Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Apa enaknya jadi karyawan? Hal pertama adalah penghasilan tetap. Anda digaji setiap bulan, tidak peduli bagaimana kondisi perusahaan. Perusahaan untung atau rugi, Anda tetap digaji. Pengusaha tidak membayar gaji, Anda berhak mengadukannya ke polisi. Dulu saya pernah jadi direktur di perusahaan yang baru dibentuk. Saya menyaksikan betul, selama 3 tahun pertama perusahaan sudah merugi beberapa milyar, tapi gaji karyawan tetap dibayar. Setiap awal tahun saya mengusulkan kenaikan gaji karyawan, baik kenaikan berkala maupun karena promosi, usulan itu disetujui. Jadi, bukan hanya terima gaji tetap, Anda juga masih mungkin naik gaji, tanpa perlu bertanya bagaimana kondisi keuangan perusahaan.
Para pengusaha sebaliknya, mereka tidak bisa menikmati penghasilan tetap. Rentang penghasilan mereka sangat lebar, dari minus sekian juta atau sekian milyar, sampai ke plus sekian milyar. Ya, pengusaha tidak hanya tidak tetap penghasilannya, tapi juga bisa minus, alias harus berhutang. Penghasilan pengusaha tergantung pada situasi bisnisnya. Kalau bisnis sedang bagus, penghasilan mereka bisa tak terbatas. Kalau bisnis sedang buruk, kerugian mereka bisa tak terbatas.
Sebagai karyawan Anda adalah caretaker. Anda mengurus bisnis orang lain, tanpa perlu menanggung risikonya. Risiko ditanggung oleh orang lain, yaitu pengusaha. Kerja tanpa risiko, itulah yang membuat Anda punya penghasilan tetap.
Dukanya, ya penghasilan tetap itu. Anda tidak bisa berharap tiba-tiba penghasilan Anda naik 2 atau 4 kali lipat. Penghasilan Anda akan tetap sepanjang tahun. Tahun berikutnya naik, paling-paling setara dengan angka inflasi. Kalau Anda mendapat promosi, Anda mungkin akan mendapat kenaikan yang lebih tinggi.
Pengusaha, sebaliknya, bisa mendapat kenaikan penghasilan berlipat-lipat, kalau bisnisnya sukses. Tapi seperti disinggung di atas, kenikmatan itu harus dibayar dengan kerelaan menanggung risiko, yaitu merugi. Kalau sudah merugi, pengusaha bisa benar-benar hancur. Mereka terlilit hutang sampai tak sanggup membayarnya.
Risiko pengusaha tidak hanya datang dari kerugian bisnis, karena salah urus atau situasi bisnis yang kurang baik. Risiko itu juga bisa datang karena ditipu oleh mitra bisnis. Ada kawan saya yang harus menjual semua rumah dan kendaraannya, karena ia ditipu oleh rekan bisnisnya. Karyawan tidak berhadapan dengan risiko jenis ini.
Apakah pengusaha selalu lebih kaya dari karyawan? Secara umum pengusaha pemilik perusahaan tempat Anda bekerja lebih kaya dari Anda. Kecuali saat dia sedang terlilit hutang. Tapi tidak bisa dikatakan bahwa seorang pengusaha otomatis lebih kaya daripada karyawan. Banyak karyawan yang penghasilannya dari gaji setiap bulan lebih besar dari pengusaha. Ini tergantung pada posisi karyawan tersebut, dibandingkan dengan skala bisnis pengusaha.
Dari sisi waktu kerja, secara umum karyawan terikat pada waktu kerja yang tetap, tidak fleksibel. Ada atau tidaknya pekerjaan, mereka tetap harus datang ke kantor. Tapi ada pengecualian. Jenis pekerjaan tertentu tidak memerlukan seseorang datang ke kantor pada jam kerja. Misalnya karyawan di bagian sales harus banyak pergi keluar kantor. Ada pula yang bisa fleksibel mengatur jadwalnya, yang penting target pencapaian dipenuhi.
Bagaimana dengan pengusaha? Konon pengusaha bebas mengatur jadwal kerja, karena ia tidak punya atasan. Tapi faktanya sering kali pengusaha harus bekerja pontang panting, tak kenal waktu, untuk melayani pelanggannya. Soal jadwal ini sebenarnya soal level saja. Karyawan di level bawah, sama dengan pengusaha di level bawah, masih harus pontang panting mengikuti jadwal. Adapun karyawan dan pengusaha di level atas, bisa lebih fleksibel. Tapi sekali lagi, ini pun sangat situasional.
Kenikmatan lain yang didapat karyawan adalah adanya berbagai tunjangan. Yang mungkin sangat terasa adalah tunjangan biaya kesehatan. Bentuk dan besarnya bervariasi untuk setiap perusahaan. Tapi bisa dikatakan bahwa karyawan tidak perlu terlalu pusing soal biaya kesehatan, karena ditanggung oleh perusahaan. Seorang teman saya yang pindah dari karyawan menjadi pengusaha pernah mengeluh soal ini. “Dari sisi penghasilan sebenarnya tidak banyak berbeda dengan ketika saya jadi karyawan dulu. Tapi ketika sakit, terasa benar, karena harus membayar sendiri,” katanya.
Hal lain, bagi karyawan pada perusahaan besar, ia punya kesempatan untuk menambah komptensi melalui berbagai training. Ini biasanya tidak murah. Apalagi bila training itu dilaksanakan di luar negeri. Nah, keuntungannya, selain bisa menambah kompetensi, ia juga bisa sedikit jalan-jalan. Saya, misalnya, baru saja ikut training untuk mendapat sertifikasi di Jepang. Biaya total yang dikeluarkan perusahaan untuk membiayai keikutsertaan saya di training itu sekitar 75 juta rupiah. Itu saya nikmati tanpa membayar sepeser pun, bahkan ada sedikit sisa uang saku.
Pengusaha tidak mendapat kenikmatan itu. Kalau mau meningkatkan kompetensi, mereka harus merogoh kantong sendiri.
Secara umum, mana yang lebih menyenangkan? Prinsipnya, semua bisa menyenangkan, semua bisa menyengsarakan. Kalau Anda sukses, baik sebagai karyawan maupun pengusaha, hidup Anda menyenangkan. Kalau Anda gagal, statis, tidak maju-maju, Anda akan menderita. Makanya lebih baik kalau Anda fokus pada apa yang Anda jalani, tanpa perlu risau atau iri melihat hidup orang lain. Pada setiap kesenangan Anda, selalu ada hal-hal yang harus Anda bayar. Itu berlaku juga pada setiap orang lain. Hanya saja, kita biasanya lebih sering melihat kesenangan orang lain saja, sambil meratapi hal-hal tidak menyenangkan pada diri kita.