Senin, 22 Juni 2020

H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

Keluarga Ningrat


Sebelum bergelar haji dan disebut dengan nama H.O.S Tjokroaminoto, sewaktu lahir beliau diberikan nama Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto oleh orangtuanya. Beliau dilahirkan di desa Bakur, tanggal 16 Agustus 1882 di Kota Reog, Ponorogo. Oemar Said mendapatkan gelar bangsawan dari nenek buyutnya, yang merupakan putri Susuhunan, salah satu bangsawan dari Surakarta.


Kakek buyut beliau merupakan ulama ternama, yang bermama Kyai Bagoes Kesan Besari. Ulama yang memiliki pondok pesantren di Desa Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo. Dulu kakek buyut dari Oemar Said memperistri seorang putri dari Susuhunan II. Dengan pernikahan itu, Kyai Bagoes resmi menjadi keluarga Keraton Surakarta. Dari sang nenek buyutnya lah Oemar Said mendapat gelar Raden Mas-nya.


Dari pernikahan dengan putri Susuhunan tersebut, Kyai Bagoes Kesan Besari dikaruniai seorang putra yang bernama Raden Mas Tjokronegoro. Dalam kehidupannya, Tjokronegoro tidak mengikuti jejak sang ayah sebagai seorang ulama atau menjadi pemimpin pondok pesantren. Tjokronegoro memilih pekerjaan dipemerintahan, sebagai pegawai pemerintah dimasa Kolonial Belanda. Dalam kariernya, Tjokronegoro pernah menduduki jabatan penting, diantaranya sebagai bupati di Ponorogo. Oleh karenanya, ia dianugrahi bintang jasa Ridder der Nederlansche Leeuw dari pemerintah Hindia Belanda.


H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

H.O.S Tjokroaminoto

Sumber



Tjokronegoro dianugrahi seorang putra, yang diberi nama Raden Mas
Tjokroamiseno. Tjokroamiseno juga mengikuti jejak ayahnya dengan bekerja sebagai pegawai pemerintahan pula. Tjokroamiseno juga pernah menduduki jabatan penting pemerintahan, antara lain sebagai wedana di Kawedanan Kletjo, Madiun. Kawedanan sendiri adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan, berlaku pada masa Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut sebagai wedana.


Raden Mas Tjokroamiseno adalah ayah dari Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokoroaminoto adalah anak ke dua dari 12 bersaudara, berikut nama 11 saudaranya.


Quote:



Masa Remaja Tjokroaminoto


Tjokroaminoto dulu dikenal sebagai anak yang nakal dan pemberani. Karena kenakalan dan keberaniannya, semasa di sekolah ia sering dikeluarkan dari sekolah. Kemudian ia pindah dari satu ke sekolah yang lain, walaupun demikian ia memiliki kecerdasan yang luar biasa.


Berkat kecerdasannya, Tjokro berhasil masuk ke sekolah OSVIA
(Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren)
, di Magelang. Pada tahun 1902 ia berhasil menyelesaikan sekolahnya disana. OSVIA merupakan sekolah elite pada zaman Belanda, tak sembarang orang bisa sekolah disini. Biasanya anak dari pejabat pemerintah sampai anak-anak priyayi, yang bisa masuk sekolah ini.


H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota


Foto lawa sekolah OSVIA.

Sumber



Tentu anak pejabat dan priyayi dimasukkan ke OSVIA, dengan harapan kelak dapat menjadi seorang pejabat dalam pemerintahan Belanda. Sebagai seorang anak darah biru, Tjokroaminoto telah dijodohkan oleh orangtuanya dengan anak priyayi pula. Wanita itu bernama Raden Ajeng Soeharsikin, putri
seorang wakil bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangoensomo.


Raden Ajeng Soeharsikin, setelah menikah lebih dikenal dengan nama Raden Ayu Tjokroaminoto. Sosoknya dikenal sebagai wanita yang halus budi pekertinya, baik perangainya, serta besar sifat pengampunannya dan juga cekatan. Meski tidak tinggi pendidikan sekolahnya, namun ia sangat menyukai ilmu pengetahuan dan pengajian agama. Menurut asal-usulnya, beliau merupakan keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir dari Madiun.



Ketika Harus Memilih, Suami Atau Keluarga ?


Keteguhan dan kecintaan Soeharsikin pada Tjokroaminoto dibuktikan sejak awal masa pernikahan, ketika itu dirinya dipaksa untuk memilih antara
berpisah dengan orang tuanya atau dengan Tjokroaminoto. Hal ini bermula ketika Tjokroaminoto berselisih dengan sang mertua. Perselisihan ini berawal dari
perbedaan pandangan antara keduanya, Tjokroaminoto tidak berkeinginan menjadi seorang birokrat (pegawai pemerintahan). Sedangkan mertuanya menginginkan Tjokroaminoto menjadi birokrat, sang mertua sebenarnya sudah menyiapkan rencana agar Tjokroaminoto menjadi bupati Ponorogo.


Mertuanya memang masih bersifat kolot, berpikir dengan mempunyai kedudukan penting dipemerintahan adalah cara hidup yang tepat. Apalagi mereka keturuanan darah biru, dimana waktu itu para bangsawan darah biru mulai banyak yang masuk pemerintahan. Mereka diberi gaji oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu itu Tjokroaminoto sudah berkarier selama tiga tahun dibidang pemerintahan, dimana ia menjadi juru tulis patih di Ngawi.


H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

Potret Soeharsikin, istri Tjokroaminoto.

Sumber



Perbedaan pandangan antara mertua dan menantu semakin hari semakin memanas, Tjokroaminoto pun mengambil tindakan nekat. Dia meninggalkan rumah kediaman mertuanya, disaat sang istri sedang mengandung anak pertamanya.
Tindakan nekat Tjokroaminoto ini menimbulkan kemarahan serta kebencian Mangoensoemo, ia memaksa anaknya untuk bercerai dengan Tjokroaminoto. Sebab kepergiannya dinilai telah mencoreng martabat dan kehormatan keluarga.


Dihadapkan situasi sulit, Soeharsikin secara tegas tetap memilih suaminya, Tjokroaminoto. Jawaban dari Soeharsikin membuat kedua orang tuanya terdiam dan tidak mampu berbuat apa-apa.
Tepat setelah Soeharsikin
melahirkan anak pertamanya, ia bersama anaknya meninggalkan rumah untuk menyusul Tjokroaminoto. Namun beberapa waktu berselang, ia berhasil ditemukan oleh pesuruh ayahnya
yang menyusul untuk memintanya kembali. Ia pun kembali ke rumah orangtuanya, sementara Tjokroaminoto tetap berada diperantauan.


Menjadi Kuli di Semarang


Tak pernah terbayangkan seorang ningrat memilih menjadi kuli di pelabuhan Semarang, hal itu dilakoni Tjokroaminoto ketika sampai di kota Semarang.
Waktu itu tahun 1905, untuk menyambung hidup di Semarang, ia tidak segan menjadi kuli pelabuhan disana. Pengalaman yang tak terlupakan, mendorongnya untuk lebih memperhatikan kehidupan kaum buruh. Baik buruh di perkebunan, kereta api, pengadilan, pelabuhan dan sebagainya. Beliau juga yang mempelopori berdirinya ’Sarekat Pekerja’, yang bertujuan mengangkat harkat kaum buruh.


Karena merasa sulit berkembang di Semarang, beliau memutuskan pindah ke Surabaya. Kemudian ia bekerja pada sebuah firma yang
bernama Kooy & Co, yang merupakan sebuah perusahaan dibidang pedagangan untuk membiayai sekolahnya. Disamping bekerja beliau juga melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 1907-1910, dia melanjutkan pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School), merupakan Sekolah Teknik Sipil Jurusan Mesin. Setelah menamatkan sekolahnya di B.A.S, Tjokroaminoto sudah tidak tertarik lagi untuk meneruskan pekerjaannya di perusahaan dagang itu.


Kemudian ia berhenti dari pekerjaannya selama satu tahun, dari tahun 1911 sampai 1912. Ia sempat menjadi leerling machinist (juru mesin) dalam kurun waktu itu. Kemudian ia mulai bekerja lagi ke
sebuah pabrik gula, pabrik itu bernama Rogojampi. Dekat kota Surabaya sebagai seorang chemiker, chemiker sendiri adalah istilah dari bahasa Belanda. Merupakan sebutan untuk kepala bagian giling di dalam pabrik gula.


H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

Ilustrasi Pelabuhan Seamarang

Sumber



Diantara banyak pekerjaan yang pernah ia lakoni, pekerjaan sebagai jurnalistik yang paling disukainya. Beliau mengembangkan bakat dan kemampuannya dalam bidang itu, dengan memasukkan tulisannya dalam berbagai surat kabar pada masanya. Beliau pernah menjadi pembantu pada sebuah surat kabar di kota Surabaya, yaitu Suara Surabaya.


Bakatnya ini semakin tampak jelas, ketika dikemudian hari ia menjadi pemimpin Sarekat Islam dan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dimana ia mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan mingguan serta majalah, yaitu surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad. Ia mulai menyadari fungsi utama dari surat kabar dan majalah sebagai alat perjuangan.


Dukungan Penuh Sang Istri


Setelah cukup lama merantau, Tjokroaminoto memutuskan untuk
menetap di Surabaya dan membawa serta istri dan lima anaknya. Lima anak beliau yaitu Siti Oetari, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah, dan Soejoet Ahmad. Walaupun dalam suasana sederhana, keluarga ini hidup harmonis dan berbahagia. Sang istri Soeharsikin memberikan dukungan moral yang besar kepada
suaminya. Jika Tjokroaminoto bepergian, istri yang sederhana dan setia ini selalu mengiringi kepergian suaminya dengan sembahyang tahajud, puasa dan berdoa untuk suaminya.


Banyak orang yang mengakui bahwa ketinggian derajat yang
diperoleh dan dimiliki Tjokroaminoto, sebagian besar berkat bantuan sang istri. Tak heran jika ada pepatah dibalik suami yang hebat, pasti ada wanita tangguh disampingnya itu adalah benar adanya. Untuk membantu ekonomi keluarga, Soeharsikin membuka rumahnya di Kampung Peneleh untuk indekos para pelajar di Surabaya. Pelajar yang mondok di rumah Tjokroaminoto waktu itu sekitar 20 orang. Kebanyakan mereka bersekolah di M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan H.B.S (Hollands Binnenlands School).


Pelajar yang mondok tersebut juga menjadikan sosok Tjokroaminoto sebagai guru, inspirasi , dan teladan. Para siswa yang indekos waktu itu adalah Soekarno, Kartosoewiryo, Semaoen, Sampoerno, Abikoesno, Alimin dan Moesso. Mereka tidak hanya makan dan tidur di rumah Tjokroaminoto, tapi juga sering berdiskusi baik dengan sesama teman maupun dengan Tjokroaminoto sendiri.


H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

Rumah kos yang jadi saksi sejarah, masih berdiri di Kampung Peneleh, Surabaya.

Sumber



Rumah Tjokroaminoto ibarat kawah Candradimuka yang terus menggembleng dan membangun ideologi kerakyatan, demokrasi, sosialisme, dan anti imperialisme. Dalam mendidik anak-anak maupun mengatur para pelajar yang indekos, Soeharsikin dan Tjokroaminoto sangat disiplin meskipun tetap akrab. Untuk anak-anaknya diberi pendidikan dengan baik, tidak hanya pendidikan
duniawi tetapi juga pendidikan agama. Seperti mendatangkan guru untuk mengajar membaca Al-Qur’an ke rumah.


Sedangkan disiplin yang diterapkan untuk para pelajar yang indekos salah satunya sempat diceritakan oleh Soekarno berikut ini, ”Bu Tjokro sendiri yang mengumpulkan uang makan kami setiap minggu. Dia membuat peraturan seperti makan malam jam sembilan dan yang terlambat tidak akan dapat makan, anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam, harus bangun jam 4 pagi untuk belajar, dan main-main dengan anak gadis sangat dilarang. Memang rata-rata penghuni kostnya adalah murid laki-laki waktu itu, sehingga acara main perempuan sangat dilarang oleh Bu Tjokro.



Ikut Dalam Pendirian Sarekat Islam


Sebelum Sarekat Islam dibentuk, terlebih dulu lahir sebuah ormas keamanan dengan nama Rekso Roemekso di Kota Solo yang dibentuk oleh H.Samanhoedi. Ormas ini termasuk ilegal, karena belum dapat legalitas dari Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini sempat diceritakan Samanhoedi kepada kenalannya yang bernama Djojomargoso, sang kenalan berjanji untuk mengurus masalah legalitas ini.


Djojomargoso lantas menghubungi Martodharsono, mantan jurnalis sekaligus redaktur Medan Prijaji. Surat kabar yang dimiliki seorang bangsawan berdarah ningrat Solo bernama Tirto Adhi Soerjo, Martodharsono yang mendapat kabar itu lantas menghubungi mantan bosnya, Tirto pun bersedia membantu. Tirto juga memimpin perhimpunan resmi yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI), yang berdiri di Bogor pada 1909.


Setiap hari petugas kolonial datang untuk menanyakan legalitas ormas Rekso Roemekso. Martodharsono yang kerap menghadapi pertanyaan itu, memberi jawaban bahwa Rekso Roemekso adalah biro SDI yang berpusat di Bogor dan akan segera disahkan. Tirto pun tiba di Solo pada akhir awal Februari 1911, ia pun mulai merumuskan AD/ART Rekso Roemekso. Tanggal 11 November 1911, Rekso Roemekso resmi menjadi bagian SDI cabang Surakarta dengan AD/ART yang diteken langsung oleh Tirto Adhi Soerjo selaku ketua umum dewan pengurus pusat.


H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

Sumber


H.Samanhoedi membentuk organisasi itu sebenarnya untuk melawan dominasi pedagang keturunan Tionghoa di Solo, yang juga memiliki organisasi bernama Kong Sing. Akibat persaingan dagang, sering terjadi pertikaian antara Kong Sing dengan Rekso Roemekso. Persaingan merembet ke perkelahian, kerap berlangsung di jalan kecil di Laweyan dan pusat perdagangan Kota Solo. Rekso Roemekso pada masanya, juga melakukan boikot massal terhadap perusahaan dan produk peranakan Cina.


Anggota Rekso Roemekso tercatat menembus 35 ribu orang pada Agustus 1911. Semakin besarnya jumlah anggota dan pengaruh SDI membuat Samanhoedi ingin lepas dari bayang-bayang Tirto Adhi Soerjo. Mulai muncul konflik internal, Hingga Samanhoedi dan Tirto mulai pecah kongsi. Sadar diri kurang bagus dalam berorganisasi, Samanhoedi merangkul pria muda berotak cemerlang bernama Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokroaminoto yang berada di Surabaya, dipanggil ke Solo untuk merumuskan ulang AD-ART rumusan Tirto Adhi Soerjo.


Tjokroaminoto pun menyarankan agar SDI berganti nama jika ingin lepas dari Tirto Adhi Soerjo, Tjokroaminoto mengusulkan agar SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Kata “dagang” membatasi ruang gerak organisasi tersebut, Tjokroaminoto berpendapat, penghilangan kata “dagang” akan memberikan dampak positif. Karena organisasi bisa mencakup seluruh golongan dan tidak bergerak di sektor perdagangan, melainkan juga di ranah politik. Pada akhirnya SI lebih cenderung turun di kancah politik ketimbang menangani jual-beli.


AD/ART rumusan Tjokroaminoto selesai pada 14 September 1912, dan dikirimkan kepada pemerintah di Batavia untuk mendapatkan pengakuan resmi. Sarekat Dagang Islam resmi punya nama baru Sarekat Islam (SI), berkat Tjokroaminoto SI berkembang pesat. Cabang pertama berdiri di Kudus pada September 1912. Akhir 1912 hingga awal tahun 1913, SI semakin meluas. Hampir seluruh Jawa ada cabang SI, termasuk Madiun, Ngawi, Ponorogo, Semarang, Yogyakarta, Batavia, Bogor, Purwakarta.


H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota

Saat Kongres SI

Sumber



Sukses Tjokroaminoto dalam membangun SI diraih berkat koneksi yang dimiliki, Jawa Tengah dan Jawa Timur telah dikuasai bersama Samanhoedi. Untuk Yogyakarta, ia merangkul pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Raden Goenawan, mantan tokoh Boedi Oetomo yang bersama Marthodarsono bekerja di Medan Prijaji, menjadi perantara Tjokroaminoto dengan merekrut ribuan anggota SI di Batavia dan seluruh pelosok Jawa Barat.


Tjokroaminoto mengambil kendali penhuh SI dari Samanhoedi, dalam Kongres SI ke-2 di Yogyakarta pada 19-20 April 1914. Ia terpilih sebagai ketua baru, H.Samanhoedi disingkirkan dari kepengurusan pusat SI dan mengisi jabatan tanpa kewenangan sebagai ketua kehormatan. Kantor pusat SI dipindagkan dari Solo menuju Surabaya.


Tjokroaminoto juga sempat memimpin Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya awal Februari 1918, dan menggerakkan aksi bela Islam atas respons tulisan di majalah Djawi Hiswara yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Massa SI kala itu berjumlah 450 ribu orang, dan tahun 1919 anggota SI menjadi 2,5 juta orang. Setelah bergelar haji, nama Tjokroaminoto sering dipanggil dengan nama H.O.S (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto.


Bersama Agus Salim dan
Abdul Moeis, Tjokroaminoto membesarkan Sarekat Islam hingga menjadi organisasi pergerakan pertama yang berskala nasional. Mampu menarik anggota sebanyak 2,5 juta orang. Ketiga tokoh tersebut memiliki latar belakang yang berbeda, Tjokroaminoto keturunan ningrat Jawa, sementara Agus Salim adalah keturunan bangsawan di Padang, Abdul Moeis sebenarnya juga berasal dari keturunan bangsawan di Padang namun dibesarkan di Palembang. Ketiganya menjadi ’Tiga Serangkai’ pejuang muslim yang amat disegani.


Tjokroaminoto pun mendapat julukan Raja Jawa Tanpa Mahkota dari pemerintah kolonial, karena aksinya mampu menghimpun banyak massa. Dimana setelah perang Jawa usai dibawah pimpinan Diponegoro, tidak ada lagi sosok pemimpin Jawa yang mampu membangkitkan semangat perjuangan rakyat pada masanya. Bukan dengan bambu runcing dan mengokang senjata, serta pedang. Tjokro bergerak melalui organisasi dan juga surat kabar, menjadikan pergerakan baru diera modern yang berhasil menyatukan seluruh orang di Pulau Jawa. Tak berlebihan, jika beliau dijuluki sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota.


Malaysia Berencana Kembalikan Pengungsi Rohingya ke Laut

KUALA LUMPUR, KOMPAS.com - Malaysia dilaporkan berencana mengembalikan sekitar 30 pengungsi Rohingya ke tengah laut jika kapal mereka sudah diperbaiki. Negeri "Jiran", yang mwayoritas warganya Muslin, menjadi destinasi favorit etnis yang mengungsi dari persekusi di Myanmar. Namun, Malaysia kemudian menyatakan mereka tidak akan lagi menampung Rohingya, dikarenakan kontrol ketat guna mencegah virus corona.


Kuala Lumpur dilaporkan sempat meminta Bangladesh untuk mengambil 269 pengungsi, yang sempat ditahan pada 8 Juni. Tapi, permintaan itu ditolak. Kini, Negeri "Jiran" disebut berencana untuk mengembalikan para pengungsi itu ke laut begit kapal mereka sudah selesai diperbaiki. "Memang itu rencananya. Namun, belum ada keputusan yang dibuat," ujar dua orang pejaabt keamanan yang tidak ingin disebutkan namanya. Sumber tersebut menerangkan, begitu mendapat lampu hijau, kapal itu akan diisi penuh oleh air dan makanan sebelum dilepas ke lautan. Dilansir Reuters via Asia One Jumat (19/6/2020), tidak ada komentar baik dari gugus tugas bagian migran, hingga kantor PM Malaysia. Jenazah sala seorang perempuan Rohingya ditemukan di kapal. Namun, kelompok pembela HAM menyatakan lebih banyak pengungsi yang tewas. Belum lagi banyak dari mereka yang kelaparan karena terombang-ambing selama beberapa bulan sebelum diselamatkan oleh Kuala Lumpur.


Arakan Project, kelompok yang fokus kepada krisis Rohingya, meminta pemerintahan PM Muhyiddin Yassin untuk tidak mengembalikan mereka. "Ini sama dengan pemaksaan. Tidak manusiawi mengingat karena mereka ada yang tewas sebelum diselamatkan," jelas Chris Lewa, direktur grup. Lewa menerangkan, Rohingya memerlukan perlindungan, dan tentunya itu tak bisa dicapai jika memaksa merkea keluar dari Malaysia. Dalam beberapa pekan terakhir, Negeri "Jiran" sudah menolak dua kapal, dan menahan ratusan orang Rohingya maupun migran ilegal. Langkah tersebut diterapkan di tengah kemarahan publik atas orang asing, di mana mereka dianggap menyebarkan virus corona dan beban bagi negara. Menurut kelompok HAM setempat, ada satu kapal berisi 300 pengungsi yang masih terombang-ambing di lautan, dengan banyak penghuninya mulai sakit

https://www.kompas.com/global/read/2...e-laut?page=2

Warga Berkerumun Lima Orang Reaktif, Dokter: CFD Perlu di Evaluasi


Warga Berkerumun Lima Orang Reaktif, Dokter: CFD Perlu di Evaluasi

INDUSTRY.CO.ID - Jakarta, Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19, Achmad Yurianto menyoroti bahwa masih banyak masyarakat yang lupa dengan protokol kesehatan menjaga jarak atau physical distancing, sebagai upaya pecegahan COVID-19, dalam pelaksanaan Car Free Day (CFD) di Jakarta pada hari Minggu (21/6).

Yuri meminta bahwa pelaksanaan CFD di tengah pandemi COVID-19 agar menjadi evaluasi bersama.

“Hari ini kami melakukan pemantauan di beberapa tempat seperti pelaksanaan Car Free Day di Jakarta, masih kita lihat beberapa masyarakat lupa, bahwa physical distancing penting, ini yang kami mohon untuk menjadi evaluasi kita bersama,” ujar Yuri dilansir dari kaman resmi Gugus Tugas Covid-19 Senin (22/6).

Perlu diketahui, dalam pelaksanaan CFD di Jakarta kemarin, ditemukan lima orang yang hasilnya reaktif setelah dilakukan rapid test di kawasan CFD Jakarta.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Kapusdokkes) Polri Brigjen (Pol) Rusdianto pada Minggu sore (21/6) di Jakarta.

“Rapid test tadi yang ikut tes 600 orang, reaktif 5 orang,” sebut Rusdianto.

Yurianto sangat menyayangkan masih terdapat masyarakat yang belum disiplin dan tertib menerapkan protokol kesehatan ketika berada di ruang publik.

"Meskipun, sebagian besar sudah kami lihat menggunakan masker, tetapi sekali lagi, physical distancing juga adalah sesuatu yang perlu,” jelas Yuri.

Lebih lanjut, Yuri juga mengatakan bahwa pelaksanaan protokol kesehatan secara menyeluruh menjadi prasarat mutlak untuk melaksanakan adaptasi kebiasaan yang baru.

“Ini beberapa hal yang sangat penting dan mendasar, sebagai bahan evaluasi kita, physical distancing, menjaga jarak, menggunakan masker adalah hal yang harus sekali lagi, harus kita jalankan dengan disiplin. Ini menjadi prasyarat mutlak, manakala kita akan melaksanakan adaptasi kebiasaan yang baru, untuk kembali kepada tingkat produktivitas kita,” jelas Yuri.

"Sekali lagi, adaptasi kebiasaan yang baru, berbasis pada kepatuhan kita menjalankan protokol kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan semangat gotong royong untuk patuh disiplin untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19,” ujarnya.

Selain pelaksanaan CFD di Jakarta, Yuri juga mengungkapkan bahwa protokol kesehatan physical distancing juga masih belum tertib dilakukan masyarakat, seperti yang terpantau di sejumlah bandar udara (bandara), khususnya di Bandara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau.

"Beberapa bandara udara, Bandar Udara yang akan melaksanakan penerbangan di hari Minggu ini, terutama yang mengarah ke pulau Jawa, kami lakukan pemantauan di Batam, dan di beberapa tempat yang lain, juga demikian. Kita masih melihat, banyak masyarakat yang belum tertib untuk menjaga physical distancing,” pungkas Yuri.

Formula E Mulai 16 Januari 2021, Jakarta Tak Masuk Jadwal


Formula E Mulai 16 Januari 2021, Jakarta Tak Masuk Jadwal
TEMPO.CO, Jakarta - Federasi otomotif internasional (FIA) mengeluarkan kalender sementara gelaran balap mobil listrik Formula E musim 2020/21 menyusul persetujuan Dewan Motor Sport Dunia, Jumat.

Musim ketujuh Formula E itu dijadwalkan dibuka di Santiago, Cile, pada 16 Januari dan ditutup dengan dua balapan beruntun di London, 24-25 Juli sedangkan seri di Jakarta, yang batal digelar tahun ini karena pandemi COVID-19, belum masuk di kalender sementara itu.

Dari Parque O'Higgins di Santiago, seri dilanjutkan ke Mexico City, yang akan menjadi tuan rumah untuk keenam kalinya di Autodromo Hermanos Rodriguez, demikian laman resmi Formula E.

Dari Meksiko, tim dan pebalap akan melintasi Atlantik menuju Arab Saudi untuk double-header sekali lagi di Diriyah, lalu ke Sanya, China sebelum kembali ke Eropa untuk membalap di ibu kota Italia, Roma dan Paris, Prancis.

Formula E juga akan kembali ke sirkuit jalan raya ikonik di Monako pada 8 Mei, di saat pemerintah negara kerajaan itu berkomitmen untuk menggelar E-Prix setiap dua tahun sekali.

Lalu giliran Seoul, Korea Selatan menjadi tuan rumah untuk kali pertama pada 28 Mei sebelum Berlin, Jerman menggelar E-Prix untuk ketujuh kalinya.

Kejuaraan akan ditutup dengan satu seri di New York, Amerika Serikat diikuti dua balapan di London, Inggris.

Formula E, sebelumnya, telah merilis jadwal untuk sisa musim yang tertunda pandemi dengan menggelar enam balapan dalam sembilan pekan di Tempelhof, Jerman pada Agustus nanti.

Berikut ini kalender provisional Formula E 2020/21

Santiago, Cile: 16 Januari 2021
Mexico City, Meksiko: 13 Februari 2021
Diriyah, Arab Saudi: 26-27 Februari 2021
Sanya, Cina: 13 Maret 2021
Roma*, Italia: 10 April 2021
Paris, Prancis: 24 April 2021
Monako*, Monako: 8 Mei 2021
Seoul*, Korea Selatan: 23 Mei 2021
TBC, TBC: 5 Juni 2021
Berlin, Jerman: 19 Juni 2021
New York City, Amerika Serikat: 10 Juli 2021
London, UK: 24 - 25 Juli 2021.

Sabtu, 20 Juni 2020

LEDAKAN MOMENTUM


Saya mendukung langkah ini: Pertamina jalan terus saja. Dua investor asing memang sudah mundur --untuk dua proyek kilang besar. Tapi bukan berarti proyek harus macet. 

Saya salut. Proyek kilang besar Pertamina ternyata tidak dihentikan. Khususnya yang di Balikpapan dan Cilacap. Dan juga Tuban. Hanya yang Bontang saya belum tahu.

Dari mana dananya? 

Bukankah tiga proyek raksasa itu perlu --total-- sekitar Rp 450 triliun?

Soal dana seperti itu sudah bukan masalah teknis. Itu sudah menyangkut taktik. Di level taktik ini yang berperan adalah ilmu entrepreneurship. Bukan lagi level manajerial skill.

Ups... Bukan ilmu entrepreneurship, tapi kemampuan entrepreneurship. Ada perbedaan antara ilmu, skill, dan kemampuan.

Dari tiga level itu entrepreneurship adalah kasta tertingginya. 

Jadi, dari mana pendanaannya? 

Bukankah kilang Balikpapan saja perlu USD 6,9 miliar? Cilacap USD 8,5 miliar? Dan Tuban USD 15,7 miliar? 

Ini sudah menyangkut bukan dari mana dananya. Tapi bagaimana taktik pendanaannya.

Tanyalah pada pengusaha real estate. Yang punya proyek 100 triliun. Apakah pengusaha itu punya uang Rp 100 triliun?

Paling ia baru punya izin lokasi. Ditambah uang untuk membebaskan secuil tanah. Yakni tanah yang di posisi-posisi kunci saja. Sekaligus untuk mengunci tanah di belakangnya. 

Untuk membebaskan tanah selebihnya? Untuk membuat infrastruktur? Untuk membangun rumah atau apartemennya?

Ia belum punya uang! 

Kok sudah dimulai? Sudah pula dijajakan kepada konsumen?

Itulah kasta entrepreneur.

Tidak hanya di bidang real estate. Banyak bidang lainnya. Yang seperti itu dilakukan hampir di semua bidang.

Kali ini termasuk Pertamina. Tiga proyek kilang itu tetap diteruskan. Dengan kemampuan dana internal yang ada.

Pertamina pasti tidak punya uang nganggur sebanyak itu. Tapi Pertamina punya nama besar.

Lewat nama besar Pertamina itu, kontraktor, dan pemasok masih percaya. Tagihan pasti akan dibayar. Meski kadang harus kapan-kapan. 

Kontraktor dan pemasok masih akan rebutan. Inilah nafas proyek Pertamina yang sesungguhnya.

Proyek tetap bisa jalan dengan dana pihak ketiga seperti itu. Kontraktor dan pemasok adalah investor sebenarnya proyek seperti itu. 

Pun proyek seperti real estate. Yang saya jadikan contoh di atas. 

Long live kontraktor!

Hidup supplier!

Terutama kontraktor yang mau dibayar kapan-kapan.

Jadi, dari mana dana tiga proyek Pertamina itu?

Sebagian ya dari kontraktor dan pemasok itu.

Sebagian lagi kan dari Anda. Lewat pembelian BBM yang harganya lebih mahal dari seharusnya itu.

Pertamina punya dana internal. Yang sebagian adalah pendapat harian jualan BBM itu. 

Saya tentu mendukung taktik pendanaan seperti itu. Agar proyek tetap jalan. Berarti Pertamina sedang menjalankan kemampuan entrepreneurial-nya. 

Mestinya bisa sukses. Nama besar Pertamina masih bisa dipertaruhkan. Ada jaminan produknya terjual habis. Dengan cepat. Tidak ada yang meragukannya --berarti ada jaminan pendapatan pasti. 

Harga jual pun bisa dibuat yang seperti apa maunya. Baru di sini kelas Pertamina berbeda dengan entrepreneur murni.

Pertamina kalah kelas dengan properti tadi --yang harga jual rumahnya mengikuti harga pasar.

Dan banyak lagi.

Yang saya dukung adalah taktik entrepreneurship-nya di tiga proyek itu. Bukan soal harga jual yang dibuat kemahalan itu. 

Saya tahu di Pertamina ada dirut yang gigih. Di dalam struktur barunya pun ada direktur khusus untuk mega proyek.

Dan di jajaran komisaris ada Budi Sadikin. Yang melekat dengan jabatan wakil menteri BUMN. Yang punya track record sukses menangani bisnis besar yang sulit. 

Budi juga sudah menunjukkan bukti. Yang bersama menteri Ignasius Jonan sudah menunjukkan reputasi hebat: berhasil menerobos Freeport yang bersejarah itu. 

Mungkin juga keberadaan Komut BTP ikut berperan di pemikiran entrepreneurial itu.

Saya merasa cocok dengan jalan pikiran entrepreneur seperti itu. Toh itu hanya taktik. Pada saatnya investor akan datang. Setelah Pertamina mengerjakan proyek itu sampai tahap tertentu.

Terlalu lama kalau tiga proyek itu sepenuhnya hanya mengandalkan dana pahlawan seperti kontraktor, pemasok, dan konsumen.

Dalam perjalanan taktik seperti itu akan ada yang disebut ”tahap mistis”. Di tahap itulah akan terjadi --saya sebut saja-- ”ledakan momentum”.

Sampai di momentum seperti itu, jalan yang semula penuh lubang bisa kaget: seperti tiba-tiba menemukan jalan tol di depan. 

Semua pengusaha sukses pernah mengalami tahap ”ledakan momentum” seperti itu. 

Saya tidak tahu apakah ”ledakan momentum” yang saya maksud pernah dibahas secara ilmiah di forum akademis.

Di tiga proyek tersebut, Pertamina juga akan menemukan ”ledakan momentum” itu.

Kapan?

Perkiraan saya, mungkin setelah proyek berjalan 30 persen. Atau 40 persen. Atau ketika baru berjalan 20 persen. Tidak ada ilmu pastinya.

Berarti Pertamina hanya perlu dana 10 persennya. Yang 20 persennya lagi uangnya kontraktor/supplier. Yang diutang.

Ketika tahap ”ledakan momentum” itu terjadi, saat itulah investor tiba-tiba datang sendiri. Pun tanpa diundang. Bahkan bisa rebutan. Dengan tawaran yang lebih baik dari investor lama.

Justru Pertamina yang kelak akan bisa punya nilai tawar yang lebih baik. Pertamina bisa bilang ke investor sudah keluar uang 30 persen --meski yang 20 persen sebenarnya uang kontraktor.

Banyak misteri di dunia entrepreneur. Campur aduk di situ. Ada misteri malaikat. Ada misteri jin. Tentu ada juga setannya.

Jumat, 19 Juni 2020
Oleh : Dahlan Iskan

Senin, 15 Juni 2020

TKA MEMBUKA LAPANGAN KERJA


Berapa jumlah TKI di Malaysia? Sekitar 5 juta orang. Di Saudi ada 1,2 jutaan, Cina Taipei 900 ribuan dan di Hongkong ada 500 ribu orang. Total tenaga kerja kita yang mencari nafkah di berbagai negara mencapai 9 juta.

Jika jumlah angkatan kerja kita 180 juta, maka 5%-nya jadi TKI di luar negeri. Sedihnya sebagian besar TKI kerja di sektor non-skill. Mereka menempati posisi terbawah dari kebutuhan tenaga kerja di sana.

Ada yang jadi asisten rumah tangga, jadi kuli di kebun sawit, jadi buruh kasar, atau pekerja bangunan dan konatruksi. Pokoknya mereka bekerja di sektor 3D : dirty, dificult, dangerous.

Lalu berapa jumlah Tenaga Kerja Asing di Indonesia? Data Depnaker paling banter 120 ribu orang. Di mana rata-rata posisi mereka? Ya, di level terampil atau eksekutif. Peraturan kita melarang tenaga kerja asing masuk ke pekerjaan kasar.

Kenapa TKI kita datang ke luar negeri sebagai tenaga kasar, dan TKA disini cenderung sebagai pekerja trampil dan ahli? Begini, 62% angkatan kerja kita setingkat SD atau SMP. Yang lulus sarjana gak lebih dari 5%. Itupun biasanya belum siap kerja.

Jadi meskipun kita punya bonus demografis dengan besarnya angkatan kerja tapi rata-rata tidak terampil. Nah, gimana agar mereka tidak jadi mubazir? Ya, suruh kerja pada pekerjaan yang tidak butuh keterampilan tinggi.

Tapi pabriknya sudah gak nerima lowongan lagi. Untuk itulah kita butuh investasi, lokal maupun asing.

Kalau orang asing mau buka pabrik baru, nanti pemimpin pabriknya siapa? Direksinya siapa? Direktur keuangannya siapa? Mana mau mereka buka pabrik, kalau semua jabatan penting terlarang untuk mereka. Emang kamu mau mempertaruhkan uang jutaan solar tanpa punya akses untuk melindunginya?

Jadi kita harus memberikan kemudahan orang asing itu bekerja disini, justru agar nantinya bisa membuka peluang pekerjaan baru kepada jutaan pekerja lokal.

Bukan sebaliknya. Kehadiran TKA dianggap mengambil alih kesempatan warga lokal. Itu fikiran yang kacau. Emangnya berapa sih, upah kita? Kalau upah rata-rata kita masih di bawah negara lain, apa untungnya TKA bekerja di Indonesia?

Artinya mana mungkin jenis pekerjaan kasar yang mereka masuki.

Logika ini yang membuat pemerintah mengeluarkan Perpres 20/2018. Isinya untuk mempercepat ijin pengurusan dokumen masuknya TKA. Dengan lancarnya pengurusan dokumen bagi TKA, investasi asing lebih cepat terealisasi. Ujungnya akan menyerap lebih banyak tenaga kerja lokal.

Ngerti kan, mblo?

Tapi logika yang dibangun para kampret bahwa Perpres 20/2018 itu akan menyebabkan TKA membanjir di Indonesia, lalu menggusur tenaga lokal. Emangnya, TKA itu mau kerja dimana? Jika pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lokal diserahkan kepada tenaga asing, apa gak boros tuh? Mana ada orang usaha mau rugi.

Aturan kita masih jelas, pemerintah hanya mengijinkan TKA terampil yang bisa bekerja di sini. Urusan tenaga kasar biar dipegang orang Indonesia.

Padahal kalau mau jujur, semakin kaya sebuah negara, semakin banyak juga tenaga kerja asingnya. Lihat Singapura, TKA mencapai 20% dari total penduduknya. Atau Qatar dan Uni Emirat Arab, jumlah penduduk dan TKA hampir sama besar.

Apakah warga Singapura, Qatar atau UEA menjadi miskin? Gak tuh. Bahkan BUMN besar di Singapura CEO-nya orang Amerika. Negeri ini pintar, mereka membayar besar eksekutif kelas dunia agar bisa menghasilkan keuntungan. Buat siapa keuntungannya? Buat negara. Kan itu BUMN.

Tapi logika ini dibolak balik. Mereka melempar isu jutaan TKA asal China datang ke Indonesia. Mereka menghembuskan isu anti asing. Padahal jumkah TKA yang ada cuma secuil. Dengan isu itu mereka menghambat investasi masuk. Akibatnya lapangan kerja gak terbuka. Rakyat nganggur. Ekonomi stagnan. Nah, mereka nanti akan menuding pemerintah gak becus.

TKA yang diisukan masuk ke Indonesia sampai jutaan. Terus jutaan orang itu mau kerja dimana? Jualan es nongnong?

Tujuannya cuma mau menghalangi investor asing masuk kesini. Padahal, mana mau investor China membawa semua tenaga kerja dari sana. Kalau semua harus dari China mendingan bikin pabrik di China aja. Gak ribet. Di negaranya sendiri, lahan masih luas, kontrol bisa maksimal.

Gini deh. Kalau kamu orang kaya dari Medan mau buka pabrik di Surabaya. Apakah karyawanmu semua diboyong dari Medan? Kalau benar begitu, betapa mahalnya. Harus sediakan rumah, fasilitas kerja, transport bolak-balik dan sebagainya.

Lebih baik orang-orang tertentu saja yang dibawa. Selebihnya biarkan dikerjakan tenaga lokal. Biaya produksi akan jauh lebih murah. Investasi itu juga akan membuka lapangan pekerjaan buat warga Surabaya. 

Makanya pemerintah harus lebih ramah pada investor. Dunia sedang berlomba menarik orang yang punya duit untuk ditanamkan di negerinya. Berbagai fasilitas diberikan. Tentu saja, dengan pertimbangan ada manfaat maksimal buat ekonomi lokal dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. 

Pemerintah mencoba manarik investor dari seluruh dunia dengan RUU Cipta Kerja. Bukan hanya kepada investor asing, juga kepada pengusaha lokal kemudahan berusaha itu ingin diberikan. Bukan juga hanya untuk industry besar, tetapi juga untuk UMKM. Yang penting siapapun yang mau membuka usaha di Indonesia, diberikan kemudahan tanpa harus melanggar aturan dan keseimbangan. Tujuannya membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Ingat. Kita sedang berada dalam surplus demografi. Tenaga kerja berlimpah. Makanya kemudahan usaha harus dibuka lebar-lebar. 

Jika mau ditelusuri, sebetulnya angka investasi asing di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan tenaga tetangga. Di Malaysia, Singapura, Thailand persentase angka investasi asingnya jauh lebih besar, dari total investasi di sana. Dana dari seluruh dunia masuk, berputar dalam roda ekonomi negara tersebut. Ujung-ujungnya memberi kesejahteraan pada rakyat. 

Bukan hanya itu. Proses transfer teknologi juga sangat dibutuhkan. Makanya dalam usaha tambang misalnya, Indonesia tidak mau lagi kayak dulu. Freeport mengeruk emas dan tembaga dari Indonesia. Bahan mentahnya diekspor. Diolah di luar negeri. Kita cuma dapat duit sedikit dengan alam yang rusak.

Kini aturan mengharuskan perusahaan tambang membuat smelter di Indonesia. Gak bisa lagi barang mentah diekspor. Nilai tambahnya harus diusahakan disini. Selain itu membuka lapangan pekerjaan baru bagi anak bangsa, juga tenaga kerja kita bisa terus belajar teknologi. Bukan hanya jadi buruh galian tambang yang beresiko.

Pada perusahaan-perusahaan raksasa biasanya bukan hanya pabrik untuk usaha mereka saja yang dibangun. Tetapi juga dengan prasarana dan infrastruktur penunjang. Infrastruktur itu bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar. Otomatis kesejahteraan masyarakat meningkat.

Morowali adalah contoh, bagaimana daerah di Sulawesi itu kini masyarakatnya lebih makmur dengan hadirnya sebuah perusahaan tambang nikel. Perusahaan itu merupakan investasi asing. Mereka awalnya memang mempekerjakan tenaga dari China untuk menangani pekerjaan yang butuh keterampilan khusus. Tapi bersamaan dengan itu tenaga kerja lokal juga ikut terlibat.

Jadi begini, ya. Kehadiran TKA itu justru untuk membuka peluang kerja kepada tenaga lokal. Bukan malah mengambil alih.

Jumlah TKA di Indonesia hanya 120 ribu, angka gak naik signifikan setiap tahun. Bandingkan dengan lapangan kerja yang terbuka rata-rata 2,3 juta setahun, yang 25%-nya akibat investasi asing.

(Eko Kuntadhi)