Indonesia yang nyaman dengan aneka budaya dan makanannya, alam yang begitu indah, orang yang ramah-ramah ternyata tak membuat sebagian besar warga Indonesia di Jerman mau balik ke tanah air.
Pak Dody salah satu kawan ngopi disaat lengang, 35 tahun sudah tinggal di Jerman, seorong Doktor dan Engineer yang pernah kerja di Siemen Jerman enggan untuk pulang. Alasannya anak-anak ngga mau diajak pulang karena sudah sangat nyaman dengan sekolah gratis, tunjangan anak tiap bulan hingga uang pensiun yang besar. Sakitpun tak perlu direpotkan dengan jual rumah dan harta pribadi.
Ibu Eny, salah satu Ibu separuh baya yang bersuamikan orang Jerman, memilih untuk menetap di Jerman meskipun pernah lama tinggal di Indonesia. Dengan satu alasan cancer surivivor butuh biaya besar, dan pemerintah Jerman menjamin kebutuhan kesehatan warganya.
Fira, salah satu alumnus mahasiswa Kedokteran di Indonesia sudah setahun tinggal di Jerman dan ingin berkarir menjadi dokter ahli, meskipun tak mudah ia lewati semua prosedur yang ingin dia tempuh demi untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik €5000/bulan.
Begitupun ribuan anak-anak muda yang merantau dari sekolah S1 hingga S3 disini dengan harapan ingin memiliki kualitas hidup yang lebih baik, hal inipun pernah diamini Atase Pendidikan KBRI yang pernah saya temui.
Persoalan yang cukup mendasar mengapa mereka ingin dan betah tinggal di Jerman, setidaknya 3 hal yang saya catat;
1. Kepastian Hukum, soal hukum di negeri Kanselir tak bisa ditawar, urusan pelanggaran benar-benar ditegakkan, aturan tak bisa ditawar. Pantas semua prosedur disetiap pelayanan jasa pemerintah dicatat dan dibukukan dengan sangat rapi, karena aparatpun sadar, warga juga punya hak untuk menuntut diatas ketetapan hukum jika melanggar.
Dimata hukum tidak ada bedanya pejabat dan warga biasa, kaya miskin, semua sama saja kalau sudah salah penjara tempatnya.
2. Kualitas Hidup, ini yang cukup membedakan pengalaman di Indonesia dan Jerman. Tujuan hidup mereka tidak untuk menjadi kaya, tapi lebih keseimbangan hidup. Kerja bukan segala2nya tapi bagaimana keseimbangan antara kerja, keluarga dan kesehatan. Ekonominya tumbuh, daya beli tinggi, pemerintah obral tunjangan, tunjangan ibu, anak, orang tua bahkan pengangguran mendapatkan hak tunjangan. Beda dengan kita, PR nya banyak; baru dapat pekerjaan yang dipikirin banyak, motor, rumah, biaya nikah. Setelah nikah masih juga mikirin tabungan pendidikan anak, tabungan hari tua, asuransi kesehatan. Belum lagi ketakutan menghantui jika terjadi PHK. Kita kerja bukan untuk kita nikmati saat ini tapi justru untuk menyiapkan uang buat anak2 kita nanti dan persiapan hari tua. Tak heran di Indonesia semakin tua makin was was jika penyakit keras kita menguras harta.
Pengalaman seminggu persalinan istri menjadi kisah berarti buat saya bahwa negara hadir. Baru sehari dirawat, petugas catatan sipil yang berkantor di Rumah Sakit menawarkan tunjangan Ibu melahirkan €1000 dan buat anak sebesar €180/bulan sampe usia 18thn. Padahal tahu sendiri saya bukan warganya, bahkan mereka membuatkan akte kelahiran gratis tanpa ribet mengurus sendiri, belum selesai sampai disitu pasca persalinan Pemerintah menyediakan bidan yang datang 2x seminggu dalam 3 bulan untuk mendampingi dan melatih kami Semuanya gratis tanpa keluar uang sepeserpun.
3. Kualitas Pendidikan, dari usia 3thn anak bisa disekolahkan tanpa dipungut biaya, suami istri yang sibuk kerja tak perlu repot cari Au Pair atau baby sitter.
Sekolah SD hingga perguruan tinggipun sama, tak ada beban biaya, pemerintah menjamin kualitas pendidikan, karena mereka sadar pendidikan adalah kunci membangun peradaban.
Perguruan Tinggi di Jerman terkenal paling sulit di Eropa, gampang masuknya, susah lulusnya, kurang lebih seperti itu cerita pengalaman mahasiswa Indonesia di sini. Standar SKS nya tinggi, tanggung jawab dosennya sangat besar.
Saking perhatiannya dengan pelajar, banyak diskon menarik yang diberikan supermarket, store, tiket khusus mahasiswa.
Kalau kawan2 atau putra putrinya ingin kuliah gratis, Jerman bisa jadi pilihannya. orang tua tinggal memikirkan biaya hidup atau mencari beasiswa yang banyak disediakan pemerintah atau universitas.
Itulah sekelumit cerita yang bisa saya ceritakan dari sebuah negara kaya yang saat ini menampung lebih dari 2 Juta pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika. Seolah mereka ga kehabisan uang.
3 tahun sudah telah membuat saya dan istri banyak belajar, belajar bagaimana sebuah negara yang pernah terpuruk akibat perang menjadi negara besar yang banyak membantu misi kemanusiaan. Negara yang mengayomi semua agama, negara yang mengatur semua kebutuhan dasar warganya. Berharap Indonesia suatu saat akan menuju kesana, menjadi negara besar yang makmur semua warganya. Amiin.
Dalam waktu dekat kami akan pulang, meskipun berat, bagi saya Indonesia adalah mimpi kami, meski dengan pergulatan politik dan ekonomi yang tak pasti, kami yakin Indonesia tetap dihati.
Kelak besar nanti Muhammad Hameed Zayn Elmaany anak semata wayang akan kami ceritakan kembali kisahnya bahwa Jerman pernah merawatnya, Elmaaniy adalah negara tempat dia lahir, begitulah orang Arab biasa menyebutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar