Senin, 17 Oktober 2022

Insiden Dyatlov Pass

 'Insiden Dyatlov Pass', Ketika 9 Mahasiswa Ditemukan Tewas Secara Misterius di Pegunungan Ural


Nieko Octavi Septiana
Senin, 21 Oktober 2019 | 17:00 WIB

 
Insiden Dyatlov Pass
Insiden Dyatlov Pass, ketika sembilan pendaki ditemukan tewas secara misterius di Pegunungan Ural (Russian National Archives via All That's Interesting)

Intisari-Online.com - Januari 1959, sembilan mahasiswa Soviet tewas dalam keadaan misterius saat hiking melalui Pegunungan Ural, kejadian ini sekarang dikenal dengan 'Insiden Dyatlov Pass'.

Kala itu, Igor Alekseyevich Dyatlov seorang pendaki ski berusia 23 tahun memulai perjalanan untuk mencapai puncak Otorten.

Mahasiswa Soviet itu membawa tim yang terdiri dari delapan pendaki berpengalaman dari Institut Politeknik Ural bersamanya untuk bertualang pada 31 Januari 1959.

Sebelum dia pergi, Dyatlov mengatakan kepada klub olahraganya bahwa dia dan timnya akan mengirimi mereka telegram segera setelah mereka kembali.

Dari kamera dan buku harian yang ditemukan di lokasi kematian, para penyelidik dapat menyimpulkan bahwa pada tanggal 1 Februari, tim hiking mulai menempuh jalan ke Otorten.

Mereka dihantam badai salju, berkurangnya visibilitas menyebabkan tim kehilangan arah mereka, alih-alih berjalan ke Otorten, mereka secara tidak sengaja menyimpang ke barat dan menemukan diri mereka berada di lereng gunung.

Gunung ini dikenal sebagai Kholat Syakhl, yang berarti "Gunung Mati" dalam bahasa penduduk asli Mansi di wilayah tersebut.

Untuk menghindari kehilangan ketinggian yang telah mereka peroleh, atau mungkin hanya karena tim ingin berlatih berkemah di lereng gunung sebelum pendakian mereka di Otorten, Dyatlov menyerukan agar kamp dibuat di sana.

Di lereng gunung yang sepi inilah kesembilan pendaki gunung akan menemui ajalnya.

Pencarian

Sampai 20 Februari masih belum ada komunikasi dari pendaki, regu pencari disiapkan.

Pasukan penyelamat sukarela menemukan lokasi perkemahan tetapi tidak ada pendaki - jadi penyelidik tentara dan polisi dikirim untuk menentukan apa yang terjadi pada para siswa yang hilang.

Ketika mereka tiba di gunung, para penyelidik tidak berharap. Meskipun para siswa adalah pejalan kaki yang berpengalaman, rute yang mereka pilih sangat sulit.

Mereka akhirnya menemukan mayat para siswa - namun keadaan di mana mereka menemukan mayat hanya menimbulkan lebih banyak pertanyaan.

Ketika mereka tiba di perkemahan, hal pertama yang diperhatikan oleh penyelidik adalah tenda telah dibuka dari dalam, dan sebagian besar barang milik tim - termasuk beberapa pasang sepatu - telah ditinggalkan di sana.

Mereka kemudian menemukan delapan atau sembilan set jejak kaki dari tim, banyak dari jejak itu jelas dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenakan kaus kaki atau sepatu di kaki mereka.

Jejak ini mengarah ke tepi hutan terdekat, hampir satu mil jauhnya dari kamp.

Insiden Dyatlov Pass
Kondisi kamp yang ditemukan tim penyelamat pad 26 Februari 1959 (Wikimedia Commons via All That's Interesting)

Di tepi hutan, di bawah pohon aras besar, para penyelidik menemukan sisa-sisa api kecil dan dua mayat pertama: Yuri Krivonischenko (23) dan Yuri Doroshenko (21). Meskipun suhu −13 hingga −22 ° F pada malam hari kematian mereka, tubuh kedua pria itu ditemukan tanpa sepatu dan hanya mengenakan pakaian dalam.

Mereka kemudian menemukan tiga mayat berikutnya, Dyatlov, Zinaida Kolmogorova (24), dan Rustem Slobodin (23), yang meninggal dalam perjalanan kembali ke kamp dari pohon aras.

Meskipun situasinya aneh, penyebab kematiannya jelas: semua siswa meninggal karena hipotermia. Tubuh mereka tidak menunjukkan indikasi kerusakan eksternal yang parah di luar apa yang ditimbulkan oleh hawa dingin.

Tidak sampai empat mayat lainnya ditemukan dua bulan kemudian bahwa misteri semakin dalam.

Para siswa yang tersisa ditemukan terkubur di bawah salju di jurang 75 meter lebih dalam ke dalam hutan dari pohon aras, dan tubuh mereka menceritakan kisah yang secara dramatis berbeda dari anggota kelompok lainnya.

Tiga dari pendaki mengalami cedera fatal, termasuk Nicolai Thibeaux-Brignolles (23), yang menderita kerusakan tengkorak pada saat-saat sebelum kematiannya. Lyudmila Dubinina (20), dan Semyon Zolotaryov, (38), memiliki patah tulang dada besar yang hanya bisa disebabkan oleh kekuatan yang sangat besar, sebanding dengan kecelakaan mobil.

Di bagian paling mengerikan dari insiden, Dubinina kehilangan lidah, mata, bagian bibirnya, serta jaringan wajah dan potongan tulang tengkoraknya.

Mereka juga menemukan mayat Alexander Kolevatov (24) di lokasi yang sama tetapi tanpa luka parah.

Kelompok tubuh kedua ini memberi kesan bahwa para pendaki telah meninggal pada waktu yang sangat berbeda; mereka tampaknya memanfaatkan pakaian orang-orang yang mati sebelum mereka.

Kaki Dubinina terbungkus sepotong celana wol Krivonischenko, dan Zolotaryov ditemukan dalam mantel dan topi bulu palsu Dubinina - menunjukkan ia telah mengambilnya dari dia setelah dia meninggal, sama seperti yang diambilnya dari Krivonischenko.

Para Ahli Berjuang Mencari Tahu Apa yang Terjadi

Pada awalnya, banyak orang Soviet curiga bahwa kematian para siswa adalah akibat dari penyergapan oleh anggota suku Mansi setempat.

Serangan mendadak akan menjelaskan cara pendaki meninggalkan tenda mereka, kekacauan, dan kerusakan yang terjadi pada kelompok tubuh kedua.

Insiden Dyatlov Pass
Tubuh Yuri Krivonischenko dan Yuri Doroshenko (Russian National Files via All That's Interesting)

Tetapi penjelasan itu dielak dengan cepat; orang-orang Mansi damai, dan bukti di Dyatlov Pass tidak mendukung konflik manusia yang kejam.

Kerusakan yang dilakukan pada tubuh siswa melebihi trauma kekuatan tumpul yang dapat ditimbulkan oleh satu manusia pada orang lain. Juga tidak ada bukti jejak kaki di gunung selain yang dibuat oleh pendaki itu sendiri.

Penyelidik kemudian berpikir tentang longsoran yang cepat dan keras. Suara salju runtuh, peringatan awal banjir yang akan datang, akan menakuti para pendaki dari tenda mereka dalam keadaan tidak berpakaian dan membuat mereka berlari kencang menuju garis pohon.

Longsoran salju juga akan cukup kuat untuk menimbulkan cedera yang menewaskan kelompok siswa kedua.

Teori Lain Tentang Insiden Dyatlov Pass

Terlepas dari teori longsoran yang meyakinkan, kontroversi berkecamuk. Akankah pejalan kaki berpengalaman membuat kemah di tempat yang rentan terhadap longsoran salju?

Kemudian, juga, ada fakta bahwa ketika para penyelidik menemukan mayat-mayat itu, mereka tidak menemukan bukti bahwa terjadi longsor di wilayah tersebut.

Beberapa orang mencoba menjelaskan perilaku aneh para pendaki dan kurangnya pakaian dengan pandangan mendalam tentang efek hipotermia.

Irasionalitas adalah tanda awal hipotermia yang umum, ketika seorang korban mendekati kematian, mereka mungkin secara paradoks menganggap diri mereka terlalu panas - melepas pakaian mereka.

Namun hipotermia tidak menjelaskan mengapa para pejalan kaki meninggalkan tenda mereka dalam kepanikan di tempat pertama.

Beberapa orang juga mulai membuat teori bahwa tim pendaki tersandung ke dalam tempat Uni Soviet menguji senjata concussive atau mungkin latihan ranjau parasut.

Penjelasan ini populer karena sebagian didukung oleh kesaksian dari kelompok hiking lain yang berkemah 50 kilometer dari tim Dyatlov Pass pada malam yang sama.

Kelompok lain ini berbicara tentang bola oranye aneh yang melayang di langit di sekitar Kholat Syakhl - sebuah pemandangan yang ditafsirkan oleh teori ini sebagai ledakan dari kejauhan.

Hipotesisnya adalah bahwa suara gegar mendorong para pendaki dari tenda mereka dengan panik.

Setengah berpakaian, kelompok pertama meninggal karena hipotermia ketika mencoba berlindung dari ledakan dengan menunggu di dekat garis pohon.

Kelompok kedua, setelah melihat kelompok pertama membeku, bertekad untuk kembali untuk mengambil barang-barang mereka tetapi menjadi korban hipotermia juga, sementara kelompok ketiga terperangkap dalam ledakan baru lebih jauh ke dalam hutan dan meninggal karena luka-luka mereka.

Melansir CNN (4/2/2019), kasus ini dibuka lagi oleh pemerintah Rusia setelah menjadi misteri selama 60 tahun.

Sumber: https://intisari.grid.id/read/031891...ragis?page=all


Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

 Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!


Terkadang kita kalau melihat sejarah pasti patokannya pada jurnal, pada buku-buku sekolah yang pakemnya sesuai kurikulum. Padahal sejarah itu luas, ada yang tertulis dan tidak bahkan sejarah juga banyak yang berupa mitos dan legenda.

Ada juga sejarah berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, namun buktinya memang terlihat ada tapi validitasnya lemah hingga akhirnya menjadi cerita rakyat.

Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

Nah, kita akan bahas sejarah yang mungkin tidak tercetak di dalam buku sejarah di sekolah tentang seorang biksu yang protes hingga membakar diri di tanggal 11 Juni 1963.

Kejadian ini berada di Vietnam, dimana saat itu seorang biksu tua yang bernama Thich Quang Duc, melakukan protes terhadap diskriminasi yang dilakukan pemerintah Vietnam.

Mungkin kalau di Indonesia aksi-aksi protes sering dilakukan oleh elemen mahasiswa dan budayawan, bahkan ada juga tokoh agamawan seperti Kiai dan Ustad yang sempat melakukan demo. Nah, kalau di Vietnam tokoh agamawan mereka itu adalah Biksu yang ikut protes.

Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

Disaat itu memang sedang terjadi perang Vietam antara 1962-1967, nah saat itu pada 1963, Vietnam Selatan dipimpin oleh Presiden Ngo Dinh Diem.

Diem ini dibantu oleh sokongan dari Amerika, yang saat itu juga ikutan perang di Vietnam. Namun sebelum kita bahas apa yang dilakukan Diem, kita bahas dulu tentang Thich Quang Duc.

Thich Quang Duc sendiri nama kecilnya adalah Lam Van Tuc, ia mendapatkan pelajaran Buddha dari pamannya langsung, hingga umur 15 tahun dia sudah menjadi calon biksu. Atau lebih dikenal dengan Samanera, hingga di umur 20 tahun ia mendapatkan nama darma Thich Quang Duc.

Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

Oke kita balik lagi ke kisah sejarah kenapa bisa ada protes, jadi di tahun 1963 ini di Vietnam itu 70% penduduknya beragama Buddha, namun Diem yang beragama Katolik selalu bertindak diskriminatif terhadap masyarakat beragama Buddha.

Jadi ada tindakan pelarangan ibadah, bahkan ditekan juga hak-haknya seperti bantuan yang diterima oleh desa Katolik akan lebih banyak dibandingkan dengan desa beragama Buddha, jadi jelas tujuan Diem melakukan itu untuk mengkatolikkan Vietnam.

Akhirnya kemarahan orang Buddha ini meledak ketika ada pelarangan bendera Buddhist dikibarkan saat Waisak, nah hal itu memicu demo namun saat itu mereka yang berdemo malah ditembak hingga ada yang meninggal 9 orang.

Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

Namun ketika demo ada yang meninggal biasanya demo akan lebih meluas dan sporadis, ini juga terjadi di Vietnam. Dimana demo semakin meluas untuk menuntut kesetaraan dalam beragama.

Thich Quang Duc sendiri saat itu sudah jadi biksu penting dan membangun 30 kuil di Vietnam, bisa dikatakan biksu senior. Sehari sebelum kejadian pada 10 Juni 1963, ada kabar bahwa akan ada kejadian besar di depan Kedutaan Besar Kamboja di Saigon. Namun kabar itu tak dianggap oleh banyak wartawan, dan besoknya hanya ada beberapa wartawan asing yang muncul seperti David dari New York Times, dan Malcolm Browne dari Kepala Biro Saigon untuk Associated Press.

Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

Tak lama kemudian Duc datang dengan 350 biksu dan biksuni berbaris. Iring-iringan itu dipimpin sebuah sedan Westminste. Setelah di depan kedutaan itu Duc keluar dari mobilnya diikuti oleh dua biksu lainnya, yang satu menaruh alas untuk duduk yang satunya lagi ngeluarin bensin.

Duc sendiri berada di tengah jalan duduk dengan posisi Lotus, dikelilingi oleh iring-iringan tadi. Warga yang penasaran juga mulai mengerubuti Duc, lalu saat itu pembakaran diri pun dimulai hingga Duc meninggal di tempat.

Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

Duc meninggal tanpa ada jeritan dan suara sama sekali, meditasi yang dilakukan Duc memang levelnya sudah berbeda. Hanya orang disekelilingnya yang heboh.

Berkat kejadian pembakaran diri yang difoto oleh wartawan asing, maka semua media menyebarkan berita ini hingga ke penjuru dunia.

Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

Pengorbanan Thich Quang Duc hingga menghasilkan foto-foto yang mengerikan itu, akhirnya membuat negara-negara lain ikut menekan pemerintah Vietnam untuk mengubah hukum sesuai dengan komunitas Buddha.

Bahkan foto yang dilakukan oleh Browne, mendapatkan Pulitzer Awards untuk International Reporting as well as the World Press Photo of the Year pada 1963.

Sejarah Thich Quang Duc, Biksu Yang Bakar Diri Dalam Aksi Protes!

Walau protes yang dilakukan dalam kisah ini akan ada perdebatan, karena mati secara bunuh diri.

Namun hasilnya pada tanggal 2 November 1963, Presiden Ngo Dinh Diem tewas dibunuh dalam kudeta yang diotaki jenderalnya sendiri. Dan sejak itu runtuhlah kekuasaan Diem.


Peran Zending Dalam Perang Toba (1878 dan 1883)

 Peran Zending Dalam Perang Toba (1878 dan 1883)


Quote:

Raja Sisingamangaraja XII adalah Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Namanya Patuan Bosar dengan gelar Ompu Pulo Batu dan naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang telah meninggal. Sementara itu L.I Nommensen sudah berada di Silindung sejak masa pemerintahan Raja Singamangaraja XI, karena Nommensen masuk ke Silindung pada tahun 1864.

Masyarakat Toba adalah masyarakat yang sudah memiliki tatanan yang mengatur hidupnya di mana mereka hidup di dalam Huta-Horja-Bius. Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan masyarakat Toba. Singamangaraja merupakan lembaga pemersatu masyarakat Toba secara keseluruhan. Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja. Singamangaraja bukan Pendeta-raja atau Raja-imam seperti yang biasa disebut-sebut oleh para misionaris Jerman dan hal ini merupakan usaha mereduksi makna dan status lembaga Singamangaraja. Dalam kaitan dengan pemahaman bahwa Singamangaraja adalah inkarnasi Batara Guru, maka dalam konteks inilah Singamangaraja dipanggil ‘Ompu i’, sehingga Singamangarajalah satu-satunya yang dipanggil ‘Ompu i”. Itulah sebabnya, menjadi aneh kalau L.I Nommensen dipanggil ‘Ompu i’ juga selain daripada hanya untuk membangun kultus individu/pengkultusan.

Para misionaris Jerman memandang masyarakat Toba sebagai bangsa kafir yang berjalan dalam kegelapan dan hasipelebeguon, barbar, tak berbudaya, kanibal, dlsb. Sementara misionaris Burton dan Ward dari Inggris menyebut masyarakat Toba sebagai masyarakat yang ramah menyambut mereka dengan pesta dan tor-tor pada tahun 1824. Meskipun pemberitaan Injil yang mereka sampaikan ditolak, tetapi mereka masih tetap tinggal di sana beberapa waktu dan perpisahan untuk mereka dilakukan meriah dengan pesta dan tortor sebagaimana mereka tulis sendiri di dalam memoarnya. Berbeda dengan sebuah buku riwayat pelayanan L.I Nommensen dalam bahasa Toba ejaan lama yang mengatakan bahwa Burton dan Ward diusir. Mungkin penulis buku tersebut “salah mendengar informasi”, karena perhatiannya terlalu terfokus hanya kepada Nommensen dalam rangka pengkultusan.

Dengan cara pandang misionaris Jerman yang demikian, maka dapat dibayangkan mengenai pendekatan yang mereka lakukan di dalam pemberitaan Injil. Larangan margondang dan manortor yang diganti alat musik tiup Jerman serta mengijinkan perkimpoian satu marga adalah keputusan yang fatal dan ekstrim (Kozok, 2010). Dapat dibayangkan bahwa sikap ini akan menimbulkan gejolak di dalam masyarakat Toba yang hidup di dalam sistem Huta-Horja-Bius. Apalagi Nommensen memiliki pandangan ekstrim bahwa 3-H (Hamoraon-Hagabeon-Hasangapon) adalah dosa besar.

Sebenarnya, sejak dari awal sudah ada permasalahan yang dilakukan oleh misionaris Jerman itu , karena tindakan misionaris mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868 yang jelas-jelas melanggar kedaulatan Raja Singamangaraja XII (Kozok, 2010:20-21):
Quote:

Gelagat para misionaris Jerman itu sudah terlihat dari awal akan meminta bantuan Belanda meskipun secara militer dan ekonomis tidaklah menguntungkan bagi Belanda untuk menganeksasi Negeri Toba. Baru 4 tahun (1864-1868) Nommensen di Silindung sudah memperlihatkan sikap membangkang terhadap Raja Singamangaraja XII di wilayah kekuasaannya. Kemudian mereka malah bertindak lebih jauh lagi dengan meminta bantuan kepada kolonial Belanda sekaligus untuk menaklukkan Negeri Toba:
Quote:

Ketika Negeri Toba dianeksi dalam Perang Toba I pada tahun 1878, ada enam penginjil di Silindung, yaitu: Johansen, Metzler, Mohri, Nommensen, Püse, dan Simoneit. Yang paling tua di antara mereka ialah L.I Nommensen. Keenam misionaris Jerman inilah yang bertanggungjawab atas penaklukan Negeri Toba sekaligus menjadi dijajah oleh kolonial Belanda.

Semua tindakan mereka tersebut adalah atas sepengetahuan dan tentunya persetujuan dari Kantor Pusat RMG di Jerman meskipun kemudian tindakan tersebut mendapat kecaman. Hal ini dapat terlihat dari laporan Nommensen yang dipublisir oleh RMG di dalam majalah BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:
Quote:

BRMG, majalah RMG, membuat berita dengan memasukkan laporan L.I Nommesen, sehingga diketahui bagaimana sebenarnya gambaran Raja Singamangaraja XII dalam pandangan L.I Nommensen sebagai berikut:
Quote:

Dalam kaitan dengan masalah-masalah ini semuanya, misionaris Metzler menulis di dalam suratnya yang diterbitkan juga oleh BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:
Quote:

Fakta-fakta yang sengaja dikutip di atas adalah untuk membeberkan bagaimana permasalahan sebelum Perang Toba dan sebagian daripada saat Perang Toba I. Melalui fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa jelas-jelas pihak misionaris Jerman itulah yang bermasalah dengan Orang Toba dan Maharaja di Negeri Toba. Sebagai solusinya, mereka meminta bantuan Belanda untuk menaklukkan Negeri Toba untuk dikuasai oleh kolonial Belanda.
Selanjutnya, dari surat Nommensen dan Metzler diketahui bahwa para misionaris Jerman tersebut menjadi juru bahasa melakukan penyerangan ke berbagai daerah dan kampung dan membakari rumah-rumah rakyat. Seratus lebih kampung dibakar dalam rangka bumi hangus, sehinggga membuat banyak rakyat menderita terutama ibu-ibu dan anak-anaknya yang harus tidur di hutan. Tidak terhitung yang tewas, luka, dan disiksa. Mereka dipaksa membayar rampasan perang dan dipaksa bersumpah-setia kepada Belanda. Di dalam surat tersebut, berulang-ulang L.I Nommensen menyebut rakyat yang dibakari kampungnya adalah “musuh” (Kozok, 2010), Beginilah penderitaan bangsa Indonesia yang diakibatkan oleh ulah para misionaris Jerman dalam Batakmission itu. Atas jasa-jasa Nommensen terhadap Belanda ini, maka Belanda memberikan hadiah berupa uang sebesar 1.000 Gulden di atas penderitaan bangsa Indonesia.

Hasil akhir dari Perang Toba ini ialah hancurnya kekayaan budaya Toba baik seperti huta-horja-bius dan hilangnya benda-benda budaya dibawa ke Jerman dan Belanda. Banyaknya korban jiwa dan berbagai penderitaan fisik yang dialami bangsa Indonesia di Negeri Toba yang kemudian dijajah kolonial Belanda.

Gugurnya Raja Singamangaraja XII bersama dua orang putranya dan seorang putrinya disertai pejuang-pejuang lainnya pada 17 Juni 1907. Meskipun demikian, ada satu hal yang masih tersisa dari Perang Toba, yaitu semangat juang dan kegigihan Raja Singamangaraja XII yang konsisten sampai akhir yang patut diwarisi dan diteladani masyarakat Toba di masa kini.***





sumber artikel



Senin, 26 September 2022

Thomas Wanggai, Bapak Republik Melanesia Barat

 Ia disebut-sebut sebagai “Nelson Mandela” nya orang Papua. Kematian misterius Thomas Wanggai menggoreskan luka rakyat Papua sekaligus menabalkan sentimen anti Indonesia.


Thomas Wanggai, Bapak Republik Melanesia Barat
Thomas Wanggai. Ilustrasi: Betaria/Historia.

Huru-hara menggemparkan distrik Abepura di kota Jayapura, Papua. Amukan massa yang tersulut amarah berujung aksi pembakaran. Sejumlah kios di Pasar Abepura habis dilalap api. Kurang dari enam mobil hangus dan hancur. Puluhan bangunan di jalur Sentani-Abepura sepanjang 20 km rusak berat. Ada yang menyobek bendera Merah Putih sementara yang lain menaikkan panji Bintang Kejora.
“Kerusuhan melanda Sentani-Abepura hari Senin (18/3) segera setelah kedatangan jenazah Dr. Thomas Wanggai, terhukum kasus subversi yang meninggal di Jakarta,” demikian berita Kompas, 19 Maret 1996.
Semua bermula dari isu Thomas Wanggai dibunuh dalam tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur. Ketika jenazah tiba di Bandara Sentani, ribuan massa simpatisan telah menanti. Mereka mendadak berubah beringas setelah aparat menolak memperlihatkan jenazah Tom Wanggai untuk disemayamkan di aula Universitas Cenderawasih (Uncen). Begitu dihormatinya Thomas Wanggai sehingga kematiannya jadi simbol perlawanan terhadap pemerintah Indonesia.
Bendera Bintang 14
Pada 14 Desember 1988, sekira 60 orang berkumpul di Stadion Mandala, Jayapura. Mereka menghadiri upacara pembacaan proklamasi Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kesekian kalinya. Namun, ada yang berbeda hari itu. Bendera yang dikibarkan bukanlah Bintang Kejora, melainkan Bendera Bintang 14. Naskah proklamasi maupun Bendera Bintang 14 itu dirancang oleh Thomas Wanggai.
Thomas Wapai Newei Serampayai Wanggai adalah pendukung OPM berpendidikan tinggi. Ia lahir di kampung Ambai, Serui pada 5 Desember 1937. Gelar sarjana hukumnya direngkuhnya dari Okoyama State University pada 1969. Pada saat menempuh pendidikan di Jepang itulah Tom bertemu dengan Mimie Teruko Kohara yang kemudian menjadi istrinya. Setelah itu, Tom meraih gelar doktor bidang administrasi negara di Florida University pada 1985. Tom Wanggai bekerja di kantor gubernuran sebagai staf ahli Bappeda Pemda Papua.

Dibandingkan dengan gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, menurut George Junus Aditjondro, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian paling luas dan terbuka dari masyarakat Papua. Berbeda dengan para pendahulunya yang selalu menggunakan entitas dari zaman kolonial Belanda, yakni Papua Barat, Tom menamakan negeri merdeka yang dibayangkannya: Melanesia Barat. Entitas ini merujuk pada rumpun ras masyarakat di kawasan Pasifik Selatan. Tapi, gagasan Tom Wanggai tentang perjuangannya mendirikan Negara Republik Melanesia Barat berlandaskan ke-Kristenan adalah daya pikat bagi masyarakat.
“Yang jelas proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelitnya. Proklamasi Tom Wanggai juga punya appeal secara khusus bagi kalangan terdidik dan pegawai negeri yang berasal dari Kabupaten Yapen-Waropen,” ungkap Aditjondro dalam Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia.
Bendera Bintang 14 dijahit sendiri Teruko Wanggai, istri Tom Wanggai. Sementara itu, Tom Wanggai mendaulat dirinya sebagai presiden Republik Melanesia Barat. Aktivis Papua Merdeka Filep Karma mengenal kiprah Tom Wanggai. Dalam catatannya Seakan Kitorang Setengah Binatang: Rasialisme Indonesia di Tanah Papua, Filep mengatakan, “Wanggai berpendapat bendera Bintang Kejora dari 1961 warnanya terlalu Eropa: merah, putih, biru.”

Namun, tersirat motif lain di balik pilihan Tom Wanggai mendirikan Negara Melanesia Barat. Gerakan kemerdekaan itu, seperti ditulis Philipus Robaha, aktivis Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua (Sonamappa), dalam artikelnya di kanal laolao-papua.com, disebut-sebut pelarian atas kegagalan Tom Wanggai menjadi gubernur Papua.
Pada 1987, Tom Wanggai kalah bersaing melawan Barnabas Suebu dalam pemilihan gubernur. Rumor ini jadi cerita dari mulut ke mulut yang berkembang hingga sekarang. Barnabas Suebu sendiri pada 2017 didakwa bersalah atas kasus korupsi. Ia mendekam di LP Sukamiskin, Bandung.

Misteri di LP Cipinang
Gerakan Tom Wanggai meresahkan otoritas pemerintah Indonesia di Papua. Setelah peristiwa pengibaran Bendera Bintang 14, ia ditangkap. Pengadilan Negeri Jayapura menjerat Tom Wanggai dengan dakwaan perbuatan makar dan vonis hukuman penjara 20 tahun. Sementara, istri Tom dikenai hukuman 8 tahun penjara. Dari LP Jayapura, Tom kemudian dipindahkan ke LP Cipinang, Jakarta Timur.   
Pada 12 Maret 1996, Tom Wanggai ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di selnya. Sekujur tubuhnya kaku membiru. Kepala LP Cipinang menyatakan Tom Wanggai meninggal karena menderita penyakit. Temuan-temuan kejanggalan kemudian menyingkap tabir penyebab kematian Tom yang masih berselubung tanda tanya.

Tokoh gerakan Papua Pdt. Socrates Sofyan Yoman tidak percaya dengan pernyataan pihak LP Cipinang. Dalam Pemusnahan Etnis Melanesia di Papua Barat, ia menyebut kematian Tom Wanggai tidak wajar. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian jurnalis Australia, Robin Osborn, yang mengatakan Tom Wanggai adalah salah satu korban penyiksaan dalam penjara.
Diduga kuat, Tom Wanggai dibunuh oleh tentara Indonesia. Konfirmasi mengenai laporan tersebut, ungkap Osborn, berasal dari dokumen resmi. Beberapa di antaranya sampai ke tangan OPM, atau media massa di Indonesia (yang tidak bisa menerbitkannya), atau ke wartawan asing, lembaga-lembaga bantuan serta pekerja gereja dan akademisi. 
Sementara itu, menurut mantan komisioner Komnas HAM Decki Natalis Pigay, kematian Tom Wanggai tidak lepas dari wacana politik resistensi lokal OPM akibat keberaniannya memproklamasikan kemerdekaan Republik Melanesia Barat. Patut dicatat bahwa Tom Wanggai melakukan itu di tengah-tengah kota satelit Jayapura sedangkan para pendahulunya kebanyakan bergerak di tengah hutan belantara pedalaman Papua.

Banyak kabar yang beredar di tengah masyarakat seputar meninggalnya Tom Wanggai. Kepala LP Cipinang jadi sasaran tudingan. Ia dianggap turut bertanggung jawab karena terlambat mengirimkan Tom yang sakit keras itu ke Palang Merah Internasional. Polemik juga berlanjut pada persoalan hilangnya jenazah Tom Wanggai dari lemari kamar mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tanpa sepengetahuan pihak keluarga. Desas-desus inilah yang kemudian meletupkan kerusuhan saat jenazah Tom Wanggai dipulangkan ke Papua.
“Pada saat itu rakyat Irian termasuk kalangan terpelajar, mahasiswa, serta masyarakat biasa berduyun-duyun menuju Bandara Sentani untuk menyambut seorang tokoh yang dihormati sebagai simbol intelektual Irian,” kata Pigay dalam Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua.
Raga Thomas Wanggai memang telah lama meninggalkan dunia ini. Tapi ideologinya untuk mendirikan negara merdeka yang terpisah dari Republik Indonesia masih hidup dalam dada sebagian orang Papua sampai saat ini. Entah sampai kapan.

https://historia.id/politik/articles...t-vogxW/page/1