Ia disebut-sebut sebagai “Nelson Mandela” nya orang Papua. Kematian misterius Thomas Wanggai menggoreskan luka rakyat Papua sekaligus menabalkan sentimen anti Indonesia.
Thomas Wanggai. Ilustrasi: Betaria/Historia.
Huru-hara menggemparkan distrik Abepura di kota Jayapura, Papua. Amukan massa yang tersulut amarah berujung aksi pembakaran. Sejumlah kios di Pasar Abepura habis dilalap api. Kurang dari enam mobil hangus dan hancur. Puluhan bangunan di jalur Sentani-Abepura sepanjang 20 km rusak berat. Ada yang menyobek bendera Merah Putih sementara yang lain menaikkan panji Bintang Kejora.
“Kerusuhan melanda Sentani-Abepura hari Senin (18/3) segera setelah kedatangan jenazah Dr. Thomas Wanggai, terhukum kasus subversi yang meninggal di Jakarta,” demikian berita Kompas, 19 Maret 1996.
Semua bermula dari isu Thomas Wanggai dibunuh dalam tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur. Ketika jenazah tiba di Bandara Sentani, ribuan massa simpatisan telah menanti. Mereka mendadak berubah beringas setelah aparat menolak memperlihatkan jenazah Tom Wanggai untuk disemayamkan di aula Universitas Cenderawasih (Uncen). Begitu dihormatinya Thomas Wanggai sehingga kematiannya jadi simbol perlawanan terhadap pemerintah Indonesia.
Bendera Bintang 14
Pada 14 Desember 1988, sekira 60 orang berkumpul di Stadion Mandala, Jayapura. Mereka menghadiri upacara pembacaan proklamasi Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kesekian kalinya. Namun, ada yang berbeda hari itu. Bendera yang dikibarkan bukanlah Bintang Kejora, melainkan Bendera Bintang 14. Naskah proklamasi maupun Bendera Bintang 14 itu dirancang oleh Thomas Wanggai.
Thomas Wapai Newei Serampayai Wanggai adalah pendukung OPM berpendidikan tinggi. Ia lahir di kampung Ambai, Serui pada 5 Desember 1937. Gelar sarjana hukumnya direngkuhnya dari Okoyama State University pada 1969. Pada saat menempuh pendidikan di Jepang itulah Tom bertemu dengan Mimie Teruko Kohara yang kemudian menjadi istrinya. Setelah itu, Tom meraih gelar doktor bidang administrasi negara di Florida University pada 1985. Tom Wanggai bekerja di kantor gubernuran sebagai staf ahli Bappeda Pemda Papua.
Dibandingkan dengan gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, menurut George Junus Aditjondro, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian paling luas dan terbuka dari masyarakat Papua. Berbeda dengan para pendahulunya yang selalu menggunakan entitas dari zaman kolonial Belanda, yakni Papua Barat, Tom menamakan negeri merdeka yang dibayangkannya: Melanesia Barat. Entitas ini merujuk pada rumpun ras masyarakat di kawasan Pasifik Selatan. Tapi, gagasan Tom Wanggai tentang perjuangannya mendirikan Negara Republik Melanesia Barat berlandaskan ke-Kristenan adalah daya pikat bagi masyarakat.
“Yang jelas proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelitnya. Proklamasi Tom Wanggai juga punya appeal secara khusus bagi kalangan terdidik dan pegawai negeri yang berasal dari Kabupaten Yapen-Waropen,” ungkap Aditjondro dalam Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia.
Bendera Bintang 14 dijahit sendiri Teruko Wanggai, istri Tom Wanggai. Sementara itu, Tom Wanggai mendaulat dirinya sebagai presiden Republik Melanesia Barat. Aktivis Papua Merdeka Filep Karma mengenal kiprah Tom Wanggai. Dalam catatannya Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, Filep mengatakan, “Wanggai berpendapat bendera Bintang Kejora dari 1961 warnanya terlalu Eropa: merah, putih, biru.”
Namun, tersirat motif lain di balik pilihan Tom Wanggai mendirikan Negara Melanesia Barat. Gerakan kemerdekaan itu, seperti ditulis Philipus Robaha, aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa), dalam artikelnya di kanal laolao-papua.com, disebut-sebut pelarian atas kegagalan Tom Wanggai menjadi gubernur Papua.
Pada 1987, Tom Wanggai kalah bersaing melawan Barnabas Suebu dalam pemilihan gubernur. Rumor ini jadi cerita dari mulut ke mulut yang berkembang hingga sekarang. Barnabas Suebu sendiri pada 2017 didakwa bersalah atas kasus korupsi. Ia mendekam di LP Sukamiskin, Bandung.
Misteri di LP Cipinang
Gerakan Tom Wanggai meresahkan otoritas pemerintah Indonesia di Papua. Setelah peristiwa pengibaran Bendera Bintang 14, ia ditangkap. Pengadilan Negeri Jayapura menjerat Tom Wanggai dengan dakwaan perbuatan makar dan vonis hukuman penjara 20 tahun. Sementara, istri Tom dikenai hukuman 8 tahun penjara. Dari LP Jayapura, Tom kemudian dipindahkan ke LP Cipinang, Jakarta Timur.
Pada 12 Maret 1996, Tom Wanggai ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di selnya. Sekujur tubuhnya kaku membiru. Kepala LP Cipinang menyatakan Tom Wanggai meninggal karena menderita penyakit. Temuan-temuan kejanggalan kemudian menyingkap tabir penyebab kematian Tom yang masih berselubung tanda tanya.
Tokoh gerakan Papua Pdt. Socrates Sofyan Yoman tidak percaya dengan pernyataan pihak LP Cipinang. Dalam Pemusnahan Etnis Melanesia di Papua Barat, ia menyebut kematian Tom Wanggai tidak wajar. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian jurnalis Australia, Robin Osborn, yang mengatakan Tom Wanggai adalah salah satu korban penyiksaan dalam penjara.
Diduga kuat, Tom Wanggai dibunuh oleh tentara Indonesia. Konfirmasi mengenai laporan tersebut, ungkap Osborn, berasal dari dokumen resmi. Beberapa di antaranya sampai ke tangan OPM, atau media massa di Indonesia (yang tidak bisa menerbitkannya), atau ke wartawan asing, lembaga-lembaga bantuan serta pekerja gereja dan akademisi.
Sementara itu, menurut mantan komisioner Komnas HAM Decki Natalis Pigay, kematian Tom Wanggai tidak lepas dari wacana politik resistensi lokal OPM akibat keberaniannya memproklamasikan kemerdekaan Republik Melanesia Barat. Patut dicatat bahwa Tom Wanggai melakukan itu di tengah-tengah kota satelit Jayapura sedangkan para pendahulunya kebanyakan bergerak di tengah hutan belantara pedalaman Papua.
Banyak kabar yang beredar di tengah masyarakat seputar meninggalnya Tom Wanggai. Kepala LP Cipinang jadi sasaran tudingan. Ia dianggap turut bertanggung jawab karena terlambat mengirimkan Tom yang sakit keras itu ke Palang Merah Internasional. Polemik juga berlanjut pada persoalan hilangnya jenazah Tom Wanggai dari lemari kamar mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tanpa sepengetahuan pihak keluarga. Desas-desus inilah yang kemudian meletupkan kerusuhan saat jenazah Tom Wanggai dipulangkan ke Papua.
“Pada saat itu rakyat Irian termasuk kalangan terpelajar, mahasiswa, serta masyarakat biasa berduyun-duyun menuju Bandara Sentani untuk menyambut seorang tokoh yang dihormati sebagai simbol intelektual Irian,” kata Pigay dalam Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua.
Raga Thomas Wanggai memang telah lama meninggalkan dunia ini. Tapi ideologinya untuk mendirikan negara merdeka yang terpisah dari Republik Indonesia masih hidup dalam dada sebagian orang Papua sampai saat ini. Entah sampai kapan.
https://historia.id/politik/articles...t-vogxW/page/1