbatas. Masyarakat enggan keluar rumah karena takut terpapar virus. Hal itu membuat banyak saudagar menutup usahanya. Diceritakan Iswara N. Raditya dalam 1918: Kronik Kebangkitan Indonesia, kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Bahkan banyak perkantoran tutup lantaran kekurangan pegawai.
Tercatat hingga November 1918, Flu Spanyol di Batavia telah menelan korban ratusan jiwa di kalangan bumiputera. Pemerintah setempat pun dengan cepat bergerak membagikan obat-obatan, khususnya obat paru-paru, ke seluruh pelosok Batavia. Pendistribusiannya diawasi oleh para mahasiswa STOVIA, calon dokter Jawa, dan dinas kesehatan pemerintah kolonial.
Namun menariknya, imbuh Ravando, di dalam penjara-penjara Batavia kondisinya justru relatif aman dan terkendali. Amat berbeda dengan kondisi di luar yang dilanda kepanikan. Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada itu menduga para sipir dan direktur penjara telah mempelajari cara menangani pandemi di lingkunganya ketika gelombang pertama (Juli - September 1918) menyerang. Mereka amat membatasi kegiatan keluar-masuk orang luar ke penjara.
“Bila selama gelombang pertama korban dari virus itu kebanyakan adalah pesakitan dari penjara, (setelahnya) Flu Spanyol menyerang siapapun tanpa pandang bulu,” tulis Ravando.
Meski ketiga daerah tersebut mengalami lonjakan kasus harian yang signifikan, wilayah dengan jumlah keseluruhan kasus Covid terbesar hingga Agustus 2021 tetap dipegang oleh DKI Jakarta. Dilansir laman resmi Satgas Covid-19, jumlah kasus terkonfirmasi di ibu kota mencapai 820,370 kasus. Tercatat ada lebih dari 12 ribu orang meninggal dunia dan 13 ribu orang dalam perawatan. Sementara sisanya telah dinyatakan sembuh.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, sebagaimana dikutip CNN Indonesia, menyebut jika tingginya angka kasus di Jakarta disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, imbuh Riza, karena Jakarta itu ibu kota RI dan pusat interaksi warga. Selain itu Jakarta juga merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi RI.
Faktor kedua, Jakarta menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tingkat kapasitas testingnya melebihi standar WHO. Sejak Maret 2020 Dinas Kesehatan Jakarta sudah melakukan tes kepada lebih dari 3 juta orang. Sementara faktor lain, menurut Riza, terjadi lantaran mobilitas masyarakat yang tinggi karena sudah merasa jenuh berada di rumah.
“Semua orang yang melakukan interaksi banyak sekali di Jakarta, sehingga kalau potensi interaksi tinggi menyebabkan potensi penularan juga semakin tinggi,” tutur politisi Gerindra tersebut.
Rupanya tidak hanya masa pandemi Covid-19 saja Jakarta menjadi pusat persebaran virus di Indonesia, pada masa pandemi Flu Spanyol tahun 1918-1919 kota itu juga memiliki tingkat penularan penyakit yang tinggi. Tercatat lebih dari seribu orang meninggal akibat virus asal benua Eropa tersebut. Lantas apakah kondisi Jakarta saat itu lebih mengkhawatirkan daripada sekarang?
Kota Batavia, sebutan Jakarta masa kolonial, merupakan pusat pemerintahan dan salah satu pusat ekonomi di Hindia Belanda. Kota itu menjadi titik temu masyarakat dari berbagai daerah yang umumnya datang untuk berdagang dan urusan politik. Mobilisasi masyarakat di sana sangat tinggi. Setiap orang bebas berinteraksi dan keluar-masuk kota. Kondisi tersebut membuat Batavia rawan akan persebaran penyakit. Terlebih setelah virus Flu Spanyol merangsek masuk ke Hindia Belanda awal abad ke-20.
“Bisa dibilang Batavia menjadi salah satu titik penyebaran utama dari Flu Spanyol selama gelombang kedua dari pandemi tersebut,” tulis Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919.
Sayangnya bahaya virus Flu Spanyol di Batavia, begitu juga daerah lain di seluruh Hindia Belanda, telat mendapat perhatian masyarakat maupun pemerintah kolonial.
Menurut Arie Rukmantara, dkk dalam Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, mereka terlalu menganggap enteng keberadaan virus tersebut. Tidak sedikit juga yang menyamakan Flu Spanyol dengan influenza dengan gejala yang sedikit lebih berat dari biasanya.
Semua pihak baru benar-benar memperhatikan wabah Flu Spanyol ini pada akhir Oktober 1918, ketika koran-koran di Batavia memberitakan situasi kesehatan di Hindia Belanda yang kian memburuk. Padahal serangan virus itu sudah memasuki gelombang yang kedua. Sin Po, misalnya, menyebut bahwa serangan virus dari hari ke hari semakin berbahaya dan gelombang kedua itu lebih menakutkan dari sebelumnya.
Dalam sebuah laporan di Rumah Sakit Umum Batavia, pasien influenza bertambah secara signifikan dalam waktu singkat. Diketahui pada akhir 1918 rumah sakit tersebut telah merawat sebanyak 435 pasien yang umumnya menderita sakit paru-paru. Menurut Ravando, besar kemungkinan mereka itu adalah korban dari virus Flu Spanyol.
Mengutip surat kabar Sin Po,31 Oktober 1918, Ravando menyebut bahwa peningkatan jumlah korban virus itu membuat bangsal-bangsal rumah sakit di seluruh Batavia mendadak penuh. Bahkan rumah sakit militer yang cukup besar, dengan kapasitas 600 tempat tidur pun terpaksa harus menambah jumlahnya menjadi 700 agar bisa menampung lebih banyak pasien.
“Merebaknya Flu Spanyol di Batavia ditengarai juga tidak lepas dari keadaan higienitas kota tersebut yang sangat buruk, lantaran kondisi udara dan sistem sanitasinya yang sangat mengkhawatirkan,” kata Ravando.
Kondisi genting itu juga membuat kegiatan masyarakat Batavia selama akhir tahun 1918 amat terbatas. Masyarakat enggan keluar rumah karena takut terpapar virus. Hal itu membuat banyak saudagar menutup usahanya. Diceritakan Iswara N. Raditya dalam 1918: Kronik Kebangkitan Indonesia, kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Bahkan banyak perkantoran tutup lantaran kekurangan pegawai.
Tercatat hingga November 1918, Flu Spanyol di Batavia telah menelan korban ratusan jiwa di kalangan bumiputera. Pemerintah setempat pun dengan cepat bergerak membagikan obat-obatan, khususnya obat paru-paru, ke seluruh pelosok Batavia. Pendistribusiannya diawasi oleh para mahasiswa STOVIA, calon dokter Jawa, dan dinas kesehatan pemerintah kolonial.
Namun menariknya, imbuh Ravando, di dalam penjara-penjara Batavia kondisinya justru relatif aman dan terkendali. Amat berbeda dengan kondisi di luar yang dilanda kepanikan. Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada itu menduga para sipir dan direktur penjara telah mempelajari cara menangani pandemi di lingkunganya ketika gelombang pertama (Juli - September 1918) menyerang. Mereka amat membatasi kegiatan keluar-masuk orang luar ke penjara.
“Bila selama gelombang pertama korban dari virus itu kebanyakan adalah pesakitan dari penjara, (setelahnya) Flu Spanyol menyerang siapapun tanpa pandang bulu,” tulis Ravando.
"Pandemi di Batavia - Historia" https://historia.id/sains/articles/p...a-vxg9x/page/1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar