Nama Kampung Arab menjadi sorotan beberapa hari terakhir, hal tersebut berawal dari Ombudsman Republik Indonesia yang mengungkapkan hasil pemeriksaan terkait tata kelola kawasan Kampung Arab di Cisarua, Kabupaten Bogor. Namun sesungguhnya kampung tersebut bernama Kampung Sampai Jalan Sindang Subur atau Kampung Warung Kaleng.
Menurut pantauan Republika pada Selasa (4/8), Kampung Arab sendiri terlihat sangat sepi. Ruko yang berjajar dijalan utama juga nampak sebagian besar tutup. Bahkan ada beberapa toko yang terlihat tidak terurus.
Ketika memasuki salah satu toko yang berpalang bahasa arab bahkan tulisan di pintu juga berbahasa arab dengan tinta berwarna biru dan dan merah. Ketika memasukinya pegawai maupun pemilik ternyata merupakan orang Indonesia. Sayangnya pemilik enggan untuk diwawancarai.
Ketika pergi ke desa dibelakangnya, hanya terlihat permukiman warga biasa. Tidak terlihat adanya aktivitas orang asing. Ketika Republika juga mendatangi salah satu tempat tinggal imigran Uzbekistan yang berada di belakang kantor Desa Tugu Selatan, juga tidak terlihat aktivitas apapun.
Kelapa Desa Tugu Selatan, Eko Windiana menyebutkan masyarakat keberatan disebut sebagai Kampung Arab. Menurut mereka nama Kampung Sampai merupakan nama yang telah diturunkan oleh leluhur sehingga mereka menolak yang datang entah dari mana.
“Nama kampung itu aslinya Kampung Sampai Jalan Sindang Subur atau disebut Kampung Warung Kaleng karena dulu jual material. Tokoh sama warga sempat datang ke sini karena mereka enggak setuju disebut Kampung Arab, nama kampungnya Sampai kan dari leluhur mereka,” tutur Eko kepada Republika, Selasa (4/8).
Kampung yang terletak di antara Desa Tugu Utara dan Selatan ini memang menggunakan bahasa Arab di plang maupun tulisan di pintu ruko. Namun Eko menyebut, pemilik bangunan merupakan orang Indonesia.
“Kalau tulisan mungkin Arab memang iya tapi pemilik tanah dan bangunan orang kita. Karena sejauh ini saya enggak pernah dengar imigran beli tanah. Kampung Arab dan imigran juga beda ya. Kalau imigran ini banyak ada Pakistan, Uzbekistan, Irak, Afrika dan yang lainnya,” ujar dia.
Hal senada juga disampaikan salah satu staf Desa Tugu Utara, Doni Adi yang menyebut Kampung Arab sendiri terbagi di dua desa. Mengenai imigran ia menyebut mereka tinggal terpencar di beberapa wilayah.
DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI
Desa sendiri sulit untuk melacak mereka karena tidak ada laporan setiap perpindahan sejauh ini. Doni menyebut para imigran sendiri selalu berpindah tempat tinggal dengan cepat.
“Kita sendiri sulit untuk melacak mereka, karena mereka ngontrak. Setiap berpindah enggak ada yang lapor baik pemilik kontrakan maupun RT setempat. Tapi kalau di Kampung arab sendiri setahu saya cuma satu atau dua yang mukim di sini, di Desa Cibureum dan Batu Layang mungkin lumayan banyak,” ujar dia.
Dari kedua desa tersebut memiliki keluhan yang sama, yakni para imigran yang meresahkan warga sekitar. Di dua desa tersebut juga mengakui sering mendapat laporan dari warga terkait pertikaian antar imigran bahkan pertikaian dengan masyarakat sekitar.
Sikap acuh para imigran juga menjadi masalah di masyarakat, tidak menegur sapa bahkan bersikap tidak peduli dengan masyarakat sekitar juga menjadi masalah. Selain itu para imigran yang beragama muslim menurut masyarakat tidak pernah melaksanakan sholat berjamaah bahkan untuk Sholat Jumat.
Salah satu warga Didi (24 tahun) menyebut Kampung Arab sendiri biasanya hanya berisikan para turis yang makan atau membeli sesuatu. “Kalau Arab mereka biasanya turis, ke sini ramai buat makan atau beli sesuatu. Sekarang lihat saja enggak ada kan? Soalnya mereka biasanya cuma wisata saja jadi pas Corona ya enggak ke sini,” ucap Didi.
Camat Cisarua, Deni Humaedi juga memaparkan hingga kini kecamatan kesulitan untuk melakukan pendataan dan pengawasan terhadap imigran di kawasan Kampung Arab. Hal tersebut karena imigran sering berpindah tempat tanpa melapor bahkan pada RT atau RW setempat.
“Mereka tidak menetap. Kadang ngontrak di sini, bulan depan di situ, berikutnya pindah lagi ke tempat lain jadi sulit untuk kita ngedatanya. Untuk data tahun lalu kita ada 616 imigran yang tersebar di 7 desa,” kata Deni.
Desa tersebut meliputi Desa Cisarua, Tugu Utara, Cibeureum, Tugu Selatan, Batulayang, Citeko, dan kopo. Setiap titik Deni menyebut para imigran akan tinggal berkelompok.
Ia sendiri tidak menapik banyaknya plang Arab, Deni menjelaskan, sebagian merupakan usaha milik Warga Negara Indonesia (WNA) sendiri. Sebab, plang itu sebagai upaya untuk menarik pembeli wisatawan Arab.
Terkait kabar langkah yang diambil Bupati Ade Yasin yang akan memindahkan para imigran, Deni sangat menyetujuinya. Ia menyebut hal tersebut sangat tepat karena akan lebih mudah memantau para imigran di satu lokasi.
https://republika.co.id/berita/qekam...n-warga-puncak
DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI
Menurut pantauan Republika pada Selasa (4/8), Kampung Arab sendiri terlihat sangat sepi. Ruko yang berjajar dijalan utama juga nampak sebagian besar tutup. Bahkan ada beberapa toko yang terlihat tidak terurus.
Ketika memasuki salah satu toko yang berpalang bahasa arab bahkan tulisan di pintu juga berbahasa arab dengan tinta berwarna biru dan dan merah. Ketika memasukinya pegawai maupun pemilik ternyata merupakan orang Indonesia. Sayangnya pemilik enggan untuk diwawancarai.
Ketika pergi ke desa dibelakangnya, hanya terlihat permukiman warga biasa. Tidak terlihat adanya aktivitas orang asing. Ketika Republika juga mendatangi salah satu tempat tinggal imigran Uzbekistan yang berada di belakang kantor Desa Tugu Selatan, juga tidak terlihat aktivitas apapun.
Kelapa Desa Tugu Selatan, Eko Windiana menyebutkan masyarakat keberatan disebut sebagai Kampung Arab. Menurut mereka nama Kampung Sampai merupakan nama yang telah diturunkan oleh leluhur sehingga mereka menolak yang datang entah dari mana.
“Nama kampung itu aslinya Kampung Sampai Jalan Sindang Subur atau disebut Kampung Warung Kaleng karena dulu jual material. Tokoh sama warga sempat datang ke sini karena mereka enggak setuju disebut Kampung Arab, nama kampungnya Sampai kan dari leluhur mereka,” tutur Eko kepada Republika, Selasa (4/8).
Kampung yang terletak di antara Desa Tugu Utara dan Selatan ini memang menggunakan bahasa Arab di plang maupun tulisan di pintu ruko. Namun Eko menyebut, pemilik bangunan merupakan orang Indonesia.
“Kalau tulisan mungkin Arab memang iya tapi pemilik tanah dan bangunan orang kita. Karena sejauh ini saya enggak pernah dengar imigran beli tanah. Kampung Arab dan imigran juga beda ya. Kalau imigran ini banyak ada Pakistan, Uzbekistan, Irak, Afrika dan yang lainnya,” ujar dia.
Hal senada juga disampaikan salah satu staf Desa Tugu Utara, Doni Adi yang menyebut Kampung Arab sendiri terbagi di dua desa. Mengenai imigran ia menyebut mereka tinggal terpencar di beberapa wilayah.
DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI
Desa sendiri sulit untuk melacak mereka karena tidak ada laporan setiap perpindahan sejauh ini. Doni menyebut para imigran sendiri selalu berpindah tempat tinggal dengan cepat.
“Kita sendiri sulit untuk melacak mereka, karena mereka ngontrak. Setiap berpindah enggak ada yang lapor baik pemilik kontrakan maupun RT setempat. Tapi kalau di Kampung arab sendiri setahu saya cuma satu atau dua yang mukim di sini, di Desa Cibureum dan Batu Layang mungkin lumayan banyak,” ujar dia.
Dari kedua desa tersebut memiliki keluhan yang sama, yakni para imigran yang meresahkan warga sekitar. Di dua desa tersebut juga mengakui sering mendapat laporan dari warga terkait pertikaian antar imigran bahkan pertikaian dengan masyarakat sekitar.
Sikap acuh para imigran juga menjadi masalah di masyarakat, tidak menegur sapa bahkan bersikap tidak peduli dengan masyarakat sekitar juga menjadi masalah. Selain itu para imigran yang beragama muslim menurut masyarakat tidak pernah melaksanakan sholat berjamaah bahkan untuk Sholat Jumat.
Salah satu warga Didi (24 tahun) menyebut Kampung Arab sendiri biasanya hanya berisikan para turis yang makan atau membeli sesuatu. “Kalau Arab mereka biasanya turis, ke sini ramai buat makan atau beli sesuatu. Sekarang lihat saja enggak ada kan? Soalnya mereka biasanya cuma wisata saja jadi pas Corona ya enggak ke sini,” ucap Didi.
Camat Cisarua, Deni Humaedi juga memaparkan hingga kini kecamatan kesulitan untuk melakukan pendataan dan pengawasan terhadap imigran di kawasan Kampung Arab. Hal tersebut karena imigran sering berpindah tempat tanpa melapor bahkan pada RT atau RW setempat.
“Mereka tidak menetap. Kadang ngontrak di sini, bulan depan di situ, berikutnya pindah lagi ke tempat lain jadi sulit untuk kita ngedatanya. Untuk data tahun lalu kita ada 616 imigran yang tersebar di 7 desa,” kata Deni.
Desa tersebut meliputi Desa Cisarua, Tugu Utara, Cibeureum, Tugu Selatan, Batulayang, Citeko, dan kopo. Setiap titik Deni menyebut para imigran akan tinggal berkelompok.
Ia sendiri tidak menapik banyaknya plang Arab, Deni menjelaskan, sebagian merupakan usaha milik Warga Negara Indonesia (WNA) sendiri. Sebab, plang itu sebagai upaya untuk menarik pembeli wisatawan Arab.
Terkait kabar langkah yang diambil Bupati Ade Yasin yang akan memindahkan para imigran, Deni sangat menyetujuinya. Ia menyebut hal tersebut sangat tepat karena akan lebih mudah memantau para imigran di satu lokasi.
https://republika.co.id/berita/qekam...n-warga-puncak
DAPATKAN PENGHASILAN TAMBAHAN DENGAN CARA ONLINE KLIK DISINI