Jumat, 01 Oktober 2021

Tumpang Tindih Fakta dan Fiksi Gerwani Menyayat Kelamin Hingga Mencungkil Mata

 Seperti yang kita ketahui Gerwani adalah organisasi Gerakan Wanita Indonesia yang pertama kali didirikan pada tahun 1950 yang diketuai oleh Umi Sardjono.Organisasi Gerwani sendiri sebelumnya dikenal dengan nama Gerwis (Gerakan Wanita Istri Sedar). Awal mulanya organisasi ini turut andil dalam membela kaum feminisme di Indonesia namun secara perlahan perannya mulai bergeser ke ranah politik pada tahun 1960-an dan mulai berafiliasi dengan PKI.


Tumpang Tindih Fakta dan Fiksi Gerwani Menyayat Kelamin Hingga Mencungkil Mata
Gambar : Aktivis Gerwani saat latihan Dwikora


Lontaran hujatan dan fitnah mulai mencoreng nama Gerwani pada saat organisasi ini terlibat dalam peristiwa pembantaian tujuh jendral G30S PKI. Diceritakan bahwa saat itu mereka menari-nari telanjang di depan para tujuh perwira angkatan darat, para anggota PKI, Pemuda Rakyat, BTI dan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) sambil diiringi lagu Ganyang Kabir dan Genjer-genjer.
Para aktivis Gerwani tersebut dikatakan menari-nari sambil menyiksa para tujuh jendral besar tersebut dengan kejam di Lubang Buaya, dan tarian itu dikenal sebagai "Tarian Bunga Harum." 

Kekejaman Gerwani membuat rakyat Indonesia semakin meradang saat berita mereka semakin tersebar luas, dan hal tersebut tidak terlepas dari peran erat media massa saat itu untuk melancarkan aksi propaganda menciptakan stigma kengerian dan ketakutan. 

Berikut beberapa aksi propaganda peristiwa dan cerita yang berhasil dirangkum :

1. Adanya peran media massa kala itu.

Khususnya pada beberapa pemberitaan media massa harian militer antara lain seperti :
(Berita Yudha, 5 Oktober 1965) Mayjen Soeharto menyatakan," Jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala, betapa kejamnya aniaya yang dilakukan oleh petulang-petualang biadab dari apa  yang dinamakan Gerakan 30 September"
(Angkatan Bersenjata, 6 Oktober 1965) berbunyi, "Matanya dicungkil.",
(Berita Yudha, 10 Oktober 1965) "Ada yang dipotong tanda kelaminnya.",



Padahal beberapa hari pasca G30S PKI Berita Yudha memajang kliping penggalan  koran sayap kiri seperti; Harian Rakyat,Warta Bhakti dan Suluh Indonesia yang memuat berita yang sangat bersebrangan dengan harian militer :
(Harian Rakyat, 2 Oktober 1965) berbunyi, "Letkol Untung,Komandan Bataljon Tjakrabirawa menyelamatkan presiden dan RI dari kup Dewan Djendral ."

Tumpang Tindih Fakta dan Fiksi Gerwani Menyayat Kelamin Hingga Mencungkil Mata
Gambar : Koran sayap kiri Harian Rakyat

dan berita dengan judul yang hampir serupa pun dimuat di Warta Bhakti pada tanggal 01 Oktober 1965. Namun tiga hari setelah Berita Yudha terbit, muncullah intruksi dari Menteri Penerangan Mayor Djendral Achmadi melarang penerbitan koran sayap kiri dan menjadi awal mula media massa dikuasai oleh harian militer seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.


Selanjutnya setelah rezim beralih, di bawah tampuk kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto semua berita politik yang akan dimuat oleh TVRI dan RRI dikuasai oleh pemerintah dan harus seizin Pusat Penerangan Angkatan Darat.
Fiksi dan kekejaman yang dijadikan fakta ini ternyata bertahan selama puluhan tahun dan dikutip berulang-ulang oleh para wartawan dan sejarawan.

Bila kita ingin mengungkap fakta sebenarnya bisa dilakukan melalui hasil otopsi terhadap jenasah 6 jendral dan seorang perwira yang dikubur di Lubang Buaya, namun rupanya fakta ini disembunyikan rapat-rapat.Baru pada tahun 1987,seorang Indolog dari Univeristas Cornell, Ben Anderson mengungkapnya dan menimbulkan kehebohan.

Menurut hasil visum yang diketuai oleh Brigjen TNI dr Roebiono Kertapati menyatakan bahwa seluruh kelamin jenasah utuh, dan beliau mengatakan bahwa penyayatan kelamin yang dilakukan Gerwani hanyalah isapan jempol semata.Bahkan ada jenasah yang belum disunat dan diduga karena almarhum memang beragama Kristen. Sedangkan mengenai bola mata yang copot, hal tersebut terjadi karena posisi kepala yang jatuh terlebih dahulu saat dicemplungkan ke dalam sumur. Peran media massa ternyata sangat berpengaruh besar saat itu dan tentunya menjadi kendala bagi tim medis untuk menyusun laporan akhir otopsi, karena berita sudah tersebar luas dan terlanjur misleading mengenai kekejaman Gerwani.

Note : Lihat, Ben Anderson, "How Did the General Die" dalam Indonesia no.43 April 1987.Lihat juga hasil lengkap otopsi  (visum et repertum) pada Lampiran IV buku M.R Siregar (1995)


2. Adanya kesaksian 

Saat dimana para pihak militer mencoba membangun kengerian Gerwani pada peristiwa G30S PKI di Lubang Buaya, tentu saja para saksi mata menepis hasil rekayasa tersebut, seperti yang dikutip dari wawancara Saskia dengan salah satu sukarelawati anggota Pemuda Rakyat yang saat itu masih berumur enam belas tahun, gadis tersebut mengatakan,

" Saya pernah ikut latihan di Cipete, dan berkali-kali mengikuti latihan Dwikora.Sehingga saat itu saya diminta untuk ikut ke Lubang Buaya, tentu saja saya berangkat. Saya melihat bagaimana para tentara-tentara itu membunuh jendral-jendral, dan saya lari pulang."

"Pagi-pagi jam sembilan saya ditangkap dan ditahan dua minggu.Saya dipukuli dan diintrogasi.Mereka memaksa kami membuka pakaian, dan menari-nari telanjang di depan mereka, sementara mereka mengambil foto kami, lalu foto-foto tersebut disiarkan.Tak lama saya ditangkap lagi dan dilepas kembali. Seluruhnya saya pernah lima kali ditangkap dan dilepas lagi sebelum mereka akhirnya memutuskan untuk memenjarakan saya. Itu waktu permulaan November 1965 kemudian saya dilepas bulan Desember 1982."

Hal tersebut terjadi bukan hanya pada sukarelawati itu saja tapi dari beberapa saksi menyatakan hal yang bernada sama bahwa mereka ditelanjangi, difoto sambil disiarkan seolah-olah mereka berada di Lubang Buaya.

Selain kesaksian gadis itu ada juga cerita mengenai 3 orang wanita tuna susila yang saat itu ikut ke Lubang Buaya yaitu Saina, Emmy,dan Atikah. Ketiganya pun sama melarikan diri dan dikejar oleh Agen Intelejen dan pihak Angkatan Darat, namun yang berhasil ditangkap dan disiksa terlebih dahulu adalah Saina dan Emmy, sedangkan Atikah tidak dapat tertangkap karena sempat berganti nama menjadi Jamilah, namun pihak Angkatan Darat tahu sampai akhirnya mereka menemukan dua orang wanita yang bernama Atikah dan Jamilah yang akhirnya keduanya sama-sama disiksa hebat.

Pada Agustus 1965 Emmy berhasil dibebaskan dari penjara Bukit Duri dengan tuduhan melacur yang kemudian ia kembali pada pekerjaannya di Halim, namun pada bulan Oktober ia kembali ditahan di Bukit Duri dengan tuduhan sebagai tahanan politik, hal tersebut terjadi karena Emmy akan dijanjikan dibebaskan dan diberi uang sebanyak satu juta dua ratus ribu rupiah dengan syarat harus menandatangani surat pernyataan.

Emmy yang buta huruf dan tidak tahu menahu tentang Gerwani merasa lega mendengar hal itu karena berpikir penyiksaan pada dirinya akan segera berakhir, dan akhirnya ia setuju menandatanganinya, namun surat itu malah membawanya kembali ke jeruji besi dan ia hanya menerima dua ratus rupiah, sisa uang yang dijanjikan konon akan dibayar di kemudian hari.
Ternyata surat pernyataan yang ia tanda tangani adalah surat yang menyatakan bahwa Emmy adalah Ketua Gerwani cabang Jakarta dan turut andil dalam penyiksaan kelamin terhadap para jendral di Lubang Buaya, dan pada tahun 1979 Emmy baru bisa dibebaskan.

Note : Sejumlah pengakuan diambil dari wawancara Saskia dengan para korban dan saksi mata. Lihat Saskia (1999) hal.506

Tidak ada komentar:

Posting Komentar