TEMPO.CO, Jakarta - 13 Mei, 20 tahun lalu. Jakarta membara. Sehari setelah tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa, Ibu Kota dilanda kerusuhan massal. Masyarakat menjarah dan membakar pusat-pusat pertokoan. Sebuah kabar lain menyeruak: kasus pemerkosaan Mei.
Pada sore hari, Ita Fatia Nadia mendengar kabar adanya pemerkosaan yang terjadi saat peristiwa tadi berlangsung. Ia mendengar pemerkosaan terjadi di daerah Pluit, Jakarta Utara.
Saat itu, ia masih merasa percaya tak percaya akan informasi tersebut. Sebab, situasi masih sangat kacau. "Demo masih terus berlangsung kemudian pembakaran mal juga," ujar Ita Nadia yang ditemui Pribadi Wicaksono dari Tempo, di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Sehingga waktu itu dia belum bisa memastikan kebenaran informasi itu.
Menjelang magrib Ita kembali mendapat informasi bahwa ada dua kasus pemerkosaan lagi yang terjadi, yaitu di Jembatan Tiga, Jakarta Utara; Cengkareng, Jakarta Barat dan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia dan beberapa kawannya pun merasa kebingungan akan apa yang mesti dilakukan setelah mendapat tiga laporan itu. Ita kemudian menelepon Sandyawan Sumardy, Koordinator Tim Relawan Untuk Kemanusiaan guna melaporkan aduan itu. "Sampai malam kami tidak melakukan apa-apa dalam suatu kebingungan."
Pada malam hari itu, Sandyawan pun meminta para anggota relawan berkumpul di markasnya di Jalan Arus untuk membahas laporan tersebut. Akhirnya, pada malam itu juga dibentuk tim untuk mendatangi lokasi laporan dugaan pemerkosaan dan didapati bahwa laporan itu memang benar. "Telah terjadi perkosaan seperti yang dilaporkan," kata dia.
Esoknya, Ita mengatakan telepon di Kantor Kalyanamitra seakan tak berhenti berdering. Dalam sehari, ia mendapat laporan terjadinya pemerkosaan antara lain dari daerah Glodok, Jembatan Tiga, Jembatan Empat, Jembatan Lima. Pelapor dari kawasan Jakarta Utara, di Jakarta Timur dan Jakarta Barat mendominasi laporan itu. Di hari yang sama, tim relawan pun membuka layanan hotline bagi warga yang mau melaporkan kasus pemerkosaan itu.
"Dari beberapa laporan yang kami tindak lanjuti itulah, kami melihat ada sebuah pola yang nyaris sama dalam kasus pemerkosaan itu," ujar Ita. Peristiwa dimulai dengan aksi penjarahan dulu dengan sangat cepat. Setelah itu, sejumlah orang masuk khusus memperkosa kemudian dilanjutkan perusakan rumah. Massa yang menjarah itu sulit teridentifikasi.
Meskipun korban rata-rata tak sempat mengidentifikasi pelaku pemerkosaan, Ita mengatakan ada beberapa korban dan saksi mata yang sempat mengidentifikasi pemerkosa. Kata Ita, pemerkosa hanya sekitar 3-4 orang dari massa yang melakukan penjarahan. "Badannya tegap, rambut cepak, dan dilakukan sangat cepat," kata dia. Pemerkosaan juga dilakukan tak hanya dengan memasukkan alat kelamin, melainkan dengan menggunakan alat tertentu.
Ita lantas teringat pada sebuah peristiwa di tanggal 17 Mei 1998. Kala itu ia mendampingi seorang korban pemerkosaan hingga meninggal dunia. Kasus itu menimpa keluarga keturunan Tionghoa di Tangerang Selatan. Pemerkosaan pertama kali dialami sang ibu, lalu anak pertama yang berusia 18 tahun, dan terakhir anak kedua yang berusia 11 tahun, Fransisca. Ketiganya meninggal setelah beberapa hari perkosaan karena pendarahan hebat.
Ita menuturkan Keluarga Fransisca diperkosa malam hari dan tidak langsung dibawa ke rumah sakit oleh kerabatnya, melainkan ke pengobatan tradisional di dekat sana. Fransisca meninggal akibat infeksi di alat kelaminnya setelah diperkosa menggunakan botol yang ujungnya dipecahkan. "Fransisca meninggal di pangkuan saya, 21 Mei jam 11 siang," kata Ita.
Kondisi Fransisca sebenarnya sempat membaik, namun kemudian kondisinya drop dan meninggal. Sebelum mengembuskan nafas terakhirnya, Fransisca sempat bertanya kepada Ita, “Apa salah saya ya Bu?” Ita kemudian berjanji menemani jenazah sang bocah hingga dikremasi. "Bapak mereka sampai sekarang masih dalam kondisi kurang waras di Tangerang dan adik laki-laki Fransisca pergi merantau ke Singkawang."
Kisah lain yang tak pernah hilang dari ingatan Ita Nadia adalah peristiwa kematian Ita Martadinata. Ita Martadinata adalah salah seorang korban pemerkosaan yang akan melapor ke Persatuan Bangsa-Bangsa. Sepekan sebelum laporan ke PBB, Ita Nadia mendapat kabar bahwa Ita Martadinata dibunuh di rumahnya. Padahal, persiapan keberangkatan Ita Martadinata sudah mantap. Kabar itu pun tersebar hingga ke telinga Sandyawan. Mereka pun berangkat ke rumah Ita Martadinata.
Ita Nadia yang sampai duluan di rumah Ita Martadinata langsung masuk dan menuju kamar di lantai dua. Di sana ia melihat sang korban telah meninggal dengan kondisi leher tergorok hampir putus dan sebilah kayu menancap di duburnya. Darah menggenang dan pisau yang digunakan membunuh Ita Martadinata pun ada di sana. "Saya sudah tak bisa berpikir apa-apa lalu turun dan Romo Sandyawan berdoa untuk jenazah Ita."
Namun, Ita Nadia heran saat itu polisi malah meminta jenazah Ita Martadinata langsung dikremasi, tanpa sebelumnya otopsi atau penyelidikan. Setelah itu, polisi menyatakan bahwa Ita Martadinata dibunuh oleh tetangganya. "Tapi motifnya apa sampai sekarang nggak jelas dan tertangkap," ujar dia.
Dalam peristiwa itu, Sandyawan punya cerita berbeda. Sembari menunjukkan foto jenazah Ita Martadinata di ponselnya, ia mengatakan sempat berpapasan dengan intelijen aparat di lokasi. Saat itu, ia bersama dengan pewarta Iwan Setiawan dikira sesama petugas intelijen. "Saya mendengar mereka mau menata pakaian Ita, dan menyettingnya seakan-akan Ita sering melakukan sodomi," kata Sandyawan.
Kematian Ita Martadinata ternyata berdampak besar bagi korban-korban pemerkosaan lainnya. Ita Nadia berujar, semenjak peristiwa itu, banyak korban yang langsung tutup mulut atas kejadian yang menimpa mereka. Tak hanya korban, sanak keluarga korban juga ikut bungkam.
"Kasus Ita ini juga membuat kami para relawan kesulitan untuk bertanya, mengambil data, dokumen," ujar Ita Nadia. "Kasus pembunuhan Ita membuat seluruh proses mengumpulkan data perkosaan Mei 1998 menjadi seolah berhenti.
Kasus pemerkosaan ini sempat dilaporkan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dipimpin Saparinah Sadli kepada Presiden BJ Habibie saat itu. Namun Ita mengisahkan, Panglima Angkata Bersenjata Republik Indonesia saat itu Wiranto sempat marah dengan laporan pemerkosaan ini.
Bahkan Penasehat Militer Presiden BJ Habibie saat itu Letnan Jenderal Sintong Panjaitan menurut Ita sempat menunjuk-nunjuk wajahnya karena kemarahannya. Mereka menganggap laporan pemerkosaan ini bohong belaka.
Sempat dicap sebagai pembohong oleh Wiranto dalam pertemuan Oktober 1998 itu, Ita bergeming. Ia tetap tenang. Ita pun duduk berhadapan dengan Habibie lantaran ia yang memegang semua dokumen data korban pemerkosaan Mei 1998 yang sudah diverifikasi. Ternyata saat itu, sikap Habibie berbeda dengan Wiranto dan Sintong. Habibie hanya diam.
"Setelah itu Habibie bilang pada kami, ‘Saya percaya dengan ibu-ibu ini. Karena saya punya keponakan yang sahabatnya juga ikut diperkosa saat Mei 1998, dan saya percaya karena keponakan saya sendiri yang bilang dan saya juga sudah menemui korban itu',” ujar Ita menirukan Habibie.
Setelah itu Ita mengatakan Saparinah Sadli yang memimpin rombongan mengatakan pemerintah harus membentuk komisi untuk menangani kekerasan pada perempuan dan meminta negara mengakui terjadinya peristiwa itu serta meminta maaf. "Pak Habibie setuju."
Sandyawan, yang juga pernah menjadi anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 berpendapat pemerkosaan adalah sebagian dari tragedi kriminalitas terhadap kemanusiaan yang luas, masif, dan sistematis. Berdasarkan data TGPF, ada 52 korban pemerkosaan pada tragedi itu. Hal tersebut telah sesuai dengan bukti medik. Data tersebut berbeda angkanya dengan data ralawan yang mencatat 150-an korban.
"Karena waktu itu kami menggunakan definisi yang berbeda soal pemerkosaan," kata Sandyawan. Relawan menganut definisi bahwa pelecehan seksual pun termasuk ke dalam pemerkosaan.
Berdasarkan investigasi TGPF saat itu, Sandyawan mengatakan pemerkosaan adalah salah satu alat teror untuk menebarkan ketakutan. Pernah, kata dia, nomor telepon relawan yang tercantum dalam sebuah buku tersebar. Alhasil, para relawan ada yang mengalami teror melalui telepon, salah satunya adalah asisten Sandyawan, Loretta. waktu itu ia diteror dan diancam akan diperkosa. "Loretta awalnya nantangin, ternyata benar saja, datang orang berbadan tegap," ujar dia.
Setelah 20 tahun reformasi, kasus pemerkosan Mei itu masih belum juga tuntas. Padahal Sandyawan mengatakan TGPF telah merampungkan laporannya. Menurut dia, perlu ada kemauan politik untuk bisa menyelesaikan kasus tersebut. Sebab, hampir semua kasus di masa lalu telah rampung penyelidikannya, namun Jaksa Agung belum juga memulai penyidikan.
"Di mana politisi yang mau meneyelesaikan kasus HAM masa lalu? Malah banyak orang bilang agar melupakan masa lalu," kata Sandyawan. Ia mendorong pemerintah berbesar hati mengakui kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Dengan begitu, peristiwa-peristiwa yang sama tak terjadi lagi di massa depan dan bangsa Indonesia bisa lebih bermartabat.
"Sudah saatnya kita membuat tugu peringatan untuk kekejian kita sendiri," kata Sandyawan.
Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Komnas HAM telah menyerahkan Laporan Hasil Tim ad hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 kepada Jaksa Agung. Namun, terjadi tiga kali bolak balik berkas antara kedua lembaga itu. Pada 28 April 2008 Komnas HAM kembali mengembalikan berkas itu ke Jaksa Agung. "Proses ini tidak menemui solusi apa pun dan Jaksa Agung tetap tidak melakukan penyidikan," ujar Koordinator Kontras Yati Andriyani.
Adapun dalih Jaksa Agung tak memulai penyidikan antara lain syarat formil, yaitu berita acara pemeriksaan yang belum lengkap sehingga tak memenuhi pro yustisia. Selain itu, kata Yati, ada kelemahan syarat materiil yaitu ketiadaan bukti yang jelas sehingga membuat laporan tidak lengkap. "Jaksa Agung juga berdalih bahwa selama usulan DPR untuk pengadilan HAM ad hoc belum dibentuk, mereka kesulitan untuk mendapatkan izin dan akses dari ketua pengadilan dalam proses penyidikan," ujarnya.
Terima Kasih.
Sumber : klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar