Minggu, 03 Oktober 2021

Buku-Buku yang Pernah Dirazia karena Dianggap Berbau Komunis

 Buku-Buku yang Pernah Dirazia karena Dianggap Berbau Komunis

Reporter:
Non Koresponden
Editor:
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Kamis, 30 September 2021 17:17 WIB

Buku-Buku yang Pernah Dirazia karena Dianggap Berbau Komunis
Ilustrasi razia buku PKI. Antaranews.com

TEMPO.COJakarta - Berita tentang penyitaan terhadap buku-buku berhaluan kiri, memuat paham komunisme, atau berbau PKI oleh aparat kerap terdengar. Hal ini umumnya dilakukan dengan dalih menegakkan TAP MPRS Nomor 26 Tahun 1966 tentang larangan penyerapan paham komunisme.

Salah satu contohnya terjadi di toko buku Nagare Boshi di Kota Padang, Sumatera Barat pada awal 2019. Aparat yang tergabung atas unsur TNI, Kepolisian, dan Kejaksaan Negeri menyita enam eksemplar dari tiga judul yang berbeda, yakni 'Mengincar Bung Besar', 'Kronik 65', dan 'Jasmerah',"

Kejadian serupa terjadi pula di Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Juli 2019. Saat itu dua mahasiswa ditangkap petugas karena membawa buku biografi DN Aidit ke lapak bacaan Alun-alun Kraksaan. Petugas menyita buku ‘Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara’, ‘Sukarno Marxisme Dan Leninisme Akar Pemikirian Kiri Dan Revolusi Indonesia’, ‘Menempuh Jalan Rakyat, DN Aidit’, dan ‘Sebuah Biografi Ringkas DN Aidit’ oleh TB empat Saudara.
 
Berikut beberapa buku lainnya yang dicap bermuatan komunis dan pernah dirazia seperti dikutip dari artikel Habis Gelap Terbitlah Terang, Sudah Terbit Malah Dilarang yang tayang di KontraS.org
 
Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan
Buku yang ditulis Soe Hok Gie diterbitkan oleh Bentang Pustaka 1977. Buku ini membahas pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 dan menceritakan konflik internal PKI serta mendeskripsikan latar belakang dari beberapa komunis masa itu.
 
Dalam buku ini diceritakan sebab-sebab meletusnya pemberontakan Madiun 1948. Silang pendapat antara Musso dan Tan Malaka mengenai rencana pemberontakan Madiun.
 
Aidit: Dua Rupa Wajah Dipa Nusantara
Buku ini mulanya rangkaian reportase mengenai Dipa Nusantara Aidit di Majalah Tempo edisi 1 Oktober 2007. Seri Buku Tempo Orang Kiri Indonesia terbitan KPG ini menceritakan masa kecil Aidit hingga sepak terjangnya sebagai ketua PKI. Juga dibahas tentang Aidit pada saat terjadi peristiwa G30S.
 
Di Bawah Lentera Merah
Buku ini menjelaskan Sarekat Islam, salah satu bentuk pergerakan rakyat Indonesia di awal abad ke-20, di Semarang pada 1917 sampai dengan 1920. Buku ini merupakan hasil tugas akhir skripsi Soe Hok Gie di jurusan Sastra Universitas Indonesia.
 
Buku ini menerangkan tentang latar belakang sosial masyarakat pendukung Sarekat Islam di Semarang pada tahun 1917-1920 yang tadinya didominasi oleh  kaum menengah dan pegawai negeri menjadi kaum buruh dan rakyat kecil. Dalam buku ini menyebutkan perubahan tersebut melahirkan gerakan marxisme pertama di Indonesia.
 
Sukarno, Orang Kiri, Revolusi, dan G30S 1965
Buku karya Ong Hok Ham ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Buku ini adalah perpaduan antara pengalaman empiris dan ulasan sejarah terhadap Sukarno juga menggambarkan persinggungan Ong dengan kelompok kiri, revolusi, dan G30S 1965, PKI dan tragedi setelahnya.  

https://tekno.tempo.co/read/1512297/...s/full&view=ok

Asal Usul Gajah Mada Menurut Sumber Sastra Kuno

 Asal Usul Gajah Mada Menurut Sumber Sastra Kuno


Gajah Mada bisa jadi berasal dari Lamongan, Mojolangu, Bali, Bima, Lampung, Batak, atau bahkan Kalimantan sekalipun. Tergantung kepada siapa Anda bertanya. Sebagai tokoh besar yang ketenarannya sering jauh mengungguli raja-raja Majapahit junjungannya, nama besar dan kualitas kepemimpinannya masih laku hingga kini, masih dijadikan acuan tauladan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Jadi jangan heran bila banyak kalangan saling berebut klaim.

Masyarakat merasa bangga memiliki identitas sebagai pewaris budaya yang hebat. Potensi historiografi masa lalu yang demikian ini memang diperlukan untuk memperteguh eksistensi identitas mereka.

Berikut ini 4 sumber tulis naskah sastra yang bisa mendukung interpretasi tentang asal-usul Gajah Mada:

NASKAH USANA JAWA

Menurut naskah ini, Gajah Mada dilahirkan di Pulau Bali.

Dikisahkan bahwa Gajah Mada lahir dengan cara memancar dari buah kelapa sebagai penjelmaan dari Sang Hyang Narayana (Visnu) sehingga Gajah Mada dipercaya lahir tanpa ayah dan ibu, namun ia lahir Karena kehendak dewa-dewi (Yamin 1977:13).

Naskah tradisional nusantara sering menegaskan legitimasi tentang kelebihan pada diri seseorang melalui mitos, sehingga tokoh yang dimaksud memang pantas dijunjung tinggi dan dihormati. Sang tokoh biasanya digambarkan sebagai anak seorang dewa atau bahkan penjelmaan dewa sendiri yang diturunkan ke dunia secara tidak lazim. Keajaiban demi keajaiban adi kodrati selalu mengiringi sejak hari kelahiran, masa kanak-kanak, dewasa, bahkan hingga hari kematiannya.

Penggambaran seperti ini umum berlaku pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu/Buddha pada masa itu sehingga tafsir atau rasionalisasinya diperlukan agar isi naskah dapat dijadikan rujukan.

BABAD GAJAH MADA

Merupakan karya sastra Bali di masa selanjutnya. Diceritakan bahwa ada seorang pendeta muda bernama Mpu Sura Dharma Yogi yang memiliki istri bernama Patni Nari Ratih, istri yang diberikan oleh gurunya Mpu Raga Gunting atau yang dijuluki Mpu Sura Dharma Wiyasa.

Mpu Sura Darma Yogi membuat huma di sebelah selatan Lembah Tulis sedangkan Patni Nari Ratih tetap tinggal di pertamanan, hanya sesekali ia menengok sang suami di huma yang baru dibuat.

Dewa Brahma jatuh cinta kepada Patni Nari Ratih karena parasnya yang cantik. Hingga suatu ketika Nari Ratih diperkosa oleh Dewa Brahma di gubuk yang sepi.

Peristiwa tersebut Nari Ratih adukan kepada sang suami. Sehingga akhirnya mereka pergi mengembara selama berbulan-bulan lamanya. Ketika sang bayi yang ada dalam kadungan sudah waktunya untuk lahir, mereka tiba di desa Mada yang terletak di kaki Gunung Semeru.

Lahirlah sang bayi laki-laki dengan diiringi peristiwa alam yang menandakan bahwa sang bayi kelak akan menjadi tokoh penting. Bayi laki-lai tersebut diasuh oleh kepala Desa Mada, sedangkan kedua orangtuanya pergi bertapa di puncak Gunung Plambang untuk memohon keselamatan dan kejayaan bagi si bayi. Dewata mengabulkan permohonan tersebut dengan mengatakan bahwa kelak si bayi akan menjadi orang yang dikenal di seluruh nusantara.

Bertahun-tahun berlalu, Mahapatih Majapahit datang ke desa Mada dan mengajak anak kepala desa bernama Mada yang sekarang beranjak remaja untuk ikut ke Majapahit dan mengabdi kepada raja. Mahapatih Majapahit kemudian menikahkan Mada dengan putrinya yang bernama Ken Bebed, lalu membantu Mada untuk menggantikan kedudukannya sebagai Mahapatih Amangkubumi Majapahit. Berkat Mahapatih Amangkubumi Mada, Majapahit berhasil mengembangkan kekuasaannya hingga banyak raja dari luar Pulau Jawa yang tunduk kepada Raja Majapahit (Muljana 1983:175).

BABAD ARUNG BONDAN

Kitab Jawa Pertengahan Babad Arung Bondhan menawarkan penjelasan berbeda mengenai asal-usul Gajah Mada. Dalam kita tersebut dikisahkan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari Patih Lugender (dikenal dengan nama Logender dalam cerita Damarwulan dan Menakjingga). Dalam cerita tersebut dinyatakan bahwa Logender menjadi Patih Ratu Majapahit bernama Ratu Kenya (Kencanawungu).

Terjemahan kitab adalah sebagai berikut:

  • “Telah lama sang raja (memerintah)

    kedua orangtuanya telah meninggal

    Patih Lugender dikemudian hari

    dan Patih Udara

    yang menggantikan kedudukannya

    Patih Lugender setelah mangkat

    putranya yang menggantikan

  • Gajah Mada namanya

    disayangi oleh raja

    pekerjaannya selalu cekatan

    cukup lama tidak menikah

    dengan manusia biasa

    istrinya makhluk halus

    oleh karena itu tidak menikahi manusia.

J.L.A. Brandes pernah mengatakan bahwa kisah Damarwulan dan Menakjingga terjadi dalam masa pemerintahan Ratu Suhita di tahta Majapahit. Menakjingga yang dimaksud dalam kisah tersebut setara dengan Bhre Wirabhumi, penguasa kedaton timur yang berperang melawan Majapahit.

Sehingga jika tafsiran ini diikuti maka Gajah Mada anak dari Patih Logender baru ada setelah Majapahit melewati masa kejayaannya. Sedangkan dalam berbagai prasasti dan Kakimpoi Nagarakrtagama sebagai bukti yang otentik disebutkan bahwa Gajah Mada berperan dalam masa awal dan masa kejayaan Majapahit dalam periode kekuasaan Hayam Wuruk.

Quote:

Quote:

Hal yang paling menarik dalam kitab Babad Arung Bondan dan dapat dijadikan interpretasi lebih lanjut adalah pernyataan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari seorang Mahapatih. Adapun nama patih yang menjadi ayah Gajah Mada masih belum akurat, sebab dalam kisah-kisah tradisional nama tokoh sering berganti karena diceritakan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang berbeda.

PARARATON

Krtarajasa Jayawardhana, atau dalam Pararaton dikenal dengan Raden Wijaya disebutkan memiliki beberapa pengikut yang setia. Merekalah yang mengiringi Raden Wijaya dalam pengungsian dan kemudian membuka hutan Trik sebagai cikal bakal Majapahit. Pengikut-pengikut tersebut diantaranya adalah Lembusora, Nambi, Ranggalawe, Gajah Pagon, Pedang Dangdi, dan lainnya.

Dikisahkan bahwa salah satu pengiring Raden Wijaya bernama Gajah Pagon, terluka karena terkena tombak di pahanya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kadiri. Namun walaupun dalam kondisi terluka, Gajah Pagon tetap mampu berkelahi melawan orang-orang dari Kadiri yang mengejar-ngejar rombongan Raden Wijaya.

Setelah tentara Kadiri dapat dihalau, rombongan Raden Wijaya memasuki hutan di daerah Talaga Pager. Setelah itu mereka memutuskan untuk menuju ke Desa Pandakan dan disambut oleh kepala desa bernama Macan Kuping. Di desa ini, Raden Wijaya disuguhi kelapa muda yang setelah dibuka berisi nasi putih. Kemudian perjalanan berlanjut menuju Pulau Madura dan meminta bantuan kepada Arya Wiraraja. Namun, karena luka yang diterimanya, Gajah Pagon harus ditinggalkan di Desa Pandakan (Hardjowardojo 1956:39-40).

Mengenai tokoh Gajah Pagon Kitab Pararaton menyatakan:

“Gajah Pagon tidak dapat berjalan, berkata Raden Wijaya: ‘Penghulu Desa Pandakan saya titip seorang teman, Gajah Pagon tak dapat berjalan, agar ia tinggal di sini’.

Berkatalah orang Pandakan: ‘Hal itu akan membuat buruk taunku, juka Gajah Pagon ditemukan di sini, sebaiknya jangan ada pengikut tuanku yang diam di Pandakan. Seyogyanya ia berdiam di tengah kebun, di tempat orang menyabit rumput ilalang, di tengah-tengahnya dibuat sebuah ruangan terbuka dan dibuatkan gubuk, sepi taka da orang yang tahu, orang-orang Pandakan membawakan makanannya setiap hari’.

Gajah Pagon lalu ditinggalkan di situ.”
 (Hardjowardojo 1965:40).

Gajah Pagon tidak diceritakan lebih lanjut oleh Kitab Pararaton, namun dapat ditafsirkan bahwa keadaan Gajah Pagon berangsur-angsur membaik dan sembuh dari lukanya. Kemungkinan lain yang terjadi adalah ia dinikahkan dengan anak perempuan dari Macan Kuping.

Setelah kepala desa Desa Pandakan meninggal dunia, Gajah Pagon menggantikan tugasnya sebagai kepala desa. Selain itu, Majapahit dapat didirikan dengan menunjuk Raden Wijaya sebagai raja. Saat itulah para pengikut setia Raden Wijaya masing-masing diberikan kedudukannya, walaupun dalam berbagai sumber menyatakan bahwa ada yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan. Namun, Gajah Pagon tetap menjadi kepala desa Desa Pandakan.

Tafsiran selanjutnya yang terjadi adalah Gajah Pagon memiliki putra dari perkimpoiannya dengan anak Macan Kuping. Anak lelaki yang tumbuh gagah seperti ayahnya yang diberi nama Gajah Mada.

Gajah Mada dilahirkan dan dibesarkan di Desa Pandakan. Kemudian, ia mendapat pendidikan kewiraan oleh ayahnya. Nama desa Pandakan sendiri mungkin berlokasi di wilayah Pandakan sekarang, salah satu kecamatan di utara Malang. Apabila hal ini benar adanya, maka dapat disimpulkan bahwa Gajah Mada lahir di Jawa Timur, di dataran tinggi Malang, sebagai daerah awal mengalirnya Sungai Brantas.

Diawal berdirinya Majapahit, orang yang cukup disegani dan menggunakan nama “Gajah” hanya Gajah Pagon. Jika sang ayah, Gajah Pagon dikenal pada masa pemerintahan Raden Wijaya, maka Gajah Mada mulai dikenal pada masa pemerintahan Raja Jayanegara. (AGU)


(Sumber: Gajah Mada, Biografi Politik-Agus Aris Munandar.Gambar sampul karya Pramono Estu)

Jumat, 01 Oktober 2021

Waspada Varian Delta Plus, Sudah Vaksin dan Sembuh Bisa Kena Lagi

 Waspada Varian Delta Plus, Sudah Vaksin dan Sembuh Bisa Kena Lagi


Peneliti mengidentifikasi adanya varian Delta Plus. Varian ini menyerang orang yang sudah divaksin dan terinfeksi COVID-19. Orang-orang yang sudah divaksin dan menjadi penyintas COVID-19 ini bisa terinfeksi lagi.

Salah satu orang yang mengalami hal ini adalah Kamlendra Singh, seperti dilaporkan oleh Science Daily. Singh terbang kembali ke Missouri dari India pada April lalu. Dalam perjalanan pulang, dia menderita batuk dan demam di pesawat. Untuk diketahui, Singh telah divaksinasi COVID-19 dan hasil tes COVID-19 yang dilakukannya sebelum keberangkatan menunjukkan hasil negatif.

Setibanya di rumah, Singh dinyatakan positif COVID-19, kemungkinan besar karena infeksi dari varian Delta. Mengingat diagnosis ini banyak dialami oleh orang-orang yang sudah divaksinasi dua dosis, dia ingin tahu mengapa.

Setelah menjalani pemulihan di rumah, Singh, yang merupakan profesor di MU College of Veterinary Medicine and Bond Life Sciences Center, bekerja sama dengan mahasiswa sarjana MU Austin Spratt, Saathvik Kannan, mahasiswa di Hickman High School, dan Siddappa Byrareddy, seorang profesor di University of Nebraska Medical Center untuk menganalisis urutan protein lebih dari 300 ribu sampel COVID-19 dari dua varian yang muncul di seluruh dunia, yang dikenal sebagai Delta dan Delta Plus.

Menggunakan alat dan pemrograman bioinformatika, tim mengidentifikasi lima mutasi spesifik yang jauh lebih umum pada infeksi Delta Plus dibandingkan dengan infeksi Delta, termasuk satu mutasi, K417N, yang ada di semua infeksi Delta Plus tetapi tidak ada di hampir semua infeksi Delta. Temuan ini memberikan petunjuk penting bagi para peneliti tentang perubahan struktural pada virus baru-baru ini dan menyoroti perlunya memperluas "senjata" dalam perang melawan COVID-19.

"Apakah itu antibodi alami yang dihasilkan dari penyintas COVID-19 atau antibodi yang dihasilkan dari vaksin, kami menunjukkan secara struktural betapa berbahaya dan pintarnya virus dengan mampu bermutasi dengan cara yang tampaknya tidak dikenali oleh antibodi. Mereka bertahan melawan varian baru ini," kata Spratt.

"Temuan ini membantu menjelaskan mengapa ada begitu banyak orang yang positif COVID-19 varian Delta meskipun telah divaksinasi atau sebelumnya telah terinfeksi COVID-19.

Singh menjelaskan, vaksin COVID-19 tetap efektif mencegah terinfeksi parah. Senjata tambahan yang mungkin bisa dikerahkan dalam menanggapi pandemi ini adalah pengembangan obat antivirus yang menargetkan area spesifik virus yang tetap tidak berubah oleh mutasi.

Dia memberikan contoh, belum ada vaksin untuk HIV karena variabilitas tak terduga yang sering menyertai virus yang sering bermutasi.

"Namun jika kita dapat mengembangkan obat molekul kecil yang menargetkan bagian virus yang tidak bermutasi, itu akan menjadi solusi pamungkas memerangi virus," sebutnya.

sumber : https://inet.detik.com/science/d-574...om=wp_hl_judul

Elite TNI AD, Mengapa Soeharto Tak Masuk Daftar Jenderal yang Diculik G30S?

 TEMPO.COJakarta - Mengapa Soeharto, yang pada saat peristiwa itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, tidak ikut diculik operasi G30S?


Elite TNI AD, Mengapa Soeharto Tak Masuk Daftar Jenderal yang Diculik G30S?

nonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di Lapangan Hiraq Lhokseumawe, Aceh (23/9) malam. ANTARA FOTO

Koran Tempo pada tanggal 5 Oktober 2009 pernah menerbitkan laporan khusus berjudul “Untung dan Jejaring Diponegoro”. Dalam laporan tersebut, dikatakan bahwa Soebandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen, mengelaborasi “Cornell Paper” milik Ben Anderson dan Ruth McVey, sebuah publikasi ilmiah yang merinci peristiwa G30S.

Subandrio sepakat dengan “Cornell Paper” bahwa gerakan G30S merupakan peristiwa internal Angkatan Darat dan terutama menyangkut Komando Daerah Militer Diponegoro. Tetapi, menurut Subandrio, meski sama-sama berasal dari Diponegoro, terdapat trio untuk dikorbankan, yaitu Soeharto, Untung, dan Latief. Selain itu, juga ada trio untuk dilanjutkan, yaitu Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali Moertopo.

Dari kedua trio tersebut, akan terlihat baik pelaku gerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militer yang sama, yaitu Kodam Diponegoro. Hal ini juga menjelaskan mengapa gerakan G30S hanya terjadi di Jakarta dan wilayah Kodam Diponegoro, yaitu Semarang dan Yogyakarta, sehingga dapat dipadamkan dalam hitungan hari.

Selain itu, asal komando daerah militer yang sama juga menjadi alasan mengapa Soeharto tidak masuk dalam daftar orang yang diculik. Ia dianggap sebagai kawan, minimal bukan musuh. Apalagi, Soeharto dan Latief pernah sama-sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Hal ini juga diakui oleh Latief dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer.

“... karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran,” kata Latief seperti dikutip oleh Tempo dari buku 
Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang.

Sayangnya, asumsi Latief yang menganggap Soeharto loyalis Soekarno sehingga dapat menetralisir situasi, ternyata meleset ketika ia melaporkan peristiwa pembunuhan para jenderal ke Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, 30 September 1965. Saat itu, Soeharto sedang menjaga anak bungsunya, Tommy, yang dirawat karena luka bakar.

“Tetapi perhitungan kami itu meleset. Tidak tahunya, Soeharto sudah punya planning sendiri. Soepardjo adalah anak buah langsung Jenderal Soeharto, sebagai Panglima Komando Tempur II. Dan semua teman-teman, termasuk yang ada di divisi Diponegoro, mendapat jabatan penting dari Jenderal Soeharto,” kata Latief seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 16 April 2000.

Latief kemudian berkesimpulan bahwa Soeharto terlibat dalam G30S. Kesimpulan ini ia tarik ketika memberi laporan kepada Soeharto tentang adanya Dewan Jenderal pada 28 September 1965 dan laporan bahwa para jenderal akan dihadapkan kepada Presiden pada 30 September 1965, yang ditanggapi secara dingin oleh Soeharto.

Alih-alih menghadap Soekarno, Soeharto justru memerintahkan tiga jenderal untuk meminta Surat Perintah 11 Maret. “Ini tindakan insubordinasi. Soeharto melakukan kudeta," kata Latief salah satu pimpinan operasi G30S.

sumber link ;

https://nasional.tempo.co/read/1512284/elite-tni-ad-mengapa-soeharto-tak-masuk-daftar-jenderal-yang-diculik-g30s/full&view=ok

Tumpang Tindih Fakta dan Fiksi Gerwani Menyayat Kelamin Hingga Mencungkil Mata

 Seperti yang kita ketahui Gerwani adalah organisasi Gerakan Wanita Indonesia yang pertama kali didirikan pada tahun 1950 yang diketuai oleh Umi Sardjono.Organisasi Gerwani sendiri sebelumnya dikenal dengan nama Gerwis (Gerakan Wanita Istri Sedar). Awal mulanya organisasi ini turut andil dalam membela kaum feminisme di Indonesia namun secara perlahan perannya mulai bergeser ke ranah politik pada tahun 1960-an dan mulai berafiliasi dengan PKI.


Tumpang Tindih Fakta dan Fiksi Gerwani Menyayat Kelamin Hingga Mencungkil Mata
Gambar : Aktivis Gerwani saat latihan Dwikora


Lontaran hujatan dan fitnah mulai mencoreng nama Gerwani pada saat organisasi ini terlibat dalam peristiwa pembantaian tujuh jendral G30S PKI. Diceritakan bahwa saat itu mereka menari-nari telanjang di depan para tujuh perwira angkatan darat, para anggota PKI, Pemuda Rakyat, BTI dan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) sambil diiringi lagu Ganyang Kabir dan Genjer-genjer.
Para aktivis Gerwani tersebut dikatakan menari-nari sambil menyiksa para tujuh jendral besar tersebut dengan kejam di Lubang Buaya, dan tarian itu dikenal sebagai "Tarian Bunga Harum." 

Kekejaman Gerwani membuat rakyat Indonesia semakin meradang saat berita mereka semakin tersebar luas, dan hal tersebut tidak terlepas dari peran erat media massa saat itu untuk melancarkan aksi propaganda menciptakan stigma kengerian dan ketakutan. 

Berikut beberapa aksi propaganda peristiwa dan cerita yang berhasil dirangkum :

1. Adanya peran media massa kala itu.

Khususnya pada beberapa pemberitaan media massa harian militer antara lain seperti :
(Berita Yudha, 5 Oktober 1965) Mayjen Soeharto menyatakan," Jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala, betapa kejamnya aniaya yang dilakukan oleh petulang-petualang biadab dari apa  yang dinamakan Gerakan 30 September"
(Angkatan Bersenjata, 6 Oktober 1965) berbunyi, "Matanya dicungkil.",
(Berita Yudha, 10 Oktober 1965) "Ada yang dipotong tanda kelaminnya.",



Padahal beberapa hari pasca G30S PKI Berita Yudha memajang kliping penggalan  koran sayap kiri seperti; Harian Rakyat,Warta Bhakti dan Suluh Indonesia yang memuat berita yang sangat bersebrangan dengan harian militer :
(Harian Rakyat, 2 Oktober 1965) berbunyi, "Letkol Untung,Komandan Bataljon Tjakrabirawa menyelamatkan presiden dan RI dari kup Dewan Djendral ."

Tumpang Tindih Fakta dan Fiksi Gerwani Menyayat Kelamin Hingga Mencungkil Mata
Gambar : Koran sayap kiri Harian Rakyat

dan berita dengan judul yang hampir serupa pun dimuat di Warta Bhakti pada tanggal 01 Oktober 1965. Namun tiga hari setelah Berita Yudha terbit, muncullah intruksi dari Menteri Penerangan Mayor Djendral Achmadi melarang penerbitan koran sayap kiri dan menjadi awal mula media massa dikuasai oleh harian militer seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha.


Selanjutnya setelah rezim beralih, di bawah tampuk kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto semua berita politik yang akan dimuat oleh TVRI dan RRI dikuasai oleh pemerintah dan harus seizin Pusat Penerangan Angkatan Darat.
Fiksi dan kekejaman yang dijadikan fakta ini ternyata bertahan selama puluhan tahun dan dikutip berulang-ulang oleh para wartawan dan sejarawan.

Bila kita ingin mengungkap fakta sebenarnya bisa dilakukan melalui hasil otopsi terhadap jenasah 6 jendral dan seorang perwira yang dikubur di Lubang Buaya, namun rupanya fakta ini disembunyikan rapat-rapat.Baru pada tahun 1987,seorang Indolog dari Univeristas Cornell, Ben Anderson mengungkapnya dan menimbulkan kehebohan.

Menurut hasil visum yang diketuai oleh Brigjen TNI dr Roebiono Kertapati menyatakan bahwa seluruh kelamin jenasah utuh, dan beliau mengatakan bahwa penyayatan kelamin yang dilakukan Gerwani hanyalah isapan jempol semata.Bahkan ada jenasah yang belum disunat dan diduga karena almarhum memang beragama Kristen. Sedangkan mengenai bola mata yang copot, hal tersebut terjadi karena posisi kepala yang jatuh terlebih dahulu saat dicemplungkan ke dalam sumur. Peran media massa ternyata sangat berpengaruh besar saat itu dan tentunya menjadi kendala bagi tim medis untuk menyusun laporan akhir otopsi, karena berita sudah tersebar luas dan terlanjur misleading mengenai kekejaman Gerwani.

Note : Lihat, Ben Anderson, "How Did the General Die" dalam Indonesia no.43 April 1987.Lihat juga hasil lengkap otopsi  (visum et repertum) pada Lampiran IV buku M.R Siregar (1995)


2. Adanya kesaksian 

Saat dimana para pihak militer mencoba membangun kengerian Gerwani pada peristiwa G30S PKI di Lubang Buaya, tentu saja para saksi mata menepis hasil rekayasa tersebut, seperti yang dikutip dari wawancara Saskia dengan salah satu sukarelawati anggota Pemuda Rakyat yang saat itu masih berumur enam belas tahun, gadis tersebut mengatakan,

" Saya pernah ikut latihan di Cipete, dan berkali-kali mengikuti latihan Dwikora.Sehingga saat itu saya diminta untuk ikut ke Lubang Buaya, tentu saja saya berangkat. Saya melihat bagaimana para tentara-tentara itu membunuh jendral-jendral, dan saya lari pulang."

"Pagi-pagi jam sembilan saya ditangkap dan ditahan dua minggu.Saya dipukuli dan diintrogasi.Mereka memaksa kami membuka pakaian, dan menari-nari telanjang di depan mereka, sementara mereka mengambil foto kami, lalu foto-foto tersebut disiarkan.Tak lama saya ditangkap lagi dan dilepas kembali. Seluruhnya saya pernah lima kali ditangkap dan dilepas lagi sebelum mereka akhirnya memutuskan untuk memenjarakan saya. Itu waktu permulaan November 1965 kemudian saya dilepas bulan Desember 1982."

Hal tersebut terjadi bukan hanya pada sukarelawati itu saja tapi dari beberapa saksi menyatakan hal yang bernada sama bahwa mereka ditelanjangi, difoto sambil disiarkan seolah-olah mereka berada di Lubang Buaya.

Selain kesaksian gadis itu ada juga cerita mengenai 3 orang wanita tuna susila yang saat itu ikut ke Lubang Buaya yaitu Saina, Emmy,dan Atikah. Ketiganya pun sama melarikan diri dan dikejar oleh Agen Intelejen dan pihak Angkatan Darat, namun yang berhasil ditangkap dan disiksa terlebih dahulu adalah Saina dan Emmy, sedangkan Atikah tidak dapat tertangkap karena sempat berganti nama menjadi Jamilah, namun pihak Angkatan Darat tahu sampai akhirnya mereka menemukan dua orang wanita yang bernama Atikah dan Jamilah yang akhirnya keduanya sama-sama disiksa hebat.

Pada Agustus 1965 Emmy berhasil dibebaskan dari penjara Bukit Duri dengan tuduhan melacur yang kemudian ia kembali pada pekerjaannya di Halim, namun pada bulan Oktober ia kembali ditahan di Bukit Duri dengan tuduhan sebagai tahanan politik, hal tersebut terjadi karena Emmy akan dijanjikan dibebaskan dan diberi uang sebanyak satu juta dua ratus ribu rupiah dengan syarat harus menandatangani surat pernyataan.

Emmy yang buta huruf dan tidak tahu menahu tentang Gerwani merasa lega mendengar hal itu karena berpikir penyiksaan pada dirinya akan segera berakhir, dan akhirnya ia setuju menandatanganinya, namun surat itu malah membawanya kembali ke jeruji besi dan ia hanya menerima dua ratus rupiah, sisa uang yang dijanjikan konon akan dibayar di kemudian hari.
Ternyata surat pernyataan yang ia tanda tangani adalah surat yang menyatakan bahwa Emmy adalah Ketua Gerwani cabang Jakarta dan turut andil dalam penyiksaan kelamin terhadap para jendral di Lubang Buaya, dan pada tahun 1979 Emmy baru bisa dibebaskan.

Note : Sejumlah pengakuan diambil dari wawancara Saskia dengan para korban dan saksi mata. Lihat Saskia (1999) hal.506