Tentara Ethiopia (kanan) saat menyerah di hadapan milisi EPLF Eritrea. (martinplaut.com)
Eritrea adalah nama dari sebuah negara yang terletak di Afrika Timur. Negara yang terletak di seberang Jazirah Arab ini berbatasan dengan Ethiopia di sebelah selatan. Perjalanan sejarah Eritrea tidak bisa dilepaskan dari negara tetangganya tersebut. Pasalnya sebelum menjadi negara merdeka sejak tahun 1993, Eritrea berstatus sebagai wilayah Ethiopia.
Eritrea bisa menjadi negara merdeka setelah melalui perang kemerdekaan yang berlangsung dari tahun 1962 hingga 1993. Berkat perang ini, Eritrea pun muncul sebagai salah satu negara termuda di Afrika & dunia. Di pihak yang berseberangan, perang ini mengubah Ethiopia menjadi negara tanpa wilayah laut.
Dalam perang kemerdekaan Eritrea, pasukan pejuang kemerdekaan ELF & EPLF terlibat konflik melawan pasukan pemerintah Ethiopia. Menariknya, kendati ELF & EPLF sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Eritrea, kedua kelompok tersebut juga terlibat konflik satu sama lain. Saat Eritrea akhirnya menjadi negara merdeka, EPLF bertransformasi menjadi partai politik penguasa negara tersebut hingga sekarang.
LATAR BELAKANG
Eritrea secara geografis memiliki lokasi yang strategis. Pasalnya Eritrea terletak di tepi Laut Merah, lautan sempit yang banyak dilewati oleh kapal-kapal yang pergi dari & menuju Terusan Suez.
Wilayah Eritrea juga ideal untuk dijadikan batu loncatan bagi mereka yang ingin pergi dari Afrika menuju Asia & sebaliknya. Pasalnya wilayah Eritrea berseberangan langsung dengan pantai barat Jazirah Arab.
Karena lokasi strategisnya itulah, wilayah Eritrea pun sejak lama menjadi arena perebutan bangsa-bangsa asing. Terhitung sejak abad ke-19, Eritrea menjadi wilayah jajahan Italia. Namun menyusul timbulnya Perang Dunia II dengan kekalahan Italia, wilayah Eritrea ganti berada di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1952, PBB memutuskan kalau wilayah Eritrea bakal disatukan dengan wilayah Ethiopia. Keputusan tersebut sebenarnya tidak disetujui oleh rakyat Eritrea dari golongan Muslim karena Ethiopia merupakan negara berpenduduk mayoritas Kristen. Golongan Muslim Eritrea khawatir kalau mereka kelak bakal menjadi sasaran diskriminasi jika penyatuan ini benar-benar terjadi.
[table][tr][td] [/td]
[/tr]
[tr][td]Peta Eritrea & Ethiopia. (aljazeera.com)[/td]
[/tr]
[/table]
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, wilayah Eritrea lantas disatukan dengan wilayah Ethiopia untuk membentuk negara baru yang bernama "Federasi Ethiopia & Eritrea". Supaya penduduk Eritrea tidak merasa ditindas, wilayah Eritrea diberikan otonomi luas & status politik domestik yang setara dengan wilayah Ethiopia.
Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan
Pembentukan federasi tersebut sayangnya tidak bertahan lama karena pemerintah pusat Ethiopia ingin memperkuat kendalinya atas wilayah Eritrea. Pada awalnya, bahasa Arab & Tigray (Tigrinya) merupakan bahasa resmi yang diakui di wilayah Eritrea. Namun pemerintah Ethiopia kemudian menghapuskan pendidikan bahasa Arab dari sekolah-sekolah Eritrea.
Tindakan pemerintah Ethiopia belum berhenti sampai di sana. Mereka juga cenderung memprioritaskan orang-orang Kristen Eritrea untuk menempati jabatan di lembaga pemerintahan. Kemudian untuk mencegah timbulnya gerakan perlawanan, aparat Ethiopia giat melakukan pengejaran & intimidasi kepada tokoh-tokoh pencetus kemerdekaan Eritrea. Akibatnya, banyak dari tokoh tersebut yang melarikan diri ke luar negeri.
Tahun 1962, pemerintah Ethiopia membubarkan Federasi Ethiopia & Eritrea. Wilayah Eritrea kemudian dilebur ke dalam wilayah Ethiopia & diubah statusnya menjadi provinsi biasa. Tak lama kemudian, pemerintahan Ethiopia melarang pendidikan bahasa Tigray di sekolah-sekolah. Sebagai akibatnya, bahasa Amhara selaku bahasa resmi Ethiopia kini menjadi satu-satunya bahasa yang boleh diajarkan di sekolah-sekolah Eritrea.
Rentetan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat Ethiopia
menyebabkan orang-orang Eritrea berkesimpulan kalau wilayah Eritrea harus menjadi negara merdeka supaya penduduknya memiliki kebebasan penuh
untuk mempraktikkan bahasa & budayanya sendiri. Dampaknya, mereka
pun kini mulai melirik taktik perlawanan bersenjata supaya bisa
mewujudkan kemerdekaan wilayahnya.
BERJALANNYA PERANG
Dimulai oleh ELF
Pada tahun 1960, sejumlah tokoh Muslim Eritrea yang dipimpin oleh Hamid Idris Awate membentuk kelompok bersenjata yang bernama Eritrean Liberation Front (ELF; Front Pembebasan Eritrea). ELF sesudah itu mulai merekrut anggota-anggota baru di wilayah Eritrea barat. Kemudian pada tahun 1962, sejumlah milisi Sudan menyeberang ke wilayah Eritrea untuk bergabung dengan ELF.
Karena ELF didirikan oleh orang-orang Islam Eritrea yang sedang berjuang di negara berpenduduk mayoritas Kristen, kelompok tersebut berhasil mendapatkan simpati dari negara-negara Muslim lainnya. Dampaknya, sejak tahun 1963 ELF menerima bantuan persenjataan dari Suriah, Irak, Iran, & Sudan. Cina juga mengirimkan bantuan senjata kepada ELF melalui perantaraan Sudan.
Pasukan ELF. (M. Tedla / semanticscholar.org)
Masuknya aliran persenjataan tersebut menyebabkan ELF tumbuh semakin kuat & bisa merekrut lebih banyak anggota. Jika pada tahun 1963 jumlah anggota ELF hanya sekitar 250 personil, pada tahun 1965 jumlahnya melonjak menjadi 2.000 personil. Saat kelompok tersebut tumbuh semakin besar, orang-orang Kristen Eritrea mulai banyak yang ikut bergabung dengan ELF.
Semakin kuatnya perlawanan yang ditunjukkan oleh ELF menyebabkan pasukan Ethiopia merasa kewalahan. Untuk mengatasinya, pemerintah Ethiopia yang dibantu oleh Israel & AS memutuskan untuk mengadopsi taktik pecah belah.
Pemerintah Ethiopia menawarkan pengampunan hukum kepada para anggota Kristen ELF jika mereka bersedia membelot. Hasilnya, pada tahun 1967 tokoh-tokoh Kristen ELF seperti Wolde Kahsai & Haile Woldetensae beramai-ramai membelot.
Siasat Ethiopia tersebut berjalan sesuai rencana. Saat jumlah milisi Kristen ELF yang membelot semakin banyak, para petinggi Muslim ELF berkesimpulan kalau komunitas Kristen Eritrea tidak bisa dipercaya. Dampaknya, mereka kini tidak segan-segan melakukan penyerangan & pembantaian kepada warga Kristen Eritrea.
Kebijakan ELF tersebut ganti mengundang rasa tidak suka dari sejumlah anggota ELF yang tidak sejalan. Maka, sejumlah anggota Muslim & Kristen ELF kemudian membentuk faksi tandingan yang bernama "Eslah" (Reformasi) dengan tujuan mengganti pemimpin ELF secara paksa. Selain mereka, sejumlah anggota wanita ELF juga menuntut pergantian kepemimpinan karena petinggi ELF dianggap bertindak diskriminatif kepada anggota ELF yang berjenis kelamin wanita.
Pecahnya ELF & Lahirnya EPLF
Tahun 1971, saat perpecahan internal yang menimpa ELF sudah demikian parah, sejumlah anggota ELF memutuskan untuk membelot & membentuk kelompok baru yang bernama ELF-PLF, atau yang kelak dikenal juga dengan nama EPLF (Eritrean People's Liberation Front; Front Pembebasan Rakyat Eritrea).
Hanya berselang setahun sesudah EPLF didirikan, ELF menyatakan perang kepada EPLF. Dampaknya, perang kemerdekaan Eritrea pun kini memasuki fase konflik segitiga antara ELF, EPLF, & pasukan pemerintah Ethiopia.
Prajurit wanita EPLF. (womeninislamjournal.com)
Karena ELF terbentuk lebih dulu & mendapatkan bantuan persenjataan dari negara-negara Muslim, ELF pada awalnya memiliki keunggulan atas EPLF. Namun EPLF memiliki keunggulan lain yang tidak dimiliki oleh ELF.
Isaias Afwerki selaku salah satu tokoh pendiri EPLF pernah menjalani latihan militer di Cina pada dekade 1960-an. Dengan memanfaatkan hasil latihannya tersebut, Afwerki berhasil menempa EPLF menjadi pasukan dengan tingkat kedisiplinan tinggi & mahir melakukan taktik perang gerilya.
Tidak seperti ELF yang semakin lama semakin bernuansa agama, EPLF berupaya mencitrakan dirinya sebagai kelompok yang bersedia merangkul golongan Kristen maupun Muslim supaya bisa mendapatkan dukungan & anggota baru sebanyak mungkin.
Sebagai contoh, pendirian EPLF dirintis oleh Afwerki yang beragama Kristen. Namun yang bertindak sebagai sekretaris jenderal EPLF adalah tokoh Muslim, Ramadan Muhammad Nur. Kemudian untuk meredam kemungkinan timbulnya perpecahan dari dalam, EPLF menerapkan tindakan keras kepada siapapun yang mempertanyakan keputusan petinggi EPLF.
Tahun 1974, sejumlah tentara Ethiopia melakukan kudeta & menahan Kaisar Haile Selaisse. Sadar kalau momen tersebut bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kemerdekaan Eritrea sesegera mungkin, pada bulan Oktober 1974 ELF & EPLF setuju untuk melakukan gencatan senjata.
Pembentukan federasi tersebut sayangnya tidak bertahan lama karena pemerintah pusat Ethiopia ingin memperkuat kendalinya atas wilayah Eritrea. Pada awalnya, bahasa Arab & Tigray (Tigrinya) merupakan bahasa resmi yang diakui di wilayah Eritrea. Namun pemerintah Ethiopia kemudian menghapuskan pendidikan bahasa Arab dari sekolah-sekolah Eritrea.
Tindakan pemerintah Ethiopia belum berhenti sampai di sana. Mereka juga cenderung memprioritaskan orang-orang Kristen Eritrea untuk menempati jabatan di lembaga pemerintahan. Kemudian untuk mencegah timbulnya gerakan perlawanan, aparat Ethiopia giat melakukan pengejaran & intimidasi kepada tokoh-tokoh pencetus kemerdekaan Eritrea. Akibatnya, banyak dari tokoh tersebut yang melarikan diri ke luar negeri.
Tahun 1962, pemerintah Ethiopia membubarkan Federasi Ethiopia & Eritrea. Wilayah Eritrea kemudian dilebur ke dalam wilayah Ethiopia & diubah statusnya menjadi provinsi biasa. Tak lama kemudian, pemerintahan Ethiopia melarang pendidikan bahasa Tigray di sekolah-sekolah. Sebagai akibatnya, bahasa Amhara selaku bahasa resmi Ethiopia kini menjadi satu-satunya bahasa yang boleh diajarkan di sekolah-sekolah Eritrea.
Rentetan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat Ethiopia
menyebabkan orang-orang Eritrea berkesimpulan kalau wilayah Eritrea harus menjadi negara merdeka supaya penduduknya memiliki kebebasan penuh
untuk mempraktikkan bahasa & budayanya sendiri. Dampaknya, mereka
pun kini mulai melirik taktik perlawanan bersenjata supaya bisa
mewujudkan kemerdekaan wilayahnya.
BERJALANNYA PERANG
Dimulai oleh ELF
Pada tahun 1960, sejumlah tokoh Muslim Eritrea yang dipimpin oleh Hamid Idris Awate membentuk kelompok bersenjata yang bernama Eritrean Liberation Front (ELF; Front Pembebasan Eritrea). ELF sesudah itu mulai merekrut anggota-anggota baru di wilayah Eritrea barat. Kemudian pada tahun 1962, sejumlah milisi Sudan menyeberang ke wilayah Eritrea untuk bergabung dengan ELF.
Karena ELF didirikan oleh orang-orang Islam Eritrea yang sedang berjuang di negara berpenduduk mayoritas Kristen, kelompok tersebut berhasil mendapatkan simpati dari negara-negara Muslim lainnya. Dampaknya, sejak tahun 1963 ELF menerima bantuan persenjataan dari Suriah, Irak, Iran, & Sudan. Cina juga mengirimkan bantuan senjata kepada ELF melalui perantaraan Sudan.
Pasukan ELF. (M. Tedla / semanticscholar.org)
Masuknya aliran persenjataan tersebut menyebabkan ELF tumbuh semakin kuat & bisa merekrut lebih banyak anggota. Jika pada tahun 1963 jumlah anggota ELF hanya sekitar 250 personil, pada tahun 1965 jumlahnya melonjak menjadi 2.000 personil. Saat kelompok tersebut tumbuh semakin besar, orang-orang Kristen Eritrea mulai banyak yang ikut bergabung dengan ELF.
Semakin kuatnya perlawanan yang ditunjukkan oleh ELF menyebabkan pasukan Ethiopia merasa kewalahan. Untuk mengatasinya, pemerintah Ethiopia yang dibantu oleh Israel & AS memutuskan untuk mengadopsi taktik pecah belah.
Pemerintah Ethiopia menawarkan pengampunan hukum kepada para anggota Kristen ELF jika mereka bersedia membelot. Hasilnya, pada tahun 1967 tokoh-tokoh Kristen ELF seperti Wolde Kahsai & Haile Woldetensae beramai-ramai membelot.
Siasat Ethiopia tersebut berjalan sesuai rencana. Saat jumlah milisi Kristen ELF yang membelot semakin banyak, para petinggi Muslim ELF berkesimpulan kalau komunitas Kristen Eritrea tidak bisa dipercaya. Dampaknya, mereka kini tidak segan-segan melakukan penyerangan & pembantaian kepada warga Kristen Eritrea.
Kebijakan ELF tersebut ganti mengundang rasa tidak suka dari sejumlah anggota ELF yang tidak sejalan. Maka, sejumlah anggota Muslim & Kristen ELF kemudian membentuk faksi tandingan yang bernama "Eslah" (Reformasi) dengan tujuan mengganti pemimpin ELF secara paksa. Selain mereka, sejumlah anggota wanita ELF juga menuntut pergantian kepemimpinan karena petinggi ELF dianggap bertindak diskriminatif kepada anggota ELF yang berjenis kelamin wanita.
Pecahnya ELF & Lahirnya EPLF
Tahun 1971, saat perpecahan internal yang menimpa ELF sudah demikian parah, sejumlah anggota ELF memutuskan untuk membelot & membentuk kelompok baru yang bernama ELF-PLF, atau yang kelak dikenal juga dengan nama EPLF (Eritrean People's Liberation Front; Front Pembebasan Rakyat Eritrea).
Hanya berselang setahun sesudah EPLF didirikan, ELF menyatakan perang kepada EPLF. Dampaknya, perang kemerdekaan Eritrea pun kini memasuki fase konflik segitiga antara ELF, EPLF, & pasukan pemerintah Ethiopia.
Prajurit wanita EPLF. (womeninislamjournal.com)
Karena ELF terbentuk lebih dulu & mendapatkan bantuan persenjataan dari negara-negara Muslim, ELF pada awalnya memiliki keunggulan atas EPLF. Namun EPLF memiliki keunggulan lain yang tidak dimiliki oleh ELF.
Isaias Afwerki selaku salah satu tokoh pendiri EPLF pernah menjalani latihan militer di Cina pada dekade 1960-an. Dengan memanfaatkan hasil latihannya tersebut, Afwerki berhasil menempa EPLF menjadi pasukan dengan tingkat kedisiplinan tinggi & mahir melakukan taktik perang gerilya.
Tidak seperti ELF yang semakin lama semakin bernuansa agama, EPLF berupaya mencitrakan dirinya sebagai kelompok yang bersedia merangkul golongan Kristen maupun Muslim supaya bisa mendapatkan dukungan & anggota baru sebanyak mungkin.
Sebagai contoh, pendirian EPLF dirintis oleh Afwerki yang beragama Kristen. Namun yang bertindak sebagai sekretaris jenderal EPLF adalah tokoh Muslim, Ramadan Muhammad Nur. Kemudian untuk meredam kemungkinan timbulnya perpecahan dari dalam, EPLF menerapkan tindakan keras kepada siapapun yang mempertanyakan keputusan petinggi EPLF.
Tahun 1974, sejumlah tentara Ethiopia melakukan kudeta & menahan Kaisar Haile Selaisse. Sadar kalau momen tersebut bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kemerdekaan Eritrea sesegera mungkin, pada bulan Oktober 1974 ELF & EPLF setuju untuk melakukan gencatan senjata.
Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan
Kerja Sama yang Tidak Bertahan Lama
Bulan Januari 1975, pasukan ELF & EPLF melakukan serangan gabungan dari 2 arah ke Asmara, kota terbesar di Eritrea. Selain melakukan serangan ke kota Asmara, pasukan ELF & EPLF juga melakukan serangan ke wilayah Eritrea lainnya. Namun berkat bantuan militer besar-besaran dari Uni Soviet, Ethiopia yang sekarang berstatus sebagai negara republik komunis berhasil mempertahankan kedudukannya di Eritrea.
Tahun 1978, pasukan ELF & EPLF melakukan serangan gabungan ke kota Barentu, Eritrea barat. Namun karena pasukan Ethiopia jauh lebih unggul dalam hal jumlah personil & kualitas persenjataan, serangan tersebut dipatahkan oleh pasukan Ethiopia. Pasca gagalnya serangan tersebut, Ethiopia yang diperkuat oleh 120.000 tentara & ratusan unit tank melancarkan serangan balik ke wilayah-wilayah kekuasaan ELF serta EPLF.
Pasukan Ethiopia. (martinplaut.com)
Kalah jauh dalam hal kekuatan, EPLF memutuskan untuk melarikan diri ke kawasan pegunungan & melanjutkan perlawanannya lewat taktik perang gerilya. Di lain pihak, ELF memilih untuk meladeni serangan pasukan Ethiopia tersebut. ELF merasa percaya diri bisa menahan gempuran pasukan Ethiopia karena mereka memiliki bantuan persenjataan dari negara-negara Muslim.
Serangan balik yang dilancarkan oleh pasukan Ethiopia sejak tahun 1978 juga berdampak pada retaknya kembali hubungan antara ELF & EPLF. ELF menuding kalau EPLF sudah mengkhianati ELF dengan cara kabur dari medan perang & bersembunyi di pegunungan.
EPLF balik membela diri dengan menyatakan bahwa ELF mencoba mengkhianati perjuangan kemerdekaan Eritrea dengan cara melakukan perundingan damai dengan Ethiopia secara diam-diam. Memburuknya kembali hubungan antara ELF dengan EPLF lantas memuncak menjadi perang terbuka di antara keduanya pada tahun 1980.
Saat pasukan ELF tengah sibuk bertempur melawan pasukan Ethiopia, pasukan EPLF secara tiba-tiba menyerang pasukan Ethiopia & merampas stok perbekalan serta persenjataan milik pasukan Ethiopia. Pasukan EPLF kemudian memanfaatkan stok persenjataan ini untuk menyerang pasukan ELF.
Pilihan taktik ini terbukti jitu. Pasukan ELF berhasil dipukul mundur hingga melarikan diri ke wilayah Sudan. Namun sesampainya mereka di wilayah Sudan, persenjataan para anggota ELF kemudian malah dilucuti oleh pasukan Sudan. Dengan terusirnya pasukan ELF dari wilayah Eritrea, EPLF kini bisa fokus mengkonsentrasikan kekuatannya untuk memerangi pasukan Ethiopia.
Iring-iringan kendaraan lapis baja pasukan Ethiopia. (darrel-betty-hagberg.com)
EPLF versus Ethiopia
Perjuangan EPLF dalam meladeni Ethiopia tidak lantas bisa dibilang mudah karena militer Ethiopia diperkuat oleh ratusan ribu tentara & aneka macam persenjataan canggih buatan Uni Soviet. Pada tahun 1982 misalnya, pasukan Ethiopia yang diperkuat oleh 100.000 tentara melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Eritrea.
Dalam serangan tersebut, pasukan Ethiopia juga melakukan serangan besar-besaran dari arah udara sembari menjatuhkan bom & gas beracun. Namun pasukan EPLF masih memiliki kartu trufnya sendiri. Mereka membuat pakaian pelindung & topeng gas darurat secara besar-besaran dengan memakai perlengkapan rumah tangga seadanya.
Pasukan EPLF juga membangun jaringan terowongan bawah tanah supaya mereka aman dari serangan udara pasukan Ethiopia. Kemudian saat serangan udara sudah berhenti, pasukan EPLF bisa keluar dari persembunyiannya untuk menyerang markas & pasukan darat Ethiopia secara tiba-tiba. Jika situasi sudah tidak lagi menguntungkan, pasukan EPLF hanya perlu melarikan diri ke terowongan bawah tanah tadi.
Berkat taktik tersebut, pasukan Ethiopia dalam operasi militernya di tahun 1982 gagal menghancurkan EPLF. Bukan hanya itu, Ethiopia juga harus kehilangan 33.000 tentaranya & sejumlah kerugian material yang nilainya tidak sedikit. Di pihak lawan, EPLF "hanya" menderita 2.000 korban tewas. Fenomena ini tak pelak membuat pasukan EPLF merasa semakin percaya diri & semakin yakin bisa memenangkan perang.
Tahun 1988, pasukan EPLF melancarkan serangan tiba-tiba ke pasukan Ethiopia yang sedang berkumpul di luar kota Afabet, sebelah utara Asmara. Akibat buruknya koordinasi antara sesama pasukan Ethiopia, pesawat Ethiopia dalam pertempuran tersebut malah menjatuhkan bom ke atas rekan-rekannya sendiri.
Saat pasukan darat Ethiopia mencoba kembali ke Afabet, pasukan Eritrea berhasil menjegal laju mereka dengan cara melumpuhkan tank Ethiopia yang ada di posisi terdepan. Terjebak dari segala penjuru, pasukan Ethiopia terpaksa menyerah. Dengan menyerahnya pasukan Ethiopia tersebut, pasukan EPLF bisa menguasai kota Afabet secara leluasa & merampas stok persenjataan di dalamnya.
Peta lokasi Afabet. (eritrea.be)
Keberhasilan pasukan EPLF menguasai Afabet menyebabkan pamor kelompok tersebut semakin meroket. Antara tahun 1988 hingga 1991, jumlah personil total EPLF dikabarkan naik hingga 3 kali lipat. Masalah makin runyam bagi Ethiopia setelah pada tahun 1988, pemerintah Uni Soviet mengumumkan kalau mereka menghentikan bantuan militernya kepada Ethiopia supaya bisa fokus menangani urusan domestiknya.
Terhentinya bantuan militer dari Uni Soviet menyebabkan pemerintah Ethiopia merasa semakin kelabakan. Pasalnya selain bertempur melawan EPLF, pasukan Ethiopia juga masih harus terlibat konflik melawan kelompok-kelompok pemberontak lain yang juga aktif di wilayah Ethiopia. Moral pasukan Ethiopia juga sedang berada di titik rendah karena banyak dari tentara Ethiopia aslinya hanyalah rakyat biasa yang direkrut paksa melalui sistem wajib militer.
Kerja Sama yang Tidak Bertahan Lama
Bulan Januari 1975, pasukan ELF & EPLF melakukan serangan gabungan dari 2 arah ke Asmara, kota terbesar di Eritrea. Selain melakukan serangan ke kota Asmara, pasukan ELF & EPLF juga melakukan serangan ke wilayah Eritrea lainnya. Namun berkat bantuan militer besar-besaran dari Uni Soviet, Ethiopia yang sekarang berstatus sebagai negara republik komunis berhasil mempertahankan kedudukannya di Eritrea.
Tahun 1978, pasukan ELF & EPLF melakukan serangan gabungan ke kota Barentu, Eritrea barat. Namun karena pasukan Ethiopia jauh lebih unggul dalam hal jumlah personil & kualitas persenjataan, serangan tersebut dipatahkan oleh pasukan Ethiopia. Pasca gagalnya serangan tersebut, Ethiopia yang diperkuat oleh 120.000 tentara & ratusan unit tank melancarkan serangan balik ke wilayah-wilayah kekuasaan ELF serta EPLF.
Pasukan Ethiopia. (martinplaut.com)
Kalah jauh dalam hal kekuatan, EPLF memutuskan untuk melarikan diri ke kawasan pegunungan & melanjutkan perlawanannya lewat taktik perang gerilya. Di lain pihak, ELF memilih untuk meladeni serangan pasukan Ethiopia tersebut. ELF merasa percaya diri bisa menahan gempuran pasukan Ethiopia karena mereka memiliki bantuan persenjataan dari negara-negara Muslim.
Serangan balik yang dilancarkan oleh pasukan Ethiopia sejak tahun 1978 juga berdampak pada retaknya kembali hubungan antara ELF & EPLF. ELF menuding kalau EPLF sudah mengkhianati ELF dengan cara kabur dari medan perang & bersembunyi di pegunungan.
EPLF balik membela diri dengan menyatakan bahwa ELF mencoba mengkhianati perjuangan kemerdekaan Eritrea dengan cara melakukan perundingan damai dengan Ethiopia secara diam-diam. Memburuknya kembali hubungan antara ELF dengan EPLF lantas memuncak menjadi perang terbuka di antara keduanya pada tahun 1980.
Saat pasukan ELF tengah sibuk bertempur melawan pasukan Ethiopia, pasukan EPLF secara tiba-tiba menyerang pasukan Ethiopia & merampas stok perbekalan serta persenjataan milik pasukan Ethiopia. Pasukan EPLF kemudian memanfaatkan stok persenjataan ini untuk menyerang pasukan ELF.
Pilihan taktik ini terbukti jitu. Pasukan ELF berhasil dipukul mundur hingga melarikan diri ke wilayah Sudan. Namun sesampainya mereka di wilayah Sudan, persenjataan para anggota ELF kemudian malah dilucuti oleh pasukan Sudan. Dengan terusirnya pasukan ELF dari wilayah Eritrea, EPLF kini bisa fokus mengkonsentrasikan kekuatannya untuk memerangi pasukan Ethiopia.
Iring-iringan kendaraan lapis baja pasukan Ethiopia. (darrel-betty-hagberg.com)
EPLF versus Ethiopia
Perjuangan EPLF dalam meladeni Ethiopia tidak lantas bisa dibilang mudah karena militer Ethiopia diperkuat oleh ratusan ribu tentara & aneka macam persenjataan canggih buatan Uni Soviet. Pada tahun 1982 misalnya, pasukan Ethiopia yang diperkuat oleh 100.000 tentara melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Eritrea.
Dalam serangan tersebut, pasukan Ethiopia juga melakukan serangan besar-besaran dari arah udara sembari menjatuhkan bom & gas beracun. Namun pasukan EPLF masih memiliki kartu trufnya sendiri. Mereka membuat pakaian pelindung & topeng gas darurat secara besar-besaran dengan memakai perlengkapan rumah tangga seadanya.
Pasukan EPLF juga membangun jaringan terowongan bawah tanah supaya mereka aman dari serangan udara pasukan Ethiopia. Kemudian saat serangan udara sudah berhenti, pasukan EPLF bisa keluar dari persembunyiannya untuk menyerang markas & pasukan darat Ethiopia secara tiba-tiba. Jika situasi sudah tidak lagi menguntungkan, pasukan EPLF hanya perlu melarikan diri ke terowongan bawah tanah tadi.
Berkat taktik tersebut, pasukan Ethiopia dalam operasi militernya di tahun 1982 gagal menghancurkan EPLF. Bukan hanya itu, Ethiopia juga harus kehilangan 33.000 tentaranya & sejumlah kerugian material yang nilainya tidak sedikit. Di pihak lawan, EPLF "hanya" menderita 2.000 korban tewas. Fenomena ini tak pelak membuat pasukan EPLF merasa semakin percaya diri & semakin yakin bisa memenangkan perang.
Tahun 1988, pasukan EPLF melancarkan serangan tiba-tiba ke pasukan Ethiopia yang sedang berkumpul di luar kota Afabet, sebelah utara Asmara. Akibat buruknya koordinasi antara sesama pasukan Ethiopia, pesawat Ethiopia dalam pertempuran tersebut malah menjatuhkan bom ke atas rekan-rekannya sendiri.
Saat pasukan darat Ethiopia mencoba kembali ke Afabet, pasukan Eritrea berhasil menjegal laju mereka dengan cara melumpuhkan tank Ethiopia yang ada di posisi terdepan. Terjebak dari segala penjuru, pasukan Ethiopia terpaksa menyerah. Dengan menyerahnya pasukan Ethiopia tersebut, pasukan EPLF bisa menguasai kota Afabet secara leluasa & merampas stok persenjataan di dalamnya.
Peta lokasi Afabet. (eritrea.be)
Keberhasilan pasukan EPLF menguasai Afabet menyebabkan pamor kelompok tersebut semakin meroket. Antara tahun 1988 hingga 1991, jumlah personil total EPLF dikabarkan naik hingga 3 kali lipat. Masalah makin runyam bagi Ethiopia setelah pada tahun 1988, pemerintah Uni Soviet mengumumkan kalau mereka menghentikan bantuan militernya kepada Ethiopia supaya bisa fokus menangani urusan domestiknya.
Terhentinya bantuan militer dari Uni Soviet menyebabkan pemerintah Ethiopia merasa semakin kelabakan. Pasalnya selain bertempur melawan EPLF, pasukan Ethiopia juga masih harus terlibat konflik melawan kelompok-kelompok pemberontak lain yang juga aktif di wilayah Ethiopia. Moral pasukan Ethiopia juga sedang berada di titik rendah karena banyak dari tentara Ethiopia aslinya hanyalah rakyat biasa yang direkrut paksa melalui sistem wajib militer.
Cara mudah Mendapatkan penghasilan Alternatif yang bisa anda andalkan
Dengan memanfaatkan momen tersebut, EPLF pada tahun 1989 memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan kelompok-kelompok pemberontak Ethiopia lainnya. Hasilnya, pada bulan Februari pasukan EPLF & sekutunya berhasil menguasai Provinsi Tigray, provinsi yang memisahkan wilayah Eritrea dengan ibukota Ethiopia.
Dikuasainya Tigray menyebabkan pasukan Ethiopia yang masih berada di wilayah Eritrea berada dalam posisi terisolasi. Hasilnya, memasuki tahun 1991 pasukan EPLF berhasil menguasai kota-kota penting yang ada di wilayah Eritrea.
Sementara di sebelah selatan, kelompok-kelompok pemberontak Ethiopia berhasil memasuki ibukota Ethiopia, Addis Ababa, pada bulan Mei 1991. Masuknya mereka ke ibukota Ethiopia sekaligus menandai berakhirnya perang saudara Ethiopia & perang kemerdekaan Eritrea dengan kemenangan pihak pemberontak, termasuk EPLF.
Pasukan EPLF yang sedang merayakan kemenangan. (martinplaut.com)
Dengan memanfaatkan momen tersebut, EPLF pada tahun 1989 memutuskan untuk menjalin kerja sama dengan kelompok-kelompok pemberontak Ethiopia lainnya. Hasilnya, pada bulan Februari pasukan EPLF & sekutunya berhasil menguasai Provinsi Tigray, provinsi yang memisahkan wilayah Eritrea dengan ibukota Ethiopia.
Dikuasainya Tigray menyebabkan pasukan Ethiopia yang masih berada di wilayah Eritrea berada dalam posisi terisolasi. Hasilnya, memasuki tahun 1991 pasukan EPLF berhasil menguasai kota-kota penting yang ada di wilayah Eritrea.
Sementara di sebelah selatan, kelompok-kelompok pemberontak Ethiopia berhasil memasuki ibukota Ethiopia, Addis Ababa, pada bulan Mei 1991. Masuknya mereka ke ibukota Ethiopia sekaligus menandai berakhirnya perang saudara Ethiopia & perang kemerdekaan Eritrea dengan kemenangan pihak pemberontak, termasuk EPLF.
Pasukan EPLF yang sedang merayakan kemenangan. (martinplaut.com)
KONDISI PASCA PERANG
Menyusul keberhasilan EPLF memenangkan perang, wilayah Eritrea kemudian menggelar referendum kemerdekaan pada tahun 1993 dengan diawasi oleh PBB. Hasilnya, referendum tersebut berhasil dimenangkan oleh golongan pendukung kemerdekaan dengan perolehan suara mencapai 99 persen.
Tahun 1994 alias setahun setelah Eritrea resmi menjadi negara merdeka, EPLF berubah menjadi partai politik dengan nama "People’s Front for Democracy and Justice" (PFDJ; Front Rakyat untuk Demokrasi & Keadilan). Sementara Afwerki selaku pemimpin EPLF / PFDJ menjadi presiden negara muda tersebut.
Kemerdekaan Eritrea seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Afwerki untuk memajukan negaranya. Namun sayang, karena Afwerki bersikap terlalu paranoid terhadap orang-orang di sekitarnya, Afwerki mengubah Eritrea menjadi negara kediktatoran yang begitu tertutup. Sampai-sampai ada yang menjuluki Eritrea sebagai "Korea Utaranya Afrika" (Africa's North korea).
Sebagai contoh, sejak merdeka hingga sekarang, yang menjabat sebagai presiden Eritrea adalah Afwerki. Eritrea hingga sekarang juga tidak pernah menggelar pemilu. Orang-orang yang dulu pernah membantu Afwerki selama perang kemerdekaan beramai-ramai diasingkan hanya karena meminta upah yang layak.
Sejak menjadi negara merdeka, jabatan presiden Eritrea selalu ditempati oleh Isaias Afwerki. (shabait.com)
Kebijakan otoriter Afwerki belum berhenti sampai di sana. Ia menerapkan kontrol ketat atas media & informasi yang beredar di Eritrea. Mereka yang mengkritik Afwerki bakal langsung ditangkap. Rakyat Eritrea diharuskan menjalani wajib militer yang durasinya bisa mencapai puluhan tahun. Sebagai akibatnya, banyak rakyat Eritrea yang melarikan diri ke luar negeri karena ingin menghindari kemiskinan & wajib militer di negaranya.
Dalam hal hubungan luar negeri, Eritrea juga memiliki hubungan buruk dengan negara-negara tetangganya akibat masalah sengketa wilayah. Sejak menjadi negara merdeka, Eritrea diketahui pernah terlibat perang melawan Ethiopia, Djibouti, Sudan, & Yaman. Kemudian sejak tahun 2020, Eritrea juga terlibat konflik melawan kelompok TPLF di Ethiopia utara.
Seringnya Eritrea terlibat konflik lantas menjadi ironi tersendiri karena Eritrea aslinya bukanlah negara kaya. Uang yang selama ini digunakan untuk membiayai perang sebenarnya bisa digunakan untuk memajukan infrastruktur Eritrea & memakmurkan rakyatnya. Eritrea memang sudah lama merdeka, namun rakyat mereka masih harus hidup dalam belenggu.
https://www.re-tawon.com/2022/01/per...hilangnya.html
Menyusul keberhasilan EPLF memenangkan perang, wilayah Eritrea kemudian menggelar referendum kemerdekaan pada tahun 1993 dengan diawasi oleh PBB. Hasilnya, referendum tersebut berhasil dimenangkan oleh golongan pendukung kemerdekaan dengan perolehan suara mencapai 99 persen.
Tahun 1994 alias setahun setelah Eritrea resmi menjadi negara merdeka, EPLF berubah menjadi partai politik dengan nama "People’s Front for Democracy and Justice" (PFDJ; Front Rakyat untuk Demokrasi & Keadilan). Sementara Afwerki selaku pemimpin EPLF / PFDJ menjadi presiden negara muda tersebut.
Kemerdekaan Eritrea seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Afwerki untuk memajukan negaranya. Namun sayang, karena Afwerki bersikap terlalu paranoid terhadap orang-orang di sekitarnya, Afwerki mengubah Eritrea menjadi negara kediktatoran yang begitu tertutup. Sampai-sampai ada yang menjuluki Eritrea sebagai "Korea Utaranya Afrika" (Africa's North korea).
Sebagai contoh, sejak merdeka hingga sekarang, yang menjabat sebagai presiden Eritrea adalah Afwerki. Eritrea hingga sekarang juga tidak pernah menggelar pemilu. Orang-orang yang dulu pernah membantu Afwerki selama perang kemerdekaan beramai-ramai diasingkan hanya karena meminta upah yang layak.
Sejak menjadi negara merdeka, jabatan presiden Eritrea selalu ditempati oleh Isaias Afwerki. (shabait.com)
Kebijakan otoriter Afwerki belum berhenti sampai di sana. Ia menerapkan kontrol ketat atas media & informasi yang beredar di Eritrea. Mereka yang mengkritik Afwerki bakal langsung ditangkap. Rakyat Eritrea diharuskan menjalani wajib militer yang durasinya bisa mencapai puluhan tahun. Sebagai akibatnya, banyak rakyat Eritrea yang melarikan diri ke luar negeri karena ingin menghindari kemiskinan & wajib militer di negaranya.
Dalam hal hubungan luar negeri, Eritrea juga memiliki hubungan buruk dengan negara-negara tetangganya akibat masalah sengketa wilayah. Sejak menjadi negara merdeka, Eritrea diketahui pernah terlibat perang melawan Ethiopia, Djibouti, Sudan, & Yaman. Kemudian sejak tahun 2020, Eritrea juga terlibat konflik melawan kelompok TPLF di Ethiopia utara.
Seringnya Eritrea terlibat konflik lantas menjadi ironi tersendiri karena Eritrea aslinya bukanlah negara kaya. Uang yang selama ini digunakan untuk membiayai perang sebenarnya bisa digunakan untuk memajukan infrastruktur Eritrea & memakmurkan rakyatnya. Eritrea memang sudah lama merdeka, namun rakyat mereka masih harus hidup dalam belenggu.
https://www.re-tawon.com/2022/01/per...hilangnya.html