Rabu, 25 November 2020

AKHIRNYA MEREKA SADAR MANFAAT UU CIPTA KERJA

Ada sebuah poster yang mengundang orang untuk mengkuti diskusi soal UU Ciptakerja. Tema diskusi onlinenya adalah, 'UU Ciptakerja dan Manfaatnya Untuk Perekonomian Nasional.'

Penyelenggara diskusi adalah majalah Tempo, dengan sponsor dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Salah satu pembicaranya adalah Sofyan Djalil, Menteri Pertanahan dan Agraria. Sofyan adalah salah satu orang yang berada di belakang ide UU Cipta Kerja ini.

Kita tidak bicara kengototan Tempo yang dulu gak setuju dengan UU Cipta Kerja. Bahkan sampai meneriakkan pembangkangan sipil segala. Toh, kini Tempo sudah mulai terbuka matanya. Melihat manfaat UU ini bagi perekonomian nasional.

Tentu diskusi ini menarik. Sebab baru saja UU Cipta Kerja disahkan, di BKPM kabarnya sudah antri 153 perusahaan dari luar negeri yang mau menanamkan duitnya di Indonesia. Mereka berniat membangun usahanya di sini.

Kalau pengusaha asing berbondong-bondong berinvestasi di Indonesia, yang akan mendapat manfaat adalah masyarakat juga. Lapangan pekerjaan terbuka. Serapan tenaga kerja tinggi. Setidaknya ada transfer pengetahuan dan keterampilan saat mereka bekerja di sana.

Tapi, UU Cipta Kerja bukan melulu memudahkan investasi asing. Itu hanya bagian kecil saja dari seluruh rebirokratisasi yang dijalankan pemerintah. Yang paling kentara adalah mudahnya semua WNI membuat usaha. Kita tidak lagi harus dipusingi dengan beban administrasi yang segunung.

Anda punya ide usaha, ada pengalaman, punya keterampilan, sudah bisa mendirikan badan usaha sendiri. Tanpa harus berbiaya banyak, seperti ke noraris dan sebagainya. Cukup mendaftar. Usaha Anda akan tercatat resmi.

Bermodal ini Anda bisa ikut tender baik di pemerintah maupun. Apalagi dalam aturan, setiap Kementerian wajib menyisihkan sekian persen belanjanya untuk UMKM. Artinya UU ini membuka ruang bagi siapapun untuk membuka usahanya sendiri. Dan jalannya dipermudah.

Mudah bukan berarti serampangan. Yang paling penting adalah kepastian hukum. Kalau sebuah usaha gak diberi izin, karena menggunakan cara produksi yang beresiko, dari awal sudah disampaikan. Jadi gak buang-buang waktu. Apalagi kalau malah dibola kanan kiri dengan uang kutipan segala.

Itulah kepastian hukum. Pengusaha lebih suka hukum yang pasti ketimbang wilayah yang abu-abu. Dengan kepastian itu semua bisa diprediksi. Diperhitungkan. 

Lalu bagaimana bagi mereka yang gak bakat jadi pengusaha jika UU ini hanya memudahkan orang membuat usaha. Bukankah sebagian besar kita lebih berbakat jadi karyawan?

Nah, itu. Kalau membuka usaha begitu mudah dan simpel, otomatis akan banyak sekali perusahaan berdiri. Mereka membutuhkan karyawan. Karyawan dapat kesempatan kerja. Dapat gaji. Bisa belanja kebutuhannya.

Belanja setiap orang pada akhirnya akan menggerakkan ekonomi nasional. Roda berputar dan setiap orang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari tangannya sendiri.

Tapi ada juga masyarakat yang gak sanggup bersaing, karena mungkin soal pendidikan dan kondisi sosial. Nah, untuk jenis masyarakat seperti ini, ada mekanisme lain. Program bantuan sosial berupa Kartu Indonesia Sehat, program keluarga harapan, dan  sebagainya.

Dengan kata lain UU ini membuka ruang yang sangat lebar bagi masyarakat untuk lebih sejahtera. Dan itulah manfaat langsung dari UU Cipta Kerja.

Makanya majalah sekelas Tempo, yang dulu ngotot menentang UU ini, kini justru menjadi media yang getol mengkampanyekan manfaat UU Cipta Kerja. 

Mungkin sebagai masyarakat kita belum merasakan manfaatnya secara langsung. Karena UU ini butuh aturan teknis lainnya berupa PP, Kepmen dan lain-lain. Tapi mungkin saja Tempo sudah merasakan manfaatnya. Makanya dia kini ngotot membela UU ini.

Setidaknya manfaat, bahwa sebuah UU pasti ada dana sosialisasi. Dan sebagai media, Tempo menikmatinya.

Protes yang pernah disampaikan Tempo, bukan perkara substansi. Toh, kini mereka sibuk mengedukasi publik soal manfaat UU Cipta Kerja.

[Eko Kuntadhi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar