Rabu, 08 Juli 2020

Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat

Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat
Pemerintah Indonesia menyuap ketua fraksi Dewan Papua bentukan Belanda. Politik uang dalam upaya memenangkan Irian Barat yang tidak tersingkap dalam sejarah.
Oleh Martin Sitompul
 
 Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat
Presiden Sukarno berbincang dengan Menteri Luar Negeri merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio. Foto: IPPHOS.

Di beranda Istana Negara, Presiden Sukarno menerima kedatangan Kolonel Soegih Arto. Konsul jenderal Indonesia untuk Singapura itu mendadak dipanggil ke Jakarta untuk satu tugas penting. Setelah tamu-tamu presiden beranjak pergi, tinggallah tiga orang di beranda: Sukarno, Soegih Arto, dan Menteri Luar Negeri merangkap Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Soebandrio. Mereka lantas saling berbincang.

“Bung Karno bicara dan menjelaskan bahwa pemerintah mempunyai rencana untuk memperoleh Irian Barat dengan cara-cara yang inkonvensional,” kata Soegih Arto dalam otobiografinya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto.
Soegih Arto tercengang mendengar skema pembebasan Irian Barat yang diembankan padanya. Sukarno memerintahkannya pergi ke Hongkong dengan membawa uang kira-kira US$ 1.000.000. Dengan uang sebanyak itu, Soegih Arto harus bisa “membeli” Irian Barat.

Rencananya, dana itu akan menjadi "pelicin" agar Dewan Rakyat Papua bentukan pemerintah Belanda bisa mengeluarkan resolusi ingin bergabung dengan Indonesia. Meskipun berbiaya tinggi, politik uang ini telah diperhitungkan dengan cermat. Apabila misi ini berhasil, menurut Soegih Arto, maka akan menghindarkan bentrokan senjata dan menyelamatkan banyak jiwa.
Berunding di Hongkong
Operasi rahasia ini tidak dikerjakan oleh Soegih Arto sendirian. Turut bersamanya tim dari BPI. Mereka antara lain Kartono Kadri, kepala seksi dua BPI bidang operasi dan pengumpulan informasi dan Komisaris Besar Polisi Samsudin. Secara resmi, selain anggota BPI, Samsudin merangkap sebagai sekretaris Konsul RI di Singapura. Soegih Arto, Kartono Kadri, dan Samsudin berangkat dari Singapura.  

Soegih Arto tidak mencatat kapan persisnya keberangkatan mereka ke Hongkong. Namun menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, peristiwa itu berbarengan dengan operasi militer Komando Mandala yang dipimpin Mayor Jenderal Soeharto. Tepatnya, pada kuartal kedua 1962.   

Di Hongkong, BPI telah menyiapkan segala sesuatunya. Soegih Arto dan kawan-kawan menginap di Hotel Sunning House. Mereka akan dipertemukan dengan orang Belanda yang berpengaruh di Irian Barat. Sebagai kepala negosiator, Soegih Arto diberi kuasa untuk menawarkan sejumlah uang tetapi tidak melebihi dana yang ada sebagai harga penggabungan Irian Barat kepada Indonesia.
Pertemuan terjadi di Hotel Miramar, Kowloon, tempat delegasi Belanda menginap. Pihak Indonesia hanya diwakili Soegih Arto dan Kartono Kadri. Sementara itu di pihak seberang, tampak seorang Indo-Belanda bernama Mr. de Rijke didampingi seorang sekretaris perempuan.   
Menyogok Pembelot
Mr. de Rijke terkekeh-kekeh sewaktu  memperkenalkan diri kepada Soegih Arto. Dia menyebut nama lawan rundingnya Soegih Arto yang berarti kaya. Namanya sendiri, de Rijke juga berarti kaya. De Rijke menjelaskan bahwa dirinya lahir di Kediri sehingga mengerti bahasa Jawa. Menurut pengakuannya, de Rijke adalah ketua fraksi di Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea Raad).
Pertemuan perdana dengan de Rijke itu berlangsung dalam suasana santai karena diawali basa-basi lewat pendekatan  kultural. Menurut Soegih Arto, tidak ada ketegangan sama sekali. Maka tanpa kesulitan berarti, Soegih Arto langsung memajukan agenda utama perundingan. Pertama, membicarakan resolusi penggabungan Papua dengan Republik Indonesia. Kedua, soal keuangan.

Ketika membicarakan soal penggabungan Papua, De Rijke mengajukan banyak tuntutan. Pertama, agar infiltrasi tentara Indonesia supaya dihentikan. Kedua, Papua harus dijadikan daerah istimewa. Ketiga, Missi (Katolik) dan Zending (Protestan) jangan diganggu. Keempat, supaya Papua boleh memakai uang sendiri, seperti di Riau. Kelima, Papua supaya dibolehkan memakai bendera sendiri. Setiap tuntutan itu segera ditanggapi oleh delegasi Indonesia. Tidak semua tuntutan diterima atau ditolak, namun ada masukan untuk mencapai kompromi.
“Pertama, kami setuju memberi status Propinsi Istimewa bagi Irian Barat. Kedua, Riau pada waktu itu masih menggunakan mata uang Singapura, jadi kami setuju mata uang Belanda tetap dapat digunakan. Ketiga, kami setuju misionaris katolik dan Protestan bisa tetap tinggal. Kami tidak setuju bendera Papua berkibar sendiri, tetapi kami mengatakan bendera itu dapat berkibar sedikit di bawah bendera Indonesia,” kata Kartono Kadri sebagaimana dikutip dalam buku Ken Conboy.
Mengenai infiltrasi tentara Indonesia, dijawab Soegih Arto akan segera dihentikan kalau Irian Barat sudah bergabung dengan Indonesia. Titik temu mengenai tuntutan de Rijke beres. Penyusunan konsep resolusi juga tidak memakan waktu lama. Isi pokok resolusi itu adalah, “Bahwa Papua dan Indonesia sama-sama mempunyai sejarah yang sama, sehingga sebaiknya berjalan bersama-sama dan oleh karena itu, Parlemen Papua sepakat untuk menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.”

Perundingan hari pertama ditutup setelah terjalin kesepakatan mengenai isi resolusi. Rancangan resolusi itu dibawa Soegih Arto ketika kembali ke Jakarta untuk diserahkan kepada Soebandrio. Hingga Soegih Arto merampungkan otobiografinya Sanul Daca pada 1989, keberadaan konsep resolusi tersebut tidak diketahui rimbanya.
Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, beberapa pejabat yang duduk dalam Dewan Papua memang dicurigai bersekongkol dengan Indonesia. Namun dari sekian nama, tidak tersebut nama de Rijke. Drooglever mencatat, de Rijke merupakan pengacara berpengalaman berkebangsaan Indo-Belanda yang mendukung kepentingan orang Indo-Belanda di Papua. Selain itu, de Rijke juga pernah tersandung kasus pemalsuan surat yang diganjar hukuman empat bulan penjara.
Arsip nasional Inggris menyimpan berkas dokumen pribadi milik de Rijke. Dalam deksripsi katalog disebutkan, de Rijke yang bernama lengkap Jacob Olaf de Rijke, lahir pada 9 September 1921. Sayangnya, berkas-berkas de Rijke masih konfidensial dan akan terbuka pada publik pada 1 Januari 2024 mendatang. Kita tunggu saja. 

https://historia.id/politik/articles...an-barat-P7eAE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar