Quote:
Zending Dalam Perang Toba (1878 dan 1883)
Raja Sisingamangaraja XII adalah Maharaja di Negeri Toba dari Bangkara. Namanya Patuan Bosar dengan gelar Ompu Pulo Batu dan naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang telah meninggal. Sementara itu L.I Nommensen sudah berada di Silindung sejak masa pemerintahan Raja Singamangaraja XI, karena Nommensen masuk ke Silindung pada tahun 1864.
Masyarakat Toba adalah masyarakat yang sudah memiliki tatanan yang mengatur hidupnya di mana mereka hidup di dalam Huta-Horja-Bius. Huta-Horja-Bius merupakan elemen dasar daripada sistim kelembagaan masyarakat Toba. Singamangaraja merupakan lembaga pemersatu masyarakat Toba secara keseluruhan. Singamangaraja dipahami sebagai inkarnasi Batara Guru, sehingga menempatkan Singamangaraja sebagai Dewa-raja. Singamangaraja bukan Pendeta-raja atau Raja-imam seperti yang biasa disebut-sebut oleh para misionaris Jerman dan hal ini merupakan usaha mereduksi makna dan status lembaga Singamangaraja. Dalam kaitan dengan pemahaman bahwa Singamangaraja adalah inkarnasi Batara Guru, maka dalam konteks inilah Singamangaraja dipanggil ‘Ompu i’, sehingga Singamangarajalah satu-satunya yang dipanggil ‘Ompu i”. Itulah sebabnya, menjadi aneh kalau L.I Nommensen dipanggil ‘Ompu i’ juga selain daripada hanya untuk membangun kultus individu/pengkultusan.
Para misionaris Jerman memandang masyarakat Toba sebagai bangsa kafir yang berjalan dalam kegelapan dan hasipelebeguon, barbar, tak berbudaya, kanibal, dlsb. Sementara misionaris Burton dan Ward dari Inggris menyebut masyarakat Toba sebagai masyarakat yang ramah menyambut mereka dengan pesta dan tor-tor pada tahun 1824. Meskipun pemberitaan Injil yang mereka sampaikan ditolak, tetapi mereka masih tetap tinggal di sana beberapa waktu dan perpisahan untuk mereka dilakukan meriah dengan pesta dan tortor sebagaimana mereka tulis sendiri di dalam memoarnya. Berbeda dengan sebuah buku riwayat pelayanan L.I Nommensen dalam bahasa Toba ejaan lama yang mengatakan bahwa Burton dan Ward diusir. Mungkin penulis buku tersebut “salah mendengar informasi”, karena perhatiannya terlalu terfokus hanya kepada Nommensen dalam rangka pengkultusan.
Dengan cara pandang misionaris Jerman yang demikian, maka dapat dibayangkan mengenai pendekatan yang mereka lakukan di dalam pemberitaan Injil. Larangan margondang dan manortor yang diganti alat musik tiup Jerman serta mengijinkan perkimpoian satu marga adalah keputusan yang fatal dan ekstrim (Kozok, 2010). Dapat dibayangkan bahwa sikap ini akan menimbulkan gejolak di dalam masyarakat Toba yang hidup di dalam sistem Huta-Horja-Bius. Apalagi Nommensen memiliki pandangan ekstrim bahwa 3-H (Hamoraon-Hagabeon-Hasangapon) adalah dosa besar.
Sebenarnya, sejak dari awal sudah ada permasalahan yang dilakukan oleh misionaris Jerman itu , karena tindakan misionaris mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868 yang jelas-jelas melanggar kedaulatan Raja Singamangaraja XII (Kozok, 2010:20-21):
Quote:
Kehadiran para zendeling di Tanah Batak tentu tidak disetujui oleh Singamangaraja XII yang menggantikan ayahnya pada tahun 1867 apalagi setelah mereka mengundang Gubernur Pantai Barat Sumatra Arriens menjelang Natal 1868. Pada kesempatan itu para misionaris menekankan kepada gubernur bahwa mereka akan menyambut baik aneksasi Tanah Batak demi adanya pemerintah yang menjalankan hukum dan keadilan (Recht und Gerechtigkeit) (BRMG 1869:300, BRMG 1871:142-3). Misionaris Johannsen malah menganggap Arriens sebagai “sungguh-sungguh wakil Allah yang untuk membawa kesenangan bagi Silindung”. Tentu Singamangaraja merasa kedaulatannya diingkari dengan kedatangan pembesar Belanda ke dalam wilayah kekuasaan Singamangaraja tetapi ternyata tidak ada reaksi apa-apa mungkin karena beliau masih muda dan belum cukup berpengalaman.
Gelagat para misionaris Jerman itu sudah terlihat dari awal akan meminta bantuan Belanda meskipun secara militer dan ekonomis tidaklah menguntungkan bagi Belanda untuk menganeksasi Negeri Toba. Baru 4 tahun (1864-1868) Nommensen di Silindung sudah memperlihatkan sikap membangkang terhadap Raja Singamangaraja XII di wilayah kekuasaannya. Kemudian mereka malah bertindak lebih jauh lagi dengan meminta bantuan kepada kolonial Belanda sekaligus untuk menaklukkan Negeri Toba:
Quote:
Karena kehadiran para misionaris tidak disetujui oleh sebagian raja, terutama oleh mereka yang berpihak pada Si Singamangaraja XII, maka pada bulan Januari 1878, Singamangaraja sebagai raja yang, menurut pengakuannya sendiri, memiliki kedaulatan atas Silindung , memberi ultimatum kepada para zendeling RMG untuk segera meninggalkan Silindung. Pada akhir Januari, Nommensen meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk mengirim tentara untuk segera menaklukkan Tanah Batak yang pada saat itu masih merdeka (wikipedia).
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan. ... (wikipedia)
Ketika Negeri Toba dianeksi dalam Perang Toba I pada tahun 1878, ada enam penginjil di Silindung, yaitu: Johansen, Metzler, Mohri, Nommensen, PĂĽse, dan Simoneit. Yang paling tua di antara mereka ialah L.I Nommensen. Keenam misionaris Jerman inilah yang bertanggungjawab atas penaklukan Negeri Toba sekaligus menjadi dijajah oleh kolonial Belanda.
Semua tindakan mereka tersebut adalah atas sepengetahuan dan tentunya persetujuan dari Kantor Pusat RMG di Jerman meskipun kemudian tindakan tersebut mendapat kecaman. Hal ini dapat terlihat dari laporan Nommensen yang dipublisir oleh RMG di dalam majalah BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:
Quote:
Kalau Belanda sekarang hendak menyelenggarakan pemerintahan maka hal ini tentu membawa berkat. [..] Apakah hal itu juga menguntungkan zending, apakah dengan pemerintahan Belanda agama Islam akan masuk adalah pertanyaan yang lain lagi. Oleh sebab itu maka para misionaris belum pernah meminta agar Silindung dianeksasi. Kalau hal itu sekarang diminta [...] jelas pemerintahan Belanda juga sangat bermanfaat bagi zending kita, dan bila kelak kita harus bersaing dengan agama Islam maka sekarang agama Kristen di Silindung sudah memiliki kemajuan yang susah terkejar? (BRMG 1878:118)
BRMG, majalah RMG, membuat berita dengan memasukkan laporan L.I Nommesen, sehingga diketahui bagaimana sebenarnya gambaran Raja Singamangaraja XII dalam pandangan L.I Nommensen sebagai berikut:
Quote:
Ceritanya begini: Di Toba, tepatnya di daerah Bangkara di pantai Danau Toba, berdiam seorang tokoh yang bergelar Singamangaraja, yang berarti, bila diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, raja singa. Namun orang itu bukan seorang raja melainkan seorang raja-imam. Raja imam yang pertama diangkat oleh Melayu Muslim (Padri) yang datang ke sini 40 tahun yang lalu. Jadi raja imam yang awalnya Islam kini menjadi kafir. Kekuasaan, atau, lebih tepat, kewibawaan Singamangaraja – yang diperolehnya berkat adanya cerita-cerita yang tolol, misalnya bahwa lidahnya berbulu – dahulu kala terasa sampai di Silindung. Tata acara serta waktu pelaksanaan sajian yang setiap tahun harus diberi kepada roh-roh juga dituruti di Silindung. Dengan masuknya injil ke Silindung maka pengaruh Singamangaraja tentu merosot, hal mana juga disadarinya sehingga berulang kali ia mencoba untuk mengusir atau membunuh para misionaris (Kozok, 2010:57).
Dalam kaitan dengan masalah-masalah ini semuanya, misionaris Metzler menulis di dalam suratnya yang diterbitkan juga oleh BRMG (Kozok, 2010) sebagai berikut:
Quote:
Memang benar bahwa penginjil kita menghancurkan dasar wibawa Singamangaraja dengan menyebarkan ajaran injil sehingga ia marah dan memusuhi kita. Dari segi itu penginjil kita memang memikul tanggung jawab atas perang itu. Selain itu diberitakan bahwa pasukan bantuan Kristen bertindak secara bengis dan keji yang menunjukkan bahwa tidak ada pun nilai Kristen pada orang-orang Silindung itu. Dalam hal itu perlu kita jawab bahwa memang benar bahwa orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan bahwa pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda. Memang benar bahwa mereka diperintahkan Belanda untuk membakar beberapa kampung. [195]. ...
Kebanyakan musuh berasal dari daerah di sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Singamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya. (Kozok, 2010).
Fakta-fakta yang sengaja dikutip di atas adalah untuk membeberkan bagaimana permasalahan sebelum Perang Toba dan sebagian daripada saat Perang Toba I. Melalui fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa jelas-jelas pihak misionaris Jerman itulah yang bermasalah dengan Orang Toba dan Maharaja di Negeri Toba. Sebagai solusinya, mereka meminta bantuan Belanda untuk menaklukkan Negeri Toba untuk dikuasai oleh kolonial Belanda.
Selanjutnya, dari surat Nommensen dan Metzler diketahui bahwa para misionaris Jerman tersebut menjadi juru bahasa melakukan penyerangan ke berbagai daerah dan kampung dan membakari rumah-rumah rakyat. Seratus lebih kampung dibakar dalam rangka bumi hangus, sehinggga membuat banyak rakyat menderita terutama ibu-ibu dan anak-anaknya yang harus tidur di hutan. Tidak terhitung yang tewas, luka, dan disiksa. Mereka dipaksa membayar rampasan perang dan dipaksa bersumpah-setia kepada Belanda. Di dalam surat tersebut, berulang-ulang L.I Nommensen menyebut rakyat yang dibakari kampungnya adalah “musuh” (Kozok, 2010), Beginilah penderitaan bangsa Indonesia yang diakibatkan oleh ulah para misionaris Jerman dalam Batakmission itu. Atas jasa-jasa Nommensen terhadap Belanda ini, maka Belanda memberikan hadiah berupa uang sebesar 1.000 Gulden di atas penderitaan bangsa Indonesia.
Hasil akhir dari Perang Toba ini ialah hancurnya kekayaan budaya Toba baik seperti huta-horja-bius dan hilangnya benda-benda budaya dibawa ke Jerman dan Belanda. Banyaknya korban jiwa dan berbagai penderitaan fisik yang dialami bangsa Indonesia di Negeri Toba yang kemudian dijajah kolonial Belanda.
Gugurnya Raja Singamangaraja XII bersama dua orang putranya dan seorang putrinya disertai pejuang-pejuang lainnya pada 17 Juni 1907. Meskipun demikian, ada satu hal yang masih tersisa dari Perang Toba, yaitu semangat juang dan kegigihan Raja Singamangaraja XII yang konsisten sampai akhir yang patut diwarisi dan diteladani masyarakat Toba di masa kini.***sumber artikel