Oleh: I Gde Sudibya
Menyimak pernyataan pemerintah dan implementasinya di lapangan, tampak terjadi inkonsistensi kebijakan dan tidak seiramanya kebijakan beberapa menteri dalam upaya ” memerangi” pandemi Covid-19.
Contoh dari inkonsistensi kebijakan, di mana pemerintah secara tegas melarang warga untuk mudik, karena akan berpotensi mengakibatkan penularan virus dalam jumlah jutaan di pedesaan, yang sistem pelayanan kesehatannya sangat terbatas. Pada sisi lain, Kementrian Perhubungan memberikan izin ke perusahaan angkutan umum untuk menjalankan kegiatan operasionalnya, walaupun dengan catatan para penumpang diwajibkan mengikuti protokol kesehatan.
Contoh dari lemahnya koordinasi antar menteri yakni Menko Perekonomia telah mengumumkan secara rinci program pelonggaran atau relaksasi, tetapi diberitakan Menteri Kesehatan tidak mengetahui program relaksasi yang dimaksud. Padahal kita mengetahui Kementrian Kesehatan yang lebih punya kewenangan dan tanggung jawab dalam program melawan pandemi ini.
Dalam inkonsistensi kebijakan ini, memarik untuk disimak ulasan kolom Jawa Post ( 12/5 ) JATI DIRI, dengan judul: Awas, dari Pandemi ke Pan-dinamit dikutip secara lengkap ( sebagian ): ” Perubahan strategi dari ” perang ” ke ” berdamai ” dengan Covid-19 akan berkonsekuensi panjang. Pilihan Jokowi ini patut dicemaskan akan memakan tak sedikit korban. Sebab, Covid-19 bukanlah musuh yang bisa diajak damai”.
Lebih lanjut kolom ini menulis: ” Ketika Jokowi berbelok untuk ” damai ” dengan Covid-19, maknanya ini adalah pelonggaran. Kemarin Ketua Gugus Tugas Covid- 19 Doni Monardo menyatakan, orang 45 tahun ke bawah akan diperbolehkan kerja. Demi menghindari PHK. Ini kelanjutan dari kejutan pelonggaran semua moda transportasi oleh Menhub Budi Karya Sumadi.”
Pelonggaran di Masa Puncak Pandemi
Inkonsistensi kebijakan pemerintah di atas, ulasan atau lebih tepatnya warning atau peringatan yang disampaikan dalam kolom JP di atas, menimbulkan sejumlah pertanyaan.
Pertama, kenapa tindakan pelonggaran begitu cepat dilakukan, pada saat pandemi diperkirakan ada pada titik puncaknya, minggu ke 2 dan ke 3 bulan Mei ini.Termasuk prediksi yang dibuat oleh ketua tim akhli dalam tim gabungan tingkat nasional penanggulangan pandemi?
Kedua, bagaimana simulasi skenario yang dibuat pemerintah terhadap risiko tingginya penularan, terlebih-lebih pasca pelonggaran. Bagaimana respons pemerintah terhadap pendapat para akhli epidemiologi dan bio statistik yang berupa relaksasi semestinya baru dapat dilakukan setelah curve korban dan penularan terus turun sampai tingkat landai, dan tidak ada lagi kasus baru?
Ketiga, apa dasar pemikiran pemerintah untuk melakukan relaksasi, sebutlah terlalu dini, dengan risiko besar jumlah korban, semakin panjangnya rentang waktu pembasmian dan kemudian berdampak terhadap mundurnya upaya pemulihan ekonomi.
Di era demokrasi dan transparansi dewasa ini, semestinya pemerintah segera memberikan penjelasan terhadap titik kritis ini ( relaksasi sekarang, atau ditunda dulu pasca curve pandemi terus turun melandai dan tidak ada lagi kasus baru ).
Penjelasan pemerintah ini sangat diperlukan, untuk menghindarkan terjadinya spekulasi berkepanjangan yang berupa : pemerintah tidak cukup dana untuk membelanjai PSBB, kekhawatiran akan terjadi tekanan sosial besar kalau ekonomi tidak segera dilonggarkan.
Tantangan untuk Bali
Sejalan dengan konsepsi kehidupan: Desa, Kala, Patra, Bali semestinya tetap fokus untuk peningkatan efektivitas pembasmian Covid-19, dengan target meminimalkan korban, memperpendek rentang waktu” peperangan” sehingga bisa mempercepat upaya pemulihan ekonomi.
Econimic rebound segera terjadi : menyebut beberapa diantaranya, di Ubud, Candi Dasa, Tulamben, Sanur, Kuta, Legian, Seminyak, Tanah Lot, Pemuteran dan Lovina. PKM yang dijalankan pemerintah Kota Denpasar, bisa dijadikan rujukan model dengan penyesuaian: Desa ( ruang ), Kala ( waktu ), dan Patra ( Manusia dan lingkungannya ).
I Gde Sudibya, ekonom pengamat sosial ekonomi dan kebijakan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar