Hai GanSis!! Kalau ditanya kenapa bangsa Eropa rela jauh-jauh dari barat ke timur, menjelajah wilayah yang bahkan mereka belum pernah jajaki. Maka jawabnya karena rempah-rempah.
Tanaman penuh khasiat yang kembali naik daun di masa Pandemi Covid-19 ini, di masa penjajah Belanda dulu, harga rempah rempah bahkan setara harga emas. Pantas saja dari hasil monopoli VOC atas rempah-rempah di Nusantara, mampu memperbaiki ekonomi Belanda yang hancur akibat perang.
Pertanyaannya kini, jika dulu rempah-rempah pernah berjaya. Lantas mengapa kini rempah-rempah seperti biasa-biasa saja. Maksudnya, mana yang katanya lebih mahal dari emas, tanaman para dewa dan sebagainya.
Dari 17 Agustus kemarin, saya sudah kepikiran ingin buat thread tentang mengapa kejayaan rempah-rempah tidak bertahan sampai Indonesia merdeka. Sudah cari bahannya kesana-sini secara daring. Namun sepertinya referensi saya belum cukup. Kiranya GanSis semua bisa melengkapi.
Dari beberapa artikel yang sudah saya baca. Saat VOC masih berkuasa di Nusantara, harga rempah-rempah mengalami penurunan. Gak tahu sebabnya kenapa, yang jelas sejak saat itu VOC mulai melirik komoditas lainnya seperti Kopi dan Teh. Pulau Jawa jadi target eksploitasi selanjutnya. Dan Maluku atau Indonesia bagian timur perlahan dilupakan. Ibaratnya "Habis manis, sepah dibuang."
Secara pastinya saya kurang tahu kapan tepatnya atau mengapa rempah-rempah ini harganya mulai turun. Tapi salah satu artikel Tirto, menjelaskan bahwa ada salah kelola VOC terhadap rempah-rempah ini. Mereka hanya mengeksploitasi, bukan eksplorasi. Tidak ada riset ilmiah lebih mendalam terhadap rempah-rempah. Bahkan rumornya, Belanda dulu kalau mengambil Pala, Cengkeh dan sejenisnya. Diambil se-pohon-pohonnya sampai akar-akarnya. Bahkan demi memenangkan persaingan rempah-rempah, VOC sampai memusnahkan tanaman rempah-rempah. Gak tahu deh pastinya.
Padahal dulu kalau mau dikembangkan lagi, kawasan Maluku bisa dijadikan laboratorium raksasa. Rempah-rempah bisa dikembangkan lagi untuk bumbu masak, ketimbang cuma afrodisiak.
Rempah-rempah kini?
Apa kabar rempah-rempah sekarang? Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, penangkal Covid-19, dijadikan kalung. Bisa jadi.
Oke-oke, penjelasanya singkat saja ya. Saya lagi males nulis, soalnya lagi musim hujan, ternak saya banyak yang sakit.. :tepar:tepar
Sebenarnya permintaan internasional akan rempah-rempah masih tinggi. Hanya saja, Indonesia sendiri belum bisa memenuhi permintaan tersebut.
Berdasarkan data Trade Map 2019, potensi ekspor rempah Indonesia sebesar 1,6 milyar dolar AS, namun nilai ekspor aktualnya hanya 798 juta dolar AS, sehingga potensi ekspor rempah yang belum dimanfaatkan sebesar 844,5 juta dolar AS
Faktor penyebabnya karena gagal panen akibat cuaca buruk. Produksi rempah-rempah dalam negeri juga masih didominasi perkebunan rakyat. Sehingga hasil panen rempah-rempah belum bisa optimal.
Kemudian ada India dan Vietnam, sebagai negara pesaing dalam hal perdagangan rempah. Jika Indonesia tidak segera membuat terobosan, maka kita akan terus tertinggal.
Tapi soal negara lain bukan jadi soal. Terpenting ialah usaha di dalam negerinya. Permintaan internasional akan rempah-rempah sebenarnya tinggi. Namun hasil perkebunan rempah-rempah dalam negeri belum cukup. Dan kesejahteraan petani rempah-rempah belum terpenuhi. Karena umumnya hasil rempah-rempah hanya dijual mentah, dan itu harganya murah.
Jadi kira-kira begitu ya, untuk menjawab kenapa harga rempah-rempah tidak semahal di jaman Belanda. sebenarnya bukan semata harganya turun. Permintaannya ada, tapi tidak bisa dipenuhi. Dan jika hanya hasil mentah saja yang dijual, tentu kurang bernilai ekonomi.
Kita juga bisa pakai prinsip ekonomi. Ketika permintaan tinggi, sementara pasokan rendah. Maka harga jual naik. Begitupun sebaliknya.
Ini menurut saya ya, koreksi bila salah. Jaman Hindia Belanda, di Eropa kala itu harga rempah-rempah sangat tinggi bahkan melebihi harga emas. Jelas saja bisa begitu. Eropa yang biasanya mendapatkan rempah-rempah dari Timur Tengah. Semenjak keruntuhan Konstantinopel, bangsa Eropa dilarang berdagang atau membeli barang dagangan di kawasan Timteng.
Maka itu bangsa Eropa mencari rute baru ke timur. Memutari Afrika hingga sampai ke Nusantara. Sebuah penjelajahan dan pelayaran luar biasa dan tidak mudah. Maka wajar saja harga rempah-rempah sangat mahal pada masanya.
Lama kelamaan kan terjadi perkembangan. Tanaman rempah-rempah dikembangkan dan uji coba ditanam ke wilayah lain. Seperti Prancis contohnya.
Atas perintah Raja Louis XV, Poivre—yang kebetulan arti namanya dalam bahasa Perancis adalah lada—ditugaskan melakukan ekspedisi pertamanya ke Maluku pada 1749 hingga 1756 dengan misi mencari rempah-rempah termasuk semua biji yang menghasilkan makanan, biji pohon buah, dan sayur-sayuran.
Hasil pencarian itu kemudian dibawa lalu ditanam di Mauritius. Pulau kekuasaan Perancis (ilĂȘ de France) di Afrika Timur itu dikehendaki Poivre dapat dibangun sebagai sentra tanaman budidaya milik Perancis. Segala jenis tanaman rempah-rempah seperti pala, cengkih, kayumanis, dan lada (termasuk berbagai jenis buah dan sayuran) berhasil dibudidayakan di Mauritius. Pada 1783, proyek budidaya rempah-rempah Poivre berhasil dilakukan dengan hasil memuaskan.
Saya jadi terpikir sama masker di masa Pandemi Covid-19 sekarang. Orang-orang yang mencoba me-monopoli stok masker, justru nyungsep. Seperti rempah-rempah yang di monopoli VOC, juga akhirnya tidak seharum aroma rempah-rempah itu sendiri. Tokh pihak lain ternyata bisa mengembangkannya, bahkan lebih baik dan memiliki penambahan nilai. Kalau terlalu bernafsu pada motif ekonomi semata, maka hasilnya biasanya tidak terlalu baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar