Jumat, 22 Januari 2021

Wujud Toleransi, Perang Topat Hindu-Muslim di Pura Lingsar

 






LINGSAR : Suasana Pura Lingsar di wilayah Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pamangku Pura Lingsar, Jero Mangku Gede Rai. (Putu Agus Adegrantika/Bali Express)


Share this 




LOMBOK, BALI EXPRESS-Kerukunan umat beragama sangatlah perlu dirawat dan dijaga di Nusantara, karena sudah ada sejak dahulu.


Bahkan sampai saat ini, baik simbol, tradisi maupun budayanya masih ada, dan masing-masing daerah memiliki cara tertentu untuk menjaganya, seperti yang ada di Pura Lingsar di Nusa Tenggara Barat.


Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini



Pura Lingsar yang terletak di Batu Kumbung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, merupakan peninggalan Raja Karangasem Anak Agung Gede Ngurah pada tahun 1714 silam, jadi cerminan kerukunan antarumat beragama, khususnya di Lombok Barat. Kerukunan tersebut terjalin antara umat Hindu serta umat Islam Sasak Wetu Telu. 


Pemangku Pura Lingsar, Jero Mangku Gede Rai yang ditemui pekan kemarin, mengatakan, yang biasanya datang ke Pura Lingsar adalah umat Hindu serta umat Islam Wetu Telu.

“Yang tangkil biasanya kesini adalah umat Hindu dari Bali yang melakukan tirta yatra. Tetapi disini juga ada suku Sasak yang beragama Islam namanya Islam Wetu Telu juga ikut bersembahyang,” jelasnya.

Dijelaskan Jero Mangku Gede Rai, panyungsung Pura Lingsar ini berasal dari tujuh banjar setempat, yakni Banjar Tragtag, Lingsar, Karang Baru, Ponikan, Pemangkalan, Motang, dan Karang Bayan. Dari ketujuh banjar ini pun ada yang dari Suku Sasak Islam Wetu Telu. 

Dikatakan Jero Mangku Gede Rai, bahwa Islam Wetu Telu ini merupakan praktik unik sebagian masyarakat Suku Sasak. Khususnya yang mendiami Pulau Lombok dalam menjalankan Agama Islam yang hanya menjalankan tiga rukun Islam. Yaitu membaca dua kalimat syahadat, salat, dan puasa.

Cara Simple mendapatkan penghasilan harian dari trading forex klik disini  

“Mereka biasanya datang ke Pura Lingsar untuk bersembahyang. Cara persembahyangan mereka juga hampir sama dengan umat Hindu, hanya posisi tangannya tidak di atas, melainkan di posisi dada saja,” terangnya.

Dipaparkannya, Pura Lingsar terbangun atas konsep Tri Mandala, yakni Utama Mandala, Madya Mandala, serta Nista Mandala. Biasanya, Suku Sasak Islam Wetu Telu melakukan persembahyangan di Madya Mandala. Dimana di Madya Mandala Pura Lingsar ini terdapat palinggih.

“Disini biasanya mereka berbaur dengan umat Hindu juga. Biasanya kalau Islam Wetu Telu bersembahyang di sebelah kiri dan umat Hindu di sebelah kanan,” jelas Jero Mangku Gede Rai.

Sedangkan di Utama Mandala terdapat tiga palinggih, yaitu palinggih yang utama adalah Palinggih Bhatara Alit Sakti menjadi tempat untuk ngayeng (memuja) Ida Bhatara Alit Sakti yang berstana di Bukit Karangasem Bali. 

“Saat pujawali atau piodalan Purnama Sasih kaenem, biasanya juga bersamaan dengan pujawali di Madya Mandala, Islam Wetu Telu juga melaksanakan pujawali,” ungkapnya.

Dijelaskannya, di Pura Lingsar ini terdapat enam orang pamangku, yang setiap harinya sebanyak tiga orang pamangku bertugas di pura. 

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Jero Mangku Gede Rai mengatakan, ada tradisi yang unik yang dilakukan di pura ini, yakni Perang Topat. Perang Topat adalah sebuah acara adat yang diadakan di Pura Lingsar yang merupakan simbol perdamaian antarumat Muslim dan Hindu di Lombok.

Acara ini dilakukan sore hari, setiap Bulan Purnama Ketujuh dalam penanggalan Suku Sasak. Sore hari yang merupakan puncak acara, dilakukan setelah Salat Ashar atau dalam Bahasa Sasak atau Rarak Kembang Waru yang berarti gugur bunga waru.Tanda itu dipakai oleh orang tua dahulu untuk mengetahui waktu Salat Ashar. 



Ribuan umat Hindu dan Muslim memenuhi Pura Lingsar. Dua umat beda kepercayaan ini menggelar prosesi upacara pujawali, sebagai ungkapan atas puji syukur limpahan berkah dari Sang Pencipta. Sedangkan perang yang dimaksud dilakukan dengan saling melempar ketupat di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat Hindu.

“Ketupat yang telah digunakan untuk berperang seringkali diperebutkan. Karena dipercaya bisa membawa kesuburan bagi tanaman agar hasil panennya bisa maksimal. Kepercayaan ini sudah berlangsung ratusan tahun, dan masih terus dijalankan sampai saat ini,” tandasnya.

Tertarik berkunjung? Mencari Pura Lingsar tidaklah sulit. Sebab lokasinya masih dekat dengan Kota Mataram. Jika berangkat dari Kota Mataram, cukup menuju arah timur mencari Jalan Gora 2. Hanya menempuh perjalanan sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Mataram, maka akan sampai di Pura Lingsar. Tepatnya di depan SMA Negeri 1 Lingsar, dan terdapat pula papan nama Pura Lingsar. 

(bx/ade/rin/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2020/12/16/230540/wujud-toleransi-perang-topat-hindu-muslim-di-pura-lingsar

Sistem Kasta di Provinsi Bali

 




Sampai saat ini umat Hindu di Indonesia khususnya di Bali masih mengalami polemik. Hal ini menyebabkan ketidaksetaraan status sosial diantara masyarakat Hindu. Masalah ini muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang ajaran Agama Hindu dan Kitab Suci Weda yang merupakan pedoman yang paling ampuh bagi umat Hindu agar menjadi manusia yang beradab yaitu memiliki kemampuan bergerak (bayu), bersuara (sabda) dan berpikir (idep) dan berbudaya yaitu menghormati sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa tanpa membedakan asal usul keturunan, status sosial, dan ekonomi.

Banyak Orang terpengaruh terhadap propaganda pandangan orang-orang Barat tentang Kasta, padahal di Hindu (Veda) tidak ada kasta yang ada adalah "WARNA".

Apa itu Kasta ?

Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job. Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan, pemisah, tembok, atau batas.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".

Empat Kasta tidak sama dengan Catur Warna dalam Weda. Kasta tidak pernah ada dalam tradisi Hindu baik Zamannya Wayang Mahabaratamaupun Zaman Majapahit. Kasta mulai ada di India semenjak kedatangan Bangsa Arab dan Kristen, Bangsa Arab dan Kristen terbiasa dengan perbudakan (baca Imamat,timotius dll, Juga An Nisaa, al Mu’kminuum).

Istilah kasta dilekatkan pada agama Hindu mulai ada semenjak Max Muller, menterjemahkan Weda kedalam Bhs Inggris. Max Muller menterjemahkan Catur Warna sama dengan empat colour/ras. bukti kesalahan Muller: Bagawan Wiyasa (jawa disebut Abiyoso) berkulit hitam, hidung lebar, bibir tebal, mata mellotot, jelas bukan ras Arya yang berkulit terang, hidung mancung, mata biru. Kasta yang kaku tidak pernah ada di India sebelumnya contohnya: Bambang ekalaya seorang rakyat biasa bisa menjadi ksatrya, Radeya anak kusir kereta bisa menjadi adipati/ksatrya, Govinda anak gembala sapi bisa menjadi raja, Narada anak pelayan (Babu) bisa menjadi Brahmana. Di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit seorang perampok Ken Arok, bisa menjadi Raja, seorang pengangon kuda, Damar Wulan bisa menjadi Raja Majapahit dengan gelar Brawijaya.

Di Bali kasta mulai ada semenjak runtuhnya majapahit. Sebelumnya, pada jaman pemerintahan Sri Kresna Kepakisan (Raja Bali I) belum dikenal adanya sistim kasta, saat itu masih mengunakan sistim warna yang sesuai dengan ajaran Dharma. Setelah kedatangan pendeta suci Danghyang Nirarta yang pindah ke bali akibat terdesak kerajaan Islam dan kemudian diangkat jadi penasehat Raja Gelgel. Danghyang Nirarta tiba di Bali sekitar abad 15, hampir bersamaan dengan kedatangan Portugis di India (kerajaan Goa India jatuh ketangan Portugis th. 1511 ) dan Istilah kasta mulai diperkenalkan di India.

Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.

Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.

Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.

Kasta di Bali yang berlaku sampai saat ini
Riwayat Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.

Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi kesalahan pahaman kasta dibali dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.

Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.

Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.

Dalam pergaulan sehari-hari pun masyarakat yang berkasta sudra (Jaba) berkedudukan sangat rendah. Seperti misalnya seorang yang berasal dari kasta sudra harus menggunakan Sor Singgih Basa, untuk menghormati kasta-kasta yang lebih tinggi.

Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial, diantaranya :

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

1. Kasta Brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Griya".



2. Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan "Puri". Sedangkan Masyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Jero".


3. Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan "umah".


Kehidupan Kemasyarakatan Kasta
Pada jaman dahulu, kasta sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Kasta di Bali mulai kental saat masa penjajahan Belanda, sehingga penjajah dapat dengan leluasa memisahkan raja dengan rakyatnya. Selama berabad-abad penduduk Bali telah diajari bahwa kasta yang tinggi harus lebih dihormati, sehingga bila kita berbicara dengan orang yang berkasta tinggi, baik lebih muda, lebih tua, atau seusia, kita harus menggunakan bahasa bali yang halus. Tetapi bila bicara dengan orang berkasta rendah, kita tidak diwajibkan menggunakan bahasa halus.

Misalnya ada seorang ketua organisasi berkasta Waisya, dengan salah seorang anggotanya berkasta Brahmana. Secara otomatis, ketua organisasi tersebut harus menggunakan kata-kata yang halus kepada anggotanya yang berkasta brahmana tersebut. Ada juga kasus seperti seorang guru yang memiliki kasta lebih rendah dari muridnya. Guru tersebut harus berkata sopan kepada muridnya yang berkasta tinggi. Walau begitu, bukan berarti sang murid dapat bertindak sewenang-wenang seperti berkata tidak sopan terhadap gurunya.

Selain perbedaan dalam menggunakan bahasa, kasta juga mempengaruhi tatanan upacara adat dan agama, seperti pernikahan, dan tempat sembahyang. Pada Pura-Pura besar (seperti Pura Besakih), semua kasta bisa sembahyang dimana saja, tetapi pada Pura-Puta tertentu yang lebih kecil, ada pembagian tempat sembahyang antara satu kasta dengan kasta yang lain, agar tidak tercampur.

Kasta Dalam Pernikahan
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda kasta.

Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan dengan syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.

Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yaitu :

1. Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. 
Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah sering terjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun jaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya. 

2. Kasta istri tinggi dari kasta suami. 
Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
Warna, apakah itu ?
Keterangan yang cukup menarik tentang Catur Warna yang sering dikaburkan dengan kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo Weda (Bhagavad-Gita) yang menjelaskan struktur masyarakat berdasarkan Warna. Menurut isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian masyarakat menjadi empat kelompok- kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena pengaruh "guna" yang merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat).

Dalam hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.

Di dalam Bab Karma Kanda-nya dijelaskan bahwa dunia aktif (bergerak, bekerja) dan gerak ini disebabkan oleh guna itu sendiri. Ada tiga macam guna dikemukakan yaitu

Satwam, kebajikan 
Rajah, keaktifan 
Tamah, kepasifan atau masa bodohSifat- sifat ini selanjutnya memberikan pengaruh lebih luas lagi sehingga menimbulkan warna dalam kelahiran manusia di dunia. Seseorang yang kelahirannya diwarnai oleh Guna Satwam akan menampilkan sifat- sifat kesucian, kebajikan, dan keilmuan. Seseorang yang diwarnai oleh Guna Rajah akan menampilkan kehidupan yang penuh kreatif, ingin berkuasa, ingin menonjol. Berbeda dengan seseorang yang kehidupannya diwarnai oleh Guna Tamah, akan selalu menampakkan sifat- sifat malas, bodoh, pasif, lamban dalam segala- galanya.

Ketiga sifat ini terdapat di dalam setiap tubuh manusia yang lahir dan masing- masing guna ini berjuang saling mempengaruhi dalam badan manusia. Bagi mereka yang teguh iman maka Satwam itulah yang menguasainya, sedangkan Rajah dan Tamah itu akan diatasi seluruhnya. Sebaliknya kalau Rajah lebih kuat, maka Tamah dan Satwam itu akan ditundukkannya. Begitu pula apabila Tamah yang berkuasa, maka Rajah dan Satwam akan ditundukkannya. Dengan jalan seperti inilah Bhagavad-Gita menjelaskan timbulnya garis perbedaan pembawaan seseorang yang disebut Warna kelahiran dari kecenderungan sifat- sifat guna itu.



Dalam Bhagavadgita percakapan ke-IV sloka ke-13 ditulis:


Chatur Varnyam Maya Srishtam,
Guna Karma Vibhagasah,
Tasya Kartaram Api Mam,
Viddhy Akartaram AvyayamArtinya:
Catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah walaupun penciptanya, Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.

Warna adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya; tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma dengan saling melengkapi.

Mantram-mantram dari Yajurveda sloka ke-18, 48 antara lain berbunyi:

Rucam No Dhehi Brahmanesu,Rucam Rajasu Nas Krdhi,Rucam Visyesu Sudresu,Mayi Dhehi Ruca Rucam

Artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak habis-habisnya kepada kami.

Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:

Brahmane Brahmanam, Ksatraya, Rajanyam, Marudbhyo Vaisyam, Tapase Sudram

Artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.

Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana Yajurveda sloka 31, 11 menyatakan:

Brahmano Asya Mukham Asid,Bahu Rajanyah Krtah,Uru Tadasya Yad Vaisyah,Padbhyam Sudro Ajayata

Artinya:
Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa, Ksatriya lengan-lengan-Nya, Vaisya paha-Nya, dan Sudra kaki-kaki-Nya.

Selanjutnya doa yang mengandung harapan agar masing-masing profesi/ warna melaksanakan swadharma yang baik terdapat pada Yajurveda sloka 33,81:

Pravakavarnah Sucayo Vipascitah

Artinya: para Brahmana seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar.

Yajurveda sloka 20,25:

Yatra Brahma Ca Ksatram Ca,Samyancau Caratah Saha,Tam Lokam Punyam Prajnesam,Yatra Devah Sahagnina

Artinya:
Di negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para Brahmana dan para Kesatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar melaksanakan persembahan (pengorbanan).

BACA JUGA
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Riwayat Kasta di Bali
Riwayat Kasta Di BaliBhagawata Purana
Di dalam Bhagawata Purana dan Smrti Sarasamuçcaya pasal 63 dengan tegas dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu warna kalau tanpa dilihat dari segi perbuatannya.
Dari perbuatan dan sifat-sifat seperti tenang, menguasai diri sendiri, berpengetahuan suci, tulus hati, tetap hati, teguh iman kepada Hyang Widhi, jujur adalah gambaran seseorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah berani, termasyhur, suka memberi pengampunan, perlindungan maka mereka itulah yang disebut Ksatrya.

Sukra Niti
Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa keempat warna itu tidak ditentukan oleh kelahiran, misalnya dari keluarga Brahmana lalu lahir anak Brahmana juga, tetapi sifat dan perbuatan mereka itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian seperti adanya empat warna itu.

Wiracarita Mahabarata
Di sini dijelaskan bahwa sifat-sifat Brahmana ialah: jujur, suka beramal/ berderma, pemaaf, pelindung, takwa, cenderung untuk melakukan pertapaan. Dan dijelaskan pula bahwa kelahiran anak dari seorang Sudra yang dikatakan mempunyai sifat- sifat seperti tersebut di atas, mereka bukanlah Sudra tetapi mereka adalah Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat- sifat seperti itu, maka ia sesungguhnya Sudra.

Dari sumber- sumber tersebut di atas kita peroleh suatu pandangan dan pengertian yang sama mengenai Catur Warna, yaitu merupakan pembidangan karya dan sikap mental manusia yang mewarnai pengabdiannya dalam swadharma masing-masing. Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia.

Wiana (2000) menjelaskan perbedaan antara warna dan kasta. Warna merupakan penggolongan masyarakat berdasarkan fungsi dan profesi. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal adanya Empat Warna/Catur Warna yaitu :




1. Brahmana

Orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.





2. Ksatria
Orang orang yang bekerja / bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf - stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. 




3. Waisya
Orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis / usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha / bisnisnya.




4. Sudra
Orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.


Warna dan gelar serta namanya sama sekali tidak diturunkan atau diwariskan ke generasi berikutnya. Warna tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Artinya, warna bisa berubah setiap saat sesuai dengan fungsi dan profesinya. penggolongan ini tidak diturunkan, Artinya kalau sang Ayah Brahmana tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana.

Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan.



Apa yang terjadi di India adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda, di Indonesia sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur).

Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai pengenal bahwa garis leluhurnya mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu :

Misalnya,
Soroh pande, artinya keluarga mereka pada jaman dahulu adalah "pengrajin/pande-besi",
Arya Kenceng Tegeh Kori contoh lain artinya jaman dahulu keluarga mereka dari kelompok "Arya" (ksatria yang berasal dari jawa masuk ke Bali)

Jadi tidaklah benar kalau umat Hindu itu mengenal kasta, ini merupakan bentuk pelecehan. Maka masyarakat Bali dan nama Hindu menjadi buruk, banyak saudara - saudara dibali masih salah paham tentang Kasta, apalagi orang-orang lain yang tinggal di luar Bali. mungkin karena Umat Hindu kurang mensosialisasikan secara gamblang apa itu wangsa/warna.

Nama Orang Bali itu bukan kasta tapi Wangsa
Contoh :
Nama saya misalnya “I Wayan Bagus”, dan leluhur saya dulu adalah Ksatria yaitu keturunan Dalem Tarukan, apakah saya sudra??? Tentu bukan!

Karena Saya seorang Pegawai Pemerintahan bekerja mengabdikan diri pada negara. Maka saya seorang KESATRIA - Pegawai pemerintah (punggawa istana)

Siapa itu para SUDRA ???

Para sudra adalah orang – orang yang bekerja di swasta, buruh, konsultan dan atau orang yang digaji orang lain karena usaha kerja kerasnya.

Siapa itu para WESIA ???

Para wesia adalah orang – orang yang Pemilik Usaha, Bisnisman, Investor yang memiliki karyawan dan menggaji orang lain untuk kemajuan usahanya.

Siapa itu para BRAHMANA ???

Para brahmana adalah orang – orang yang berprofesi sebagai guru, guru spiritual, pemangku (pinandita) dan Pandita (begawan, mpu, pedanda)

Hubungan di antara golongan pada warna hanya dibatasi oleh “dharma”-kewajiban yang berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan yakni kesempurnaan hidup. Jadi, catur warna sama sekali tidak membeda-bedakan harkat dan martabat manusia dan memberikan manusia untuk mencari jalan hidup dan bekerja sesuai dengan sifat, bakat, dan pembawaannya sejak lahir hingga akhir hayatnya.

Sedangkan kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep catur warna (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra) yang gelar dan atribut namanya diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Artinya, walaupun keturunannya tidak lagi berprofesi sebagai pendeta atau pedanda tetapi masih menggunakan gelar dan nama yang dimiliki leluhurnya yang dulunya menjadi pendeta atau pedanda. Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seseorang yang belum tentu atau tidak memiliki sifat-sifat brahmana harus disebut sebagai brahmana, dan juga terjadi pada kasta yang lainnya.

Terlebih lagi nama dan gelar warisan masing-masing leluhurnya sekarang ini semakin diagung-agungkan dan digunakan untuk mempertajam kesenjangan di antara golongan kasta yang ada. Tetapi, jika nama dan gelarnya yang dipakai keturunannya hanya dijadikan sebagai tanda penghormatan kepada leluhurnya, maka tindakan ini merupakan tindakan yang sangat mulia dan terhormat.

Transformasi Kekuasaan Di Bali
Menurut Agus Salim Pola perubahan sosial ada dua macam yaitu

Datang dari negara (state)
Datang dari bentuk pasar bebas (free market).Perubahan yang dikelola oleh pemerintah berorientasi pada ekonomi garis komando yang datang secara terpusat, sedangkan dari pasar bebas-campur tangan pemerintah sangat terbatas. Negara memberi pengaruhnya secara tidak langsung, sehingga pasar bebas lebih dominan. Jika pada bagian struktur kekuasaan masyarakat Bali telah disampaikan bagaimana sistem kekuasaan Bali melalui sistem kasta, namun setelah mendapat pengaruh globalisasi kehidupan masyarakat Bali yang diwujudkan dalam usaha pengalihan sistem kasta menjadi sistem warna. Adapun gambaran mengenai sistem warna dapat dijelaskan sebagai berikut.

Bagi sebagian orang di Indonesia dan mungkin sebagian masyarakat Bali tidak mengenal sistem Warna dalam masyarakat Bali karena selama ini mengenal bahwa sistem pembagian masyarakat Bali hanya berdasarkan kasta saja. Namun tidak dapat dipungkiri memang kasta telah menjadi suatu sistem pengelompokan dan pemetaan kuasa masyarakat di Bali.

Warna adalah suatu sistem pembagian atau pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi yang dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang tersebut bekerja sebagai seorang pendeta atau menjalankan fungsi-fungsi kependetaan maka dia akan berfungsi sebagai warna brahmana, jika orang tersebut bekerja sebagai pemimpin di masyarakat maka dia akan berfungsi sebagai wangsa ksatriya, atau jika seseorang bekerja sebagai seorang pejabat penting lainnya dia akan disebut sebagai orang yang menjalankan warna weisya, dan jika seseorang yang melaksanakan pekerjaan sehari-harinya sebagai buruh atau tenaga lepas dari seseorang maka ia dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan fungsi sebagai warna sudra.

Akhir-akhir ini perdebatan mengenai kasta dan warna di Bali semakin menuai banyak pendapat, baik itu yang bersifat menerima apa adanya sebagai warisan leluhur, ada yang mencoba mengkritisi sebagai bentuk protes sosial dan upaya untuk menciptakan sirkulasi elit, ada yang mencoba memilahnya sesuai dengan situasi yang ada misalnya menerapkan konsep kasta ketika pada situasi adat istiadat namun menerima sistem warna sebagai praktek dalam kehidupan modern, dan terakhir ada yang menganggap bukan permasalahan serius ketika kekuasaan bisa diraih dengan berbagai macam cara.

Salah satu pendapat yang mencoba mengkritisi kasta dan warna, sebagaimana yang disampaikan oleh Made Kembar Kerepun, bahwa sistem Kasta di Bali merupakan sebuah rekayasa yang dibuat oleh masyarakat di Bali yang sangat cerdas dimana untuk menguatkan rekayasa tersebut para masyarakat yang disebut dengan aktor cerdas tersebut dengan sengaja membuat acuan-acuan dalam teks yang dalam kehidupan masyarakat Bali disebut dengan lontar yang bertujuan untuk membuat perlindungan utuk menguatkan rekayasa tersebut, dimana penulis mengemukakan sebagai payung hukum, dan pembenar. Made Kembar juga menyampaikan bahwa dengan adanya rekayasa tersebut telah merugikan, mensubordinasi, memarjinalkan, bahkan mendiskriminasi kaum di luar lingkungan Tri Wangsa dalam kehidupan sehari-hari.

Di Bali tranformasi kekuasaan pada masyarakat ditunjukkan oleh terjadinya pergeseran pada pemegang kekuasaan. Dimana pada kekuasaan dengan sistem kasta menempatkan Puri sebagai penguasa penuh, namun dengan adanya pengaruh pandangan baru terhadap masyarakat Bali merubah peta kekuasaan itu sendiri yang ditandai dengan lahirnya elit-elit baru di masyarakat Bali.

Selain dari dominasi terhadap jabatan Pemerintahan (Gurbernur dan Bupati), indikasi terhadap memudarnya kekuasaan Puri – puri di bali juga bisa dilihat dari munculnya elit-elit baru yang mampu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat Bali. Dengan pengaruh globalisasi dengan sistem kapitalismenya adanya elit baru di bidang ekonomi tersebut membuat terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap siapa yang berkuasa, karena dengan melihat kondisi perekonomian masyarakat Karangasem maka masyarakat akan cenderung “ikut” pada pemilik modal.

Kekacauan Sisitim kemasyarakatan antara KASTA dan WARNA ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Namun, kesalahan pemahaman tentang kasta dan warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra. Kenyataan saat ini tentu sudah beda. Saya sendiri yang saat walaka (sebelum menjadi pendeta) bukan bernama awal Ida Bagus, toh nyatanya bisa menjadi pendeta atau Brahmana saat ini. Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.

Tidak dapat dipungkiri banyak konflik yang terjadi akibat perbedaan kasta ini, seperti Konflik antar masyarakat yang terjadi pada Bulan Maret 2007 di Desa Tusan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung-Bali merupakan salah satu buntut dari tidak harmonisnya hubungan antara kaum brahmana dan sudra. Puluhan rumah kaum “kasta brahmana” dirusak dan dihanguskan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang rumahnya hancur harus dievakuasi dan diamankan serta ditampung di MAPOLRES (Markas Polisi Resor) Klungkung. Perlu dipertanyakan kenapa ini terjadi? Tak bisa dibayangkan lagi bagaimana benci dan marahnya masyarakat terhadap kaum brahmana sehingga tega melakukan hal-hal yang anarkis ini. Belum ada penjelasan dari aparat berwenang mengenai penyebab kejadian ini. Walaupun demikian, patut diacungi jempol para masyarakat di sana bisa berdamai dan hidup berdampiangan kembali serta membuat pernyataan damai di antara masyarakat yang berkonflik.

Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra.

Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad. Namun yang menyebabkan kesalah-pahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “KASTA” yang feodal itu.

Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah seperti Sudra tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Made Mangku Pastika dianggap berkasta Sudra.

Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalah-pahaman”. Mungkin hanya masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti di masa lalu.

Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.

I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Kalau saja kasta versi masa lalu masih dianggap eksis, tentu aneh Gubernur Bali orang Sudra, wakil dan stafnya orang Kesatria bahkan Brahmana. Ini tentu tak masuk logika, karena itu logikanya memang sudah tak benar.

Dari penjelasan diatas jelas sudah perbedaan pandangan mengenai kasta, warna, dan wangsa. Kita sebagai umat Hindu yang memiliki intelektual sudah menjadi kewajiban memahami konsep ini agar tidak terjadi pandangan yang salah yang dapat menyebabkan kesenjangan sosial antarumat Hindu lebih-lebih bisa menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Namun, sekarang ini nampaknya ada usaha-usaha untuk semakin mempertajam kesenjangan umat Hindu khususnya di Bali. Sebagai contoh mengenai pembagian wewenang, hak dan kewajiban pendeta. Pedanda (pendeta yang berasal dari kalangan Kasta Brahmana) memiliki wewenang yang jauh lebih tinggi dari pada pemangku (pendeta yang berasal dari Kasta Sudra). Pendanda bisa menyelesaikan kelima upacara keagamaan yang ada dalam agama hindu di Bali yang lazim disebut sebagai Panca Yadnya.

Dalam Bhagawad Gita secara jelas disebutkan bahwa dasar persembahan kepada Tuhan adalah “keiklasan” dan sama sekali tidak berdasarkan besar atau kecilnya persembahan dan siapa yang menyelesaikan upacara karena semua manusia sama di hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Apa yang dijelaskan di dalam ajaran suci Agama Hindu ini juga mempertegas bahwa tidak ada perbedaan di antara kita semua. Kita semua mahluk Tuhan dan tak perlu lagi ada pengkotak-kotakan yang berakibat pada perpecahan. Cintailah semua ciptaan Tuhan, semoga damai!

Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Kesatria, Wesyaa maupun Sudra, asalkan mampu.

Demikian pemaparan tentang Sistim Kasta di Bali Mudah - mudahaan semua mengerti tentang hal ini, buat yang tidak setuju mohon maaf kalo pemahaman ini salah.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Perayaan Nyepi Tahun Ini 2021 Kembali tanpa Ogoh-Ogoh

 






EDARAN: Surat Edaran bersama pelaksanaan rangkaian hari suci Nyepi Tahun Saka 1943. (ISTIMEWA)





DENPASAR, BALI EXPRESS – Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali bersama dengan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali telah mengeluarkan surat edaran bersama pelaksanaan hari suci Nyepi tahun Saka 1943. Dalam surat tersebut dipaparkan sembilan poin yang harus dilaksanakan di tengah pandemi dalam perayaannya. Salah satunya tahun ini Nyepi kembali tanpa adaya pengarakan ogoh-ogoh.


Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof.Dr.Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, Selasa (19/1) membenarkan telah menyepakati dan menandatangani bersama hasil rapat bersama tersebut. Dimana di dalamnya yang bertandatangan adalah PHDI Bali, MDA Bali, Pemajuan Masyarakat Adat (PMA), dan Gubernur Bali. Surat edaran tersebut bernomor 009/PHDI-Bali/I/2021 dan 002/MDA-Prov Bali/I/2021 menyampaikan kepada seluruh masyarakat Bali, pelaksanaan rangkaian hari raya suci Nyepi tahun saka 1943 di Bali dilaksanakan dengan sembilan poin. Pertama mentaati dan melaksanakan dengan Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat dalam tatanan kehidupan era baru di Provinsi Bali.





Kedua, khusus kegiatan melasti tawur kesanga agar bagian desa adat yang memiliki pantai melasti di pantai, yang dekat danau melasti di danau, yang dekat campuhan melasti di campuhan, yang memiliki beji agar melasti di beji. Sedangkan yang tidak memiliki sumber mata air tersebut diharapkan melasti secara ngubeng atau ngayat dari pura setempat.


Ketiga, upakara melasti agar ditambahkan dengan banten guru piduka sesuai tempat melasti. Baik itu di pantai, campuhan, beji maupun secara ngubeng. Keempat prosesi upacara tawur kesanga dilaksanakan serentak pada Saniscara Pon Gumbreg tanggal Masehi 13 Maret 2021. Poin kelima, tawur agung kesanga agar disertai dengan upacara segara kerthi dan danu kerthi. Yaitu mapakelem mapulang panyegjeg di nawa segara yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Pada poin keenam pengarakan ogoh-ogoh berkaitan dengan upacara tawur kesanga. Disebutkan pengarakan ogoh-ogoh bukan merupakan rangkaian wajib hari suci nyepi. Oleh karena itu, pengarakan ogoh-ogoh pada hari suci nyepi tahun saka 1943 ditiadakan. Sementara poin ketujuh hingga sembilan merupakan teknis terkait pelaksanaan catur brata penyepian.

Prof. Ngurah Sudiana, juga menjelaskan surat edaran bersama itu merupakan hasil dari rapat kordianasi yang dilakukan bersama MDA, PMA dan Gubernur Bali. “Sesuai dengan hasil rapat kemarin, tadi kita mengadakan rapat dengan MDA dan PMA membahas pelaksanaan rangakaian Neypi tanggal 13 Maret 2021. Hasilnya sesuai dengan tandatangan bersama itu,” jelasnya.

Sementara dikonfirmasi terpisah Ketua MDA Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet diminta keterangan terkait surat edaran bersama itu tidak ada jawaban. Bahkan pesan singkat yang dikirm melalui aplikasi whatsapp tidak dibaca sampai berita ini dibuat.

(bx/ade/yes/JPR)

https://baliexpress.jawapos.com/read/2021/01/19/236246/perhatian-perayaan-nyepi-tahun-ini-kembali-tanpa-ogoh-ogoh


Kamis, 21 Januari 2021

Mau Mulai Bisnis, Wajib Tahu 3 Hal Ini



Ada banyak cara, tips dan metode kita bisa memulai usaha, dan usaha tidak jauh dari kegagalan, bagaimana tidak kita belum berhasil dalam berusaha namun kegagalan sudah didepan mata.Saat kita memutuskan untuk memulai sebuah usaha tentunya kita juga harus mempersiapkan diri kita sebagai seorang pengusaha sejati meskipun usaha yang kita jalankan adalah usaha yang tidak begitu besar pada awalnya, namun itu lah awal kita untuk memulai, karena semua yang besar di mulai dari yang kecil
Seperti kata Alm BOB SADINO
“USAHA BAGUS ITU ADALAH USAHA YANG DIBUKA, BUKAN DI TANYA TERUS MENERUS”

INTINYA MULAI AJA DULU
APA YANG MENJADI PERTIMBANGAN NTAR BELAKANGAN DI SELESAIN
CARANYA USAHA ADALAH MENYELESAIKAN MASALAH SATU PERSATU, GAK ADA MASALAH CARI MASALAH DAN SELESAIKAN BEGITU SETERUSNYA HINGGA AGAN BISA SUKSES


1. Mindset


Jadi mindset adalah kunci nya, hati hati kalau kalian salah pikir karena itu bisa mempengaruhi semua dalam diri anda. Hal tersebut sama dengan yang saya alami karena mindset saya pada awal salah ( berpikir bahwa produk saya tidak akan bisa laris di pasaran ) saya hampir menyerah dalam menjual produk saya. Tanamkan dalam diri anda bahwa produk ini akan laris dijual jangan pernah anda sebagai seller merasa tidak percaya diri dengan produk anda karena dengan adanya sikap tersebut akan mempengaruhi diri anda dan membuat anda tidak bisa menjual produk anda dengan baik.


2. Mental


Latih mental anda sekuat baja, memang banyak orang yang tidak mensupport usaha kalian mulai dari teman yang akan meremehkan kalian ( misal teman saya yang mengatakan bahwa produk saya itu tidak akan laris dan hampir membuat saya down ) Ingat bahwa jika anda jatuh atau gagal itu adalah proses anda untuk bisa berhasil di masa depan. Anggap kegagalan sebagai sebuah proses bukan halangan untuk kalian sukses.

3. Keberanian


No pain No Gain
Jika anda mau berhasil anda harus melakukan effort lebih untuk mencoba mulai dari riset iklan trial and error sampai anda berhasil menemukan winning iklan anda. Be kreatif.
Jadi kalian harus berani mengeluarkan modal dan lakukan test iklan karena dalam meraih kesuksesan tidak ada yang instan semua butuh proses.
Jika kalian tidak berani untuk mencoba, maka kalian akan sama dengan orang - orang di luar sana yang hanya mau sesuatu yang instan tanpa menghargai prosesnya.

Penjelasan Apa Itu Ngereh

 




Setelah dicari-cari pada beberapa kamus Bahasa Bali ternyata tidak mencantumkan kata ngereh. Begitu juga pada Kamus Bahasa Bali karangan Simpen AB juga tidak ditemukan kata ngereh.

Namun beberapa lontar memang ada memberi petunjuk mengenai ngereh, antara lain Lontar Canting Mas (Informasi dari Ida Pedanda Bang Buruan pada majalah taksu, 196 th 2007), Widhi Sastra dan Ganapati Tatwa dan lontar pengerehan. Lontar-lontar tersebut ternyata memberikan penjelasan mengenai ngereh atau kerauhan dalam perspektif yang luas, sehingga menimbulkan kesan bahwa ngereh hanyalah prosesi mistik yang sangat rahasia. Disebut rahasia sebab dilakukan di kuburan tengah malam, hal ini merupakan pengertian ngereh yang sempit yang hidup dan berkembang dalam benak masyarakat Hindu Bali.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Jadi ngereh merupakan suatu prosesi ritual mistik yang dilakukan dikuburan pada tengah malam dan merupakan tahapan akhir dari proses sakralisasi petapakan Ida Bhatara Rangda atau Barong Landung. Atau tahapan akhir dari proses sakralisasi setelah memperbaiki petapakan yang lama atau rusak.

Menurut Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba dari Gria Muding Kerobokan Kabupaten Badung bahwa ngereh merupakan simbulis kumpulan aksara-aksara suci yang terdapat dalam swalita dan mudra yang dirangkum menjadi satu sehingga menjadi kalimusada dan kalimusali yang biasanya dipakai untuk surya sewana. Dari kalimusada dan kalimusali ini muncul dwijaksara diakulturasikan menjadi dasa aksara menjadi panca aksara kemudian menjadi Tri Aksara, Dwi Aksara dan akhirnya menjadi Eka Aksara.

Kaitannya dengan ngereh adalah menghidupkan kekuatan Ista Dewata atau lingga beliau yang sesuai dengan fungsinya, khususnya mengidupkan benda-benda yang dibikin oleh manusia.

Dalam beberapa lontar yang ada yang memuat tentang ngereh yakni lontar Canting Mas dan Siwer Mas peninggalan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh / Dang Hyang Dwi Jendra, ngereh mempunyai arti yakni menghidupkan organ inti manusia yang berupa cakra-cakra dalam tubuh manusia.

Didalam tubuh manusia terdapat tujuh cakra yang harus dihidupkan menjadi kundalini yang menjadi rah atau ngereh. Dengan kata lain kita harus menyatukan ongkara ngadeg dan ongkara sungsang dalam tubuh. Ini berfungsi untuk mengaktifkan kekuatan diri sendiri untuk mencapai kesadaran diri dan dapat menyatu dengan sifat-sifat beliau ( ketuhanan ). Dengan sifat-sifat ketuhanan yang lebih mantap akan memudahkan kita berbuat baik dalam menjalani hidup. Di masyarakat dikenal dengan membangkitkan aura (taksu) yang berdasarkan kekuatan batin. Jadi tidak selalu ngerehang itu bersifat menyeramkan. Kalaupun itu bersifat menyeramkan berarti merupakan spesifikasi dari ngerehang. Khusus terhadap ngerehang rangda dan barong landung haruslah mengacu pada dresta yang berlaku setempat.

Menurut Drs. I Made Karda, M.Si yang juga sebagai tukang saluk rangda pada tulisannya di majalah Taksu 169 Thun 2007 menjelaskan bahwa Ngereh lebih dekat dengan kata kerauhan atau kesurupan, yang artinya kemasukan roh manifestasi Tuhan. Mereka akan menggeraklan tubuhnya sesuai dengan kekuatan yang menempatinya.

Ditambahkan bahwa kerauhan di Bali ada 2 (dua) konsep :


Pertama : kerauhan yang biasanya terjadi ketika piodalan di pura, sanggah kemimitan ataupun dirumah yang memberi isyarat bahwa yadnya telah berhasil dengan baik atau sebaliknya tidak berhasil dengan alasan ada kesalahan. 
Kedua : kerauhan untuk menghadirkan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada saat mengangkat seorang pemangku secara niskala pada suatu pura atau sanggah kemimitan. Ini disebut dengan ketapak ditunjuk secara niskala oleh Ida Bhatara.
Kerauhan yang lain adalah untuk pasupati tapel rangda yang terbuat dari kayu Pule setelah dipasupati tidak lagi disebut Tapel rangda tetapi disebut dengan Ratu Ayu sebutan lain yang disepakati oleh masyarakat penyungsungnya.

Ida Bagus Sudiksa seorang tokoh spiritual, dalang dan pembuatan pratima, barong dan rangda dari Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung menyatakan bahwa setelah selesai pembuatan tapakan Ida Bhatara kemudian dilakukan pengatepan, melaspas, nueden, pasupati oleh Sang Sulinggih dan terakhir barulah dilaksanakan pengerehan.

Desebutkan bahwa ngereh adalah pesucian dari tapakan Ida Bhatara yang ada di Pura. Adapun makna dari pengerehan adalah pengijakan pertama pada Ibu Pertiwi untuk menghidupkan kekuatan magis barong atau rangda yang dilakukan di setra. Ritual di setra ini berhubungan dengan kekuatan magis dan alam gaib dan erat hubungannya dengan jiwa Agama Hindu di Bali yang menganut paham Siwaisme.

Terkait dengan ngereh selain lontar Kala Maya Tatwa ada juga beberapa Lontar tentang pengerehan yakni Lontar Barong Swari yang memuat tentang Kanda Pat, pembuatan barong, rangda, telek, jauk dan lain-lainnya.

Seorang tokoh juga dari Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung Jro Mangku Drs Made Meja Swarata juga berprofesi sebagai dalang dan sejak masih muda biasa memimpin Ritual Ngereh, walaupun beliau tidak terjun langsung selaku pengeranya mengatakan bahwa Ngereh adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan tujuan memohon sesuatu pasupati / kekuatan / kehidupan kepada Ida Bhatara terhadap sesuatu petapakan atau palawatan Ida Bhatara misalnya Rangda atau Barong Landung.

Ritual ini dilakukan setelah Barong Landung/Rangda (petapakan) selesai diperbaiki (bagi yang lama) atau bagi petapakan yang baru dibuat akan mulai dipergunakan. Sesudah tentunya sebelum ritual ngereh ini, terhadap petapakan ini terlebih dahulu dilaksanakan penyucian dan pemlaspas serta pasupati (sekala).



Ngereh biasanya berhubungan dengan Upacara Sakral berupa : Pasupati, Ngatep dan Mintonin.
BACA JUGA
Asta Kosala dan Asta Bumi Arsitektur Bangunan Suci Sanggah dan Pura di Bali
Muput Piodalan Alit di Merajan / Sanggah
Kamus Hindu Bali
Ngereh artinya memusatkan pikiran, dengan mengucapkan mantra dalam hati, sesuai dengan tujuan yang bersangkutan. Pasupati artinya kekuatan dari Dewa Siwa. Ngatep artinya mempertemukan dan Mintonin adalah bahasa Jawa Kuna yang artinya menampakkan diri.

Dalam prosesi Ngereh Petapakan Ida Betara diperlukan tiga tingkatan upakara seperti ; Prayascita dan Mlaspas, Ngatep dan Pasupati, Masuci dan Ngerehin


Tahap Prayacitta dan Melaspas. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menghapuskan noda baik yang bersifat sekala maupun niskala yang ada pada kayu dan benda lain yang digunakan untuk pembuatan Petapakan Betara. Noda ini dapat saja ditimbulkan oleh sangging (seni ukir) ataupun bahan itu sendiri. Dengan Upacara Prayascitta diharapkan kayu atau bahan itu menjadi bersih dan suci serta siap untuk diberikan kekuatan. Upakara tersebut dihaturkan kehadapan Sang Hyang Surya, Sang Hyang Siwa dan Sang Hyang Sapujagat.
Tahap Ngatep dan Pasupati dapat dilakukan oleh Pemangku (orang suci) dan Sangging (seni ukir). Dengan upacara ini terjadilah proses Utpeti (kelahiran) terhadap Petapakan Betara. Mulai saat itu dapat difungsikan sebagai personifikasi dari roh atau kekuatan gaib yang diharapkan oleh penyungsungnya (Pemujanya).
Tahap Masuci dan Ngrehin, merupakan tingkat upacara yang terakhir dengan maksud Petapakan Betara menjadi suci, keramat dan tidak ada yang ngeletehin (menodai). Tujuan upacara adalah untuk memasukkan kekuatan gaib dari Tuhan. Dengan demikian diharapkan Petapakan Betara mampu menjadi pelindung yang aktif. Upacara ini biasanya dilakukan pada dua tempat yaitu di pura dan di kuburan. Apabila dilakukan di kuburan yang dianggap tenget (angker), maka diperlukan tiga tengkorak manusia yang berfungsi sebagai alas duduk bagi yang memundut (mengusung). Begitu pula bila dilakukan di pura maka tengkorak manusia dapat diganti dengan kelapa gading muda. Upacara ini biasanya dilakukan pada tengah malam terutama pada hari-hari keramat seperti hari kajeng kliwon menurut kalender Bali. Sebagai puncak keberhasilan upacara ini adalah adanya kontak dari alam gaib yaitu berupa seberkas sinar yang jatuh tepat pada pemundutnya (pengusungnya). Si pemundut (pengusung) yang kemasukan sinar itu akan dibuat kesurupan (trance) dan pada saat itu pula si pemundutnya (pengusungnya) menari-nari. Kejadian lain yang menandakan upacara ini berhasil adalah apabila Petapakan Betara bergoyang tanpa ada yang menyentuhnya.
Demikianlah beberapa difinisi berdasarkan pendapat beberapa orang yang memang sudah cukup berpenglaman terkait dengan ngereh itu. Memperhatikan bebeapa pendapat yang telah diuraikan di depan, pada intinya ngereh itu adalah suatu ritual niskala yang bersifat magis yang merupakan kelanjutan dari ritual sekala yang dilaksanakan terhadap suatu petapakan (biasanya Barong Landung atau Rangda). Jadi ngereh ini bermakna memohonkan kekuatan kehadapan Ida Bhatara agar petapakan menjadi sakral dan memiliki kekuatan gaib sehingga mampu dan diyakini melindungi masyarakat penyungsungnya serta warga disekitarnya.

Ngereh adalah ritual yang langka dan bernuansa magis serta gaib, maka untuk lokasinya pastilah disesuikan. Tentunya, tidak dilaksanakan pada tempat-tempat umum atau keramaian, malah sebaliknya mencari lokasi yang sepi, tenget, sakral jauh dari hiruk piuk keramaian. Dipastikan tempat itu adalah setra (kuburan). Hal ini diperkuat lagi dengan bunyi salah satu definisi atau pengertian dari Ngereh yakni penginjakan pertama pada ibu pertiwi untuk penghidupan pada barong dan rangda yang dilakukan di setra (kuburan).

Pernah satu kali di dalam prosesi ngereh di sebuah kuburan di tengah kota Denpasar yang di sebut Sema Badung. Prosesi itu dimaksudkan untuk membuktikan atau mengetahui apakah Ida Bhatara Rangda yang baru dibuat telah memperoleh atau memiliki kesaktian. Entah karena alasan apa, mungkin pengerahan tidak dapat berkondentrasi lantaran disekitar kuburan itu kendaraan lalu lalang dengan suara yang memekakkan telinga atau karena hubungan antara manusia dengan alam niskala itu telah terputus, maka prosesi itu tidak berhasil atau gagal. Padahal, ngereh kali ini merupakan bagian akhir dari proses sakralisasi merupakan yang sesungguhnya telah melewati tahapan-tahapan yang demikian rumit, panjang dan kompleks.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Lokasi ngereh memang di kuburan, yang kalau dahulu suasana serta keberadaannya betul-betul sepi dan menyeramkan dengan pepohonan besar-besar yang angker. Semak-semak betul-betul rimbun, tenpa tembok pembatas. Namun sejalan dengan perkembangan dan kemajuan jaman, maka kuburan yang semula disebut sama berubah menjadi setra dan kemudian mengikat lagi statusnya menjadi setra gandamayu. Kalau yang disebut dengan sema, memang kondisi kuburan itu betul-betul masih terbelakang yakni dengan ciri-ciri tanpa tembok pembatas/penyengker, semak-semak yang lebat rimbun dan suasananya kumuh, kuburan masih banyak berisi batu nisan dan gegumuk yang letaknya tidak beraturan, begitu juga palinggih-palinggih dan tata cara penanganan kematian sudah professional, seperti dapat dilihat di setra Gandamayu Dalem Kerobokan Desa Adat Kerobokan Kabupaten Badung. Kalau ritual atau prosesi ngereh dilaksanakan disana, maka tentunya saja kalau dilihat secara sepintas, maka suasananya tidak akan seram atau berbau magis, karena memang suasana kesehariannya bagaikan taman kota. Tembok panyengker yang indah, tata tetamanan yang asri, rerumputan menghijau rapi, pohon-pohon besar ditanam teratur, patung-patung artistik dan lampu penerangan yang bercahaya terang.

Namun demikian bukan berarti, kuburan itu tidak memiliki nuansa magis yang tinggi, jika digunakan sebagai lokasi ngereh, maka keberadaan Setra Gandamayu ini akan dikondisikan agar nuansa seram, magis dan gaib betul-betul terasa. Pada saat prosesi ngereh, seluruh kendaraan yang biasa lewat di jalan yang membelah Setra Gandamayu Dalem Kerobokan dialihkan arus lalu lintasnya sehingga suasana betul-betul tenang dan hening. Lampu-lampu penerang jalan, pura, setra dan termasuk bangunan serta perumahan disekitar kuburan seluruhnya dimatikan. Tentu saja hal ini memerlukan koordinasi yang betul-betul intensif dengan pihak-pihak yang terkait. Dengan terciptanya suasana yang bernuansa magis seperti itu ditambah dengan kedisiplinan dan kelascaryaan serta subakti yang tulus iklas niscaya ngereh itu berhasil.

Mengapa pengerehan dilaksanakan di setra?

Karena setra atau kuburan merupakan tempat pemujaan terhadap Dewi Durga Bhirawi (Dewanya kuburan sesuai dengan Lontar Bhairawi Tatwa), yang merupakan perwujudan dari Dewi Durga. Dalam mitologinya, Dewa Siwa berubah wujud untuk menemui saktinya Dewi Durga (berupa rangda), sehingga memunculkan beberapa kekuatan yang menyeramkan untuk menguasai dunia. Inilah alasannya kenapa setra dipakai sebagai tempat ngerehang Barong Landung atau Rangda. Karena penuh dengan kekuatan gaib atau Black Magic, sehingga dalam ngerehang ini jika sudah mencapai puncaknya maka ia akan hidup, setelah hidup, rangda akan memanggil anak-anak buahnya berupa leak atau makhluk lainnya.

Tengetnya setra seperti yang tercantum pada Lontar Kala Maya Tattwa, di mulai dengan cerita diadakannya rapat di Sorga Loka oleh Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa sebagai perlambang Tri Purusa. Sedangkan sebagai petugas yang melayani rapat adalah Dewi Uma saktinya dari Siwa yang dibantu oleh para bidadari. Apa yang terjadi ? Ternyata pada saat rapat berlangsung Dewi Uma sedang menstruasi (haid), namun Dewi Uma tidak mau terbuka dan menutupi hal tersebut. Menurut peraturan di Sorga Loka bahwa wanita yang sedang menstruasi (haid) tidak boleh mengikuti kegiatan di Kahyangan.

Kejadian Dewi Uma sedang kotor kain (haid)ini diketahui oleh para Dewa lainnya yang sedang mengikuti rapat, namun Dewi Uma tidak peduli dan berlaku cuek saja. Hal ini diketahui oleh Sada Siwa yang memimpin rapat dan segera memberitahukannya kepada Paramasiwa. Akhirnya kotor kainnya Dewi Uma jatuh dan diketahui oleh Paramasiwa yang menyebabkan beliau marah. Maka diusirlah Dewi Uma dari sorga dan mengutuknya menjadi Dhurga bertempat tinggal di Setra Gandamayu.

Lama-kelamaan Siwa menjadi rindu kepada saktinya Dewi Uma di Setra Gandamayu yang telah berubah menjadi Dhurga. Siwa bermaksud turun ke dunia ingin bertemu dengan Dewi Uma, namun beberapa kali selalu diketahui oleh para Dewa lainnya. Untuk menghindari supaya tidak diketahui oleh para Dewa lainnya, maka Siwa berubah (memurti) menjadi raksasa.

Kemudian bertemulah Dewa Siwa dengan Dewi Uma yang telah menjadi Dewi Dhurga. Mereka bercengkrama yang kemudian mengeluarkan sprema Siwa (raksasa). Untuk sperma yang jatuh di tanah menjadi beberapa macam kayu, yakni pule, kepah, kepuh dan kayu jaran. Sedangkan sperma yang jatuh ditubuhnya menjadi beberapa makhluk seperti Bengala-bengali, bhuta-bhuti, bebai, leak, umik-imikan dan lain-lainnya. Dengan terciptanya tetumbuhan dan makhluk-makhluk seram ini membuat kuburan menjadi angker yang akhirnya memang cocok dipergunakan sebagai lokasi ngereh.

Disamping itu, kelurlah bisama beliau kepada manusia yang isinya agar membuat pura dimana mereka bercengkrama yang diberi nama Pura Prajapati. Pura ini berfungsi untuk meminta keselamatan masyarakat melalui Desa Pakraman, agar terhindar dari malapetaka, grubug maupun penyakit / hama yang menyerang pertanian. Maka dibuatkan pelawatan atau petapakan beliau seperti topeng, barong, rangda dan lain-lainnya.

Sumber : cakepane.blogspot.com

Rabu, 20 Januari 2021

Beralih Ke Mobil Listrik, Why Not? Simak juga Kelebihan dan Kekurangannya!



Jaman sudah semakin berubah. Perkembangan teknologi sudah semakin pesat. Mau tidak mau negara kita Indonesia pun harus ikut serta mengikuti kemajuan teknologi termasuk dalam dunia Otomotif.


Belakangan ini dalam dunia Otomotif pun tak ketinggalan melakukan sebuah inovasi yaitu dengan hadirnya mobil listrik. Pasalnya, mobil listrik diklaim akan menjadi alat transportasi di masa yang akan datang. Mungkin mobil dengan bahan bakar seperti bensin tidak akan beroperasi lagi.




Sumber: gambar



Maka dari itu, banyak produsen mobil di luar sana yang saling berlomba untuk memproduksi kendaraan listrik roda empat.


Termasuk negara kita Indonesia yang tidak mau kalah dengan negara lainnya, pada tahun 2019 kemarin Pemerintah telah menerbitkan Peraturan presiden (perpres) terkait Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik. Seperti di bawah ini Gansis yang ane ambil dari sebuah sumber.




Sumber: link


Konon, salah satu produsen yang otomotif yang paling awal mengembangkan mobil dengan tenaga listrik adalah Tesla.


Seperti kabar yang sedang heboh belakangan ini Gansis dimana seorang Crazy Rich asal Medan yang tidak bisa tidur alias kena insomnia dan akhirnya membeli mobil listrik Tesla ini via online.




Sumber: gambar


Namun, diketahui juga mobil listrik yang masuk ke Indonesia ini harganya masih relatif mahal yaitu di kisaran 600 juta rupiah yang paling murah. Sungguh fantastis sekali bukan, seolah jiwa misqueenane meronta-ronta Gansis.


Masalah harga inilah juga yang seolah masih jadi kendala bagi kita. Bisa dibilang hanya orang-orang tertentu saja, seperti para Crazy Richyang bisa membeli dan menikmati sederet kecanggihan dari mobil listrik tersebut.


Padahal, mobil listrik ini konon mempunyai banyak keunggulan sehingga dianggap bisa jadi alat transportasi di masa depan.


Mungkin yang bisa dilakukan oleh negara kita adalah memproduksi mobil listrik dengan material yang sedikit berbeda dari asalnya, agar harganya tidak terlalu mahal dan bisa dinikmati oleh kalangan masyarakat dengan Ekonomi menengah.




Sumber: gambar



Pasalnya, jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar biasa harganya bisa dikatakan dua kali lipat.
Maka dari itu produksi mobil listrik harus disesuaikan juga dengan tingkat ekonomi di masing-masing negara. Ya, balik lagi dengan pendapatan Ekonomi dan soal uang. Kita bicara secara realita dan lebih realistis saja, karena ingin beli sesuatu kan harus pakai uang. Jika, tidak punya banyak uang belum tentu bisa beli mobil listrik. Mungkin lebih baik memikirkan bagaimana agar dapur tetap ngebul.

Makna, Tujuan dan Cara Penggunaan Benang Tri Datu

 




Ini Makna, Tujuan dan Cara Penggunaan Benang Tri Datu

BENANG TRI DATU: Penggunaan benang Tri Datu sebagai lambang Tri Murti. (AGUNG BAYU/BALI EXPRESS)

BALI EXPRESS, DENPASAR - Agama Hindu di Bali memiliki banyak simbul dalam menjalankan agamanya. misalnya ada ritual yang membuat orang Hindu Bali menggunakan gelang benang Tri Datu. Namun benang merah, hitam dan putih ini bak menjadi trend fashion. Karena tak hanya orang Bali, atau orang hindu. Namun non hindu juga "nyaman" menggunakan gelang Tri Datu.

- JUAL BANTEN MURAH hub.0882-9209-6763 atau KLIK DISINI

Menurut pandangan Ketua PHDI Provinsi Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana, bagi umat Hindu Bali, benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri Datu, secara etimologi, berasal dari dua kata yakni kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti kekuatan, jadi Tri Datu berarti tiga kekuatan. Tiga kekuatan ddi sini adalah kekuatan dari tiga Dewa utama dalam agama Hindu. “Yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa,” jelasnya.



Tri Datu yang memiliki tiga wrna yakni merah, putih dan hitam ini menjadi lambang tiga kekuatan. Yakni Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam.




Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. “Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa,” lanjut dosen IHDN ini.

Sehingga pada hakikatnya, dikatakan Sudiana, benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Salah satu sastra yang membahas tentang penggunaan benang Tri Datu dalam ritual keagamaan Hindu adalah Lontar Agastya Parwa. Dimana dalam lontar Agastya Parwa disebutkan Sudiana, benang Tri Datu untuk manusia yakni Umat Hindu Bali digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif. Sehingga manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berfikir lebih bijaksana.

Dijelaskan Sudiana untuk jalinan benang ini bisa dikatakan benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. “Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu juga difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan,” tambahnya.

Jika dilihat dilihat dari sejarah penggunaan benang Tri Datu, sebelum menjadi tren seperti saat ini, dikatakan Sudiana, hampir semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajna dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Mulai dari upacara Dewa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.

Selain itu, benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja, sehingga benang Tri Datu pada awalnya adalah sebuah pica (Anugrah) dari beberapa pura seperti Pura dalem Ped yang berlokasi di Nusa Penida. “Bisa dikatakan Pura Dalem Ped inilah yang pertama kali menganugrahkan gelang Tri datu kepada pemedek yang tangkil ke Pura, selanjutnya seiring dengan perkembangan, akhirnya hampir seluruh Pura di Bali saat ini menganugrahkan benang Tri datu kepada umatnya,” urainya.

CARA MUDAH DAPAT UNTUNG DARI TRADING FOREX KLIK DISINI

Dalam upacara Butha Yajna, benang Tri Datu dipakai pamogpog (pelengkap) atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya.

Sedangkan pada upacara Manusa Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. “Sedangkan pada upacara Pitra Yajna benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal,” paparnya.

Lantas bagaimana dengan benang Sanga Datu dan benang Panca Datu yang bisa didapat di Pura watu Klotok untuk Panca Datu dan Pura Besakih untuk Sanga Datu?

Hingga saat ini Sudiana mengaku jika belum ada literature yang menjabarkan tentang penggunaan Sanga Datu dan Benang Panca datu untuk digunakan sebagai gelang atau kalung oleh umat. “Untuk Sanga Datu dan panca Datu ini, belum ada literature yang menyebutkan tentang penggunaan kedua benang ini untuk gelang bagi manusia,” tambahnya.

Dengan latarbelakang ini, Prof Sudiana mengatakan tidak ada masalah jika umat non hindu menggunakan gelang benang Tri Datu tidak salah. “Selain itu memang tidak ada larangan bagi umat non Hindu untuk menggunakan benang Tri datu ini, sepanjang penggunaannya pada tempat yang tepat,” jelasnya.

Adapun masud tempat yang tepat ini seperti digunakan untuk gelang tangan dan kalung dan bukan gelang kaki. Karena jika digunakan di kaki tanpa adanya tujuan dan ritual yang jelas, maka penggunaan tersebut bisa dianggap sebagai pelecehan, karena mengunakan simbul Tri Murti bukan pada tempatnya. "Posisinya tepat, sehingga tidak menjadi pelecahan terhadap simbol Hindu. Tidak masalah jika digunakan umat lain," urainya. 

(bx/gek/bay/yes/JPR)