Dua arsitek yang ternama Indonesia Friedrich Silaban dan R.M. Soedarsono ini merupakan
2 arsitek yang merancang sekaligus menjadi arsitek yang membangun Tugu Monumen Nasional yang kini masih terlihat kokoh berdiri di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Friedrich Silaban adalah arsitek pemenang dari sayembara desain konstruksi dari Monumen Nasional, namun pada saat desain ditunjukkan kepada Presiden Soekarno ada beberapa hal yang kurang pas di hati presiden, F. Silaban kemudian mendesain ulang Monas. Kembali ditunjukkan kepada presiden namun ternyata desain yang super bagus dari F. Silaban tidak bisa diwujudkan karena terbentur biaya, karena memang keuangan negara sedang krisis. Rencana pembangunan Monas pun ditunda.
R.M. Soedarsono hadir sebagai arsitek Monas yang kedua, kehadiran dua arsitek ini membuat rencana pembangunan Monas dilanjutkan lagi dan 17 Agustus 1961 Tugu Monas ini mulai dibangun, sekalipun banyak tertunda karena situasi Jakarta, pada akhirnya selesai juga dan diresmikan tanggal 12 Juli 1975. Dan secara
keseluruhan proyek pembangunan dari semua bangunan di kompleks Monumen Nasional ini berakhir tahun 1976.
Berikut ini adalah sepenggal kisah tentang dua arsitek Monas yang sudah berjasa besar bagi bangsa Indonesia, merancang bangunan indah yang hingga kini masih tetap kokoh berdiri dan menjadi kebanggaan masyarakat Jakarta dan juga menjadi salah satu ikon Indonesia di mata dunia internasional.
1. Friedrich Silaban
Friedrich Silaban adalah seorang opzichter atau arsitek generasi awal Indonesia.
Friedrich Silaban adalah alumni dari KWS atau Koningen Wilhelmina School di Batavia pada tahun 1931 dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda pada tahun 1950, dalam bidang arsitektur bisa disebut sebagai arsitek otodidak karena banyak desain bangunan yang dibuat dengan cara belajar sendiri/mandiri.
Namun hasil rancangannya sangat luar biasa.
Stadion Utama Gelora Bung Karno - Jakarta, Monumen Nasional, Gedung Bank Indonesia dan Masjid Istiqlal Jakarta adalah hasil desain yang dibuat Freidrich Silaban.
Dalam catatan biografinya, Friedrich Silaban dilahirkan di Bonan Dolok, Serdang Bedagai, Samosir, Sumatera Utara, 16 Desember 1912 dan meninggal dunia di Jakarta, 14 Mei 1984 dalam usia 71 tahun.
Arsitek Friedrich Silaban ini menyelesaikan pendidikan formalnya di H.I.S. Narumonda, Tapanuli pada tahun 1927, kemudian masuk sekolah Koningen Wilhelmina School (K.W.S.) di Batavia pada tahun 1931dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda pada tahun 1950. Setelah lulus Friedrich Silaban kemudian
bekerja menjadi pegawai Kotapraja di Batavia, selanjutnya menjadi Opster Zeni Angkatan Darat Belanda, Kepala Zenie di Pontianak Kalimantan Barat pada tahun 1937 dan sebagai Kepala DPU dari Kotapraja Bogor hingga tahun 1965. Friedrich Silaban kemudian mulai dikenal sebagai arsitek otodidak tetapi mempunyai berbagai karya besarnya di dunia arsitektur dan rancang bangun yang mendunia dan beberapa hasil karyanya menjadi simbol kebanggaan bangsa Indonesia.
Friedrich Silaban adalah arsitek yang sudah mendapatkan Anugerah Tanda Kehormatan Bintang Jasa Sipil, berupa Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Republik Indonesia atas jasa dan prestasinya dalam merancang arsitektur dan pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta.
Friedrich Silaban juga merupakan salah satu penandatangan Konsepsi Kebudayaan yang dimuat di Lentera dan lembaran kebudayaan harian Bintang Timur mulai tanggal 16 Maret 1962 yaitu sebuah konsepsi kebudayaan untuk mendukung usaha dari pemerintah Republik Indonesia dalam memajukan kebudayaan nasional, termasuk musik yang diprakarsai oleh Lekra atau Lembaga Kebudajaan Rakjat, onderbouw Partai Komunis Indonesia dan didukung oleh Lembaga Kebudayaan Nasional, onderbouw Partai Nasional Indonesia dan Lembaga Seni Budaya Indonesia atau Lesbi,
onderbouw dari PESINDO.
Friedrich Silaban juga berperan besar dalam pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Pada bulan April 1959, Ir. Soehartono Soesilo yang mewakili Biro Arsitektur PT Budaya dan arsitek Friedrich Silaban yang merasa tidak puas dengan hasil Konferensi Nasional di kota Jakarta, dengan pembentukan GAPERNAS atau Gabungan Perusahaan Perencanaan dan Pelaksanaan Nasional, dimana keduanya berpendapat bahwa kedudukan "perencana dan perancangan" tidaklah sama dan tidak juga setara dengan "pelaksana".
Mereka berpendapat pekerjaan perancangan berada di dalam lingkup kegiatan profesional atau disebut konsultan, yang ikut bertanggung jawab secara moral dan juga kehormatan perorangan yang terlibat di dalamnya, karena hal itu tidak semata-mata berorientasi sebagai usaha yang mengejar laba (profit oriented). Sebaliknya pekerjaan pelaksanaan atau yang disebut kontraktor, lebih cenderung bersifat bisnis komersial, yang keberhasilannya diukur dengan besarnya laba dan tanggung jawabnya secara yuridis atau formal hanya bersifat kelembagaan atau badan hukum, dan bukan perorangan serta terbatas pada sisi finansial.
Akhir kerja keras dua pelopor ini bermuara pada pertemuan besar pertama para arsitek dua generasi di Bandung pada tanggal 16 dan 17 September 1959. Pertemuan yang dihadiri oleh 21 orang, termasuk diantaranya tiga orang arsitek senior, yaitu: Arsitek Friedrich Silaban, Mohammad Soesilo, Liem Bwan Tjie dan 18 orang arsitek muda lulusan pertama Jurusan Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung atau ITB alumni tahun 1958 dan tahun 1959.
Dalam pertemuan tersebut dirumuskan tujuan, cita-cita, konsep Anggaran Dasar dan juga dasar-dasar pendirian persatuan arsitek murni, sebagaimana yang tertuang dalam dokumen pendiriannya, yaitu : “Menuju dunia Arsitektur Indonesia yang sehat”.
Pada malam yang bersejarah itu resmi berdiri satu-satunya lembaga tertinggi dalam dunia arsitektur profesional Indonesia dengan nama Ikatan Arsitek Indonesia yang disingkat IAI.
* Karya arsitektur Friederich Silaban
1. Rumah Dinas Wali kota di Bogor (1935)
2. Tugu Khatulistiwa di Pontianak (1938)
3. Kantor Dinas Perikanan di Bogor (1951)
4. Masjid Istiqlal di Jakarta (1954)
5. Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata
di Jakarta (1953)
6. Kampus Cibalagung dari Sekolah Tinggi
Penyuluhan Pertanian (STPP)/Sekolah
Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Bogor
(1953)
7. Gedung Bentol di Jawa Barat (1954)
8. Rumah Pribadi Friedrich Silaban di Bogor
(1958)
9. Kantor Pusat Bank Indonesia di Jalan
Thamrin, Jakarta (1958)
10. Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon
Sirih, Jakarta (1960)
11. Gedung BNI 1946 di Jakarta (1960)
12. Monumen Nasional atau Tugu Monas di
Jakarta (1960)
13. Menara Bung Karno di Jakarta (1960-1965)
( Rancangan yang tidak terbangun)
14. Gedung BNI 1946 di Medan (1962)
15. Gedung Pola - Jakarta (1962)
16. Markas TNI Angkatan Udara di Jakarta
(1962)
17. Stadion Utama Gelora Bung Karno di
Jakarta (1962)
18. Monumen Pembebasan Irian Barat di
Jakarta (1963)
19. Rumah pribadi dari A Lie Hong di Bogor
(1968)
20. Gedung Universitas HKBP Nommensen di
Medan (1982)
* Masjid Istiqlal - Jakarta ( 1953)
Frederich Silaban memenangkan sayembara pembuatan gambar maket Masjid Istiqlal dengan motto atau sandi : "Ketuhanan" dan kemudian bertugas membuat desain Masjid Istiqlal secara keseluruhan. Masjid Istiqlal ini juga merupakan Masjid yang terbesar di Asia Tenggara pada tahun 1970-an
* Gedung Bentol - Jawa Barat (1954)
Rancangan gedung ini sudah diarsipkan pada tanggal 31 Juli 2005 di Wayback Machine.
Gedung Bentoel ini merupakan bagian dari Istana Kepresidenan Cipanas. Gedung ini terletak di jalur jalan raya puncak, Jawa Barat dan berlokasi tepat di belakang gedung induk dan berdiri di dataran yang lebih dari bangunan yang lain.
Gedung yang sering disebut sebagai tempat Soekarno mencari inspirasi dan kemudian dinamakan Gedung Bentol karena seluruh dindingnya ditempel batu alam yang membuat kesan bentol-bentol.
*Kampus Cibalagung dari Sekolah Tinggi
Penyuluhan Pertanian (STPP) atau Sekolah
Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Bogor
( 1953)
Arsitek Friedrich Silaban juga membangun Kampus Cibalagung dari Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) atau Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Bogor pada tahun 1953. Sekolah pertanian ini telah melahirkan sejumlah tokoh kawakan di berbagai bidang. Beberapa orang di antaranya bahkan pernah menjabat sebagai menteri. Padahal sekolah yang kini berumur seabad Diarsipkan pada tanggal 6 Januari 2004 di Wayback Machine. Sekolah ini sejatinya "kawah candradimuka" bagi penyuluh dan teknisi di bidang pertanian.
*Rumah Dinas Wali kota - Bogor (1935) Friedrich Silaban memenangkan sayembara perencanaan rumah Wali kota Bogor (1935) dan beberapa hotel lainnya.
Dalam sayembara-sayembara tersebut, hanya Friedrich Silaban yang menjadi satu-satunya arsitek pribumi.
*Tugu Khatulistiwa - Pontianak (1938)
Tugu ini dibangun pertama kali pada 1928 oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda. Pada tahun 1938 tugu ini dibangun kembali dan disempurnakan oleh Friedrich Silaban. Pada tahun 1990 dibangun duplikatnya dengan ukuran 5 kali lebih besar untuk melindungi tugu khatulistiwa yang asli. Dan pembangunan yang terakhir ini kemudian diresmikan pada tanggal 21 September 1991.
2. R.M. Soedarsono
Arsitek yang kedua adalah R.M.Soedarsono yang berasal dari kota Solo, Jawa Tengah.
Pada awalnya Presiden Soekarno tertarik dengan Tugu Pemuda yang berada di depan Balai Kota Malang, Presiden Soekarno akhirnya juga memanggil R.M. Soedarsono untuk ikut
menyempurnakan desain dari Tugu Monumen Nasional hasil rancangan dari arsitek Friedrich Silaban.
Pada suatu hari Minggu pagi pada bulan April 1952, R.M.Soedarsono diminta menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ia diterima Presiden di beranda yang menghadap Kebun Raya Bogor. Saat itu Bung Karno didampingi Kepala Rumah Tangga Militer Presiden Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardojo, arsitek Friedrich Silaban, pelukis Dullah dan Ernest Dezentje, serta pejabat rumah tangga Istana Merdeka, Tukimin. Soehardjo Hardjowardojo, yang berasal dari Solo, memperkenalkan R.M. Soedarsono kepada Bung Karno sebagai orang Solo. "Bukankah dia dari Malang?" ujar Bung Karno.
Hari itu memang pertemuannya yang kedua. Sebelumnya, pada suatu hari di tahun 1946, keduanya pernah bertemu di Batu, Jawa Timur. Bung Karno kala itu menggagas pembangunan Tugu Pemuda dan kolamnya di depan Balai Kota Malang.
R.M. Soedarsono bergabung dengan Badan Keselamatan Rakyat Bagian Teknik di Malang. "Sewaktu berkenalan dengan Bung Karno, saya merasa terpesona. Tampak sinar mata Bung Karno menunjukkan kewibawaan," kata dia kepada Solichin Salam yang dituliskan dalam buku : Tugu Nasional dan Soedarsono.
Rumah peristirahatan pribadi Bung Karno yang diberi nama Bima Sakti di Batutulis, Bogor, pada 1961 merupakan hasil goresan tangan dari R.M. Soedarsono."
Hasil kerja R.M. Soedarsono di Malang yang memuaskan membuatnya dipanggil ke Bogor. Seolah mengujinya, kali ini si Bung meminta R.M. Soedarsono untuk membuat gambar pemandangan dengan batu-batuan dan air yang mengalir di lereng perbukitan sebagai lokasi pembangunan rumah kecil.
Bung Karno memperhatikan gerakan tangan R.M. Soedarsono dan hanya memberikan komentar pendek, "Yah!" Setelah Bung Karno merampungkan tes kecil itu, R.M. Soedarsono pun diajak berkeliling Istana Bogor.
"Saya ditarik ke Jakarta untuk pemugaran Istana Bogor dan Istana Cipanas," kata R.M. Soedarsono. Ia pun diangkat sebagai arsitek Istana Presiden, menggantikan arsitek Volinga.
Terhitung sejak 1952, karya R.M. Soedarsono dalam bidang arsitektur mulai bermunculan. Dia diminta untuk menggambar gedung SMA Pancasila Yogyakarta.
Kemudian pembangunan Istana Tampaksiring yang berada di Bali pada 1956.
Kembali Bung Karno memintanya merancang masjid yang akan didirikan di samping Istana Merdeka. Masjid yang kemudian diberi nama Baiturahhim itu mulai dibangun pada 1960 dengan menggunakan batu-batu alam dari Sumatera, ornamen koral dari Bali, lampu krom dari Cekoslovakia, dan permadani dari Arab.
Rumah peristirahatan pribadi Bung Karno yang diberi nama Bima Sakti di Batutulis, Bogor, pada 1961 pun hasil goresan tangan dari R.M. Soedarsono. Tentu yang paling monumental adalah Monumen Nasional.
R.M. Soedarsono lahir di Desa Gawok, yang pada saat itu masuk wilayah Kawedanan Surakarta. Ayahnya masih keturunan kerabat Kasunanan Pakubuwono. Pada 1927, ia lulus HIS Idenburg School, kemudian menempuh ujian sekolah lanjutan ke Technische School Princes Juliana School di Yogyakarta pada tahun 1928. Waktu itu ia pilih sekolah teknik dengan alasan agar bisa meraih kemajuan yang sejajar dengan bangsa-bangsa asing. Guru-gurunya semua orang-orang Belanda dan Perancis. R.M. Soedarsono akhirnya berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1932 untuk jurusan Spoorweg dan Waterbouw.
R.M. Soedarsono kemudian berguru pada insinyur bangunan dan pengembangan kota bernama Thomas Nix. Ayah empat anak itu bekerja bersama ahli-ahli teknik sipil Jepang kelompok Fujitagumi, yang melayani semua pembangunan untuk keperluan bala tentara Jepang. Biro Fujitagumi dipimpin insinyur lulusan Amerika Serikat bernama Murashima. Pada saat Jepang menyerah, R.M. Soedarsono bergabung dengan Badan Keselamatan Rakyat Bagian Teknik di Malang. Ia ikut aktif dalam pengambilalihan perusahaan yang dikuasai tentara Jepang.
Setelah Negeri Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, R.M. Soedarsono kemudian pindah ke Surabaya. Ia bergabung ke Divisi Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Timur dan bertugas di bagian Perencanaan Gedung-gedung Negara dan akhirnya ditarik ke Jakarta menjadi arsitek kepercayaan Presiden Soekarno.
R.M. Soedarsono tidak pernah mengenyam pendidikan arsitektur secara formal, baik dari universitas maupun akademi. Bakatnya dalam merancang bangunan dikembangkan lewat latihan dan pengalaman. Ketika berada di Bandung sebelum masa pendudukan Jepang, ia berguru pada seorang insinyur bangunan dan pengembangan kota bernama Thomas Nix. Pada saat itu Thomas Nix bertugas di kantor Balai Kota Bandung dan mengerjakan bangunan militer serta perumahan sipil. Selanjutnya Thomas Nix menjadi guru besar
di Universitas Teknologi Delft, Belanda.
Ketika ditanya siapa gurunya, R.M. Soedarsono berkata, "Gurunya adalah Profesor Thomas Nix dan Bung Karno !"