Masih ingat Waleed al-Husseini yang akun facebooknya diberi nama “Ana Allah” dan membuat geger dunia? Ada cukup banyak orang-orang di Timur Tengah memilih “bercerai” dengan agama lamanya.
Blogger Palestina Walled al-Husseini
Waleed al-Husseini, seorang pemuda sarjana IT dari kota Qalqilya, Palestina, suatu saat pernah membuat geger otoritas dan publik Palestina gegara membuat akun Facebook dengan "mengatasnamakan” Tuhan. Akun itu diberi nama dalam Bahasa Arab, "Ana Allah” yang berarti "Saya Tuhan”. Di akun Facebook ini, ia membuat sejumlah lelucon atau menulis postingan yang bersifat menertawakan atau memparodikan Tuhan, agama, para nabi, dan Kitab Suci.
Dalam akun itu, Waleed mengumumkan sambil bergurau bahwa Tuhan, di masa datang, akan berkomunikasi langsung kepada makhluk-Nya lewat Facebook karena para nabi dan rasul yang dikirim-Nya berabad-abad silam gagal total dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada umat manusia.
Dan benar, Waleed (yang berakting sebagai Tuhan) misalnya memposting di Facebook tentang larangan orang meminum whisky yang dicampur Pepsi sambil menyerukan mereka untuk mencampur dengan air. Ia juga menganjurkan orang untuk merokok hashish atau hash (semacam marijuana). Kalimat-kalimat dalam postingannya dibuat atau dimirip-miripkan dengan ayat-ayat dalam Al-Qur'an atau Kitab Suci lain.
Postingan-postingan Waleed mungkin membuat sebagian orang tertawa dan terpingkal-pingkal tetapi tidak untuk polisi. Berbeda dengan George Carlin, seorang komedian, aktor, dan kritikus sosial di Amerika, yang leluasa membuat lelucon tentang Tuhan dan hal-ikhwal yang berkaitan dengan komunitas agama, Waleed justru digelandang oleh pihak otoritas Palestina. Hanya selang beberapa hari setelah ia memosting di akun Facebook, sejumlah polisi membekuknya saat ia sedang bermain kartu di sebuah kafe. Ia pun mendekam berbulan-bulan di penjara.
Kisah Waleed ini diceritakan oleh Brian Whitaker dalam bukunya yang berjudul Arabs without God: Atheism and Freedom of Belief in the Middle East. Beberapa bulan sebelum membuat akun atas nama Tuhan di Facebook, Waleed juga membuat beberapa blog dengan nama "Nur al-Aql” (Cahaya Akal) dan "Proud Atheist” untuk mengekspresikan "kegelisahan teologis” dan "pemberontakan intelektual” yang melanda dirinya.
Waleed tidak sendirian. Ada cukup banyak orang-orang di Timur Tengah, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, yang emoh dan memilih "bercerai” dengan agama lamanya kemudian menjadi ateis (atau agnostik, sekularis, dan freethinker).
Lara Ahmed, seorang mahasiswi biologi di University of Babylon, Irak, seperti ditulis oleh Gilgamesh Nabeel di The Washington Times, juga memilih menjadi ateis. Tetapi berbeda dengan Waleed yang "memberontak” dan terang-terangan mendeklarasikan diri keateisannya, Lara memilih diam-diam dan menyembunyikan "keyakinan” barunya. Meskipun "memeluk” ateisme, Lara tetap berhijab. Ia memilih tetap berhijab karena kalau tidak memakai hijab, banyak orang melecehkannya.
Lantaran tetap berhijab dan menyembunyikan ateismenya itulah Lara selamat dari hukuman: baik hukuman negara maupun "hukuman sosial” dari masyarakat. Ini berbeda dengan Waleed diatas atau Kacem El Ghazzali yang pernah dilempari batu warga dan dikutuk oleh imam di kampungnya di Maroko hanya karena menulis dan memosting tentang sekularisme dalam blognya.
Cerita yang kurang lebih sama juga menimpa Alber Saber, seorang warga Mesir yang meninggalkan Kristen Koptik dan memilih menjadi ateis. Ia pernah dipenjara karena memosting hal-hal yang dianggap sebagai anti-agama. Oleh pihak otoritas Mesir, ia pernah dituduh mengfitnah Islam dan Kristen, melecehkan nabi-nabi, menghina wahyu dan ketuhanan, serta memparodikan ritual-ritual keagamaan.
Tersebar di seantero Timur Tengah
Kasus-kasus di atas hanyalah sekelumit contoh saja tetang fenomena ateisme dan kelompok ateis di kawasan Timur Tengah masa kini. Tidak ada statistik yang pasti tentang berapa jumlah kaum ateis atau "non-agama” di kawasan ini. Tetapi lembaga Dar Al Ifta di Mesir pernah melakukan survei dan polling tentang warga Arab yang mengidentifikasi diri sebagai ateis, dan hasilnya cukup mengejutkan. Ada ribuan orang Arab yang mengidentifikasi diri sebagai ateis atau "nonbelievers” dan tersebar di seantero Timur Tengah: Mesir, Maroko, Tunisia, Irak, Saudi, Yordania, Suriah, Sudan, Libya, Yaman dan sebagainya.
Rabab Kamal, seorang aktivis Mesir, bahkan pernah mengatakan, seperti dikutip oleh Ahmed Benchemsi dalam artikelnya, "Invisible Atheists: the Spread of Disbelief in the Arab World” yang diterbitkan oleh New Republic, kalau di Universitas Al-Azhar saja ada ribuan kaum ateis dan sekularis yang tidak mau terang-terangan mendeklarasikan diri keateisan dan kesekulerannya. Sejarawan Mesir Hamed Abdel-Samad bahkan menduga setiap keluarga di Mesir ada seorang ateis atau sekularis atau minimal kritikus agama. Hanya saja, menurutnya, mereka tidak berani berterus-terang di publik karena takut dihukum.
Ahmed Benchesmi, editor-in-chief FreeArabs.Com pernah mengsurvei akun pengguna Facebook di Timur Tengah, baik dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris, dan menurutnya ada lebih dari 250 grup atau pages yang masing-masing anggotanya bervariasi dari ratusan hingga sebelas ribuan.
Perlu dicatat bahwa fenomena perkembangan kaum ateis ini bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat Arab Timur Tengah saja tetapi juga Iran. Di negeri para mullah ini tercatat ada ratusan ribu warganya (sekitar 0,3 persen dari total penduduk Iran) yang mengasosiasikan diri sebagai non-agama seperti pernah dilaporkan oleh Statistical Center of Iran tahun 2011. Di Iran, kaum ateis bahkan memiliki lembaga atau jaringan kelompok ateis.
Kenapa beberapa kalangan masyarakat Arab memilih menjadi ateis?
Bagi banyak orang, fenomena ini bisa jadi dianggap sebagai sebuah anomali atau penyimpangan. Mereka beranggapan atau berimajinasi bahwa orang Arab itu diasumsikan sebagai Muslim atau bahkan fanatikus agama. Meskipun sebetulnya realitasnya sangat kompleks karena selain Muslim, ada jutaan masyarakat Arab Kristen, Yahudi, Druze, Yazidi atau Mandean. Sebagai Muslim pun mereka sangat warna-warni: Sunni, Syiah, Salafi, Wahabi, Zaidi, Ismaili, Sufi, Alwai, Ibadi dan masih banyak lagi. Munculnya kaum Arab ateis, semakin menambah daftar pluralitas dan kompleksitas masyarakat Arab di Timur Tengah.
Tentu saja tidak ada yang salah kalau warga Arab memilih menjadi ateis. Sebagai sebuah kelompok etnis, tidak ada bedanya antara Arab dan Persi, Cina, Jepang, Jerman, Rusia, India, Melayu, Jawa dan lainnya. Yang salah adalah mereka yang menganggap atau mengimajinasikan bahwa Arab = Muslim. Hal ini sama konyolnya dengan anggapan atau imajinasi bahwa Melayu = Muslim, Cina = Konfusius, India = Hindu, Jepang = Sinto, Amerika = Kristen, Rusia = ateis, dan seterusnya.
Sebagai sebuah "pandangan dunia”, ateisme tentu saja bersifat lintasetnis, masyarakat dan budaya. Siapa saja, dari etnik dan suku-bangsa manapun, boleh menjadi ateis dan mempercayai ateisme, sebagaimana siapa saja boleh menjadi teis dan meyakini teisme.
Seperti perkembangan kaum ateis di kawasan non-Arab atau diluar Timur Tengah, khususnya di negara-negara Barat, ada berbagai alasan yang dianggap mendasar kenapa sebagian masyarakat Arab berubah menjadi ateis atau pemeluk ateisme. Tetapi tragisnya, oleh pihak pemegang otoritas politik atau masyarakat umum di Timur Tengah, kelompok ateis sering kali atau bahkan selalu dicurigai sebagai "agen Zionis”, "antek Barat”, atau "intel komunis” yang disusupkan di Timur Tengah untuk merusak umat Islam. Padahal, aktivis Komunis Arab juga ikut-ikutan melarang ateisme karena mereka mengadopsi Komunisme sebagai strategi gerakan politik-ekonomi saja, bukan yang berbau teologi-keagamaan.
Seperti dituturkan dalam buku Arabs without God dan sejumlah karya akademik sejenis yang mengulas tentang sejarah dan perkembangan kontemporer ateisme di Timur Tengah, masyarakat Arab (dan mana saja) menjadi ateis karena ada sejumlah alasan atau faktor yang sangat mendasar, baik faktor atau alasan yang bersifat personal-internal atau sosial-eksternal.
Misalnya, seperti yang diekspresikan oleh sejumlah kelompok ateis dan eks-umat beragama, tentang ketidakmampuan doktrin-doktrin agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental filosofis-ilmiah (misalnya mengenai asal-usul manusia dan alam semesta); adanya sejumlah doktrin, ajaran dan teks-teks keagamaan yang dianggap tidak logis dan scienfitic (seperti gambaran atau image tentang Tuhan yang dianggap membingungkan dan kontradiktif); atau pengalaman-pengalaman individu atau menyaksikan kejadian atas orang lain yang sangat menakutkan dan traumatik (misalnya menyaksikan kekerasan, kekejaman, terorisme, diskriminasi, intimidasi, pemerkosaan, dan lain-lain) yang dilakukan oleh sejumlah kelompok ekstrimis agama. Semua itu, antara lain, menjadi faktor penting yang mendorong pengikut agama kemudian memilih cerai dari agama mereka.
Fenomena ateisme di masyarakat idealnya harus disikapi secara dewasa dan ilmiah oleh kaum teis atau umat beragama, bukan malah dihadapi dengan hukuman, kecaman, atau kutukan. Munculnya kaum ateis juga bisa dijadikan sebagai kritik internal sekaligus tantangan untuk mengembangkan agama yang lebih ilmiah, rasional, beradab, manusiawi, modern dan memperhatian kemajuan zaman, agar umat beragama tetap betah tinggal di dalamnya. Semoga bermanfaat.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
Sumber
Blogger Palestina Walled al-Husseini
Waleed al-Husseini, seorang pemuda sarjana IT dari kota Qalqilya, Palestina, suatu saat pernah membuat geger otoritas dan publik Palestina gegara membuat akun Facebook dengan "mengatasnamakan” Tuhan. Akun itu diberi nama dalam Bahasa Arab, "Ana Allah” yang berarti "Saya Tuhan”. Di akun Facebook ini, ia membuat sejumlah lelucon atau menulis postingan yang bersifat menertawakan atau memparodikan Tuhan, agama, para nabi, dan Kitab Suci.
Dalam akun itu, Waleed mengumumkan sambil bergurau bahwa Tuhan, di masa datang, akan berkomunikasi langsung kepada makhluk-Nya lewat Facebook karena para nabi dan rasul yang dikirim-Nya berabad-abad silam gagal total dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada umat manusia.
Dan benar, Waleed (yang berakting sebagai Tuhan) misalnya memposting di Facebook tentang larangan orang meminum whisky yang dicampur Pepsi sambil menyerukan mereka untuk mencampur dengan air. Ia juga menganjurkan orang untuk merokok hashish atau hash (semacam marijuana). Kalimat-kalimat dalam postingannya dibuat atau dimirip-miripkan dengan ayat-ayat dalam Al-Qur'an atau Kitab Suci lain.
Postingan-postingan Waleed mungkin membuat sebagian orang tertawa dan terpingkal-pingkal tetapi tidak untuk polisi. Berbeda dengan George Carlin, seorang komedian, aktor, dan kritikus sosial di Amerika, yang leluasa membuat lelucon tentang Tuhan dan hal-ikhwal yang berkaitan dengan komunitas agama, Waleed justru digelandang oleh pihak otoritas Palestina. Hanya selang beberapa hari setelah ia memosting di akun Facebook, sejumlah polisi membekuknya saat ia sedang bermain kartu di sebuah kafe. Ia pun mendekam berbulan-bulan di penjara.
Kisah Waleed ini diceritakan oleh Brian Whitaker dalam bukunya yang berjudul Arabs without God: Atheism and Freedom of Belief in the Middle East. Beberapa bulan sebelum membuat akun atas nama Tuhan di Facebook, Waleed juga membuat beberapa blog dengan nama "Nur al-Aql” (Cahaya Akal) dan "Proud Atheist” untuk mengekspresikan "kegelisahan teologis” dan "pemberontakan intelektual” yang melanda dirinya.
Waleed tidak sendirian. Ada cukup banyak orang-orang di Timur Tengah, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, yang emoh dan memilih "bercerai” dengan agama lamanya kemudian menjadi ateis (atau agnostik, sekularis, dan freethinker).
Lara Ahmed, seorang mahasiswi biologi di University of Babylon, Irak, seperti ditulis oleh Gilgamesh Nabeel di The Washington Times, juga memilih menjadi ateis. Tetapi berbeda dengan Waleed yang "memberontak” dan terang-terangan mendeklarasikan diri keateisannya, Lara memilih diam-diam dan menyembunyikan "keyakinan” barunya. Meskipun "memeluk” ateisme, Lara tetap berhijab. Ia memilih tetap berhijab karena kalau tidak memakai hijab, banyak orang melecehkannya.
Lantaran tetap berhijab dan menyembunyikan ateismenya itulah Lara selamat dari hukuman: baik hukuman negara maupun "hukuman sosial” dari masyarakat. Ini berbeda dengan Waleed diatas atau Kacem El Ghazzali yang pernah dilempari batu warga dan dikutuk oleh imam di kampungnya di Maroko hanya karena menulis dan memosting tentang sekularisme dalam blognya.
Cerita yang kurang lebih sama juga menimpa Alber Saber, seorang warga Mesir yang meninggalkan Kristen Koptik dan memilih menjadi ateis. Ia pernah dipenjara karena memosting hal-hal yang dianggap sebagai anti-agama. Oleh pihak otoritas Mesir, ia pernah dituduh mengfitnah Islam dan Kristen, melecehkan nabi-nabi, menghina wahyu dan ketuhanan, serta memparodikan ritual-ritual keagamaan.
Tersebar di seantero Timur Tengah
Kasus-kasus di atas hanyalah sekelumit contoh saja tetang fenomena ateisme dan kelompok ateis di kawasan Timur Tengah masa kini. Tidak ada statistik yang pasti tentang berapa jumlah kaum ateis atau "non-agama” di kawasan ini. Tetapi lembaga Dar Al Ifta di Mesir pernah melakukan survei dan polling tentang warga Arab yang mengidentifikasi diri sebagai ateis, dan hasilnya cukup mengejutkan. Ada ribuan orang Arab yang mengidentifikasi diri sebagai ateis atau "nonbelievers” dan tersebar di seantero Timur Tengah: Mesir, Maroko, Tunisia, Irak, Saudi, Yordania, Suriah, Sudan, Libya, Yaman dan sebagainya.
Rabab Kamal, seorang aktivis Mesir, bahkan pernah mengatakan, seperti dikutip oleh Ahmed Benchemsi dalam artikelnya, "Invisible Atheists: the Spread of Disbelief in the Arab World” yang diterbitkan oleh New Republic, kalau di Universitas Al-Azhar saja ada ribuan kaum ateis dan sekularis yang tidak mau terang-terangan mendeklarasikan diri keateisan dan kesekulerannya. Sejarawan Mesir Hamed Abdel-Samad bahkan menduga setiap keluarga di Mesir ada seorang ateis atau sekularis atau minimal kritikus agama. Hanya saja, menurutnya, mereka tidak berani berterus-terang di publik karena takut dihukum.
Ahmed Benchesmi, editor-in-chief FreeArabs.Com pernah mengsurvei akun pengguna Facebook di Timur Tengah, baik dalam Bahasa Arab maupun Bahasa Inggris, dan menurutnya ada lebih dari 250 grup atau pages yang masing-masing anggotanya bervariasi dari ratusan hingga sebelas ribuan.
Perlu dicatat bahwa fenomena perkembangan kaum ateis ini bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat Arab Timur Tengah saja tetapi juga Iran. Di negeri para mullah ini tercatat ada ratusan ribu warganya (sekitar 0,3 persen dari total penduduk Iran) yang mengasosiasikan diri sebagai non-agama seperti pernah dilaporkan oleh Statistical Center of Iran tahun 2011. Di Iran, kaum ateis bahkan memiliki lembaga atau jaringan kelompok ateis.
Kenapa beberapa kalangan masyarakat Arab memilih menjadi ateis?
Bagi banyak orang, fenomena ini bisa jadi dianggap sebagai sebuah anomali atau penyimpangan. Mereka beranggapan atau berimajinasi bahwa orang Arab itu diasumsikan sebagai Muslim atau bahkan fanatikus agama. Meskipun sebetulnya realitasnya sangat kompleks karena selain Muslim, ada jutaan masyarakat Arab Kristen, Yahudi, Druze, Yazidi atau Mandean. Sebagai Muslim pun mereka sangat warna-warni: Sunni, Syiah, Salafi, Wahabi, Zaidi, Ismaili, Sufi, Alwai, Ibadi dan masih banyak lagi. Munculnya kaum Arab ateis, semakin menambah daftar pluralitas dan kompleksitas masyarakat Arab di Timur Tengah.
Tentu saja tidak ada yang salah kalau warga Arab memilih menjadi ateis. Sebagai sebuah kelompok etnis, tidak ada bedanya antara Arab dan Persi, Cina, Jepang, Jerman, Rusia, India, Melayu, Jawa dan lainnya. Yang salah adalah mereka yang menganggap atau mengimajinasikan bahwa Arab = Muslim. Hal ini sama konyolnya dengan anggapan atau imajinasi bahwa Melayu = Muslim, Cina = Konfusius, India = Hindu, Jepang = Sinto, Amerika = Kristen, Rusia = ateis, dan seterusnya.
Sebagai sebuah "pandangan dunia”, ateisme tentu saja bersifat lintasetnis, masyarakat dan budaya. Siapa saja, dari etnik dan suku-bangsa manapun, boleh menjadi ateis dan mempercayai ateisme, sebagaimana siapa saja boleh menjadi teis dan meyakini teisme.
Seperti perkembangan kaum ateis di kawasan non-Arab atau diluar Timur Tengah, khususnya di negara-negara Barat, ada berbagai alasan yang dianggap mendasar kenapa sebagian masyarakat Arab berubah menjadi ateis atau pemeluk ateisme. Tetapi tragisnya, oleh pihak pemegang otoritas politik atau masyarakat umum di Timur Tengah, kelompok ateis sering kali atau bahkan selalu dicurigai sebagai "agen Zionis”, "antek Barat”, atau "intel komunis” yang disusupkan di Timur Tengah untuk merusak umat Islam. Padahal, aktivis Komunis Arab juga ikut-ikutan melarang ateisme karena mereka mengadopsi Komunisme sebagai strategi gerakan politik-ekonomi saja, bukan yang berbau teologi-keagamaan.
Seperti dituturkan dalam buku Arabs without God dan sejumlah karya akademik sejenis yang mengulas tentang sejarah dan perkembangan kontemporer ateisme di Timur Tengah, masyarakat Arab (dan mana saja) menjadi ateis karena ada sejumlah alasan atau faktor yang sangat mendasar, baik faktor atau alasan yang bersifat personal-internal atau sosial-eksternal.
Misalnya, seperti yang diekspresikan oleh sejumlah kelompok ateis dan eks-umat beragama, tentang ketidakmampuan doktrin-doktrin agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental filosofis-ilmiah (misalnya mengenai asal-usul manusia dan alam semesta); adanya sejumlah doktrin, ajaran dan teks-teks keagamaan yang dianggap tidak logis dan scienfitic (seperti gambaran atau image tentang Tuhan yang dianggap membingungkan dan kontradiktif); atau pengalaman-pengalaman individu atau menyaksikan kejadian atas orang lain yang sangat menakutkan dan traumatik (misalnya menyaksikan kekerasan, kekejaman, terorisme, diskriminasi, intimidasi, pemerkosaan, dan lain-lain) yang dilakukan oleh sejumlah kelompok ekstrimis agama. Semua itu, antara lain, menjadi faktor penting yang mendorong pengikut agama kemudian memilih cerai dari agama mereka.
Fenomena ateisme di masyarakat idealnya harus disikapi secara dewasa dan ilmiah oleh kaum teis atau umat beragama, bukan malah dihadapi dengan hukuman, kecaman, atau kutukan. Munculnya kaum ateis juga bisa dijadikan sebagai kritik internal sekaligus tantangan untuk mengembangkan agama yang lebih ilmiah, rasional, beradab, manusiawi, modern dan memperhatian kemajuan zaman, agar umat beragama tetap betah tinggal di dalamnya. Semoga bermanfaat.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
Sumber