Tak banyak film yang mengangkat tema tentang tragedi berdarah Indonesia 1965. Kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade telah menutup seluruh pintu yang memungkinkan mengarah ke sana, kecuali film yang dibuat rezim kala itu yang berfungsi layaknya buku putih. Film luar negeri yang berlatar belakang peristiwa 1965 juga dilarang beredar di sini.
Apakah setelah Orde Baru selesai, berarti film tentang peristiwa September 1965 atau komunis secara luas dapat bebas dibuat dan diedarkan? Ternyata tidak juga. Berikut film-film yang bercerita atau mengambil latar belakang sejarah kelam bangsa Indonesia.
Pengkhianatan G-30S/PKI (1984)
“Darah itu merah, Jenderal!” atau “Republik sedang hamil tua,” jadi frase yang melekat dari film ini. Pengkhianatan G-30S/PKI garapan Arifin C. Noer pada 1984 ini adalah versi resmi pemerintah Orde Baru tentang kejadian 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 pagi di Jakarta. Tentang Sukarno yang sakit, Tjakrabirawa yang siaga, ABRI yang hendak berulang tahun, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang jaya-jayanya, dan Soeharto si tentara yang tenang. Sukarno diperankan Umar Kayam, dan Mayjen Soeharto diperankan Amaroso Katamsi. Puncak kisahnya ketika PKI menculik tujuh perwira Angkatan Darat, dibawa ke Lubangbuaya, disiksa (termasuk oleh Gerwani), lalu dibenamkan ke dalam sumur tua dan sempit di sana. Upaya PKI lebih jauh untuk merebut kekuasaan kemudian digagalkan Soeharto. Film ini lantas wajib diputar di seluruh stasiun televisi yang ada kala itu, dan berhenti pada 1998, masa berakhirnya Orde Baru. Jika sebelumnya, versi ini di terima sebagai kebenaran mutlak, maka pasca-1998, bermunculanlah bantahan dari berbagai pihak tentang isi film ini dan menyebutnya tak lebih dari propaganda Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan.
Gie (2005)
Gie diambil dari nama belakang tokoh utamanya, Soe Hok Gie (diperani Nicholas Saputra), aktivis mahasiswa Universitas Indonesia yang gemar naik gunung. Riri Riza mengangkat pemikiran Gie yang tertulis di buku hariannya, Catatan Seorang Demonstran, ke layar lebar. Berasal dari keluarga sederhana di Jakarta, semangat idealis, kepedulian, dan keadilan tumbuh dalam pemikirannya. Masa mahasiswa Gie bersamaan dengan sedang jaya-jayanya PKI dan Sukarno yang lupa daratan. Gie kerap menulis kritik di media massa tentang pemerintahan Sukarno yang diktator, banyak terjadi ketidakadilan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang demi memperkaya diri sendiri. Dia punya semboyan, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
Sang Penari (2011)
Film karya sutradara Ifa Isfansyah ini diangkat dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis Ahmad Tohari. Novelnya sempat terbit dalam dua versi, yakni versi Orba dan versi pasca-Orba, karena ada setting masa kuatnya PKI hingga pembantaian ribuan orang yang berakhir mengapung di sungai, yang memaksa Tohari harus menyembunyikan dulu beberapa bagiannya. Tokoh utama Sang Penari adalah Srintil (diperani Prisia Nasution), seorang ronggeng yang dipuja-puja di kampungnya yang miskin, Dukuh Paruk. Teman mainnya sejak kecil, Rasus (Oka Antara), tidak senang Srintil makin hari makin terkenal. Apalagi tugas ronggeng bukan hanya menari, tapi juga melayani laki-laki dengan bayaran mahal. Rasus yang kecewa meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi tentara. PKI sedang giat masuk ke semua lini kehidupan, tak terkecuali kesenian. Srintil didukung habis-habisan hingga direkrut jadi bagian propagandanya untuk menarik massa. Nasib Srinbaikberbalik setelah kudeta gagal di Jakarta. Sang Penari mendapat sambutan bagus dari penonton. Banyak yang memuji Ifa Isfansyah karena berani mengangkat kisah ini ke layar lebar, termasuk adegan pembantaian massal yang dilakukan TNI terhadap masyarakat yang diindikasikan terlibat PKI.
The Year of Living Dangerously (1982)
The Year of Living Dangerously garapan Peter Weir ini adalah adaptasi dari novel karya Christopher Koch, mengambil setting akhir masa pemerintahan Sukarno. Beberapa hari sebelum kudeta 30 September 1965, sudah banyak wartawan asing yang datang ke Jakarta. Salah satunya Guy Hamilton (Mel Gibson), koresponden untuk Australia. Di Jakarta, dia bertemu dengan para koresponden asing lainnya, antara lain wartawan dari Inggris, Amerika Serikat, Selandia Baru, petugas diplomatik, dan Billy Kwan (Linda Hunt), fotografer Australia berdarah Cina yang sangat cerdas. Guy jadi akrab dengan Billy. Bersama mereka membuat janji wawancara dengan tokoh-tokoh politik kunci di Jakarta. Billy kemudian memperkenalkan Guy ke sahabatnya, Jill Bryant (Sigourney Weaver), seorang asisten di Kedubes Inggris. Jill mendapat informasi bahwa Komunis Cina ikut mempersenjatai PKI. Informasi ini dia berikan pada Guy. Singkat cerita, Hamilton mendatangi Istana Presiden seusai pemberontakan 30 September untuk mencari berita besar. Apa lacur, di istana dia justru diserang tentara Angkatan Darat hingga mengalami kerusakan retina. The year of living dangerously adalah terjemahan bahasa Inggris dari frase bahasa Italia yang digunakan Sukarno sebagai judul pidato Hari Kemerdekaan Indonesia 1964: Vivere Pericolosamente. Film yang mengambil lokasi syuting di Australia dan Filipina ini dilarang diputar di Indonesia hingga 1999.
40 Years of Silence (2009)
40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy adalah film dokumenter yang mengangkat tragedi pembantaian pascakudeta gagal dari empat sudut yang berbeda. Empat kisah itu adalah dari keluarga pengusaha Tionghoa, dari keluarga petani Katolik dan Islam, dari anak pemimpin partai pro-PKI di Bali, dan seorang anak yang lahir pada era 1990-an tapi ikut menjadi korban. Dokumenter ini dibuat Robert Lemelson, seorang antropolog lulusan University of California, sejak 2002. Selama bertahun-tahun, Lemelson mewawancarai ribuan orang yang sudah diperlakukan sewenangwenang dan melanggar HAM karena mendapat cap terlibat komunisme. Padahal tak sedikit dari mereka bahkan tidak tahu apa-apa, karena masih kanak-kanak ketika peristiwa itu terjadi. Perlakuan sewenang-wenang itu antara lain keterbatasan untuk bersekolah dan bekerja karena stigma yang dilekatkan pada mereka, pemberian tanda tertentu pada KTP, serta mengisi formulir untuk memastikan mereka “bersih lingkungan”. Bersih lingkungan adalah istilah yang menunjukkan ada tidaknya hubungan dengan komunisme atau PKI. Kesaksian-kesaksian itu dikemas dalam film berdurasi 86 menit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar