Jumat, 23 Desember 2022

Nenek-Moyang Nusantara

 "Bangsa Melayu adalah bangsa nenek-moyang bangsa-bangsa di Nusantara?". Salah besar. Kita, orang-orang di Nusantara, memang termasuk rumpun Melayu Kepulauan, tapi bukan berarti Bangsa Melayu adalah yang menjadi nenek-moyang kita. Justru Bangsa Melayu muncul belakangan dibanding mayoritas bangsa-bangsa lainnya di Nusantara. "Bangsa Jawa adalah nenek-moyang bangsa-bangsa di Nusantara", ini juga salah besar. Justru pasca Zaman Es, mayoritas penduduk Austro-Melanesian sudah menghuni "3 Pulau Paparan Sunda" yang tadinya menyatu; yaitu Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Lantas darimana asal bangsa-bangsa di Nusantara?


Sebelum membahasnya, ada baiknya kita menengok sebentar definisi "bangsa". Menurut KBBI, sesuatu yang disebut bangsa yang berkaitan dengan antropologi adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan menempati wilayah tertentu di muka bumi. Berdasarkan istilah ini, maka suatu bangsa tidak harus berbeda darah secara genetis dengan bangsa lainnya. Definisi ini sebenarnya sudah cukup mendamaikan masalah-masalah rasial di seluruh dunia, bahwa sebenarnya antara -misalnya- orang Jawa dan orang Sunda berbeda bangsa, tapi bukan berarti tidak sedarah secara biologis. Bangsa dalam istilah antropologi menekankan hal-hal terkait asimilasi dan akulturasi antar budaya yang satu dengan yang lainnya.

Oleh sebab itulah, baik antara orang Melayu, orang Jawa, dan orang Sunda, tidak satupun leluhur mereka sebagai nenek-moyang seluruh bangsa yang ada di Nusantara, setidaknya berdasarkan penelitian arkeo-antropologi oleh Russell Gray (jurnal ilmiahnya bisa didownload di sini) dan Robert Blust (jurnal ilmiahnya bisa download di sini). Hipotesis keduanya menjadi sintesis kontemporer, lebih kuat daripada pendapat-pendapat penulis pseudosains populer seperti Stephen Oppenheimer salah satunya. Berdasarkan hipotesis ini, persebaran masyarakat di Nusantara dimulai oleh migrasi 2 bangsa yang berbeda periode, yaitu bangsa rumpun Austro-Melanesia dan pelaut-pelaut Formosa (Taiwan), keduanya dapat dikatakan nenek-moyang orang-orang Nusantara.

1. Rumpun Austro-Melanesia periode Zaman Es Akhir (20000–14000 tahun yang lalu)

Zaman Es melewati fase tak terhitung di Bumi. Zaman es terakhir di Bumi terjadi pada masa 20000 hingga 14000 tahun lalu, para mammoth masih berkeliaran di belahan utara Bumi. Pada fase ini, kutub menjadi lebih dingin dan samudera di sekitar kutub membeku. Pembekuan ini berdampak pada lebih banyak lagi air yang tertarik ke arahnya sehingga menghasilkan pembekuan lebih besar lagi.

Karena adanya pembekuan di wilayah kutub-kutub Bumi, volume air di wilayah khatulistiwa berkurang. Akibatnya, dalam masa ini, laut wilayah Indonesia jatuh hingga 135 meter dengan laju penurunan 7-9 milimeter per tahun. Laju penurunan ini masih diluar persepsi manusia namun dalam jangka waktu panjang dapat terlihat jelas. Dalam 150 tahun misalnya, bibir pantai telah tertarik jauh karena penurunan 1 meter permukaan laut.

Di masa inilah, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan masih menyatu menjadi satu daratan yang terhubung langsung dengan Benua Asia. Daratan ini oleh geolog disebut sebagai Paparan Sunda (Sunda Shelf). Hal yang sama terjadi di wilayah timur tepatnya di Nusa Tenggara. Laut di wilayah mereka jatuh dan membuat wilayah ini menyatu dengan Benua Australia dan membentuk apa yang oleh geolog disebut sebagai Paparan Sahul (Sahul Shelf).

Paparan Sunda dipagari oleh pegunungan berapi yang ada di pinggiran ujung dekat Samudera Hindia yaitu di Sumatra dan Jawa yang oleh geolog, sepanjang garis itu disebut sebagai Garis Wallace (Wallace Line). Sedangkan Laut Jawa dan Selat Karimata yang mengering berubah menjadi padang rumput terbuka, dataran banjir, dan rawa-rawa. Hutan yang ada tidak terlalu lebat karena iklim cenderung kering akibat penumpukan es yang besar di belahan utara dan selatan Bumi.

Paparan Sunda adalah sebuah daratan yang luas dan hangat. Sungai-sungai begitu panjang. Sungai Kapuas dan sungai Musi misalnya, bermuara di Laut China Selatan, jauh di utara dekat Vietnam sana. Sementara itu, sungai-sungai dari Jawa dan Kalimantan Tengah dan Selatan bermuara di Laut Flores. Di bagian muara ke Laut Flores, sungai muncul berliku-liku karena platform yang penuh rawa. Wilayah ini penuh dengan reptil seperti ular dan buaya sehingga kemungkinan besar dulunya tidak dihuni manusia.

Manusia menghuni wilayah Paparan Sunda yang ada dalam segitiga Sumatra-Jawa-Kalimantan. Masyarakat ini merupakan rumpun Austro-Melanesia yang berasal dari daratan benua Asia, memasuki Paparan Sunda lewat Thailand atau Semenanjung Malaya. Mereka menghuni wilayah khususnya di tepian sungai besar. Di sini mereka berburu mamalia, burung, dan ikan dengan alat-alat sederhana seperti tombak kayu dan sebagainya yang termasuk barang-barang dari kayu atau batu yang tidak terlalu keras. Hal ini disebabkan sumber utama batu yang umum digunakan dalam peradaban zaman batu seperti batu untuk bahan dasar kapak, parang, dan mata panah terdapat hanya di satu titik yaitu di daerah Bangka Belitung.

Masyarakat ini disebut masyarakat Austro-Melanesia karena corak kehidupan mereka sudah menyerupai tipikal masyarakat Selatan yang telah hidup di wilayah ini bahkan sejak Pra-Zaman Es terjadi. Masyarakat Austro-Melanesia ini telah tinggal setidaknya sejak 35000 tahun lalu. Jadi leluhur kita yang pertama dapat dipandang berasal dari masyarakat Austro-Melanesia ini.

Karena udara yang kering dan banyaknya padang rumput, kebakaran hutan kerap terjadi. Wilayah Kalimantan merupakan wilayah yang paling sering mendapat kebakaran hutan dan Masyarakat Austro-Melanesia yang tinggal di Kalimantan Timur terdorong untuk mengungsi menyeberang ke Sulawesi, tepatnya di Tonasa dan Kapposang.

Paparan Sunda dan Paparan Sahul:
Nenek-Moyang Nusantara

2. Pelaut Formosa periode Pasca-Zaman Es (14000–6000 tahun yang lalu)

Pada akhir Zaman Es, kutub kembali mencair dan air kembali memenuhi lautan yang kering. Permukaan air laut pun memasuki Paparan Sunda, memisahkan Pulau Kalimantan dengan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa yang masih menyatu dan akhirnya, pada Pasca-Zaman Es hingga sekarang, terpisah oleh Selat Sunda.

Masyarakat Austro-Melanesia yang tinggal di Paparan Sunda ini terpaksa menyebar ke dalam tiga arah secara bertahap. Yang ke Sumatra di Barat, mereka menjadi leluhur Bangsa Batak dan Bangsa Minang. Yang ke Jawa di Selatan, mereka menjadi leluhur Bangsa Sunda dan Bangsa Jawa. Yang ke Kalimantan di timur, mereka menjadi leluhur Bangsa Dayak. Mereka masuk ke pulau-pulau baru ini lewat sungai-sungai besar. Mereka pada umumnya tinggal di gua-gua besar di pegunungan seperti di wilayah Selatan Banyumas dan Yogyakarta di Jawa, Barat Bukit Barisan di Sumatra, dan juga Batukajang di Kalimantan. Ketika jumlah populasi telah besar, gua tidak cukup menampung, dan mereka menyebar ke sekeliling daerah. Tanah Nusantara akhirnya dipenuhi hutan lebat karena masuknya nutrisi dari kutub dan berubahnya iklim menjadi lebih hangat, yang dikenal sebagai Iklim Tropis.

Dalam suatu masa Pasca-Zaman Es ini, sekelompok masyarakat pelaut dari Kepulauan Formosa di Taiwan datang ke wilayah Nusantara. Dikatakan masyarakat pelaut karena mereka datang dengan melintasi perairan selat antara Taiwan, kepulauan Filipina, dan Laut Sulawesi. Mereka datang ke Indonesia dalam tiga gelombang.

Gelombang pertama berpisah di Pulau Palawan, Filipina mengambil jalur ke Sabah di Kalimantan. Mereka berasimilasi dengan masyarakat Austro-Melanesia yang telah ada lebih dahulu sehingga Bangsa Dayak yang ada sekarang dapat dipandang sebagai campuran antara Austro-Melanesia dan pelaut Formosa ini.

Gelombang kedua berpisah dengan gelombang ketiga di wilayah Sangir-Talaud. Dari Mindanao, mereka menyeberang ke Sangir-Talaud lalu mengambil dua arah. Arah pertama menuju ke utara Pulau Sulawesi terus ke selatan memenuhi seluruh Pulau Sulawesi menjadi Bangsa Buton dan Bangsa Bugis. Masyarakat pelaut yang mencapai wilayah Sulawesi Selatan berasimilasi dengan penduduk Austro-Melanesia yang telah lebih dahulu hadir dari Kalimantan. Mereka dapat dipandang sebagai leluhur Bangsa Bugis.

Karena konflik, kompetisi, atau letusan gunung, mereka meneruskan perjalanan dari Sulawesi menuju Takabonerate, menyeberangi Laut Flores, dan tiba di Nusa Tenggara, tepatnya di Pulau Flores. Flores merupakan wilayah yang sering diterjang tsunami dan kemungkinan ini pula yang mendorong mereka untuk menyeberang lebih jauh ke selatan yaitu ke Pulau Sumba dan ke Timor.

Arah kedua menyeberang ke Pulau Halmahera menuju ke Pulau Papua. Mereka pertama mendarat di wilayah Papua Utara. Papua Utara dan Selatan dihalangi oleh Pegunungan Jayawijaya yang tinggi dan tertutup salju. Seiring semakin menghangatnya iklim, salju tertarik menuju puncak dan jalan lembah menuju ke selatan terbuka. Mereka sebagian menyeberang ke selatan dan memenuhi Papua Selatan. Menariknya catatan prasejarah mengenai penemuan cara membuat api ditemukan di Danau Hogayaku, Papua, dan berasal dari 14 ribu tahun yang lalu. Dari mereka inilah dapat dikatakan sebagai leluhur Bangsa Papua.

3. India, Cina, Arab, Persia, dan Eropa periode Kontemporer (6000 tahun lalu–sekarang)

Pada zaman ini, relatif seluruh pulau besar di Indonesia telah berpenghuni. Masyarakat pelaut dan Austro-Melanesia telah berasimilasi sehingga membentuk berbagai kebudayaan unik di seluruh penjuru Nusantara. Penyebaran ini didukung oleh teknologi pelayaran yang baik. Sebagian dari masyarakat pelaut menyebar hingga ke Australia dan berasimilasi dengan penduduk Aborigin yang telah tinggal lama di sana, mungkin juga berasal dari Austro-Melanesia. Mereka juga menyebar ke Selandia Baru dan mungkin menjadi leluhur orang Maori. Ke Barat, mereka menyeberang hingga ke Afrika Timur. Di Madagaskar misalnya, ditemukan bahasa yang memiliki kemiripan dengan bahasa daerah salah satu etnik Dayak di Kalimantan. Diduga masyarakat Dayak telah menyebar dan mengkoloni Madagaskar sejak abad ketiga SM.

Masyarakat Dayak yang tinggal di pesisir Kalimantan (Barat dan Utara) pada masa 1500 tahun lalu menjadi leluhur Bangsa Melayu di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Mereka menyeberang karena didorong oleh perdagangan dan teknologi pelayaran yang cukup maju. Hingga akhirnya budaya asing masuk ke Nusantara, terutama dari India, Cina, Arab, dan Persia, membentuk berbagai identitas negara kerajaan bercorak Hindu-Buddha dan Islam. Kemudian di era kolonialisme, seluruh bangsa di Nusantara sudah bercampur-baur dengan budaya Barat, seperti Italia, Denmark, Portugis, Inggris, Spanyol, dan tentu saja Belanda. Hingga hari ini, persebaran bangsa di Indonesia sendiri, sudah cukup merata. Tidak perlu heran jika anda menemui orang Ambon di Medan, orang Jawa di Balikpapan, orang Bugis di Jawa, orang Eurasia di Lombok, ataupun orang Melayu di Papua. Meskipun demikian, kepadatan populasi lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa sejak era kolonialisme hingga sekarang.

Bagan Persebaran Bangsa-Bangsa di Nusantara

Nenek-Moyang Nusantara

Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa kita, orang Indonesia, sebenarnya memang bersaudara.

Quote:


karena leluhur kita tidak meninggalkan catatan berarti tentang perantauan mereka, maka tidak ada jalan ceritanya gan. Blust dan Gray menelisik akar bahasa (lexical) 5000an kata dari sebanyak 400 rumpun bahasa Austronesia disertai 77 prototype bahasa-bahasa Dayak purba (seperti Bahasa Bintulu, Bahasa Baram-bawah, Bahasa Kenyah, dan bahasa-bahasa orang Kelabit) yang diperoleh dari berbagai catatan-catatan kuno temuan Andrew Pawley (1981) dan Hendrik Kern (1889) dengan akun sebanyak 1500an catatan dari berbagai kode (PAN - Proto-Austronesian, F - Formosan, WMP - Western Malayo-Polynesian, CEMP - Seluruh Malayo-Polynesian Modern, dan EMP - Eastern Malayo-Polynesian). adapun kebudayaan paralel non-tulisan yang dijadikan sampel juga hasil sharing budaya seperti keramik, tempayan, dan pernak-pernik lainnya, sudah berteknologi logam, di antaranya perunggu, besi, dan metal.

jadi timelinenya seperti ini:
4500 TL - keturunan pelaut Formosa yang menetap di Kalimantan berasimilasi dengan leluhur Austro-Melanesia di Kalimantan, sekian lamanya berbaur dan akhirnya keturunannya merupakan orang-orang Dayak purba (akun paralel WMP - F).
3000 TL - keturunannya (Dayak purba) sebagian bermukim di Sumatra dan Semenanjung Malaya (menjadi leluhur orang-orang Melayu purba), sebagian sisanya ada menetap di Kalimantan dan menjadi leluhur orang-orang Dayak modern, dan ada yang menjelajah sampai Madagaskar.
kurang dari 3000 TL - sebagian etnis Melayu purba juga migrasi ke utara dan barat, ke Champa dan ke Aceh, kemudian menjadi leluhur orang-orang Chamik (Cham dan Aceh) purba. sisanya yang menetap di Sumatra berbaur juga dengan keturunan Austro-Melanesia purba (yaitu Batak purba dan Minangkabau purba), mereka adalah leluhur Melayu modern.

ini sintesis perpanjangan dari Deutero-Melayu.

Quote:


semua hasil penelitian sains tidak pernah mengklaim benar 100% ("akurat" diganti dengan kata "benar"). faktor pendukung lain tidak terlalu berpengaruh signifikan. misalnya tentang tes DNA yang hanya bisa melacak relasi genetik saja tapi tidak bisa melacak asal-usul ataupun ras seseorang. sisanya biar direkonstruksikan sejarahwan aja.

sedikit tentang bahasa. bahasa sebenarnya pada mulanya adalah sistem simbol untuk berkomunikasi, mulai digunakan sejak 60-100 ribu tahun lalu oleh manusia. yang namanya simbol, maka yang tahu makna simbol adalah penutur simbol itu sendiri. inilah kunci utama mengapa bahasa menjadi tolak ukur menelisik asal-usul suatu bangsa, karena pola serapannya sangat evolusioner (jangan dibayangkan sistem komunikasi zaman itu dengan zaman sekarang). terlebih bahwa bangsa dan bahasa itu sendiri sebenarnya produk budaya juga. keduanya sulit dilepaskan secara mandiri.

kembali ke Blust, salah satu contoh kata yang diambil dari Bahasa Melayu adalah "selatan". "selatan" merujuk "south" dalam Bahasa Melayu modern. tapi di Bahasa Melayu Pertengahan, "selatan" artinya "straits region". untuk merujuk "south" adalah "laut". rupanya "selatan" mengalami evolusi berakar sampai Formosa. ini ane sajikan contoh pola perubahan lingkungan (environmental change):

singkatan:
MC (Gabungan seluruh bahasa Malayo-Chamics).
WMP (Western Malayo-Polynesians), terdiri dari gabungan bahasa-bahasa Melayu purba di Barat (Melayu Kuna dan Kawi masuk ke sini).
PCEMP (Proto-Central Eastern Malayo-Polynesians), terdiri dari bahasa-bahasa Dayak purba.
PMP (Proto Malayo-Polynesians), bahasa tunggal purba di seluruh Paparan Sunda beserta variannya.
F (Formosan), bahasa aborigin Formosa.
PAN (Proto Austronesians), bahasa tunggal purba di seluruh Asia Tenggara.

1. Melayu Modern: selatan (south)
2. Melayu Pertengahan, WMP: selatan (straits region); rumus: selat+an
3. PCEMP, PMP: sWalaT (strait); rumus: se+valat (secara literal diartikan: "sepotong walat"), walaT atau wahaT diartikan "sungai besar", sWalaT merujuk arah menuju laut pemisah antar pulau.
4.a. F: walaQt (strait); rumus: waLoH (island) dan QuTu (separated).
4.b. F: LoH (land); merujuk tanah/daratan/batuan; waLoH (island).

sementara itu, Melayu Kuna memakai kata "laHud" untuk "south" dan "sea", serta "ocean"

1.a. Melayu Pertengahan, Melayu Kuna: laHud (south, sea, ocean)
1.b. Kawi: saUT (south, sea, ocean), duksina (serapan Sansekerta untuk south)
2.a. PMP: laHwUT (south, sea, ocean); rumus: la+HawUT, secara literal artinya: "toward sea" (menghadap ke laut).
2.b. PCEMP: HawAH (downhill), ini akar kata untuk kata-kata Melayu modern "bawah", "laut", "kawah", "bukit", "lembah", dan "terjun". evolusinya gak ane tampilin, kepanjangan.
3. PAN: awiH (water, sea, ocean), qHawa (down, downhill, downstream).

berdasarkan pemetaan filogenetik bahasa asli Austro-Melanesia, secara simbolik "selatan" digambarkan seperti suatu jurang/tebing yang menjorok ke arah laut.

NB: antara "selat" dan "selatan" dalam Bahasa Melayu modern berdiri mandiri, selatan bukan lagi imbuhan selat+an.

Quote:


nah ini yang menarik. aksara yang digunakan Melayu purba dan Jawa purba (termasuk Sunda dan Jawa) adalah tipikal PMP yang terdiri dari kurang lebih 12 aksara paralel dari total 19 aksara antara yang tinggal di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. meskipun miskin aksara, tapi kosakatanya sudah cukup kaya, ditilik dari 2000 tahun yang lalu.

lalu bagaimana kemudian Sansekerta dengan aksara-aksara Brahmi menjadi hegemoni? ini masih diperdebatkan. ada pendapat bahwa Sansekerta adalah bahasa kalangan atas (upper-class) dimana bukan bahasa penutur akar rumput. tapi ada juga pendapat Sansekerta merupakan bahasa kemancanegaraan (internasional) untuk berkomunikasi antar pemukim di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. intinya, ketika Sansekerta berevolusi menjadi Melayu Kuna dan Kawi, unsur aksara PMP juga ada, jadi tidak murni beraksara Brahmi.

lalu PMP ini dari rumpun bahasa purba mana?
rumpun PA. di wiki juga ada ringkasan rekonstruksi fonologi Blust.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar