Penulis Susy Ong dalam bukunya berjudul Seikatsu Kaizen, menderitakan bahwa pada masa lalu jam waktu Jepang sama dengan jam Indonesia yaitu, ngaret. Datang tepat waktu pada sebuah acara merupakan hal yang langka di Jepang kala itu.
Awal pendisiplinan Jepang ini terjadi ketika Jepang mulai berinteraksi dengan negara-negara barat. Susy menuliskan setelah sekian lama menutup diri dari dunia asing, pada 1871-1873, para petinggi Pemerintahan Jepang memutuskan melakukan kunjungan ke negara-negara barat seperti Amerika Serikat, dan 11 negara di Eropa.
Dipimpin oleh negarawan Iwakura Tomomi, rombongan itu mengunjungi pabrik, sekolah, pelabuhan, kantor pemerintahan, dan bertemu para pemimpin negara. Delegasi Jepang itu tercengang oleh kedisiplinan masyarakat barat. Kesimpulan dari Misi Iwakura ini adalah Jepang masih sangat tertinggal dalam industri dan kualitas SDM.
Oleh sebab itu Jepang harus mencontoh negara barat jika ingin maju. Merespon kunjungan tersebut, pemerintah Jepang bekerja sama dengan masyarakat kelas menengah mereka melaksanakan serangkaian kampanye nasional. Tujuannya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Jepang.
“Dari malas, santai, tidak disiplin, teledor, apatis, dan boros menjadi rajin, hemat, disiplin, teliti, dan antusias untuk maju,” tulis Susy.
Misalnya, pada 1889, beberapa tokoh masyarakat yang terkesan dengan kedisiplinan masyarakat barat lantas berinisiatif mendirikan Asosiasi Reformasi Pola Hidup Jepang. Motivasinya yaitu untuk menerapkan kedisiplinan kepada rakyat Jepang yang kala itu masih memiliki pola hidup kampungan.
Susy mengungkapkan kisah ketidakdisiplinan masyarakat Jepang ini tertuang dalam buku karya Ketua asosisasi tersebut Dohi Masataka. Dohi menuliskan masyarakat Jepang ketika itu tidak pernah datang tepat waktu ketika menghadiri rapat atau pesta. Mereka menganggap terlambat dan menyuruh orang lain menunggu adalah hal biasa.
Langkah nyata lainnya ditempuh dengan membentuk opini publik mengenai pentingnya reformasi pola hidup. Surat kabar, buku, majalah-majalah didorong untuk membangun kesadaran publik soal kedisplinan.
Hal itu terlihat pada 1903, ketika terbit buku tentang jam karya Ishii Kendo. Dalam buku itu, penulis membandingkan jam buatan Jepang, Swiss, dan Amerika. Kesimpulannya, jam buatan Jepang tingkat ketepatannya paling rendah.
Selain itu dikisahkan juga tentang pengalaman Yagi Hidetsugu, ilmuan Jepang penemu antena gelombang elektromagnetik yang murka ketika diundang oleh pemda mengisi ceramah tetapi hadirin dan pejabat pemdanya telat datang.
Tidak hanya lewat buku atau surat kabar, pada November 1919, kementerian pendidikan Jepang mengkampanyekan reformasi pola hidup dengan menggelar pameran life improvement di Museum Pendidikan Tokyo. Pameran itu menampilkan poster dan foto-foto mengenai pola hidup yang efisien mencakup segi sandang, pangan, dan papan.
Susy mencatat pameran tersebut mendapat sambutan luar biasa dari warga Tokyo. Akhirnya dibentuklah Better Life Union, perkumpulan hidup yang lebih baik dengan agenda antara lain tepat waktu, tata krama, buang kebiasaan gengsi, hilangkan tingkah laku menggangu kesehatan dan kebersihan umum, dan menabung.
“Sejak 1956, pemerintah dan tokoh masyarakat memulai kampanye nasional untuk meningkatkan moral publik yaitu mengajak rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan standar masyarakat beradab.”
Berkat ikhtiar konsisten ini, masyarakat Jepang memetik hasilnya. Mereka sekarang menjadi rujukan dalam ketepatan waktu. Dengan kata lain bangsa negeri matahari terbit ini tidak dilahirkan sebagai bangsa tepat waktu.
Dihubungi lewat sambungan telepon, Susy mengatakan, keberhasilan Jepang dalam mereformasi pola hidup seperti tepat waktu karena peran Pemerintah dan kelas menengah yang bersama-sama mengkampanyekan hal tersebut. Imbauan-imbauan tentang kedisplinan disebar ke seluruh penjuru negara hingga ke pelosok-pelosok. Umpamanya, poster-poster yang menyindir kebiasaan telat sebagai hal yang memalukan. Hal tersebut dilakukan secara konsisten.
“Jadi lama kelamaan orang makin sadar,” tuturnya kepada Bisnis.
Selain itu, ujarnya, tidak sekadar mengimbau tetapi juga ada penghargaan yang diberikan. Perusahaan atau instansi pemerintah akan memberikan penghargaan bagi pegawainya yang kerap tepat waktu. “Tidak hanya memberikan hukuman tetapi juga ada reward,” tutur wanita lulusan Universitas Tokyo ini.
Dalam konteks Indonesia, menurut Susy perusahaan memiliki andil besar dalam mereformasi pola hidup ini. Perusahaan-perusahaan bisa menjadi penggerak untuk mendisiplinkan para karyawannya demi efisiensi kerja. Di samping itu, tokoh masyarakat juga mempunyai peluang yang sama. Mereka dapat menjadi panutan dalam hal ini.
“Pemerintah juga perlu tetapi perlu dibantu oleh perusahan dan tokoh masyarakat.”
Dalam kesempatan terpisah, Sosiolog dari Universitas Padjajaran Yusar Mulijadji berpendapat budaya tepat waktu di Jepang hadir seiring keterbukaan mereka pada dunia barat pada era resotrasi Meiji. Mereka mengambil hal-hal positif dari barat termasuk budaya tepat waktu. Padahal masa lalunya, mereka juga terkenal ngaret.
Dalam beberapa catatan, ujarnya, pelayar Inggris mengeluhkan hal tersebut. Mereka melihat orang Jepang memang pekerja keras tetapi tidak tepat waktu. “Jadi budaya [tepat waktu orang Jepang] tidak murni-murni budaya Jepang tetapi impor dari barat-industrial. Tetapi modal awal bekerja kerasnya sudah ada dalam spiritualitas orang Jepang,” ujarnya.
Dalam kasus Indonesia, Yusar menilai industrialisasi baru menyentuh fisik belum pada aspek pola hidup. Menurut dia, industrialisasi akan mengubah seseorang dari yang asalnya mengandalkan metafisis menjadi saintis. Namun industrialisasi yang terjadi di Indonesia belum masuk ke proses manusianya.
“Saya kira itu titik pentingnya kenapa kita selalu jam karet. Industrialisasinya tidak terserap sempurna,” ujarnya.
Sumber :
Tempo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar