Baru-baru ini, berita tentang penghargaan kepada Night Club dan Diskotek Colloseum menjadi isu panas. Pro kontra tentang pemberian penghargaan itupun ramai di jagat sosial media dan berita online.
Sementara Jakarta, yang kotanya dibangun dengan pajak termasuk pajak bisnis haram (menurut sebagian orang), tak bisa menafikan keberadaan hiburan malam yang eranya dimulai pertengahan tahun 60an.
Bagaimanakah sebenarnya sejarah keberadaan bisnis hiburan malam di Jakarta?
Kita loncat dulu ya ke sejarah Diskotek pertama di Jakarta, nanti kita akan maju lagi ke depan, ke awal pendirian klub malam pertama di Jakarta.
Pemuda Keturunan Arab Bernama Achmad Fahmy Alhady dan Tanamur Diskotek
Awal pertama kali berdirinya Diskotek di Jakarta adalah sekitar tahun 70an. Saat itu berdiri Diskotek pertama di Jakarta bernama Tanamur (Tanah Abang Timur). Seperti kita ketahui bersama, kawasan Tanah Abang adalah kawasan yang dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Arab Betawi. Oleh sebab itu tak heran jika Diskotek Tanamur pemiliknya adalah seorang pemuda kaya keturunan Arab bernama Achmad Fahmy Alhady.
Saat itu Tanamur adalah tempat hiburan paling berkelas di Jakarta. Banyak pemuda-pemuda kaya raya menghabiskan waktu malamnya disini seiring dengan era rock and roll dan disco. Diskotek sendiri diambil dari istilah Perancis yaitu discothèque.
Achmad Fahmy Alhady sebenarnya adalah mahasiswa Teknik Industri di sebuah Universitas di Jerman. Disana, diapartemen yang ditinggalinya, ada sebuah diskotik atau klub malam dibagian lobinya, dan pemuda ini sering kesana untuk meluangkan waktu. Karena dia memang dari keturunan Arab kaya, dia seringkali berjalan-jalan keliling Eropa dan menikmati hiburan malam.
Hal ini berujung pada pendidikannya. Kuliahnya berantakan sehingga ia balik ke Indonesia dengan status DO.
Sepulang dari Jerman, dia berkeinginan untuk mendidikan sebuah Diskotek. Jelas hal ini bertentangan dengan latar belakang keluarganya yang identik dengan Islam. Tapi pemuda tersebut tetap bersikeras dengan rencananya. Akhirnya dengan modal uang sebesar 20 juta kala itu, dia berhasil mendirikan Diskotek pertama di Jakarta sekaligus di Asia.
Dengan bantuan kerabatnya, akhirnya sebuah bangunan tua disulap menjadi diskotek. Karena bangunan tersebut atapnya berbentuk piramida dan sebelahnya berbentuk kubah, banyak yang mengira bahwa diskotek itu adalah pengggabungan gereja dan masjid.
Dan tahukah siapa Achad Fahmy Alhady itu? Dia adalah mantan suami Ratna Sarumpaet, ibunda dari Atikah Hasiloan. Dan Atikah Hasiloan adalah anak kandung Achmad Fahmy Alhady.
Itu sekelumit sejarah berdirinya diskotek pertama di Jakarta. Lalu bagaimana dengan keberadaan awal pertama adanya Klub Malam di Jakarta? Ini ceritanya.
H. Usmar Ismail dan Night Club Pertama di Jakarta Yang Didukung Gubernur DKI Jakarta
Sejarah berdirinya Night Club atau klub malam di Jakarta tidak lepas dari seorang tokoh perfilman Indonesia yang namanya diabadikan menjadi nama Pusat Perfilman Indonesia H. Usmar Ismail. Usmar Ismail sendiri adalah orang berbeda dengan Ismail Marzuki. Ini supaya tidak salah kaprah.
H. Usmar Ismail dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Awal mula pendirian sebuah Klub Malam di Jakarta adalah ide dari H. Usmar Ismail kata itu, sekitar pertengahan tahun 60an setelah era keruntuhan Sukarno. Bisnis perfilman mandeg. Isu PKI marak. Disaat bisnis perfilman lesu, akhirnya H.Usmar Ismail membuat sebuah Klub Malam di lantai atas gedung Sarinah bernama Miraca Sky Club.
Miraca Sky Club mengadopsi klub-klub malam di Eropa dan Amerika. Jadi jangan heran jika disana tersaji aneka minuman keras, restoran, musik hidup, kabaret, perempuan pekerja seks komersial, perempuan pramusaji, hingga tarian telanjang! Dan tarian telanjang adalah acara yang sangat ditunggu-tunggu dan menjadi andalan klub malam tersebut. Para penarinya adalah penari dariluar negeri. Kadang sendiri, kadang berkelompok, kadang berpasangan laki perempuan.
Harga tanda masuk Miraca Sky Club benar-benar selangit kala itu. Bahkan harga makanan dan minumanpun bisa berkali-kali lipat dibanding diluar. Jika saat itu era 60an akhir pendapatan perbulan penduduk Jakarta antara Rp.1000,- hingga Rp.4000,-, setiap orang yang ingin masuk Miraca Sky Club harus menyediakan uang antara Rp.5000,- hingga Rp.8000,- semalam.
Tapi yang namanya hiburan baru di Jakarta, kalangan berduit tak peduli. Yang penting mereka bisa melepas penat ditemani wanita-wanita cantik, minuman keras dan hiburan tari telanjang.
Langkah yang diambil oleh H. Usmar Ismail bukan tanpa halangan. Dia dikecam dan dimaki oleh khalayak ramai, bahkan dimaki oleh partainya sendiri Nahdlatul Ulama. Tapi dia tetap pada pendiriannya. Dia bahkan berani menantang NU dengan mengancam keluar dari keanggotaan NU.
Lalu bagaimana dengan sikap Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin kala itu? Bang Ali Sadikin justru mendukung penuh! Miraca Sky Club mendapat legalitas surat usaha dari Pemprov DKI Jakarta.
Akhirnya bermunculanlah klub malam-klub malam lain. Dan setiap ada peresmian klub malam, Bang Ali Sadikin selalu hadir. Bahkan dia mengatakan kala itu, untuk menaikan pendapatan pajak dan pendapatan dari wisatawan, jumlah klub malam yang sudah 23 klub malam kala itu masih dianggap kurang untuk mendongkrak pendapatan ibukota dari sektor pariwisata, sekaligus menjadikan Hakarta sebagai kota tujuan pariwisata manca negara. Alhasil jumlah klub malam pun bertambah hingga 36 dipenghujung tahun 1972.
Makin banyaknya klub malam, makin padat juga jadwal pertunjukan tari telanjang. Dan karena kebutuhan hiburan seperti klub malam tak lagi tertampung di Jakarta, para pengusaha mulai merambah ke luar Jakarta dan mendirikan klub malam disekitar kota Jakarta bahkan hingga keluar pulau.
Alhasil pertentangan soal klub malam makin mengemuka. Yang setuju dan tidak setuju makin panas. Yang tidak setuju menganggap bahwa klub malam bukanlah budaya Indonesia. Adanya klub malam dianggap merusak tatanan masyarakat Indonesia karena menyediakan minuman keras, tarian telanjang dan pekerja seks komersial. Tapi bagi yang setuju, klub malam dianggap hanyalah hiburan semata dan tidak terlalu berpengaruh kepada masyarakat banyak, karena para pengunjung klub malam hanyalah orang-orang berduit.
Akhirnya kekerasanpun pecah. Di Medan, beberapa klub malam dirusak tanpa ampun oleh masyarakat sekitar. Tapi di Jakarta, semua klub malam aman tenteram karena telah mendapat ijin langsung dari Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.
Disamping itu, para penjaga klub malam adalah tentara-tentara yang menenteng senjata api. Keberadaan klub malam pun banyak dibeking oleh perwira-perwira TNI, bahkan para pemilik klub malam adalah kolega para perwira.
Ali Sadikin sendiri mengultimatum agar para penentang klub malam untuk enyah dari Jakarta dan jangan hilir mudik di jalanan ibukota, karena sebagian besar jalanan ibukota dibangun dari pajak uang haram bisnis hiburan malam dan judi.
Akhirnya era kejayaan klub malam pun rontok. Banyak klub malam yang tutup karena bangkrut akibat kebosanan para pengunjung yang melihat hiburan monoton. Dari 36 klub malam hanya tersisa 13, dan Miraca Sky Club termasuk yang bangkrut dan tutup.
Mulailah era Diskotek di penghujung tahun 70an. Konsep diskotek sendiri mengusung konsep anak muda yang lebih enerjik dengan musik menghentak di lantai disco. Dengan kerlap-kerlip lampu warna-warni dan DJ yang membawakan lagu-lagu hits dunia.
Dan seorang pemuda keturunan Arab yang tinggal di bilangan Tanah Abang memulainya dengan mendirikan Tanamur.
Kehidupan terus berulang. Yang kelihatan bagus tak selamanya bagus. Yang kelihatan buruk tak selamanya buruk. Tapi melihat sesuatu itu bagus dan buruknya dari sebuah politik identitas adalah hal yang sangat memalukan.
Uang sangat berperan bagi kehidupan, tak peduli dia keturunan mana. Itu fakta yang tak bisa dibantah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar