7 Fakta Pasukan Cakrabirawa yang Dianggap Sebagai Eksekutor G30S/PKI: Ini Pengakuan Mantan Anggota
IST/Wartakota
Pasukan Cakrabirawa. Simak fakta-fakta tentang Pasukan Cakrabirawa yang selama ini dianggap sebagai eksekutor Gerakan 30 September atau G30S/PKI.
SURYA.co.id - Berikut fakta-fakta tentang Pasukan Cakrabirawa yang selama ini dianggap sebagai eksekutor Gerakan 30 September atau G30S/PKI.
Diketahui, Pasukan Cakrabirawa langsung tercoreng setelah beberapa anggotanya terpengaruh PKI dan menjadi eksekutor dalam aksi G30S/PKI.
Pasukan yang bertugas sebagai pengawal Presiden Soekarno ini, satu per satu anggotanya ditangkap untuk diselidiki keterlibatannya dengan PKI.
Bahkan, beberapa mantan anggotanya mengaku langsung dijebloskan ke penjara tanpa proses persidangan.
Lantas, seperti apa profil Pasukan Cakrabirawa? Dan bagaimana pengakuan mantan anggotanya?
Berikut ulasan selengkapnya.
1. Awal terbentuk
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan, sudah dibentuk sebuah Polisi Istimewa (Tokubetsu Keisatsu Tai) yang bertugas untuk mengawal presiden.
Seperti dilansir dari buku 'Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno' karangan Asvi Arwan Adam dkk, Penerbit Kompas Gramedia (2014).
Di wilayah Jakarta, Polisi Istimewa tersebut dijuluki “Polisi Macan” di bawah pimpinan Gatot Suwiryo.
Polisi Macan inilah yang menjadi cikal bakal pasukan Cakrabirawa.
Pada tahun 1945, Gatot memindahkan anggota Polisi Macan ke Pasukan Pengawal Pribadi Presiden (Tokomu Kosaku Tai) di bawah pimpinan Mangil Martowidjojo
Pasukan ini bermarkas di Kantor Pusat Kementerian Negara sekaligus asrama di Gedung Kementerian Dalam Negeri (kini Jl Veteran) di bawah pimpinan Raden Said Soekanto.
Tugas-tugas Pasukan Pengawal Pribadi Presiden itu antara lain:
- Mengamankan perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI 17/8/1945
- Membantu pengamanan Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada bulan September 1945
- Mengawal rombongan Presiden dan Wakil Presiden dalam perjalanan secara rahasia menggunakan kereta api dari Jakarta menuju Yogyakarta pada 3 Januari 1946.
2. Beberapa kali berganti nama
Semenjak keberhasilannya mengungsikan rombongan Presiden dan Wapres ke Yogyakarta itu, Said Soekanto pada tahun 1947 membentuk kesatuan khusus bernama Pasukan Pengawal Presiden (PPP) dan dikomandani oleh Mangil.
Tugas utama PPP adalah menjaga keselamatan Presiden dan Wakil Presiden beserta seluruh anggota keluarganya.
Hingga tahun 1962, meskipun Presiden Soekarno telah mendapat pengawalan dari PPP, upaya pembunuhan terhadap Presiden masih tetap terjadi.
Mengingatbanyaknya ancaman yang mengincar jiwa Presiden Soekarno itu, ajudan Presiden, Letkol CPM Sabur, menghadap ke Istana Merdeka untuk menyampaikan laporan bahwa Departemen Pertahanan dan Keamanan berencana membentuk Pasukan Pengawal Istana Presiden (PPIP) yang lebih sempurna.
Tokoh yang ingin membentuk pasukan pengawal Istana Presiden itu adalah Jenderal AH Nasution, tapi Presiden Soekarno ternyata menolaknya.
Pasalnya Mangil saat itu sudah membentuk Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dan dirasa oleh Presiden Soekarno sudah cukup untuk mengawalnya.
Namun Letkol Sabur tetap mendesak Presiden Soekarno untuk membentuk PPIP dan akhirnya disetujui.
Presiden Soekarno bahkan menunjuk Letkol Sabur sebagai komandan PPIP dan dipercaya merekrut anggota PPIP yang berasal dari semua angkatan (AU, AD, AL, dan Kepolisian).
3. Berganti nama Pasukan Cakrabirawa
Pada 6 Juni 1962, PPIP berganti nama menjadi Cakrabirawa dan diresmikan oleh Presiden Soekarno
Sabur ditunjuk sebagai komandannya dan sudah mendapat kenaikkan pangkat sebagai Brigjen, dengan Wakil Komandannya adalah Kolonel Maulwi Saelan.
Cakrabirawa dalam dunia pewayangan merupakan senjata pamungkas milik Prabu Kresna yang jika dilepaskan bisa menyebabkan malapetaka yang dahsyat bagi musuhnya.
Seperti dikutip dalam buku 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia'.
4. Berkekuatan 3000 personel
Menurut Soekarno, pasukan Cakrabirawa berkekuatan 3000 personel yang berasal dari keempat Angkatan Bersenjata.
Setiap anggota Cakrabirawa berasal dari pasukan yang handal. Umumnya mereka berlatar belakang pejuang gerilya yang sudah berpengalaman.
Mereka direkrut dari bekas pasukan Raider Angkatan Darat, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, dan Brigade Mobil diberi nama Batalyon KK (Kawal Kehormatan).
5. Pembagian batalyon pasukan Cakrabirawa
Pasukan Cakrabirawa dibagi menjadi 4 Batalyon (I - IV)
Batalyon I dan II bertugas di Jakarta dan Batalyon III dan IV menjaga Istana Bogor, Cipanas (Cianjur), Yogyakarta, dan Tampaksiring (Bali).
Karena penugasan tersebut, Markas Batalyon I KK berada di Jalan Tanah Abang (kini Markas Paspampres) dan Batalyon II menempati asrama Kwini (sekarang ditempati Marinir angkatan Laut).
Batalyon I KK berasal dari satu batalyon Angkatan Darat dipimpin oleh Mayor Eli Ebram.
Ia hanya menjabat satu tahun lebih, kemudian naik pangkat menjadi Letkol.
Eli Ebram kemudian diganti oleh Letkol Untung, pindahan dari Kodam VII/Diponegoro, Jawa Tengah.
Batalyon II KK eks Pasukan KKO Angkatan Laut dipimpin oleh Mayor KKO Saminu, yang naik pangkat menjadi Letkol KKO.
Batalyon III KK dari PGT Angkatan Udara dipimpin oleh Mayor PGT.
Batalyon IV KK dari Brimob Angkatan Kepolisian dipimpin oleh Komisaris Polisi M.Satoto, yang naik pangkat menjadi ajun komisaris besar polisi (Letkol Polisi RI).
6. Dianggap pendukung PKI
Dalam G30S/PKI 1965, Letkol Untung dan satu peleton Cakrabirawa dari Batalyon I KK pimpinan Lettu Dul Arif, merupakan motor utama dalam aksi penculikan dan pembunuhan 7 Jenderal Pahlawan Revolusi.
Akibat aksi Letkol Untung dan Lettu Dul Arif itulah nama Cakrabirawa pun tercoreng.
Para petinggi dan personel pasukan Cakrabirawa juga banyak yang ditangkap dan dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan.
7. Pengakuan mantan anggota
Sementara itu, pengakuan mengejutkan datang dari salah satu pasukan cakrabirawa yang menjadi saksi mata dalam tragedi G30S/PKI.
Ia mengaku sangat kaget saat menadapat perintah untuk menculik dan membunuh para Pahlawan revolusi.
Dia adalah Ishak Bahar (87), warga Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Lansia yang pernah menyandang pangkat terakhir Sersan Mayor (serma) itu saat peristiwa G30S bertugas sebagai Komandan Regu Pengawal Istana Batalion Cakrabirawa.
Melansir dari Kompas.com dalam artikel 'Kesaksian Eks Prajurit Cakrabirawa Saat G30S/PKI: Abdul Latief dan Untung Pamit ke Soeharto Sebelum Culik Dewan Jenderal'.
“Saya pendidikan di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) terus bertugas di pengawal Istana tahun 1964. Waktu Soekarno pidato di Konferensi Asia Afrika, saya yang mengawal presiden ke Aljazair,” kata Ishak saat berbincang di rumahnya, Rabu (29/9/2021).
Ishak mengungkapkan, keterlibatan dirinya dalam tragedi G30S adalah hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Dia merasa terjebak dalam pusaran politik yang menjungkirbalikkan nasibnya dari seorang patriot yang terhormat menjadi pesakitan berlabel pengkhianat negara.
Masih jelas di ingatan, saat Letkol Untung, pimpinan Ishak di Batalion Cakrabirawa memberi perintah untuk ikut bersamanya.
Padahal, sore itu juga, Ishak ada jadwal mengawal presiden ke Senayan.
“Sore itu sekitar jam 18.00 WIB, saya ada tugas untuk mengawal Soekarno ke Mabes Teknisi di Senayan, tahu-tahu Pak Untung datang minta saya ikut dia,” katanya.
Saat itu Ishak sempat bertanya kepada Untung karena perintah untuk mendampingi bertepatan dengan tugas mengawal presiden.
Namun, sebagai prajurit, dia terikat oleh sumpah militer untuk patuh kepada pimpinan, tidak membantah perintah atau putusan.
“Sudah jangan mengawal (presiden), ikut saya!” kata Ishak menirukan perintah Untung.
Dengan persenjataan lengkap, Ishak mengawal dalam satu kendaraan bersama Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), sopir dan ajudan.
Sesampainya di Lubang Buaya, Ishak diperintahkan untuk bersiaga di sebuah rumah pondok.
Menjelang tengah malam, pasukan Batalion Cakrabirawa yang lain datang berduyun-duyun.
“Saya kaget malah, pasukan-pasukan datang, ya anggota Cakrabirawa, teman-teman saya.
Tahu-tahu dibagi regu untuk menculik jenderal. Saya tidak (menculik), saya ngawal Untung di Lubang Buaya,” ujar Ishak.
Masuk 1 Oktober pukul 01.00 WIB, satu per satu regu bergerak untuk menculik Dewan Jenderal.
Pukul 03.00 WIB, para jenderal datang silih berganti.
Ishak menuturkan, tidak semua jenderal yang dibawa oleh prajurit Cakrabirawa dalam keadaan hidup.
“Jenderal Yani (Letjen Ahmad Yani), Panjaitan (Brigjen D.I. Panjaitan), Haryono (Mayjen Harjono) mati, dan Toyo (Brigjen Sutoyo) sudah meninggal. Yang hidup hanya tiga, Jenderal Prapto (Mayjen R. Soeprapto), Jenderal Parman (Mayjen S. Parman) dan Tendean (Lettu Pirre Tandean). Jenderal Nasution enggak ada,” kata Ishak.
“Saya kaget, saya panik malah, kok ada begini, ada apa,” sambungnya.
Karena kepanikan itu, para jenderal yang diculik, baik masih hidup atau sudah meninggal dijebloskan ke dalam sebuah sumur tua.
Tubuh mereka dilempar lalu ditembak dari atas secara membabi-buta.
“Saya menyaksikan langsung dengan satu polisi namanya Soekitman. Awalnya, Soekitman ini suruh dibunuh, tapi saya tahan, saya lindungi, saya bilang kamu tidak tahu apa-apa,” kata Ishak sambil memperagakan detik-detik penembakan.
Kelak, Soekitman yang diselamatkan Ishak ini menjadi saksi kunci bagaimana kebiadaban para tentara Cakrabirawa membantai Dewan Jenderal.
Dia pula yang menunjukkan lokasi jasad Dewan Jenderal dibenamkan dalam sumur tua lalu diuruk dan ditanam pohon pisang.
Ishak mengungkapkan, peristiwa pembantaian itu berlangsung sangat cepat. Bahkan, sampai detik terakhir penembakan jenderal, dia masih belum percaya apa yang terjadi di depan matanya adalah nyata.
“Saya hanya sedikit tahu kalau Dewan Jenderal ini mau menggulingkan Pak Karno, sebagai pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa berkewajiban menggagalkan itu,” terangnya.
Ishak mulai sadar, bahwa dirinya sudah terjebak masuk dalam pusaran gejolak politik yang maha dahsyat.
Meski demikian, Ishak belum sepenuhnya paham skenario seperti apa yang akan menjeratnya setelah itu.
“Setelah itu lalu bubar, saya enggak tahu (Untung dan Latief) pada ke mana, saya ditinggal dengan pasukan-pasukan yang lain. Saya pulang sendiri dengan pembawa truk, sopir dan Soekitman itu tadi,” katanya.
Sesampainya di markas Cakrabirawa, tidak berselang lama datang pasukan tentara berpita putih. Ishak dilucuti dan langsung dijebloskan ke penjara tanpa dimintai keterangan apa pun.
“Saya ditahan belasan tahun tanpa pakai persidangan apa-apa, hanya sekali dimintai keterangan jadi saksinya Untung,” ujarnya.
Selama 14 hari, Ishak ditahan di LP Cipinang. Di sinilah neraka dunia yang dirasakan bagi pasukan Cakrabirawa yang tertangkap, tidak terkecuali Ishak.
“Saya diberi makan jagung rebus saja, tapi tidak pakai piring, langsung disebar di lantai, dituturi (dipunguti) satu-satu,”
Selain itu, siksaan yang dialami selama di Cipinang juga tak bisa diceritakan dengan rinci oleh Ishak.
Dari sorot mata dan mimik muka, Ishak tampak masih menyimpan trauma akan penyiksaan saat proses interogasi di sana.
“Saya disuruh mengaku anggota ini, anggota itu, saya jawab enggak ngerti anggota, enggak ngerti partai, enggak ngerti apa-apa, gole (petugas) mukuli semaunya,” ungkapnya.
Setelah 14 hari, Ishak dan sejumlah anggota Cakrabirawa dipindah ke Salemba. Di sana dia menghabiskan 13 tahun lamanya dalam jeruji besi tanpa pernah mendapat peradilan yang layak.
“Banyak yang mati karena makanan ngga cukup, banyak juga yang mati karena disiksa. Temen-temen saya (Cakrabirawa) sudah habis, di sel banyak yang mati, dibebaskan apalagi, sudah,” kata Ishak.
Belasan tahun Ishak menempati sel berukuran 4x1 meter bersama empat rekannya. Hingga akhirnya, Ishak dibebaskan pada 28 Juli 1977 bebarengan dengan ratusan ribu tahanan politik yang lain.
Sepulangnya dari hukuman, Ishak masih harus dihadapkan dengan stigma masyarakat.
https://surabaya.tribunnews.com/2022...ggota?page=all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar