Senin, 01 November 2021

Dari Gerakan Bawah Tanah sampai Zona Damai

 


Taman makam pahlawan Serui terletak di tengah kota. Dihiasi tugu bercat putih dengan lambang Garuda ¬Pancasila. Terbaring delapan jasad pahlawan yang berjasa dalam mengintegrasikan Irian Barat ke pangkuan NKRI: Silas Papare, Stefanus Rumbewas, Thung Tjing Ek, Dirk Ramandey, Salim Suneth, HW Antaribaba, Rafael Maselkosu dan George Henk Ayorbaba.
Serui memang menjadi pusat gerakan pro-Indonesia. Diawali dengan kabar kemerdekaan Indonesia pada 1945 di Jakarta, gerakan anti-Belanda pun menguat di Papua. Silas Papare, mantan pegawai Belanda yang memulai gerakan pemuda kemudian bertemu dengan Dr. Sam Ratulangie dan enam orang kawan seperjuang¬annya yang dibuang ke Serui pada pertengahan 1946. Gerak¬an pro-Indonesia memuncak saat terbentuk Partai Kemerdekaan Indonesia Irian di akhir tahun 1946.
“Sewaktu Belanda berusaha mempertahankan Papua, kami dari Kong Ek Hwee ikut membentuk gerakan bawah tanah,” kata Goan Piabon Mai, sesepuh Tionghoa yang menerima penghargaan veteran. Kong Ek Hwee adalah organisasi masyarakat Tionghoa di Serui. Gerakan bawah tanah ini dinamakan Batalyon Tentara Tjendrawasih Tjadangan (TTT). Kong Ek juga membantu menyumbangkan uang ketika Silas Papare harus berangkat ke Jawa untuk menemui Presiden Soekarno.
Dr. Sam Ratulangi bersama kawan-kawannya juga sering memakai rumah Thung Tjing Ek, alias Jakub Thung untuk rapat-rapat yang membicarakan persiapan penyatuan Irian Barat ke NKRI. Jakub adalah perantau Tionghoa asal Makasar yang berprofesi sebagai penangkap buaya di Waropen. Anak-anaknya kini cukup dikenal dengan nama marga istrinya yang asli Papua: Raweyai.
“Kami sering makan dan main mahyong bersama sambil diskusi. Dari diskusi-diskusi yang dipaparkan, kami memperoleh informasi tentang kondisi politik internasional. Kami lalu menyimpulkan bahwa Belanda akan segera kalah, maka kami pun ikut mendukung gerakan pro-Indonesia,” lanjut Piabon Mai.
Sambil menikmati pinang yang membuat giginya merah oranye, Piabon Mai kemudian menceritakan bagaimana pengalamannya berlatih untuk persiapan perang dengan Belanda. Ia bersama Tan Su Song (Fritz Warabay) pergi ke Biak untuk belajar ilmu kebal dari orang Maluku. Sepulangnya dari Biak mereka mengorganisir pasukan sipil bawah tanah sampai berjumlah 2000 orang. “Kami latih¬an selama tiga bulan secara sembunyi-sembunyi, sampai tidak berani berenang ke laut karena takut ketahuan.” Karena mereka berlatih ilmu kebal, bekas-bekas luka yang ada di sekujur tubuh mereka sembunyikan karena takut terlihat Belanda.



llmu yang dilatih punya mantera khusus untuk membuat mereka kebal terhadap peluru maupun senjata tajam. “Bila beragama Kristen, menteranya ‘Kulit Yesus, Kulit Besi’, bila beragama Islam manteranya ‘Kulit Muhammad, Kulit Besi’, katanya sambil tersenyum. Mantera ini dirapal tiga kali dan punya syarat akan gugur ketika Irian Barat resmi masuk ke wilayah NKRI.
Gerakan bawah tanah ini akhirnya ketahuan oleh Belanda. Maka Fritz bersama kawan-kawanya seperti David Wasiri, Rafael dan Agus pun ditangkap dan dipenjarakan. Setelah tiga bulan mereka dibebaskan dan kena wajib lapor. “Ada monumennya,” kata Piabon Mai. “Namanya Tugu Perjuangan Masyarakat Yapen Waropen.”
Aktivitas masyarakat Tionghoa yang pro-Indonesia ini konon membuat Komisaris Polisi Van Eechoud kesal. Pasalnya, “Perhimpunan Kong Ek juga telah membuat perjanjian dengan Belanda, bahwa bila terjadi perang, etnis Tionghoa tidak akan terkena dampak buruk. Mereka bahkan menyediakan kapal dan tiket pesawat terbang bagi warga Tionghoa. Tapi diam-diam di belakang, kami mendukung gerakan pro-Indonesia,” Piabon Mai terkekeh. Rumah Jakub Thung pun sempat disita dan ditutup.
Setelah Irian Barat resmi masuk wilayah NKRI, rumah Perhimpunan Kong Ek diserahkan kepada Angkatan Laut dan Kodim yang kala itu mencari markas. “Kebetulan saat itu saya dan teman bernama Go Sun Kwan yang bertanggung jawab terhadap rumah itu,” kata The Liong Fo. Kakek yang dikenal dengan nama ‘Ncek Banua ini kemudian menyerahkan rumah itu untuk dijadikan markas.
Karena jasa dari para peranakan Tionghoa ini, ketika ada masalah kebijakan kewarganegaraan tahun 1962-1963, mereka terhindar dari masalah. “Stefanus Rumbewas, teman seperjuangan kami menghadap Presiden Soekarno dan menceritakan tentang dukungan warga Tionghoa. Karenanya kami semua langsung diberikan ‘hadiah’ kewarganegaraan Indonesia.” Semua tata cara kepengurusan dan pengadilannya berjalan sangat lancar. Liong Fo juga mengatakan tidak ada biaya administrasi yang harus mereka keluarkan. Kebanyakan kami lalu sekalian mengambil nama marga ibu yang asli Papua, tapi kami juga diperbolehkan mempertahankan nama keluarga Tionghoa kami.
Baik Liong Fo dan Piabon Mai merasa puas dengan perjuangan yang turut mereka lakukan untuk menyatukan Papua ke dalam wilayah NKRI. Mereka pun masih berpendapat bahwa Papua dan NKRI tidak dapat dipisahkan. “Tapi sekarang banyak yang menyesalkan perjuangan kami, karena sebagian orang Papua kini tidak puas dengan pemerintah Indonesia,” tutur Piabon Mai. Hal inilah yang dirasakan Tommy Chung Erari, menantu Jakub Thung yang berpendapat bahwa pemerintah Indonesia tidak memperlakukan masyarakat Papua dengan adil, termasuk dalam menangani kasus Organisasi Papua Merdeka.
“Papa memang berjuang supaya Irian Barat masuk Indonesia. Tapi kini, kami sebaliknya. Karena kami semua merasakan tekanan cukup berat sebagai masyarakat Papua,” kata pria bermarga Chung ini. “Banyak sekali pelanggaran HAM.” Keprihatinan Tommy dituangkan dalam usahanya membentuk zona damai. “Kami, semua dewan adat, bersama semua penduduk pendatang baik dari Jawa, Makasar dan lain-lain, menyerukan perdamaian di bumi Papua,” kata pria yang menjadi ketua zona damai ini. Tahun 2000, mereka menguburkan senjata, baik tradisional dan modern, sebagai tekad agar kekerasan berakhir.
Tommy berpendapat bahwa pendekatan yang dilakukan tentara Indonesia kepada masyarakat sipil Papua berlebihan. “Orang Pa¬pua dibiarkan hidup dalam kekerasan. Semua gejolak yang terjadi ini adalah rekayasa. Bagaimana bila penduduk dan rakyat merasa takut dengan pemimpinnya?” Tommy memberi contoh kecil saat ia membawa rombongan penari asli pedalaman untuk pentas seni di Hotel Borobudur Jakarta, pada tahun 2000, salah satu penarinya mencoba melarikan diri. “Ia sangat ketakutan dan menyangka ‘orang Indonesia’ akan membunuh mereka sesampainya di Jakarta.”
Tommy juga berpendapat bahwa masalah pengibaran bendera bintang kejora tidak perlu diributkan. Sama dengan peneliti LIPI Ikrar Nusa Bhakti, ia lebih mengasosiasikan pengibaran bendera itu sebagai perlambang fajar merekah di ufuk timur, sebuah harapan baru bagi Papua, dan bukan perlambang tindakan makar terhadap NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar