Indonesia pertama kali memiliki mie instan di tahun 1968. Saat itu merek yang pertama kali muncul adalah Supermie. Merek berikutnya yang kemudian menjadi salah satu terlaris di dunia adalah Indomie. Sebenarnya awal mula kelahiran mie instan di Indonesia memiliki jarak waktu tak jauh beda dengan kelahirannya di negara lain.
Merek mie instan alias ramyun instan pertama di Korea adalah produksi Samyang di tahun 1963. Sementara itu ramen instan di Jepang lahir lebih awal lagi yaitu di tahun 1958. China pernah mencoba memproduksi mie instan pertamanya di tahun 1964 tetapi gagal. Empat tahun kemudian perusahaan lain memulai produksi mie instan kembali dan sukses.
Sebelum mengenal mie instan, negara-negara tersebut mengenal mie yang dimasak secara konvensional. Orang China menganggap mie sebagai sebuah karya seni. Diperkirakan mie telah dikonsumsi sejak 300 tahun sebelum masehi. Hal itu tak hanya diketahui dari catatan sejarah berdasarkan puisi karangan Shu Shi.
Para arkeolog juga menemukan semangkuk mie berusia empat ribu tahun yang terendam dalam lumpur di daerah Lajia. Mie yang ditemukan saat itu terbuat dari dua jenis varietas jawawut (sejenis biji-bijian).
Sebelum gandum dan beras menjadi primadona di Asia, kala itu penduduk Asia mengenal jawawut sebagai makanan pokok. Jawawut dianggap lebih mudah diolah dan sudah lebih dahulu dibudidayakan. Akhirnya masyarakat China menemukan mesin penggiling gandum yang menjadi titik tolak awal pembuatan mie dari tepung gandum.
Beberapa peneliti beranggapan sebenarnya mesin penggiling ini atau mesin pembuat mie justru berasal dari Timur Tengah. Meski demikian belum ada bukti sejarah yang cukup untuk menunjukkan hipotesis itu benar. Ketika akhirnya masyarakat China telah mampu mengolah gandum sejak itulah mereka menjadi terbiasa mengonsumsi mie.
Bila di Jepang ada kedai ramen yang menjual mie untuk dinikmati sebagai makanan cepat saji maka tidak demikian dengan di China. Orang China justru lebih suka membuat dan mengolah mienya sendiri. Salah satu contoh mie sebagai karya seni adalah pembuatan mie panjang umur alias lā miàn.
Pembuatan mie ini membutuhkan ketrampilan dan kecepatan agar adonan tidak terputus. Sejarahnya ini dimulai ketika Kaisar Wu dari Dinasti Han mengatakan semakin panjang wajah seseorang maka semakin panjang usianya. Sang menteri yang mendengar itu pun tertawa. Dalam bahasa China, kata yang digunakan untuk wajah dan mie adalah sama.
Sebelum mie instan menjamur, orang-orang China di abad 20 akan membeli mie segar dari pertokoan untuk memasaknya sendiri. Namun bila mie segar itu habis maka mereka akan mencari mie kering. Tentu saja keunikan dari semangkuk mie adalah kuah kaldunya yang unik.
Ketika datang ke Jepang, kuah kaldu ini mengalami modifikasi. Tidak ada catatan sejarah yang pasti mengenai tahun persis mie datang ke Jepang. Ada yang menyebutkan resep mie dari China ketika itu dibawa oleh seorang pelajar bernama Shu Shunsui. Sementara itu, diketahui bahwa sebuah kedai ramen buka pertama kali di tahun 1910. Karyawannya adalah orang-orang China. Mereka memasak menu bernama shina soba alias mie China.
Harga yang murah dan penyajian yang cepat membuat shina soba menjadi primadona kelas pekerja di Jepang. Apalagi ketika kemudian Jepang berhasil menduduki China dalam perang. Menikmati mie China dianggap sebagai salah satu bentuk nasionalisme sebagai perayaan pendudukan tersebut. Mie pun menjadi salah satu makanan favorit tentara dan para pelajar Jepang yang radikal di masa itu. Sayangnya masa kejayaan mie cepat redup ketika tejadi perang dunia kedua. Terjadi kelaparan di mana-mana sehingga pemerintah Jepang melarang warganya untuk mengambil keuntungan dengan menjual makanan.
Setelah masa perang usai dan perekonomian Jepag mulai menyembuhkan diri, kedai-kedai ramen bermunculan. Sebenarnya ramen memiliki bahan baku yang banyak. Pembuatan kaldunya cukup rumit dan menghabiskan waktu yang panjang. Uniknya lagi, 80% kedai ramen yang ada di Jepang merupakan UKM bukan milik perseroan atau pemodal besar.
Ini karena adanya budaya noren wake. Noren sebenarnya adalah tirai yang biasa kita lihat di luar bangunan di Jepang. Noren ini bertuliskan nama dari sebuah kedai ramen.
Ketika seseorang bekerja pada sebuah kedai ramen selama satu hingga dua tahun, ia boleh mulai membuka kedainya sendiri. Sang bos akan memberikan resep juga menjelaskan caranya menjalankan bisnis. Si murid ini nanti akan membuka kedainya sendiri dengan semacam sistem cabang.
Noren itulah yang kemudian akan diturunkan ke si murid. Selain memakai nama yang sama, noren itu juga akan memberikan kredibilitas pada kedai ramen si murid. Inilah yang kemudian mendorong pertumbuhan kedai ramen yang pesat.
Sejak itulah ramen menjadi makanan rakyat. Meski ada banyak kedai, ramen pun sangat populer dalam bentuk instan terutama untuk orang-orang yang hidup melajang karena pembuatannya yang mudah.
Hal sama juga berlaku di Korea. Walau harganya murah, ramen tak hanya diminati orang yang memiliki penghasilan terbatas saja. Ramen adalah makanan sejuta umat. Sampai-sampai Korea menempati peringkat pertama untuk negara yang mengonsumsi mie instan terbanyak di dunia. Hal ini salah satunya didorong oleh kebiasaan orang Korea makan camilan tengah malam alias yangsik.
Dahulu, orang Korea sengaja keluar rumah di malam hari untuk bercengkerama dan makan camilan. Penjaja makanan akan berkeliling ke kampung-kampung. Namun modernitas telah mengubah budaya tersebut. Penjaja keliling mungkin tak lagi ada tetapi budaya makannya masih tetap sama.
Orang-orang Korea yang kini tinggal dalam apartemen kemudian beralih memasak ramyun instannya sendiri. Agar cepat matang, mereka sengaja memasaknya dalam panci aluminium. Kebiasaan ini kemudian menjadi ciri khas orang Korea dalam menikmati mie.
Selain itu, ramyun juga lekat dengan kaldunya yang pedas. Meski dicap tak sehar karena kandungan sodium yang tinggi, orang Korea tetap tidak peduli. Mereka berkilah bahwa untuk menambahkan gizi ke dalam semangkuk ramyun, mereka menambahkan kimchi maupun telur. Popularitas ramyun pun sampai ke telinga tetangganya, Korea Utara.
Korut ikut memproduksi ramyun instannya sendiri meski memiliki cita rasa agak berbeda. Ramyun ala Korut memiliki kaldu lebih kental tetapi rasa lebih ringan, tidak sepedas ramyun Korsel. Selain itu ramyun ala Korut adalah makanan favorit kelas atas di sana.
Turki pun mengenal mie dengan baik. Mereka menyebutnya sebagai sup mie. Bisa dibilang Turki adalah jembatan yang menyebarluaskan makanan dari Benua Asia ke Eropa. Tentu saja pasta yang kita kenal berasal dari Italia sebenarnya memiliki nenek moyang yaitu mie di China.
Meski dimasak dengan cara berbeda, keduanya sama-sama mie. Mie ala Turki sendiri memiliki cita rasa kaldu yang ringan dan bumbu yang sederhana. Turki adalah negara yang berhasil melakukan swasembada pangan sehingga banyak menggunakan bahan makanan segar dalam masakannya. Karena itu bumbunya sengaja dibuat ringan agar rasa asli bahan makanan keluar.
Bagaimana dengan Asia Tengah? Tentu saja negara-negara di sini juga memiliki budaya makan mie. Mereka memiliki lokasi yang berdekatan dengan China sehingga tak heran mengenal makanan yang sama. Turki sendiri mengenal mie karena cikal bakal Bangsa Turki adalah kaum nomaden. Sebelum mendiami wilayah yang sekarang ini dikenal sebagai Negara Turki, mereka adalah suku yang berasal dari Asia Barat dan melakukan perjalanan panjang. Tak heran bila di perjalanan mereka mendapatkan pengaruh dari kebudayaan bangsa lain.
Besh Barmak adalah salah satu makanan nasional di Kirgistan. Ini adalah daging yang disajikan dengan mie dan saus kaldu bawang.
Mie di sini tidak berkuah melainkan mie kering dengan saus kemerahan di atasnya. Dagingnya dimasak selama berjam-jam agar empuk. Sekilas bentuknya memang mirip pasta. Besh Barmak artinya lima jari karena makanan ini disantap dengan jari, bukan sendok atau garpu. Selain itu ada juga Boso Lagman alias mie goreng dengan daging, sayuran, dan rempah-rempah. Jenis mie berkuah juga ada yang disebut sebagai Shurpa. Makanan ini populer di Tajikistan dan Kirgistan.
Meski negara-negara di atas sama-sama menikmati mie, mereka tak lantas memandangnya dengan cara yang sama. Bagi China, Korea, dan Jepang mie adalah bahan utamanya. Kaldu, daging, sayuran, maupun topping yang disajikan merupakan pelengkap dari sajian mie itu sendiri. Sebaliknya di Turki maupun negara-negara Asia Tengah seperti Kirgistan dan Tajikistan mie adalah hidangan pelengkap. Bahan utama dari masakan-masakan tersebut justru adalah kaldunya atau dagingnya. Ini karena daging dan susu adalah makanan pokok di sana. Sementara itu di Indonesia mie pun bisa dianggap sebagai lauk dan dimakan dengan nasi.
Tulisan ini telat terbit di Cultura Magazine