Sejarah Bandung Lautan Api, Ketika Perwira TNI Menolak Tunduk Terhadap Inggris Hingga Berani Mencopot Pangkatnya Didepan Nasution!
Memang sejatinya berbeda pendapat dalam keadaan genting dikala peperangan itu adalah hal wajar bagi para komandan lapangan di medan tempur, karena biasanya mereka lebih mengerti keadaan sebenarnya di area pertempuran dibanding para jenderalnya dan tidak seorang pun sepertinya menganggap perbedaan itu sebagai pembangkangan atau kecerobohan!
Memang wajib hukumnya bagi tentara untuk mematuhi atasannya tapi ada juga tentara tentara didunia yang fleksibel dalam mengambil keputusan, seperti Stromtroppers yang terkenal sebagai pasukan paling elit Jerman di perang dunia pertama, mereka sangat berbeda dengan norma keprajuritan Jerman yang kaku untuk tiap tiap individu dan personel lapangan maupun komandan tempur terkecil diperbolehkan mengikuti cara berperang sendiri sendiri.
Sangat bagus dan musuh pun jadi tidak dapat dengan mudah membaca pergerakan pasukan alias risiko kalahnya akan jadi terminimalisir.
Begitu juga kejadian saat sedang gencar gencarnya pertempuran skala kecil merebak di seluruh wilayah Bandung pada 23 Maret 1946 antara beberapa batalyon TNI melawan sebuah divisi dengan 12 ribu prajurit Inggris bersenjata lengkap, tentu bukan lawan sebanding dengan TNI yang hanya mempunyai 100 pucuk senapan.
Maka karena terdesak disana sini akhirnya Kolonel A. H. Nasution segera mengumpulkan beberapa komandan lapangan dibawahnya, Panglima Divisi 3 Komandemen Jawa Barat ini menghadapi situasi yang begitu pelik untuk segera mengambil keputusan dan rapat pun terjadi sangat alot lagi sangat emosional apalagi setelah adanya berita anjuran dari Walikota Bandung agar para pejuang sekalian mengikuti komando dari Jakarta untuk berkompromi dengan sekutu.
Beberapa menyampaikan usul seperti Mayor Rukana agar Bandung dijadikan lautan air saja dengan meledakkan Sanghyang Tikoro pusat sungai Citarum di Rajamandala dan juga usulan yang sangat keras dari Letnan Kolonel Omon Abdulrachman komandan dari Resimen ke 8 Priangan yang menolak keras untuk menyerahkan sepenuhnya Bandung kepada Inggris kecuali dengan syarat merusak dan membumihanguskan semua obyek vitalnya agar tidak dikuasai dan dimanfaatkan oleh Inggris dan Belanda.
Hampir mirip seperti kala Jerman invasi ke eropa timur, semua yang berguna dihancurkan habis oleh Red Army yang akhirnya tentara Wehrmarcht hanya bisa menikmati sedikit hasil invasi, tentu hasil akhir bakalan berbeda jika Jerman bisa mengambil gedung gedung dan semua yang berguna di eropa timur sebelum dihancurkan oleh Soviet.
Kolonel Nasution yang mendengar tantangan keras anak buahnya yang tidak sesuai komando pusat ini pun lantas berang, mengebrak meja dan memarahi Omon bahwa dia sebagai anggota TRI seharusnya mematuhi setiap perintah atasannya, dan Nasution sebagai komandan mereka melarang segala bentuk pembakaran dan pengrusakan kota Bandung!
Yakin dengan pendiriannya Omon pun menjawab bentakan Nasution dengan nada keras,
"jika dilarang bumi hangus maka saya akan meletakkan jabatan saya sebagai Komandan Resimen Priangan dan berjuang bersama kaum ekstrimis!"
Sambil menanggalkan tanda pangkatnya diatas meja Nasution sembari pergi meninggalkan rapat itu dan sampai jam 2 siang rapat tetap tak menghasilkan apa apa sampai Nasution segera memutuskan 4 Perintah Komando Panglima Divisi 3 TRI yaitu, ....
1). Semua pegawai dan rakyat Bandung harus keluar sebelum jam 24.00
2). TRI harus membumihanguskan semua bangunan di Bandung
3). Sebelum matahari terbenam harus ada penyusupan di berbagai wilayah di Bandung
4). Pos komando dipindahkan ke Kulalet/Dayeuhkolot.
Sebuah masa dimana semua orang mencurahkan isi pemikirannya untuk perjuangan bangsa Indonesia, harus terus diperingati bagaimana dulu mereka berbeda bukan untuk menjatuhkan satu sama lain tapi semuanya demi bangsa negaranya yang tercinta.
Kemuliaan untuk para pahlawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar