Kamis, 24 Juni 2021

Tepeng Steven & Coconut Treez Meninggal Setelah Berjuang Lawan Corona

 Tepeng Steven & Coconut Treez Meninggal Setelah Berjuang Lawan Corona

Steven Nugraha Kaligis alias Tepeng dari Steven & Coconut Treez meninggal dunia pada Selasa (22/6/2021) pukul 07.30 WIB. Kabar itu diumumkan oleh bandnya melalui Instagram.

"Innalillahi wa'innailaihi roji'un. Telah berpulang saudara kami Steven N. Kaligis (Tepeng) pada hari Selasa, 22 Juni 2021 pukul 07.30 WIB," tulis band dalam keterangan sebuah unggahan.

"Semoga amal ibadah almarhum diterima disisi Allah SWT, dilapangkan dan diterangi kuburnya serta segala kekhilafan almarhum diampuni Allah SWT. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin ya Robbal Alamin," sambung keterangan tersebut.

Musisi dan aktivis yang juga merupakan teman dari Steven, Melanie Subono, mengungkapkan sang musisi tutup usia setelah berjuang melawan virus COVID-19. Hal itu disampaikan Melanie melalui pesan suara pada detikcom.

"Tepeng itu dua malam lalu gue masih bantu dia cari ruangan segala macem karena dia memang beberapa hari di rumah sakit, dia COVID, tapi dia juga punya darah tinggi," ujar Melanie.

"Covid ada komorbidnya (penyakit penyerta) hasilnya lebih buruk ya, dan pergilah tadi pagi," ungkap Melanie lagi.

Melanie Subono mengaku pertama kali mengetahui kabar meninggalnya Tepeng dari teman sepermainannya. "Sesama teman kami, kami memang teman main, teman sepermainan bareng Tepeng," ucapnya.

Saat kabar itu datang, dirinya sempat tidak memercayai bahwa sahabatnya itu telah berpulang. Namun, ia kemudian mendapat konfirmasi dari rekan-rekan satu band Steven bahwa temennnya itu memang telah tiada.

"Begitu dia pergi langsung dikasih tahu. Walaupun dengar dari lingkarannya dia, sempat nggak mau percaya, gue sempat menghubungi teman sebandnya, memang benar sudah pergi beliau. Karena beberapa hari lalu dia sudah pakai oksigen kan," tuturnya lagi.

Semasa hidupnya, Tepeng dikenal sebagai musisi reggae yang bermusik dalam Steven & Coconut Treez dan Steven Jam.

Steven & Coconut Treez mengawali kariernya dengan formasi bertujuh. Namun, belakangan band itu diperkuat oleh empat orang, yakni Steven N. Kaligis (vokal), Teguh Wicaksono (gitar), Rival Himran (bass) dan Aci (drum).

Tedy Wardhana (perkusi) dan Aray Daulay (gitar) telah meninggal dunia dan Iwan (kibor) disebut enggan untuk tinggal di Jakarta sehingga memutuskan tidak kembali bergabung.

Band beraliran reggae itu sempat vakum dan memutuskan kembali dengan mengeluarkan single bertajuk Fallin'.

Sumber

Turut berduka cita, Jerinx gak komen endorse lagi kah.

Lurah dan RT Caci Maki Satu Keluarga Isolasi Mandiri di Rumah di Batununggal

 Lurah dan RT Caci Maki Satu Keluarga Isolasi Mandiri di Rumah di Batununggal


SuaraBekaci.id - Lurah dan RT caci maki satu keluarga isolasi mandiri di rumahnya sendiri. Padahal itu berdasarkan perintah dari Satgas COVID-19.

Kisah itu diutarakan akun @Serpentine6666. Isinya menceritakan keluarganya yang sedang menjalani isolasi mandiri karena terpapar Covid-19, mendapat cacian dari warga sekitarnya.

Dalam utasnya itu, ia mengunggah beberapa video. Salah satu video tersebut berdurasi 15 detik.

Video itu menampilkan beberapa petugas kewilayahan dan Satgas Covid-19 sedang mendatangai kediamannya di Jalan Batu Kencana No. 9, Gumuruh, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Jawa Barat.

"Gw ga bertujuan untuk bawa2 ini kesini sebenernya tapi tolong siapapun yg punya saran bantuin gw...
Gw, ibu gw dan pacar gw positif covid19 dan isman di rumah atas suruhan rumah sakit. Tapi kami udah abis2an banget diusir, dicaci maki sama warga dan lurah/rt sini. Udah bingung," tulis akun @Serpentine6666 dalam unggahan videonya, Rabu siang.

Saat dikonfirmasi, ia mengaku bernama Rafasha Oktaviani. Ia bercerita jika terdapat berbagai perilaku tak menyenangkan terhadapnya ketika menjalani isolasi mandiri.

Padahal, menurut pengakuannya, ia menjalani isolasi mandiri atas anjuran dari Satgas Covid-19 Puskesmas setempat.

"Kami dicaci maki oleh warga dan lurah RT di sini," katanya.

Ia bercerita, ia mulai merasa tidak enak badan pada 17 Juni 2021. Ia sempat berobat ke klinik tapi tak membuahkan hasil.

Ia berinisiatif langsung melakukan tes antigen dan hasilnya positif. Ia juga langsung melakukan tes PCR di rumah sakit dan hasilnya juga positif.

Dalam utasnya itu, ia mengunggah beberapa video. Salah satu video tersebut berdurasi 15 detik.

"Hasil itu keluar 21 Juni. Waktu itu saya ditemani pacar, dia juga ikut tes dan hasilnya positif. Saya langsung isolasi mandiri sesuai arahan dari rumah sakit, dan ngabarin ke orangtua juga," katanya.

Rafasha melanjutkan, sang ibu dan keponakan yang berada di rumah, melakukan tes swab demi memastikan kondisi tertular apa tidak. Tes pertama, sang ibu dinyatakan negatif, akan tetapi saat tes kedua, sang ibu pun positif. Akhirnya mereka bertiga isolasi mandiri dalam satu rumah.

Ketika aparat kewilayahan dan Satgas Covid-19 mengunjungi kediaman Rafasha untuk memantau kondisi, ia kesal lantaran beberapa di antara aparat itu menurutnya membentak-bentak ke keluarganya.

"Mereka kumpul depan rumah. Ada satu pejabat yang maki-maki saya dan ibu. Dia ngebentak sambil tunjuk ibu saya. Saya sampai nangis," ujarnya.

Tak hanya itu, ia pun melihat jika ibunya dan keluarganya disebut sebagai pengotor lingkungan di wilayah tersebut.

Sumur:
https://bekaci.suara.com/read/2021/0...nggal?page=all

Isolasi Mandiri, Seorang Pasien Positif Covid-19 Ditemukan Meninggal di Kamar Kos

 Isolasi Mandiri, Seorang Pasien Positif Covid-19 Ditemukan Meninggal di Kamar Kos


Seorang pria berinisial Is (54), ditemukan meninggal di sebuah kamar kos, Kelurahan Pasir Panjang, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Pegawai swasta itu diketahui sedang melakukan isolasi mandiri karena dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan tes cepat antigen.

"Meninggalnya tadi pagi di kamar kos," ungkap Kapolsek Kelapa Lima Kompol Sepuh Siregar, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (22/6/2021) malam.

Sepuh menyebut, Is diketahui positif Covid-19 berdasarkan tes cepat antigen dari Rumah Sakit Umum Siloam Kupang pada Sabtu (19/6/2021).

Setelah dinyatakan positif berdasarkan antigen, Is yang berasal dari Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta itu dianjurkan menjalani isolasi mandiri di kamar kosnya.

Sepuh menuturkan, jenazah Is pertama kali ditemukan oleh rekannya Sudewo Fery Prasetya (37).

Saat itu, Sudewo yang juga rekan kerjanya, dihubungi Irwan, atasan mereka di Jakarta.

Irwan meminta Sudewo mengecek kondisi Is. Sebab, keluarga Is di Yogyakarta tak bisa menghubungi pria tersebut.

Sudewo menghampiri temannya itu dan berbicara dengan pemilik kamar kos. Ia sempat menggedor kamar, tetapi tak mendapat respons.

Sudewo dan pemilik kos mencoba membuka jendela dan melihat Is sudah tidak sadarkan diri.

Mereka kemudian meminta bantuan ke Rumah Sakit Umum Siloam Kupang dan melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Kelapa Lima.

Menurut Sepuh, jenazah Is telah dimakamkan di tempat pemakaman umum Fatukoa, sekitar pukul 15.25 WITA.

"Tim Gugus tugas Covid-19 Kota Kupang bersama perwakilan keluarga dan pihak Kantor Lippo Kupang sudah memakamkan jenazah, dengan protokol kesehatan yang ketat," kata Sepuh. 


Sejarah Normalisasi Hubungan Jepang-Korea Selatan yang Tak Tuntas

 Sejarah Normalisasi Hubungan Jepang-Korea Selatan yang Tak Tuntas

Hubungan bilateral Jepang dan Korea Selatan memiliki sejarah yang rumit. Keduanya tercatat beberapa kali terlibat pertempuran dan persaingan sengit. Situasi antagonistik semacam itu pun terjadi pada awal abad ke-20.

Pada dekade pertama abad ke-20, Jepang menandatangani perjanjian aneksasi wilayah Kekaisaran Korea secara sepihak. Perjanjian itu menandai pendudukan Jepang atas Korea. Otoritas pendudukan Jepang lalu menerapkan tindakan-tindakan represif terhadap penduduk Korea: menjadikannya pekerja paksa untuk pembangunan fisik atau keperluan militer, dan menjadikan para wanita sebagai penghibur bagi tentara Jepang.

Represi itu terus berlanjut dan semakin masif dilakukan ketika Jepang melibatkan diri dalam Perang Dunia II (1940-45). Itulah awal dari luka dan kebencian masyarakat Korea—khususnya Korea Selatan—terhadap Jepang.

Pada awal dekade 1950-an, mencuatlah rencana normalisasi hubungan kedua negara. Namun, luka lama akibat kolonialisme Jepang menjadi salah satu penghambatnya. Kedua negara itu kesulitan untuk membangun kembali hubungan diplomatik yang setara.

Sebagai syarat normalisasi hubungan diplomatik itu, Korea Selatan menuntut Jepang untuk bertanggung jawab atas kejahatan perangnya. Korea Selatan bahkan telah menempuh jalur negosiasi internasional.

Usaha Korea Selatan itu gagal karena Jepang enggan mengakui dan meminta maaf atas tindakannya selama periode kolonial. Jepang pun menganggap negosiasi dengan bekas koloni adalah tindakan memalukan.

Kedua negara kesulitan mencari titik temu dan pada akhirnya berpegang teguh pada prinsip yang sama: tidak ingin bernegosiasi. Namun, situasi beku itu berubah sekira 1953, kala Perang Korea—pecah sejak 1950—memasuki fase gencatan senjata.

Dalam konflik itu, Semenanjung Korea terpecah dalam dua kubu ideologi. Korea Utara yang komunis mampu mempertahankan diri dengan dukungan dari Cina dan Uni Soviet. Sementara Korea Selatan bertahan dengan dukungan dari Amerika Serikat.

Korea Selatan bakal berhadapan dengan situasi sulit jika perang berlanjut ketika, di saat bersamaan, tensi politik dengan Jepang memanas. Amerika Serikat pun terdesak kepentingan untuk membendung pengaruh komunisme di Asia. Jika masalah-masalah ini dibiarkan berlarut, Amerika Serikat dan Korea Selatan juga yang bakal rugi.

Alhasil, elit Washington akhirnya menyerukan agar Seoul dan Tokyo menjajaki kembali kemungkinan normalisasi.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Menurut analisis Victor D. Cha dalam “Bridging the Gap: The Strategic Context of the 1965 Korea-Japan Nomarlization Treat” yang dimuat jurnal Korean Studies (Vol. 20, 1996), Amerika Serikat memandang normalisasi hubungan Seoul-Tokyo itu bakal memperkukuh pengaruhnya di Asia-Pasifik. Di sisi lain, Korea Selatan dan Jepang pun sebenarnya juga waswas akan potensi ancaman Perang Dingin.

Untuk menghadapi ancaman Perang Dingin—terutama dari kubu komunis, Korea Selatan mulai memandang perlu bantuan Jepang. Elit politik Korea Selatan paham betul Jepang adalah anak kesayangan Amerika Serikat di Asia. Dengan memperbaiki hubungan dengan Jepang, Korea Selatan juga bakal mengamankan dukungan Amerika Serikat.

Jepang pun setali tiga uang. Kondisi regional tidak lantas melandai begitu saja pasca-Perang Korea. Negeri Matahari Terbit juga musti bersiap menghadapi potensi bahaya yang datang dari Korea Utara dan Cina. Jika kelak Amerika Serikat tidak lagi bisa melindunginya, setidaknya Jepang masih bisa bekerja sama dengan Korea Selatan.


Bantuan Ekonomi Jepang
Memasuki dekade 1960-an, faktor pendorong normalisasi Jepang-Korea Selatan bertambah, yaitu faktor ekonomi. Korea Selatan di bawah Presiden Park Chung-Hee (1962-1979) semakin terbuka untuk menjalin kerja sama ekonomi dengan Jepang.

Menurut peneliti kajian Asia-Pasifik Hyung Gu Lynn dalam artikel “Systemic Lock: The Institutionalization of History in Post-1965 South Korea-Japan Relations” yang dimuat Journal of American-East Asian Relations (Vol. 9, 2000), Presiden Park punya kecenderungan untuk memprioritaskan pengembangan ekonomi Korea Selatan.

Pemerintahannya menyadari betul ketertinggalan negaranya di bidang ini. Karenanya, hubungan diplomatik dengan Jepang juga dipandang sebagai langkah strategis untuk memperbaiki ketertinggalan itu.

Meski demikian, peneliti hubungan internasional Boyu Chen dalam artikel “Decolonizing Japan–South Korea Relations: Hegemony, the Cold War, and the Subaltern State” yang dimuat jurnal Asian Perspective (Vol. 44, 2020) menyebut Korea Selatan sebenarnya berada dalam posisi dilematis saat itu.

Korea Selatan berada di antara dua pilihan sulit: hidup stagnan karena menolak bekerja sama dengan Jepang atas pertimbangan luka sejarah atau melupakan luka masa lalu untuk masa depan bangsa yang lebih cerah. Pada akhirnya, Pemerintah Korea Selatan memilih opsi yang kedua.

Keputusan itu diambil dengan dalih untuk mencapai tiga tujuan, yaitu pembangunan ekonomi, menahan komunisme, dan stabilitas rezim politik. Di sisi lain, Jepang pun merespons baik perubahan sikap Negeri Ginseng itu.

Menurut Boyu Chen, keterbukaan Jepang itu tidak terlepas dari motif membangun citra baik dan bentuk “balas budi” kepada bekas koloninya. Pada saat yang bersamaan, iklim politik Jepang juga sedang menghangat oleh sikap pro-Korea Selatan yang berhembus dari kalangan Partai Demokrat Liberal (LDP). Lain itu, investor-investor Jepang pun semakin tertarik menggarap pasar Korea Selatan yang dinilai cukup menjanjikan.

Alhasil, pada November 1962, Jepang mengucurkan dana sebesar $300 juta ke Korea Selatan. Itu terjadi usai pertemuan antara Menteri Luar Negeri Jepang Ohira Masayoshi dan Direktur Intelijen Korea Selatan Kim Chong-pil. Dana itu sendiri terbagi dalam dua skema: $200 juta dalam bentuk pinjaman pemerintah jangka panjang dan $100 juta dalam bentuk pinjaman komersial.

Amerika Serikat pun menyambut baik langkah ekonomi yang diambil kedua negara itu. Menurut Victor D. Cha, Amerika Serikat juga diuntungkan oleh langkah Jepang itu. Pasalnya, bantuan ekonomi Jepang itu dapat mengurangi pula beban ekonomi Amerika Serikat.


Sejarah Normalisasi Hubungan Jepang-Korea Selatan yang Tak Tuntas

Normalisasi Setengah Hati
Bantuan ekonomi itu akhirnya sukses membawa Jepang dan Korea Selatan ke fase negosiasi serius. Meski begitu, proses negosiasinya tidak semulus yang dibayangkan. Permasalahan sejarah lagi-lagi muncul menjadi penghambat.

Elite politik Tokyo sadar punya daya tawar yang lebih leluasa karena Seoul membutuhkan bantuan ekonominya. Dengan begitu, Jepang bisa menutup kemungkinan munculnya klausul penyelesaian masalah sejarah kolonialismenya. Jika Seoul tetap ngotot, pada dasarnya mereka sendirilah yang akan kehilangan peluang ekonomi.

CARA MUDAH MENDAPATKAN PENGHASILAN ALTERNATIF KLIK DISINI

Semula Pemerintah Korea Selatan bergeming. Mereka tetap menuntut Jepang membuka pembahasan terkait penyelesaian kejahatan perang yang dilakukannya terhadap rakyat Korea. Namun, daya tawar yang rendah menyulitkan mereka bernegosiasi lebih jauh.

Pada akhirnya, Korea Selatan pun terpaksa menerima persyaratan Jepang. Setelah menempuh negosiasi panjang, Jepang dan Korsel berhasil mencapai kata mufakat pada 22 Juni 1965—tepat hari ini 56 tahun silam. Perwakilan kedua negara itu sepakat menandatangani perjanjian normalisasi hubungan diplomatik yang kemudian dikenal dengan Treaty on Basic Relations between Japan and the Republic of Korea.

Jepang dan Korea Selatan pada intinya menyepakati dua poin utama, yaitu pembangunan hubungan diplomatik resmi dan pembukaan kegiatan ekonomi bersama. Di atas kertas, perjanjian ini menandai awal baru dalam hubungan bilateral kedua negara yang lebih harmonis dan kooperatif.

Namun, untuk mewujudkan persahabatan itu tidak semudah yang dibayangkan. Berpuluh-puluh tahun setelahnya—bahkan hingga kini, perjanjian itu justru mewariskan permasalahan pelik.

Pengarusutamaan ekonomi dan kepentingan Perang Dingin berujung pada pengabaian Jepang atas kejahatan perangnya di masa lalu. Usai perjanjian normalisasi itu, Pemerintah Korea Selatan telah beberapa kali meminta Jepang untuk segera menyelesaikan permasalahan itu dengan menuntut pembayaran kompensasi.

Pada 2019, misalnya, Pengadilan Tinggi Korea Selatan meminta beberapa perusahaan Jepang, termasuk Nippon Steel dan Mitsubishi Heavy Industries, untuk memberikan kompensasi kepada para korban kerja paksa masa penjajahan Jepang (1910-45). Namun, Tokyo mengklaim bahwa perjanjian 1965 telah memberi jawaban pasti terkait permasalahan sejarah itu.

Seoul tentu saja menampik klaim tersebut itu. Pasalnya, memang tidak ada klausul yang memungkinkan pembahasan masalah ini lebih lanjut.

Gara-gara kasus ini, hubungan bilateral Jepang dan Korea Selatan memanas lagi untuk ke sekian kalinya. Perang dagang pun tak terhindarkan dan sentimen anti-Jepang meningkat di Korea Selatan. Bahkan, hasil survei yang dipublikasikan Japan Times (2021) menunjukkan hanya 16,7 persen responden warga Korea Selatan yang merasa bersahabat dengan orang Jepang. Sementara itu, hanya ada 20,2 persen warga Jepang yang mengaku bersahabat dengan Korea Selatan.

https://tirto.id/sejarah-normalisasi...ak-tuntas-ggZv


Eleanor Of Aquitaine, Menjadi Ratu di Dua Kerajaan Eropa

 Eleanor Of Aquitaine, Menjadi Ratu di Dua Kerajaan EropaPatung Eleanor Of Aquitaine di gereja Fontevraud Abbey 

Adam Bishop/WikimediaCommons

Eleanor Of Aquitaine(1122-1204 M) adalah salah satu tokoh wanita paling mengesankan dan kuat yang pengaruhnya pada abad pertengahan awal (1001-1250 M) membentuk politik, seni dan membentuk persepsi wanita di jamannya. Mewarisi perkebunan yang luas sejak usia 15 tahun membuatnya menjadi gadis yang paling diminati laki-laki di generasinya. Dia menjadi Ratu Prancis (1137-1152 M), dan Ratu Inggris (1154-1189 M). Bahkan setelah masa pemerintahannya, ia masih memegang kekuasaan politik dan sosial yang cukup besar dalam mengatur pernikahan bagi cucunya.  

Eleanor Of Aquitaine adalah istri Raja Louis VIIdari Prancis yang berkuasa 1137-1180 M, dari Raja Louis VII ia memiliki dua putri, Marie de Champagne (1145-1204 M) dan Alix Of France (1150-1198 M). Pada tanggal 21 Maret 1152 Louis dan Eleanor bercerai karena hukum kekerabatan, alasannya bahwa Eleanor dan Louis adalah sepupu (sepupu ketiga). Tidak berselang lama Eleanor menikah lagi.

Pengaruh Eleanor tidak hanya berlaku di wilayah yang ia perintah, tetapi juga di wilayah yang berhubungan dengannya. Dia menjadi panutan bagi sejumlah wanita kelas atas, dan warisannya diteruskan oleh anak dan cucunya, terutama dalam kasus Eleanor Of Englanddan Blanche de Castille. Ketertarikannya pada seni sastra menghasilkan genre paling menarik dan populer saat ini "Puisi Romantis Provencal", sebuah karya yang memengaruhi persepsi aristokrasi tentang wanita dan terus menginspirasi ekspresi artistik di masa sekarang.  Dia memimpin perang salib ke Tanah Suci. Dia juga dikreditkan dalam membangun dan melestarikan banyak ritual untuk ksatria.


Eleanor lahir pada tahun 1122 M dari pasangan William X, Duke Of Aquitaine(1099-1137 M) dan Aenor de Chatellerault (1103-1130 M). Kakeknya adalah penyair dan pejuang terkenal William IX (1071-1127 M) yang karyanya mempengaruhi perkembangan puisi romantis Provencal di kemudian hari. William X, meskipun tidak memiliki keterampilan puitis seperti ayahnya, ia mewarisi kecintaannya pada sastra. William X mendorong Eleanor dan adik perempuannya Petronilla dalam pendidikan dan perbaikan budaya. Sebagai seorang gadis muda, Eleanor fasih berbahasa Latin dan mahir dalam semua olahraga raja seperti berburu.

Eleanor dididik dengan baik oleh ayahnya, ia dilatih dengan keras ketika dia telah dipersiapkan menjadi ahli waris ayahnya pada usia 5 tahun. Seorang penunggang kuda wanita yang handal, ia menjalani kehidupan yang aktif sampai ia mewarisi tanah yang luas setelah kematian ayahnya saat berusia 15 tahun. Eleanor menjadi salah satu bangsawan wanita di Aquitaine dan sejauh ini yang paling muda dan memenuhi syarat di Eropa. Ia ditempatkan di bawah perwalian Raja Prancis, dan hanya dalam beberapa jam telah bertunangan dengan putra dan pewarisnya.

Pada 1130 M, ibu dan adik laki-lakinya Aigretmeninggal, dan ayahnya meninggal tujuh tahun kemudian. Aquitaine adalah wilayah kekuasaan yang sangat besar, di masa ketika wanita bangsawan terutama ahli waris seperti Eleanor akan diculik untuk mendapatkan tanah mereka, William X bertindak cepat untuk melindungi Eleanor dan warisannya.

Eleanor Of Aquitaine, Menjadi Ratu di Dua Kerajaan EropaKakek Eleanor, William IX, memberinya vas kristal batu ini, kemudian diberikan kepada Louis VII sebagai hadiah pernikahan. Kemudian disumbangkan ke Biara Saint-Denis. Ini adalah satu-satunya artefak yang masih ada yang diketahui milik Eleanor.
Siren-Com/WikimediaCommons

Raja Prancis, Louis VImemberikan perlindungan kepada Eleanor dan segera mengatur pernikahan Eleanor dengan putranya, Louis VII. Akhirnya mereka menikah tiga bulan kemudian.

Di Aquitaine, wanita memiliki kebebasan yang jarang ditemukan di tempat lain di Eropa, mereka bebas bergaul dengan laki-laki. Kepribadian Eleanor banyak dipengaruhi oleh keadaan ini. Pria pertama yang memberikan kesan yang luar biasa pada Eleanor adalah kakeknya William IX, yang dikenal sebagai Troubadour. "Dia adalah pria dengan kompleksitas luar biasa, bergantian idealis dan sinis, kejam tetapi tidak praktis. Namun orang-orang sezamannya tidak diragukan menghormatinya sebagai ksatria pemberani". Ayahnya, William X, sama kompleks dan berwarnanya dengan kakeknya, namun dikenal juga agresif. Dia sering bertengkar dengan gereja dan pengikutnya. Adapun ibunya, sedikit yang diketahui selain namanya. Dia meninggal ketika Eleanor berusia delapan tahun. Sebagai seorang penguasa, William X mengatur tanahnya dan mengendalikan pengikutnya dari belakang kudanya, terus-menerus bepergian dan dalam banyak perjalanan itu, Eleanor menemaninya.
  

Louis dan Eleanor menikah pada Juli 1137, tetapi hanya memiliki sedikit waktu untuk saling mengenal sebelum ayah Louis, Raja Louis VI jatuh sakit dan meninggal. Pada Hari Natal di tahun yang sama, Louis dan Eleanor dinobatkan sebagai raja dan ratu Prancis. Tahun-tahun pertama Louis dan Eleanor sebagai penguasa dipenuhi dengan perebutan kekuasaan. Raja Louis VII yang masih muda dan kurang pengalaman, membuat serangkaian kesalahan militer dan diplomatik yang membuatnya berselisih dengan Paus dan beberapa bangsawan yang berkuasa. Konflik yang terjadi memuncak dalam pembantaian ratusan orang tak berdosa di kota Vitry selama pengepungan, sejumlah besar penduduk berlindung di gereja, yang dibakar oleh pasukan Louis. Dirundung rasa bersalah atas perannya dalam tragedi itu selama bertahun-tahun, Louis dengan penuh semangat menanggapi seruan Paus untuk mengadakan perang salib pada tahun 1145. 

Setelah tujuh tahun menikah, Eleanor belum juga hamil, karena pernah mengalami keguguran sebelumnya. Sekitar tahun 1144 dia akhirnya melahirkan seorang gadis bernama Marie. Selama tujuh tahun pertama itu terjadi perang penaklukan untuk Louis VII serta masalah dengan pendeta paling kuat di kerajaan, Bernard Of Clairvaux yang menjadi musuh paling berbahaya bagi Eleanor. Pada saat ini hubungan Eleanor dengan Louis menunjukkan tanda-tanda ketegangan, terutama ketika desas-desus muncul tentang perselingkuhan Eleanor dengan penyair terkenal dari Aquitaine yang telah menghabiskan waktu lama di istana kerajaan. Eleanor juga telah gagal memberikan pewaris laki-laki kepada raja. Meskipun ketegangan ini terjadi, Louis dan Eleanor masih terlihat saling  mencintai. Tanpa mereka sadari, peristiwa di Timur Tengah akan membawa mereka dalam perjalanan yang mengubah hidup mereka selamanya. 

Pada tanggal 24 Desember 1144 Edessa jatuh ke tangan SaracenPaus Eugenius IIImemberikan dukungan untuk perang salib kedua. Setelah beberapa pidato yang meyakinkan raja-raja Jerman dan Prancis bersiap menuju Tanah Suci. Bahkan Paus menyeberangi Pegunungan Alpen ke Prancis untuk memberkati pasukan perang salib. Pada tanggal 11 Juni 1147 Louis dan Eleanor, bersama dengan pasukan, meninggalkan Saint-Denis dan berjalan kaki melalui Bavaria, Hongaria menuju Balkan. Pada tanggal 4 Oktober 1147 mereka mencapai ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Tentara salib Prancis terpesona pada makanan, fasion, logam mulia, dan seni Bizantium. Pada akhir Oktober 1147 tentara Prancis menuju pedalaman Byzantium. Cuaca buruk dan serangan efektif dari Turki menghancurkan tentara salib. Sisa-sisa tentara dipandu oleh Knight Templar yang berpengalaman mencapai Attalia pada awal Januari. Dari sana Louis menyewa kapal dengan harapan bisa sampai ke Tanah Suci. Dia hanya membawa pengawal dan keluarga terdekatnya, meninggalkan sisa pasukan untuk pergi ke Tanah Suci. Setelah tiga minggu di laut sambil menahan badai besar, rombongan kerajaan tiba di Antiokhia.

Eleanor Of Aquitaine, Menjadi Ratu di Dua Kerajaan EropaPotret abad ke-12, diperkirakan menggambarkan Eleanor.
WikimediaCommons

Eleanor bergabung dalam perjalanan yang berbahaya dan bernasib buruk. Perang salib tidak berjalan dengan baik, dan Eleanor dan Louis semakin terasing. Louis menghadapi kritik publik yang meningkat, Eleanor meminta perceraian pada Louis dan mereka akhirnya bercerai atas dasar kekerabatan (berhubungan darah) pada tahun 1152 dan berpisah, kedua putri mereka ditinggalkan dalam tahanan raja. 

Louis VII memang tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi raja. Dia telah dipersiapkan untuk menjadi pendeta sejak usia muda tetapi kematian kakak laki-lakinya Philip, ahli waris kerajaan pada tahun 1131 M mengubah rencana tersebut. Louis adalah pewaris takhta tetapi tidak memiliki pelatihan dan pengalaman yang digunakan untuk merawat kerajaan. Dia menjalani kehidupan yang terlindungi, menghabiskan sebagian besar waktunya di biara, dan memiliki sedikit pengalaman dalam perjalanan. Eleanor, di sisi lain sering bepergian dengan ayahnya ke seluruh Aquitaine dan kemungkinan besar telah mendengar kisah petualangan kakeknya dalam Perang Salib kesatu. Eleanor adalah seorang flamboyan dan sama sekali tidak malu dalam mengungkapkan keinginannya sedangkan Louis pendiam, penurut, dan tampaknya kagum pada istrinya itu.

Ketika Louis menerima tanggung jawab untuk memimpin Perang Salib kedua ke Tanah Suci, Eleanor menjelaskan bahwa dia juga akan pergi. Tujuan Louis dalam mendanai dan memimpin ekspedisi adalah melakukan penebusan dosa atas pembantaian warga kota Vitry dalam perangnya dengan Pangeran Champagne. Niat Eleanor tampaknya adalah melakukan petualangan besar. Louis memiliki sedikit pengalaman dalam kepemimpinan dan perjalanan atau maka tidak mengherankan perang salib tidak berjalan dengan baik. Eleanor secara rutin dikritik oleh sejarawan abad pertengahan karena berprilaku seolah-olah dia akan pergi ke pesta. Dia membawa 300 dayang dan kereta panjang untuk membawa semua gaun dan kebutuhan lainnya. Meski begitu, sejarawan yang sama menjelaskan bahwa dia adalah pemimpin yang lebih mampu daripada suaminya dan lebih dihormati oleh pasukan.

Eleanor Of Aquitaine, Menjadi Ratu di Dua Kerajaan EropaDewan Perang Salib Kedua : Conrad III dari Jerman, suami Eleanor Louis VII dari Prancis, dan Baldwin III dari Yerusalem
public domain

Di Laodikia (Asia Kecil), saat rombongan berjalan di atas Gunung Cadmus dalam perjalanan ke Antiokhia, Eleanor yang berada di depan meneruskan perjalanan sementara Louis yang berada di belakang, telah memberi perintah kepada pasukan untuk berhenti dan beristirahat. Oleh karena itu, pasukan itu dipisahkan oleh orang-orang Turki yang telah mengawasi dan menyergap barisan belakang, dan membantai mereka. Louis hanya melarikan diri karena dia berpakaian seperti seorang pendeta dan berhasil bersembunyi di pohon. Sesampainya di Antiokhia, Eleanor menjadi pusat perhatian dan Louis muncul sebagai salah satu pelayannya, bukan sebagai raja. 

Apa pun kekaguman awal Louis untuk Eleanor terus berubah menjadi kebencian, dan ketika Eleanor menyarankan perceraian atas dasar kekerabatan, awalnya Louis menolak, namun kemudian ia setuju.


Dalam waktu dua bulan setelah perceraiannya dengan Louis, setelah melawan upaya untuk mengawinkannya dengan berbagai bangsawan Prancis berpangkat tinggi lainnya, Eleanor memilih menikahi Henry, Pangeran Anjou dan Duke Of Normandy. Eleanor telah dikabarkan berselingkuh dengan Henry, sebelum perceraian mereka dan hubungannya dengan Henry lebih dekat daripada ia dengan Louis. Pernikahan Eleanor dan Henry pun dilaksanakan dan dalam waktu dua tahun Henry dan Eleanor dimahkotai sebagai raja dan ratu Inggris. Pernikahan Eleanor dengan Henry lebih sukses daripada dengan Louis, meskipun tentu saja tetap ada drama dan perselisihan, ya namanya suami-istri. Namun mereka menghasilkan delapan anak. Tingkat peran Eleanor dalam pemerintahan Henry sebagian besar tidak diketahui, meskipun tampaknya tidak mungkin seorang wanita dengan pendidikan yang terkenal tidak memiliki pengaruh. Eleanor bercerai dengan Henry pada tahun 1167 dan memindahkan rumahnya ke tanahnya sendiri di Poitiers. Sementara alasan putusnya pernikahannya dengan Henry masih belum jelas.

Henry menjadi raja Inggris pada 1154 M dan Eleanor menjadi ratunya, tetapi ia tidak dapat mendominasi Henry semudah dia mendominasi Louis. Pernikahan mereka adalah serangkaian pertempuran ketika Eleanor mencoba mengendalikan suaminya dan suaminya melawan melalui perselingkuhan yang tak terhitung jumlahnya. 

Eleanor tidak membantu situasi dengan mengelilingi dirinya dengan penyair dan seniman serta mengabaikan amukan Henry sesering mungkin. Dia mungkin juga berselingkuh dengan Bernard de Ventadour. Eleanor menjalani pernikahannya dengan cara yang khas, ia pada akhirnya dapat menggunakan kekuatan dan pengaruh yang lebih besar daripada Henry melalui pertempuran yang menguntungkan dengan bangsawan asing.

Eleanor berpisah dari Henry dan pindah ke tanah leluhurnya di Poitiers. Di sini, seperti yang ia lakukan sebelumnya di Prancis ketika dia menikah dengan Louis dan kali ini di Inggris, ia mengisi rumahnya dengan penyair dan seniman. Putra kesayangan Eleanor, Richard dan putrinya dari pernikahan pertama Marie, juga tinggal di sana. Eleanor mendengar keluhan, membahas masalah administrasi, dan menjamu tamu di benteng yang sama dengan kakeknya.

Jenis syair yang sekarang dikenal sebagai puisi cinta sopan atau puisi kesatria bukanlah hal baru di abad ke-12 M, tetapi para penyair di rumah Eleanor atau pengadilan Marie di Troyes menyempurnakan genre tersebut dan mengembangkan penokohan yang lebih rumit yang menurut beberapa pakar ianggap sebagai kemajuan yang didorong oleh Eleanor dan Marie. Menurut penyair Andreas Capellanus, Eleanor, Marie dan wanita kelas atas lainnya akan mengadakan pengadilan cinta di mana mereka akan membahas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah cinta sejati bisa ada dalam pernikahan? Apa merupakan cinta ketika sang kekasih mengabdi kepada yang dicintai? dan hal-hal lain semacam itu. Para sejarawan secara konsisten mempertanyakan apakah pengadilan ini benar-benar terjadi atau hanya sebuah penemuan sastra.

Beberapa sejarawan juga mengajukan teori bahwa puisi cinta istana adalah alegori untuk kepercayaan sesat Cathar, sebuah gerakan keagamaan yang secara teratur dianiaya oleh Gereja pada saat itu. 

Eleanor dan Marie berselisih dengan Gereja dan dicurigai bersimpati dengan kaum Cathar, jadi mungkin mereka terlibat dalam penyandian kepercayaan Cathar dalam ayat, tetapi teori ini jauh dari diterima secara universal. Akan tetapi, tidaklah mengherankan jika mereka melakukannya, karena sistem kepercayaan Cathar yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin dan secara konsisten mengkritik kemunafikan dan kekerasan Gereja, akan menarik bagi kedua wanita tersebut.

Selama pernikahannya dengan Raja Henry II Eleanor sibuk melahirkan anak, lima orang putra : Williammeninggal pada usia tiga tahun, Henry Of England, Richard, Geoffrey dan John ditambah tiga orang putri : Matilda, Eleanor Of England dan Joanna. Anak-anaknya suatu hari akan menunjukkan kepada dunia dari mana mereka berasal ketika dua putrinya menjadi ratu dan tiga putranya menjadi raja.
Berita buruk datang dari Prancis ketika diketahui bahwa istri ketiga Louis sang mantan suami Eleanor akhirnya memberinya pewaris laki-laki pada 22 Agustus 1165, seorang yang akan menjadi Raja Prancis kelak yaitu Raja Phillip II Augustus, yang suatu hari akan menghancurkan Kekaisaran Angevin milik Henry II.