Insiden Bendera di Hotel Yamato ini ini terjadi pada tanggal 19 September 1945. Peristiwa ini terjadi di Jalan Tunjungan di kota Surabaya.
Peristiwa yang disebut Insiden Bendera ini berdasarkan catatan sejarahnya berawal dari dikibarkannya bendera Belanda yang berwarna Merah-Putih-Biru di tiang bendera hotel yang bernama Hotel Yamato malam hari pada tanggal 18 September 1945.
Perintah mengibarkan bendera Belanda ini berasal dari Victor Willem Charles Ploegman, seorang pemimpin dari organisasi Indo Europesche Vereniging (IEV) yang diangkat oleh NICA menjadi Wali Kota Surabaya.
Atas perintah Victor Willem Charles Ploegman bendera Belanda dikibarkan untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus.
Hotel Yamato yang menjadi tempat terjadinya Insiden Bendera ini menurut catatan dari Wikipedia Indonesia memiliki banyak nama.
Pada awalnya bernama Hotel LMS, kemudian menjadi Hotel Oranje, berganti nama menjadi Hotel Yamato, lalu Hotel Hoteru dan sekarang menjadi Hotel Majapahit.
Pengibaran Bendera Belanda yang berwarna Merah-Putih-Biru ini tentu saja mendapatkan banyak reaksi dari pemuda pejuang di kota Surabaya. Karena Indonesia sudah merdeka, 17 Agustus 1945, tentu saja Bendera Belanda tidak tepat dikibarkan lagi. Residen Soedirman dan beberapa pemuda pejuang pada tanggal 19 September 1945 meminta kepada Victor Willem Charles Ploegman untuk menurunkan Bendera Belanda dan menggantinya dengan Bendera Merah Putih, karena Indonesia sudah merdeka. Namun permintaan ini ditolak oleh
V.W.C. Ploegman.
Karena penolakan itu maka pemuda pejuang
di Surabaya dibawah komando dari Residen Soedirman mengepung Hotel Yamato dan segera menaiki Hotel Yamato dengan memakai tangga. Mereka kemudian menurunkan paksa Bendera Belanda dan menyobek Warna Birunya kemudian mengibarkannya kembali sehingga tampak menjadi Sang Dwi Warna, Bendera Merah Putih.
Dalam foto dokumentasinya tampak 4 orang pemuda yang naik ke Hotel Yamato ini.
Dari keempat pemuda itu diyakini dua orang pemuda itu bernama Hariyono dan Koesno Wibowo. Hariyono adalah pengawal Residen Soedirman dan Koesno Wibowo adalah aktivis pemuda pejuang yang berasal dari Kampung Peneleh, Surabaya. Untuk dua pemuda yang lain memang tidak diketahui namanya secara pasti, siapakah mereka, nama dan asalnya.
Namun dalam beberapa media belakang menyebut dan menceritakan tentang biografi singkat dari kedua pemuda itu. Menurut kisah yang ditulis oleh media, nama kedua pemuda itu adalah Noer Sidik dan Ya' Syarif Umar.
Noer Sidik adalah pemuda pejuang Surabaya yang tinggal di Kampung Kaliasin sedangkan Ya' Syarif Umar ternyata bukan dari Jawa, Ya' Syarif Umar berasal dari Kalimantan Barat.
Berikut ini kisah keduanya yang dicuplik dari media online tentang kisah kedua pemuda itu.
1. Noer Sidik
Perobek Bendera Belanda di Hotel Yamato
Cerita itu semula tidak diketahui oleh Sri Soekarti (70). Dia tidak mengira kalau ayahnya itu salah satu pelaku perobekan bendera Belanda di hotel yang sekarang bernama Hotel Majapahit Jalan Tunjungan Surabaya. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 19 September 1945.
”Saat saya kecil, bapak sering bercerita kisah para nabi. Tidak pernah bercerita tentang peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato itu,” kata Sri Soekarti di rumahnya Kaliasin VIII.
Ia baru mengetahui setelah guru mengajinya
di Masjid Sholeh, Mat Yasin Wisatmo, yang bercerita peran bapaknya di peristiwa itu. Mat Yasin Wisatmo adalah aktivis Muhammadiyah Surabaya menantu dari Kiai Usman, pendiri dari Masjid di Kaliasin itu.
Hingga kini perobek bendera di Hotel Yamato diklaim pelakunya hanya Hariyono dan Koesno Wibowo. Hariyono pengawal Residen Sudirman dan Koesno Wibowo, seorang aktivis pemuda dari Peneleh Surabaya.
Dalam foto dokumentasi tampak ada empat orang di menara tempat bendera hotel.
Salah satu di antaranya adalah Noer Sidik,
Arek Suroboyo dari Kaliasin yang berasal dari Muhammadiyah Kaliasin.
Noer Sidik menikah dengan Mustama, anggota Aisyiyah. Dari pernikahannya mereka dikaruniai lima anak, yaitu : Sri Soekarti, Hartono, Vamuji, Mamik Nuriyati, dan Man Hadi.
Mukti Hari, sesepuh dari kampung Kaliasin, menceritakan juga kisah Noer Sidik.
Pada masa pendudukan Jepang, Noer Sidik aktif sebagai pemuda Masjid Sholeh.
Noer Sidik ikut dalam latihan bela diri bersama pemuda-pemuda lainnya di Kaliasin dengan guru silat Kiai Usman.
Pada saat perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, Noer Sidik terjatuh pada waktu turun. Ia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Simpang. ”Lukanya cukup parah. Ada patah tulang. Butuh waktu yang agak lama untuk menyembuhkan. Sampai akhir hayatnya, dia masih merasakan rasa nyeri bekas lukanya,”
Dia menjelaskan, cerita ini harus dibuka agar banyak orang tahu bahwa arek Muhammadiyah Kaliasin juga berada di atas Hotel Yamato ikut merobek bendera Belanda menjadi Bendera Merah Putih. Jadi bukan hanya dua orang, Haryono dan Koesno Wibowo. Ada juga Noer Sidik, Arek Kaliasin dari Muhammadiyah yang namanya masih belum ditulis dalam sejarah.
Dia menegaskan mendapat cerita itu dari bapaknya, Mat Yasin Wisatmo. “Bapak saya ikut hadir di peristiwa 19 September itu dan menyaksikan sendiri Noer Sidik naik menara bersama pemuda lainnya,”
Menurutnya Noer Sidik lahir di Mojokerto pada tahun 1910. Pada saat remaja, dia merantau ke Surabaya mengikuti saudaranya. Noer Sidik bekerja sebagai sopir di Kantor Gubernur Jawa Timur, hingga akhirnya bertugas menjadi sopir dari Gubernur Soerjo.
Tahun tahun 1950-an Noer Sidik kemudian pindah menjadi sopir di perusahaan koran yang bernama Djaja Post di daerah Kembang Jepun, yang sekarang menjadi Jawa Pos. Ini tempat kerjanya terakhir hingga meninggal dunia pada tahun 1965 karena penyakit jantung.
2. Ya' Syarif Umar
Kisah Pemuda Asal Kalbar yang Ikut Merobek Bendera Belanda di Surabaya
Nama almarhum Ya` Syarif Umar, sebenarnya tidak begitu familiar di masyarakat Kalimantan Barat. Padahal ia adalah eksponen angkatan 45 dan sekaligus anggota Legiun veteran Republik Indonesia (LVRI) dan seorang purnawirawan TNI. Ya' Syarif Umar tidak hanya punya andil untuk Kalimantan Barat, ia juga punya andil kolektif di tingkat nasional. Tokoh pejuang ini merupakan salah satu orang yang ikut secara kolektif ikut dalam pendirian TNI Angkatan Laut melalui BKR (Badan Keamanan Rakyat) Pasca-Indonesia Merdeka.
Ya' Syarif Umar lahir di Ngabang, Landak , Kalimantan Barat pada tanggal 12 Desember 1924. Semula ia sekolah di Overgangschool
di Ngabang, Kalimantan Barat, kemudian ia melanjutkan sekolahnya di Pendidikan Guru Sekolah Rakyat (PGSR).
Karena kedatangan tentara Jepang pada akhir tahun 1941 memaksa Ya' Syarif Umar berhenti sekolah.
Namun di awal tahun 1942, pada saat Jepang mulai berkuasa, Ya' Syarif Umar ikut pendidikan militer laut (Kaiinyo Saijo) di kota Makassar, Sulawesi Selatan dan Ya' Syarif Umar menjadi perwira militer AL.
Pada tahun 1944, saat ditempatkan oleh militer Jepang di Pare-pare, Ya' Syarif Umar mengajak sejumlah pemuda untuk berjuang ke pulau Jawa. Sebelumnya Ya' Syarif Umar memang telah mendengar adanya gerakan kemerdekaan Indonesia.
Menjelang bulan Agustus 1945, Ya' Syarif bersama beberapa temannya, berlayar menuju Pelabuhan Tanjung Perak, di Surabaya, Jawa Timur dengan menumpang kapal dagang Bugis. Tiba di Surabaya, Ya' Syarif Umar mulai bergabung dengan para pemuda yang bergerak di Angkatan Laut. Kemudian mereka sepakat untuk membentuk BKR Laut, cikal bakal dari TNI Angkatan Laut.
Ya' Syarif Umar menjadi salah satu pemuda yang terlibat dalam Insiden Bendera di Hotel Yamato Surabaya pada tanggal 19 September 1945. Insiden Bendera itu kemudian menyulut api konflik yang lebih besar, dan puncaknya terjadi peristiwa 10 November 1945.
Ya' Syarif Umar bersama dua putra Kalimantan Barat yang lainnya, yaitu Imran atau Ya' Muran Saiyan, dan Abdul Murat atau Badung, ikut bergabung dalam perang kemerdekaan di pulau Jawa. Usai peristiwa Surabaya, Ya' Syarif Umar meneruskan karir militernya di TNI AL. Antara tahun 1945 ~1949, Ya' Syarif Umar juga keluar masuk hutan bergerilya dan ikut dalam memadamkan pemberontakan PKI di Madiun.
Pada akhir tahun 1950 saat Republik Indonesia Serikat, Ya' Syarif Umar adalah orang yang menyatakan kekecewaannya. "Mengapa kita menerima bentuk serikat, yang ketika itu masih ada antek-antek eks kolonial ikut di dalamnya,"
Pada tahun itu Ya' Syarif Umar mengundurkan diri dari kemiliteran, dan selanjutnya aktif di bidang sosial kemasyarakatan. Ya' Syarif Umar wafat pada tahun 1998 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dharma Patria Jaya di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Meskipun pernah menjadi pejabat negara, namun Ya` Syarif Umar lebih memilih hidup sederhana. Hal itu merupakan prinsip dalam hidupnya yang dipegang teguh hingga akhir hayatnya. Ada dua sikap hidup yang selalu dipegangnya yaitu : Hidup sederhana tapi berpikir luhur dan yang kedua : Perjuangan adalah ibu dan bapak dari segala-galanya.
Semasa hidupnya, Ya' Syarif Umar pernah mempelopori berdirinya asrama KPMKB di Yogyakarta. Dulu, rumah sakit bersama-sama direbut dari Militer Belanda. Ya' Syarif Umar juga menjadi salah satu penggagas perguruan tinggi di Kalimantan Barat.
Ya' Syarif Umar mendorong para tokoh dari Kalimantan Barat untuk merencanakan berdirinya sebuah Universitas di Kalimantan Barat dan Universitas Daya Nasional resmi didirikan pada tahun 1959, yang merupakan cikal bakal dari Universitas Tanjungpura.
Sempat menjadi anggota MPRS RI 1960-1972, anggota DPRD Kalimantan Barat untuk periode 1972 - 1977 dan 1977- 1982.
Ia juga mendorong dibangunnya RSUD, dan mengusulkan agar nama dr Sudarso, yang diabadikan untuk rumah sakit itu. Usul itupun akhirnya dikabulkan.
#Sekilas kisah tentang Victor Willem Charles Ploegman
Victor Willem Charles Ploegman
adalah seorang pemimpin organisasi Indo Europesche Vereniging (IEV) yang diangkat oleh NICA menjadi Wali Kota Surabaya.
Pada tanggal 18 September 1945 malam hari atas perintah dari Victor Willem Charles Ploegman, Bendera Belanda dikibarkan di Hotel Yamato untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada 31 Agustus.
Victor Willem Charles Ploegman akhirnya jadi aktor pemicu Insiden Bendera yang terjadi pada tanggal 19 September 1945. Pemuda pejuang Surabaya menjadi marah dan Victor Willem Charles Ploegman akhirnya meninggal dunia dalam peristiwa ini.
Berikut ini adalah kisahnya yang ditulis dalam catatan Wikipedia Indonesia.
Victor Willem Charles Ploegman, lahir pada tanggal 25 Februari 1893 di kota Tegal, Jawa Tengah dan meninggal dunia di Surabaya,
20 September 1945 dalam usia 52 tahun.
Hidup di lingkungan birokrat dengan kultur Eropa yang kuat membuat Victor Willem Charles Ploegman menjadi pemuda yang cerdas, disiplin dan juga keras kepala.
Victor Willem Charles Ploegman menamatkan pendidikannya di negeri Belanda dan meraih gelar sarjana hukum. Ia mendapatkan titel yang sangat bergengsi bagi kaum Eropa di tanah Hindia Belanda. Setelah lulus sekolah Charles Ploegman melanjutkan karier sesuai bidang keilmuannya, yakni menjadi seorang advokat. Ia menjadi konsultan hukum untuk perusahaan lokal milik Hindia Belanda dan mengurusi juga adminitrasi pertanahan di negeri jajahan.
Charles Ploegman kemudian menikah dengan gadis bernama Adelien J. Van Leewen, dan dikaruniai beberapa putra. Sebelum Jepang masuk Hindia Belanda, Charles Ploegman tinggal di Reinersz Boulevard, yang kini berganti nama menjadi Jalan Diponegoro, Surabaya. Sebagai praktisi hukum Charles Ploegman mempunyai banyak relasi dan loyal terhadap pemerintah Hindia Belanda, sehingga ia dikenal luas oleh elit kolonial. Pantas jika Charles Ploegman kerap dipercaya memegang organisasi.
Charles Ploegman pernah menjabat sebagai Ketua Indo Europesch Verbond ( IEV ) sebuah perkumpulan warga Indo-Eropa yang tinggal
di Hindia Belanda. Pasca kekalahan Jepang tahun 1945, ia kembali ke Indonesia sebagai anggota elit organisasi RAPWI “Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees” dan AFNEI “Allied Forces Netherlands East Indies” serta terdaftar dalam jajaran NICA.
Dalam NICA atau “Netherlands Indies Civil Administration” dibentuk Komite Kontak Sosial yang kemudian berkantor di Hotel Yamato, Jalan Tunjungan No. 65, Surabaya.
Bahkan saat itu pemerintah kerajaan Belanda menunjuk Charles Ploegman sebagai walikota Surabaya ( Calon Walikota Surabaya ).
Pada tanggal 18 September 1945 petang hari Charles Ploegman mengibarkan bendera Belanda di menara utara Hotel Yamato, meski sebenarnya ia tahu bahwa bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan sebulan sebelumnya.
Charles Ploegman bersikukuh pengibaran bendera tri warna tersebut untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhemina, pemimpin dari kerajaan Belanda yang jatuh pada tanggal
31 Agustus. Tindakan inilah yang kemudian memancing emosi rakyat Surabaya sekaligus menghantarkan Charles Ploegman di ujung kematian.
Tanggal 19 September 1945 merupakan hari kelam bagi Charles Ploegman.
Ratusan massa menggeruduk Hotel Yamato, memaksa agar bendera Belanda yang masih berkibar di puncak hotel segera diturunkan. Keadaan cukup menegangkan, menit demi menit bagai gulungan ombak, massa semakin tidak terkendali.
Sempat terjadi perundingan antara Residen Soedirman dengan Charles Ploegman namun berlangsung alot. Pecah kontak fisik ini, Sidik pendamping dari Residen Soedirman gugur terkena letusan pistol. Sedangkan Charles Ploegman terluka. Keesokan hari tanggal 20 September 1945 V.W.Ch Ploegman sang aktor sejarah menghembuskan napas terakhirnya
di rumah sakit CBZ Simpang dalam usia 52 tahun.