Minggu, 14 Agustus 2022

Asal Usul Siklus PASAR KALENDER JAWA.


Ketika Prabu Isaka ( Ajisaka, Jaka Sengkala ) telah berkuasa lebih dari setengah abad, kerajaannya di serang musuh dan dapat di taklukkan. Kejadian ini untuk menuju takdirnya yang lain. 
Kemudian Jaka Sengkala mengungsi ke hutan.

Sang ayah, Bathara Anggajali, mengetahui nasib putranya. 
Di hutan itu ia menemui Jaka Sengkala untuk memberitahunya agar bertapa di pulau yang oleh Sang Jagadnata di namai Pulau Dawa, di sebelah tenggara tanah Hindi. 

Sebagai bekal, Bathara Anggajali mengajarkan ilmunya dalam hal membuat senjata. Sejak saat itu,ia bernama Empu Sengkala.

Kali ini Empu Sengkala kembali menggunakan kesaktiannya dengan terbang menuju ke pulau yang di maksud. 

Setelah terbang berputar-putar di atas pulau Dawa,ia memutuskan memilih sebuah Gunung yang ia rasakan paling cocok untuk bertapa-brata,lalu ia namakan Gunung Hyang, yang di kemudian hari di sebut Gunung Kendheng atau Kandha.

Di tahun pertama ia berdiam di Gunung Hyang,Empu Sengkala senantiasa melakukan pujasemadhi mengheningkan cipta menyatukan kehendak Sang Maha Kuasa. 

Tahun pertama Empu Sengkala datang ke pulau Dawa inilah yang kemudian di sebut Tahun 1 Saka, sekitar tahun 78 Masehi.

Pada suatu malam muncullah cahaya putih yang menyilaukan. 

Setelah di perhatikan dengan menggunakan mata batinnya, ternyata di dalam cahaya tersebut ada seorang putri yang mengaku bernama Bathari Sri. 

Kedatangannya untuk memberi pelajaran tentang ilmu pengasihan dan cara-cara melakukan asmaragama, asmaranada,asmaraturida,dan asmaranala. 

Setelah Empu Sengkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu tersebut,Bathari Sri lenyap kembali ke kahyangan. Untuk memperingati,Empu Sengkala menamai hari itu sebagai Hari Sri.

Pada malam berikutnya Empu Sengkala dalam semedinya di datangi cahaya merah yang di dalamnya ada seorang brahmana dan mengaku bernama Sang Hyang Brahma. 

Kedatangannya untuk memberi pelajaran tentang ilmu gaib, samar-samar,mengerti sebelum terjadi ( ngerti sadurunge winarah ). 

Setelah Empu Sengkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu tersebut Sang Hyang Brama lenyap kembali ke kahyangan. 
Hari itu oleh Empu Sengkala dinamakan Hari Brahma.

Pada hari berikutnya dalam semedinya Empu Sengkala di datangi cahaya kuning yang di dalamnya ada raksasa yang mengaku bernama Sang Hyang Kala. 

Kedatangannya untuk memberikan pelajaran tentang cara melakukan “ sandi upaya lan kajuligan ”, yaitu ilmu kesaktian agar di takuti oleh orang lain dan untuk mengalahkan lawan. 

Setelah Empu Sangkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu tersebut Sang Hyang Kala lenyap kembali ke kahyangan. 
Hari itu oleh Empu Sengkala di namakan Hari Kala.

Pada hari berikutnya dalam semedinya Empu Sengkala di datangi cahaya hitam yang di dalamnya ada ksatria yang mengaku bernama Sang Hyang Wisnu. 

Kedatangannya untuk memberi pelajaran tentang kaprawiran, kasaktian,dan jaya kawijayan. 

Setelah Empu Sengkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu tersebut Sang Hyang Wisnu lenyap kembali ke kahyangan. 
Kemudian hari itu oleh Empu Sengkala di namakan Hari Wisnu.

Pada hari berikutnya dalam semedinya Empu Sengkala di datangi cahaya hijau yang menyinarkan lima macam warna. 

Di dalamnya ada seorang yang mengaku bernama Sang Hyang Guru. 
Kedatangannya untuk memberikan pelajaran tentang agama,kawruh kasampurnan, panitisan, panjing suruping pati, dan untuk mencapai kebahagiaan sejati. 

Setelah Empu Sengkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu tersebut, Sang Hyang Guru kembali ke kahyangan. 
Untuk memperingatinya,oleh Empu Sengkala hari itu di namakan Hari Guru.

Setelah malam berikutnya sudah tidak ada lagi yang mendatangi, keesokan harinya Empu Sengkala menghormat sebagai rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan ilmu melalui kelima dewa yang menjadi utusan untuk menyampaikan bermacam pengetahuan. 

Pengalaman batin inilah yang mengawali terbentuknya siklus lima harian.
– Untuk menghormati Bathari Sri, pada Hari Sri manembahnya menghadap ke arah Timur.
– Untuk menghormati Sang Hyang Brama, pada Hari Brahma manembahnya menghadap ke arah Selatan.
– Untuk menghormati Sang Hyang Kala, pada Hari Kala manembahnya menghadap ke arah Barat.
– Untuk menghormati Sang Hyang Wisnu, pada Hari Wisnu manembahnya menghadap ke Utara.
– Untuk menghormati Sang Hyang Guru, pada Hari Guru manembahnya dengan cara “ tumungkul ing pratiwi lan tumenga ing akasa ” ( menunduk ke bumi dan mendongak ke angkasa ).

Cara melakukan manembah ini selalu di laksanakan dengan tekun oleh Empu Sengkala di gunung Hyang, yang di kemudian hari di tiru dan di anut oleh generasi yang di bawa oleh Empu Sengkala pada kedatangannya yang kedua di Pulau Dawa.

Karena asalnya Pancawara atau Petung Gangsal ( Perhitungan Lima ) atau Wangsit Gangsal ( Wangsit Lima ) ini dari para dewa, maka siklus lima harian ini di kemudian hari di sebut Pancawara Kadewatan. 

Selain itu, karena para dewa yang hadir memberi wejangan dengan sinar yang berbeda warna,maka kelima hari itu juga di namai sesuai warna masing-masing, yaitu :

1. Hari Sri ( Pethakan,putih ), Timur.
2. Hari Brahma ( Abritan,merah ), Selatan.
3. Hari Kala ( Jenean/Jenaran, kuning ), Barat.
4. Hari Wisnu ( Cemengan, hitam ), Utara.
5. Hari Guru ( Mancawarna, lima warna ), Tengah.

Pada tahun 284 Saka ( 362 Masehi ) pada masa Kartika, Sang Hyang Surya atau Sang Hyang Prawa ngejawantah ke bumi berjuluk Resi Radhi. 

Setelah selama empat tahun berkeliling gunung,akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan padhepokan di Gunung Tasik, 288 Saka ( 366 Masehi ). 

Ia menjadi guru bagi orang-orang di sekitarnya serta di daerah lain yang jauh juga berdatangan berguru kepadanya.

Selain mengajarkan berbagai ilmu, Resi Radhi terutama sangat intens soal perhitungan waktu. 
Ia mencetuskan siklus 5 harian, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Pancawara buatan Resi Radhi lalu di sesuaikan atau di rangkap dengan Pancawara Kadewatan yang sebelumnya telah di buat oleh Empu Sengkala ( Ajisaka ) saat pertama kali datang ke Jawa ( 78 Masehi ),dan cara manembah yang telah ada tetap di lestarikan.

– Hari Sri bersamaan dengan Hari Legi, manembahnya menghadap ke arah Timur.
– Hari Brahma bersamaan dengan Hari Pahing, manembahnya menghadap ke arah Selatan.
– Hari Kala bersamaan dengan Hari Pon, manemahnya menghadap ke arah Barat.
– Hari Wisnu bersamaan dengan Hari Wage, manembahnya menghadap ke arah Utara.
– Hari Guru bersamaan dengan Hari Kliwon, manembahnya dengan jalan “ tumungkul ing pratiwi lan tumenga ing akasa ”.

Seiring waktu bergulir, Pancawara Kadewatan namanya kalah tenar di bandingkan Pancawara yang di buat oleh Resi Radhi. 

Namun orang-orang yang mengikuti manembah menurut cara Empu Sengkala tetap semakin banyak. 
Karena itu tetua kampung mencari tempat khusus yang teduh dan luas yang cukup untuk warga yang akan manembah.
– Pada hari Sri atau Legi manembahnya di dukuh sebelah Timur.
– Pada hari Brahma atau Pahing Untuk manembah di dukuh sebelah Selatan.
– Pada hari Kala atau Pon manembahnya di dukuh sebelah Barat.
– Pada hari Wisnu atau Wage manembahnya di dukuh sebelah Utara.
– Pada hari Guru atau Kliwon manembahnya di tengah desa/pedukuhan.

Tempat bertemu untuk manembah itu lambat laun di manfaatkan oleh masing-masing peserta untuk membawa hasil bumi di daerahnya untuk saling tukar dengan barang yang di bawa oleh warga lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. 
Karena tempat tukar barang itu di sebut pasar, maka siklus lima harian ini lalu di sebut pasaran.

Sumber : fb dan berbagai sumber

Rahayu..
.
.
.
Adhie Khumaidi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar