I Persoalan terbesar umat manusia di hari ini adalah kita hidup di zaman milenial. Dengan ciri dasar, manusianya cepat merasa bosan, gampang menyuarakan kepentingannya sendiri, dan menjadi berbeda adalah bagian dari unjuk identitas diri. Dalam konteks inilah, saya gagal memahami munculnya gerakan liar dan absurd berjuluk "I believe in Siti Fadillah". Bagi saya ini sungguh sesat pikir. Karena dengan demikian, selama nyaris empat bulan ini kita dianggap sedang bersandiwara, tidak sekedar dipermainkan kita juga sedang dalam status dibohongi. Lepas itu benar atau tidak, hal tersebut mengabaikan fakta bahwa sudah ratusan ribu orang meninggal, jutaan orang terinfeksi, dan kehidupan secara keseluruhan berada pada titik nadir terendah!
Lalu tiba2 kita dipaksa untuk segera kembali normal, tapi dengan dasar pendapat seorang perempuan pesakitan. Yang tidak bosan memaksa kita berpikir dan memberontak, menganggap semua yang terjadi adalah produk konspirasi global yang jahat. Saya (hanya) ingin fokus pada kenapa Siti Fadilla Soepari, tidak layak diikuti dan dibela dalam kasus Pandemi Covid-19 ini. Mari kita dedah satu persatu.
Pertama, Siti Fadilla menyamakan kasus Covid-19 ini sama sebangun dengan Flu Burung. Bahwa Covid-19 adalah sequel dari Flu burung. Segoblok yang satu tahu, mustinya ini adalah dua kasus yang berbeda. Flu burung belum sampai pada titik pandemik. Barangkali ia masih epidemi, tersebar dalam geografis tertentu. Bukan pandemik yang telah menjangkau nyaris secara global ke seluruh negara yang ada di muka bumi tanpa mengenal sekat2 geografis. Ia memaksa kita berpikir untuk menyamaratakan keduanya. Bahwa ia bisa sembuh dengan sendirinya, salah satunya melalui herd immunity. Kalau pun betul, sesat pikirnya ia mengabaikan ratusan ribu, yang barangkali tak lama lagi jutaan orang menjadi korban karenanya. Di sini ia tidak punya empati pada korban dan yang terdampak!
Kedua, selalu menyalahkan WHO sebagai lembaga dunia yang sesungguhnya tak lebih kaki tangan industri farmasi dunia. Dalam kasus yang dialaminya, ia menganggap WHO mencuri contoh virus di Indonesia. Lalu diberikan kepada lembaga farmasinya yang menjadi kak tangannya. Bila kelak jadi vaksin, negara pemilik virus justru harus membayarnya. Kalau pun tuduhan ini benar. Sesat pikirnya: Flu Burung tidak pernah menjadi pandemik, tidak pernah butuh vaksin, dan tidak ada satu pun negara yang harus membayarnya untuk itu. Hal lain, coba tengok sekalipun AS di bawah Trump telah memutuskan hubungannya dengan WHO. Menunjukan bahwa AS justru merupakan salah satu negara yang terdampak terbesar di dunia, dan hingga saat ini gagal mengatasi dampak Covid-19.
Ketiga, menyeret Bill Gates sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas pandemik Covid-19. Hanya karena, ia telah telah meramalkan lima tahun sebelumnya bakal terjadi pandemik global. Di sini saya menduga dasarnya hanya satu: kebencian terhadap sukses seorang filantropis dunia yang berdarah Yahudi. Cara berpikir yang berkecenderungan menunjukkan dirinya sebagai pemuja teori konspirasi. Area abu2 yang menjadi wilayah asyik bergosip dan mencari kambing hitam. Kalau fair membenci Bill Gates, kembalilah ke zaman batu. Tinggalkan komputer, gadget, atau apa pun teknologi maju yang bersentuhan dengan dirinya. Seburuk2 orang yang berjiwa filantropis, tak kan mungkin ia membunuh bisnis utamanya sendiri. Dengan beralih ke bidang lain yang tak dikuasainya.
Keempat, mendorong Indonesia membuat vaksin sendiri. Tidak salah, tapi sekaligus justru menunjukkan borok kerja Kementrian yang dipimpinnya, sekaligus lembaga2 penelitian maupun BUMN yang berada di lingkaran kekuasaannya. Produk apa yang telah dihasilkannya sejauah ini? Ia merasa jadi pahlawan ketika flu burung bisa berhenti begitu saja, tanpa menimbulkan banyak korban. Lah hawong gak ngapa2in kok jadi pahlawan? Sependek info yang saya tahu, ketika Jokowi meminta Unpad untuk (hanya sekedar) mempercepat pengujian vaksin Sinovac dari China. Mereka menyatakan keberatan atas dasar tahap2 prosedural ilmiah yang harus diikuti dan ditetapkan WHO. Lah katanya gak suka WHO? Bisa dibayangkan, jika mengandalkan ritme kerja lembaga domestik menemukan vaksin untuk Covid-19 ini, mungkin sudah terlalu terlambat. Hawong ini pandemik global, ya jelas butuh kerjasama internasional!
Kelima, terkait dengan kasus hukumnya. Sebagaimana biasa kasus korupsi seorang menteri, ia menganggap dirinya bersih dan korban konspirasi jahat. Ya iyalah, mana ada menteri yang nyolong langsung uang negara, ia akan selalu melibatkan atau menyuruh eselon2 di bawahnya untuk melakukannya. Semua orang tahu, dana anggaran adanya di tingkat dirjen. Tapi semua tak mungkin bergerak, tanpa sepengetahuan sang menteri. Dalam konteks dirinya, sebenarnya orang yang pertama kali membocorkan betapa kotornya si ibu ini, justru adalah Faisal Basri. Seorang intelektual bersih yang semula berada satu kubu dengan dirinya yaitu di lingkaran Partai Amanat Nasional (PAN).
Dalam kasus dirinya, sedemikian banyaknya kasus yang melibatkannya, sehingga hakim jadi linglung harus mulai dari mana. Sehingga berseloroh merasa tak perlu bukti tambahan lagi. Karena silang sengkarut penerima dana KKN yang tersebar kemana2. Kasus Siti fadilla dan Kemenkes-nya adalah sebuah fenomena gunung es yang biasa dalam kasus korupsi di Indonesia. Teradilinya seseorang selalu hanya berdasar satu dua kasus yang kadang tdak terlalu dianggap penting. Padahal bila dikuak kasus2 lain di bawahnya, pasti lebih besar dan mengerikan. Sedikit menyegarkan ingatan, salah satu penerima uang haram itu adalah Amien Rais dengan duit kotor 600 juta itu. Mereka cuek dan baik2 saja tuh.
Di sini, di sisi ini wajar kalau ia merasa dikorbankan!
Tapi, kembali ke atas bila muncul gerakan "I Believe in Siti Fadilla" sungguh sangat menyedihkan. Di Bali muncul tokoh eksentrik bernama Jerinx. Bagi saya ia seorang yang menurut saya tiba2 "sarat beban", sehingga selalu terpaksa harus meyakinkan publik dirinya paling benar dan (sialnya) ia pemuja teori konspirasi. Hanya karena ia merasa terbelenggu dengan pemakaian masker, tidak bisa bebas pergi keluar rumah, dan tidak setuju dengan mahalnya biaya rapid test atau test SWAB. Lalu menggalang gerakan turun ke jalan, dengan mengabaikan protokol kesehatan. Tak dinyana, gerakan ini sudah meluas melibatkan artis2 yang bagaimana pun juga pasti sulit menerima kenyataan turun pendapatannya gara2 pandemik ini.
Saya bisa memahami kejenuhan yang dialami semua orang, rasa putus asa yang diakibatkannya, dan tentu saja keinginan untuk segera kembali ke kehidupan normal seperti sebelum adanya pandemik ini.
Tapi tentu saja bukan dengan cara sesat pikir berselera buruk seperti ini. Mari kembali bergandeng tangan kita lalui masa2 sulit ini. Ayo balik lagi waras...
.
.
.
.
Andi Setiono Mangunprasodjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar