Senin, 20 Januari 2020

Mau Dibawa Kemana TVRI?


Di tengah hiruk pikuk korupsi Jiwasraya, penyuapan Parpol ke Lembaga  KPU, pro kontra anggaran Gubernur DKI, ada kemelut di TVRI yang luput dari perhatian kita. Jika tak ada yang peduli, kita telah membiarkan sebuah potensi negara yang sedang dimatikan; TVRI dan Helmy Yahya. 

Mendengar kata TVRI, bayangan saya merujuk pada orangtua yang jalannya terengah-engah menjelang pensiun di usia renta. Program yang asal siar, yang belum tentu orang nonton. Tapi mengingat perjuangan TVRI semenjak dipegang Ishadi SK, saya harus memberi hormat tanpa rasa sungkan dengan sesekali melihat Dunia Dalam Berita atau Melodi Memori. Pak Is telah berjasa memberi landasan di televisi pertama di Indonesia yang tak bisa dilupakan begitu saja. 

Sesudah era itu TVRI seperti orangtua yang hidup segan matipun susah. Pertama karena anggaran kecil, tapi TVRI harus tetap ada. Buasiness as ussual. Namun tidak mudah mencari orang kreatif di bidang media hiburan ( televisi), apalagi mau berjuang untuk mengembalikan kejayaan TVRI seperti dulu ketika belum ada pesaing. 

Ketika mendengar TVRI dipegang Helmy Yahya, saya mulai melirik. Saya berharap anak muda ini masih kreatif seperti saat ia berada dalam kegairahan basket atau kuis televisi. TVRI tidak boleh mati karena ia asset negara dan legacy sebuah sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Tak berarti TVRI lalu asal hidup dan memghabiskan anggaran. TVRI perlu seorang yang berdedikasi seperti Ishadi Sk dan itu ada pda Helmy Yahya. 

Dari Stasiun Televisi berkonotasi “ corong pemerintah”, TVRI kembali menjadi TV publik dilihat dari acara-acaranya yang mulai menswasta alias program yang dikehendaki pemirsa. TVRI sekarang juga tampak mampi memberi porsi banyak pihak, termasuk kaum milenial. 

Untuk mengejar rating seperti TV swasta lain, TVRI mesti berani mengeluarkan dana banyak dengan membeli program andalan atau membuat program yang disukai. Itu tidak gampang. Butuh otak encer, perlu tim work yang solid dan tentu dana melimpah. Seumpama lomba marathon, TV swasta sudah menempuh 5  putaran, TVRI baru start lagi. 

Siapa sangka,  dalam dua tahun terakhir ini, audiense share TVRI naik dua kali lipat. Terakhir saya lihat TVRI ada di peringkat 9 dari Top 10 Audience Share TV. Sungguh tidak mudah bagi TVRI menuju ke etape itu kalau semua tim TVRI tak punya keinginan ke sana. Magnetnya ada di Helmy Yahya, mau tak mau. 

Ia bukan orang baru di dunia hiburan apalagi televisi. Saya melihat kiprahnya sejak di lapangan basket lalu berbagai event organizer dan masuk tv lewat kuis bersama Ibu Ani Sumadi. Helmy juga pernah dijuluki Raja Kuis. Yang membuat ia heibat adalah mau belajar dari siapapun dan rendah hati merangkul semua karyawan TVRI. Ia tak pernah berhenti berpikir untuk sebuah keberhasilan apa yang ia tangani. Itu yang membuat semua tim TVRI solid. 

Kalau tak keliru, saat Helmy masuk TVRI, kondisi akuntabilitas keuangan dan barang milik negara tiga tahun berturut-turut  2014, 2015 dan 2016 dinilai oleh BPK ( Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai Tidak Memberikan Pendapat (TMP), tahun 2017, TVRI baru mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan untuk tahun 2018 Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK untuk pertama kalinya. Sebuah prestasi yang layak dibanggakan sebagai seorang Dirut. 

Untuk memberikan trust, TVRI berani melakukan Penandatangan MOU kerjasama BPK dan TVRI mencakup berbagai hal terutama masalah transparansi hasil pemeriksaan BPK sebagai bagian dari akuntabilitas. Dari sini tampak bahwa jika Helmy main-main dengan penyelewengan, ia pasti bunuh diri. Ini seperti menantang dirinya dan Tim TVRI bahwa TVRI bersih dan siap maju dan berkompetisi, meski dengan anggatan cekak. 

Sebelum Helmy masuk, sepertinya TVRI telah menjadi perusahaan televisi tanpa corporate culture. Helmi  mengubah brand TVRI yang sudah kuat menjadi modern. Mengenyahkan kesan TV corong pemerintah dan birokratif. Tulisan TVRI dengan bulatan gagah warna solid. Hasilnya di internal  terlihat karyawan TVRI begitu bangga memakai logo itu pada seragam mereka. Layaknya logo tv lain seperti MetroTV atau TransTV.  Sebuah pride yang tak ada sebelum Helmy masuk ke sana. 

Bukan hanya soal tampak imej tua yang dirombak, yang berhasil diubah adalah juga peralatan di TVRI. Peralatan siaran maupun produksi sudah mulai ada perubahan meski dengan dana terbatas. Bekerjasama dgn BMKG, TVRI memiliki program menarik dan kekinian. Bagi yang ingin tahu informasi cuaca, cukup pindai dengan kamera HP barcode atau Quick Respond Code di layar kanan bawah TVRI. Ini TVRI pertama melakukannya dan itu sentuhan anak muda banget. Ia tak peduli berapa usia medianya tapi ia pengin tetap eksis dan tak ketinggalan zaman. Helmy ingin menciptakan trendsetter. Ia ingin sebanyak mungkin pemirsa sekarang nonton TVRI. “ Kami kembali,” katanya. 

Yang paling menarik dari semua itu adalah respon biro iklan yang menjadi nafas sebuah stasiun televisi. Jika dulu marketingnya saja malas dan malu melakukan penjualan, dibawah Helmy orang marketing giat jualan, disambut biro iklan yang sering mengundang untuk meeting dalam menentukan belanja iklan di TVRI. Dulu, mana pernah hal ini terjadi. Itu tentu kerja yang bukan main-main dari sebuah perusahaan yang telah memahami corporate culture dan kepercayaan. 

Salah satu moment adalah ketika ada 50.000 slice pizza dibagikan saat kegiatan TVRI-Paparons Peduli Banjir ke berbagai lokasi banjir di Jabodetabek. Ini bukti diterimanya TVRI oleh mitra produk. Produk menganggap TVRI cocok dalam penyebaran brand produk. Itu sebabnya banyak orang meminta kerjasama TVRI. 

Kalau anda biasa nongkrong di cafe di TVRI, pasti melihat banyak mobil yang nongkrong di tempat parkir gedung TVRI. Dari obrolan orang cafe kita bisa mendengar bagaimana orang-orang TVRI punya kebisaan baru orang-orang sukses ; datang ke kantor lebih awal, pulang kerja paling akhir. Itu yang dilakukan orang-orang berhasil. Tim TVRI melakukan itu. Termasuk Dirutnya, Helmy himself ! Saya teringat zaman Ignatius Jonan mulai membenahi KAI. Datang pagi, rapat malam dan tidurpun bisa di ruang kerja. Itu semua dilakukan karena integritas, kecintaan dan profesionalitas. 

Dua event olahraga besar digagas TVRI; Kejuaran Bulutangkis Indonesia Master dan Liga Inggris yang memainkan tim-tim terbaik sebagai upaya TVRI mengejar TV swasta dan memenuhi harapan pemirsanya. Itu tidak salah. TVRI banyak dipuja penggemar bola. Pujian datang darimana-mana. Semua orang mengarah ke TVRI gara-gara Liga dan Bulutangkis ini. 

Dari semua catatan tercecer yang bisa terangkum ini, bayangan saya sudah beralih dari TVRI sebagai stasiun TV yang tua tertatih lelah, berubah menjadi pria dewasa yang sedang bergairah ikut lomba lari dengan anak-anak muda perkasa yang kelebihan dana. Kalau sekarang TVRI berlari di urutan ke-9 di atas TVOne dan dibawah TransTV, siapa tahu dengan anggaran yang lebih TVRI bisa menyusul TV lain yang berlebih dana. Helmy seperti memberi pesan,” Ini lho kalau kami diberi anggaran longgar, TVRI siap berkompetisi dan berjaya lagi seperti dulu”. 

Namun publik kecewa ketika membaca berita bahwa Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI diberhentikan oleh Dewas ( Dewan Pengawas) dengan berbagai alasan yang tampaknya dicari-cari. 

Dirut disalahkan mengenai pembelian program Liga Inggris yang dianggap terlalu tinggi dari pelaksanaan tertib administrasi anggaran TVRI, lalu ketidaksesuaian pelaksanaan rebranding TVRI dengan Rencana Kerja Anggaran Tahunan 2019 yang sudah ditetapkan Dewan Pengawas. Ketiga, adanya mutasi pejabat struktural yang tidak sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), termasuk soal penunjukan Kuis Siapa Berani. 

Bayangkan, anda diminta memajukan TVRI, lalu Direksi sepakat membuat inovasi dan terobosan. Sesudah nama TVRI kembali terangkat, lalu anda dinilai telah melanggar tertib administrasi. Ini memang jamak terjadi di pemerintahan yang kaku dengan Dewas sebagai “ killer”. Di swasta, keberhasilan diukur dari pencapaian. Tak peduli anda berimprovisasi asal bisa dipertanggungjawabkan dan membawa profit. Saya lalu paham mengapa kelima Direksi TVRI kemarin berani memborgol kamar Dewas sebagai dukungan terhadap Dirut mereka. 

Dewas rupanya fokus pada administratif di atas kertas dan tidak melihat perubahan evolusi yang telah diraih TVRI oleh Helmi Yahya dan Tim TVRI. Percuma dulu ada tekad antara Direksi TVRI dan Dewas untuk mengembalikan kejayaan TVRI lewat taglines “ Kami Kembali.”

Inilah nasib TVRI. Saat namanya tengah kembali menuju tangga kejayaan yang dilakukan para direksinya, tiba-tiba direnggut dengan otoritas yang dimiliki Dewas. Jangan-jangan ada pihak yang tak suka TVRI berjaya lalu mencari alasan dengan membunuh potensi yang ada. Celakanya itu ada pada Helmy. 

Untuk itu saya memahami dan mendorong Helmy untuk melawan keputusan yang tidak hanya menyakitkan bagi dirinya sebagai Dirut, tapi juga kelangsungan masa depan TVRI yang makin tidak jelas nantinya. Saya berharap DPR dan para petinggi negeri ini dapat melihat kepentingan TVRI di tengah masa depan yang lebih bermanfaat dan kasus ini ditutup dengan everybody is happy demi TVRI. 

Seorang Helmy  Yahya, saya percaya, dengan mudah bisa menciptakan kegiatan baru yang memberinya pekerjaan dan manfaat andai ia tak kuasa melawan dan semua tak membantu, tapi TVRI tanpa Helmy perlu waktu lama untuk bisa menemukan orang yang bisa berteriak lantang dan mewujudkan gairah “ We Are Back”.........

MS
OmahGebyok 20.01.20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar