Senin, 20 Juni 2022

Museum Bahari Dan Bukti Kejayaan Maritim Nusantara



sumber gambar




Museum Bahari sendiri merupakan sebuah museum yang menyimpan koleksi yang berhubungan dengan kebaharian, kemaritiman atau kelautan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Saat ini Museum Bahari berada dalam pengawasan Dinas Kebudayaan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Museum ini juga berdekatan dengan Pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan bersejarah di Jakarta.

Pada masa kependudukan Belanda, Museum ini dulunya adalah sebuah gudang yang berfungsi untuk menyimpan komoditi-komoditi utama VOC yang laris di pasaran Eropa. Pembangunannya sendiri dilakukan secara bertahap dimulai tahun 1652-1771 dan memiliki dua sisi, yaitu bagian timur dan barat.

Kemudian sempat beralih tangan di masa kependudukan Jepang, gedung ini pun difungsikan sebagai penyimpanan barang logistik dan segala kebutuhan tentara Jepang. Setelah Indonesia Merdeka, gedung ini lantas beralih fungsi menjadi gudang untuki PLN dan PTT. Barulah pada 1976, bangunan cagar budaya ini dipugar dan diresmikan sebagai Museum Bahari di tahun 1977.

Saya sendiri berkunjung pertama kali pada tanggal 13 Oktober 2019. Saat itu sedang diadakan acara tahunan yaitu Hari Museum Nasional yang tepatnya berada di Fatahillah Square. Dan saya pikir, sekalian saya kunjungi Museum Bahari.

Jarak dari Fatahillah Square ke Museum Bahari sekitar 1 km. Dan saya tempuh jarak itu dengan berjalan kaki, karena awalnya saya kira jaraknya tidak terlalu jauh. Sesampainya disana, Menara Syahbandar menjadi penanda bahwa saya telah tiba di lokasi.

Pertama kali saya melihat bangunannya, bangunan Museum Bahari tampak persis seperti bangunan-bangunan kolonial pada umumnya. Karena difungsikan sebagai gudang, maka sepertinya para pembuatnya dahulu lebih mementingkan luas atau daya tampung bangunan ketimbang arsitekrur ataupun estetika. (Benarkan saya kalau salah.) Bangunan ini berbentuk panjang, dan setiap beberapa meter terdapat jendela dengan sistem buka tutup. Bukan dengan kaca seperti jendela-jendela di masa sekarang. Ukuran atau lebar temboknya pun lumayan besar, mungkin sekitar 3 kali lebar tembok rumah saya.

Lanjut saya masuk dan membeli tiket, harganya sekitar 5000 kalau tidak salah. Kemudian saya masuk ke ruang koleksi yang berada di lantai pertama. Suasana begitu sepi, Yup sepi. Hanya saya seorang di ruangan seluas itu dan dengan beraneka ragam koleksi yang bagi saya ini spektakuler. Beberapa diantaranya merupakan warisan atau peninggalan leluhur kita di masa lalu.

Ada banyak yang dipamerkan di museum ini, perahu, dayung, meriam sampai jangkar. Hampir semua peralatan melaut ada disini lengkap dengan penjelasannya. Selain itu disini juga terdapat banyak miniatur kapal dan pelabuhan beserta keterangan lengkap dan sejarahnya. Sebagai contohnya yaitu miniatur Pelabuhan Makassar yang merupakan pelabuhan internasional yang besar di masa lalu. Ada banyak pula sampan atau perahu kayu yang ukurannya lumayan panjang dan besar.












Di lantai dua terdapat perpustakaan dan juga ruang koleksi lagi.di lantai dua ini, lantainya tidak memakai keramik melainkan kayu, persis seperti bangunan Belanda lainnya. Di ruang koleksi lantai dua, saya menemukan semacam diorama-diorama mengenai bangsa-bangsa ataupun tokoh-tokoh yang memiliki riwayat penjelajahan samudra yang hebat. Mulai dari bangsa arab, persia sampai india. Disini juga dilengkapi dengan patung-patung untuk menarik perhatian pengunjung.
Tak hanya diorama, tentu saja dengan dilengkapi bacaan sebagai pengantar mengenai sejarah bangsa-bangsa atau tokoh yang ada dilantai dua ini.







Yang juga menarik bagi saya di lantai dua adalah sebuah ruangan kecil yang menyimpan komoditi ataupun rempah-rempah yang pernah laris di pasaran Eropa dahulu kala. Mulai dari cengkeh, pala, kunyit dan kedawung. Ada banyak disana berikut dengan nama jenisnya.


Quote:


Dan di luar ruang koleksi lantai dua, tepatnya di depan tangga. Ada sebuah pintu terbuka yang menghubungkan ke sebuah tempat semacam balkon. (Benarkan jika saya salah.) Di balkon itu angin laut terasa begitu sepoi-sepoi, tak jauh dari balkon terdapat sebuah dinding mirip benteng yang tidak terlalu besar tetapi kita bisa menginjakkan kaki di atas benteng itu. Gimana ya? Agak sulit dijelaskan, tapi saya punya fotonya. Pokoknya suasana di balkon ini itu terasa Belanda banget. Suasana kolonialnya begitu terasa. Cocok untuk lokasi berfoto.



Tak lupa juga, di bagian tengah antara gedung satu dan dua terdapat sebuah ruang kosong yang biasa digunakan untuk bersantai. Dan disini kita seperti kembali ke suasana kolonial kala Belanda masih di tanah air. Intinya, tempat ini sangat khas dengan Belanda. Dan saya suka itu.




Pada intinya, menurut saya Museum Bahari ini lumayan sepi ketika saya datang. Entah karena posisinya yang tersembunyi dan jauh dari tempat wisata Kota Tua lainnya. Akan tetapi sebenarnya banyak sejarah yang bisa kita pelajari disini. Mulai dari bangunan museum ini sendiri ataupun lingkungan sekitar.

Seperti menara Syahbandar yang pernah menjadi titik 0 km Jakarta. Galangan kapal VOC sampai Pelabuhan Sunda Kelapa yang legendaris itu. Muara sungai ciliwung yang ada dekat dengan museum juga pernah menjadi jalan masuk untuk para kapal-kapal yang berlabuh di Batavia.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan pengetahuan yang saya miliki, mungkin hanya ini yang bisa saya bagikan. Bukan bermaksud apa-apa, saya hanya ingin berbagi mengenai pengalaman saya berkunjung ke Museum Bahari yang entah mengapa memberi kesan spesial di hati saya. Walau sudah banyak museum yang saya kunjungi sebelumnya. Mungkin karena suasana sepi, saya jadi bisa sedikit lebih dalam menghayati suasana kolonial di Museum ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar