Gajah Mada bisa jadi berasal dari Lamongan, Mojolangu, Bali, Bima, Lampung, Batak, atau bahkan Kalimantan sekalipun. Tergantung kepada siapa Anda bertanya. Sebagai tokoh besar yang ketenarannya sering jauh mengungguli raja-raja Majapahit junjungannya, nama besar dan kualitas kepemimpinannya masih laku hingga kini, masih dijadikan acuan tauladan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Jadi jangan heran bila banyak kalangan saling berebut klaim.
Masyarakat merasa bangga memiliki identitas sebagai pewaris budaya yang hebat. Potensi historiografi masa lalu yang demikian ini memang diperlukan untuk memperteguh eksistensi identitas mereka.
Berikut ini 4 sumber tulis naskah sastra yang bisa mendukung interpretasi tentang asal-usul Gajah Mada:
NASKAH USANA JAWA
Menurut naskah ini, Gajah Mada dilahirkan di Pulau Bali.
Dikisahkan bahwa Gajah Mada lahir dengan cara memancar dari buah kelapa sebagai penjelmaan dari Sang Hyang Narayana (Visnu) sehingga Gajah Mada dipercaya lahir tanpa ayah dan ibu, namun ia lahir Karena kehendak dewa-dewi (Yamin 1977:13).
Naskah tradisional nusantara sering menegaskan legitimasi tentang kelebihan pada diri seseorang melalui mitos, sehingga tokoh yang dimaksud memang pantas dijunjung tinggi dan dihormati. Sang tokoh biasanya digambarkan sebagai anak seorang dewa atau bahkan penjelmaan dewa sendiri yang diturunkan ke dunia secara tidak lazim. Keajaiban demi keajaiban adi kodrati selalu mengiringi sejak hari kelahiran, masa kanak-kanak, dewasa, bahkan hingga hari kematiannya.
Penggambaran seperti ini umum berlaku pada sistim kepercayaan masyarakat Hindu/Buddha pada masa itu sehingga tafsir atau rasionalisasinya diperlukan agar isi naskah dapat dijadikan rujukan.
BABAD GAJAH MADA
Merupakan karya sastra Bali di masa selanjutnya. Diceritakan bahwa ada seorang pendeta muda bernama Mpu Sura Dharma Yogi yang memiliki istri bernama Patni Nari Ratih, istri yang diberikan oleh gurunya Mpu Raga Gunting atau yang dijuluki Mpu Sura Dharma Wiyasa.
Mpu Sura Darma Yogi membuat huma di sebelah selatan Lembah Tulis sedangkan Patni Nari Ratih tetap tinggal di pertamanan, hanya sesekali ia menengok sang suami di huma yang baru dibuat.
Dewa Brahma jatuh cinta kepada Patni Nari Ratih karena parasnya yang cantik. Hingga suatu ketika Nari Ratih diperkosa oleh Dewa Brahma di gubuk yang sepi.
Peristiwa tersebut Nari Ratih adukan kepada sang suami. Sehingga akhirnya mereka pergi mengembara selama berbulan-bulan lamanya. Ketika sang bayi yang ada dalam kadungan sudah waktunya untuk lahir, mereka tiba di desa Mada yang terletak di kaki Gunung Semeru.
Lahirlah sang bayi laki-laki dengan diiringi peristiwa alam yang menandakan bahwa sang bayi kelak akan menjadi tokoh penting. Bayi laki-lai tersebut diasuh oleh kepala Desa Mada, sedangkan kedua orangtuanya pergi bertapa di puncak Gunung Plambang untuk memohon keselamatan dan kejayaan bagi si bayi. Dewata mengabulkan permohonan tersebut dengan mengatakan bahwa kelak si bayi akan menjadi orang yang dikenal di seluruh nusantara.
Bertahun-tahun berlalu, Mahapatih Majapahit datang ke desa Mada dan mengajak anak kepala desa bernama Mada yang sekarang beranjak remaja untuk ikut ke Majapahit dan mengabdi kepada raja. Mahapatih Majapahit kemudian menikahkan Mada dengan putrinya yang bernama Ken Bebed, lalu membantu Mada untuk menggantikan kedudukannya sebagai Mahapatih Amangkubumi Majapahit. Berkat Mahapatih Amangkubumi Mada, Majapahit berhasil mengembangkan kekuasaannya hingga banyak raja dari luar Pulau Jawa yang tunduk kepada Raja Majapahit (Muljana 1983:175).
BABAD ARUNG BONDAN
Kitab Jawa Pertengahan Babad Arung Bondhan menawarkan penjelasan berbeda mengenai asal-usul Gajah Mada. Dalam kita tersebut dikisahkan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari Patih Lugender (dikenal dengan nama Logender dalam cerita Damarwulan dan Menakjingga). Dalam cerita tersebut dinyatakan bahwa Logender menjadi Patih Ratu Majapahit bernama Ratu Kenya (Kencanawungu).
Terjemahan kitab adalah sebagai berikut:
- “Telah lama sang raja (memerintah)
kedua orangtuanya telah meninggal
Patih Lugender dikemudian hari
dan Patih Udara
yang menggantikan kedudukannya
Patih Lugender setelah mangkat
putranya yang menggantikan - Gajah Mada namanya
disayangi oleh raja
pekerjaannya selalu cekatan
cukup lama tidak menikah
dengan manusia biasa
istrinya makhluk halus
oleh karena itu tidak menikahi manusia.
Sehingga jika tafsiran ini diikuti maka Gajah Mada anak dari Patih Logender baru ada setelah Majapahit melewati masa kejayaannya. Sedangkan dalam berbagai prasasti dan Kakimpoi Nagarakrtagama sebagai bukti yang otentik disebutkan bahwa Gajah Mada berperan dalam masa awal dan masa kejayaan Majapahit dalam periode kekuasaan Hayam Wuruk.
Hal yang paling menarik dalam kitab Babad Arung Bondan dan dapat dijadikan interpretasi lebih lanjut adalah pernyataan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari seorang Mahapatih. Adapun nama patih yang menjadi ayah Gajah Mada masih belum akurat, sebab dalam kisah-kisah tradisional nama tokoh sering berganti karena diceritakan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang berbeda.
PARARATON
Krtarajasa Jayawardhana, atau dalam Pararaton dikenal dengan Raden Wijaya disebutkan memiliki beberapa pengikut yang setia. Merekalah yang mengiringi Raden Wijaya dalam pengungsian dan kemudian membuka hutan Trik sebagai cikal bakal Majapahit. Pengikut-pengikut tersebut diantaranya adalah Lembusora, Nambi, Ranggalawe, Gajah Pagon, Pedang Dangdi, dan lainnya.
Dikisahkan bahwa salah satu pengiring Raden Wijaya bernama Gajah Pagon, terluka karena terkena tombak di pahanya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kadiri. Namun walaupun dalam kondisi terluka, Gajah Pagon tetap mampu berkelahi melawan orang-orang dari Kadiri yang mengejar-ngejar rombongan Raden Wijaya.
Setelah tentara Kadiri dapat dihalau, rombongan Raden Wijaya memasuki hutan di daerah Talaga Pager. Setelah itu mereka memutuskan untuk menuju ke Desa Pandakan dan disambut oleh kepala desa bernama Macan Kuping. Di desa ini, Raden Wijaya disuguhi kelapa muda yang setelah dibuka berisi nasi putih. Kemudian perjalanan berlanjut menuju Pulau Madura dan meminta bantuan kepada Arya Wiraraja. Namun, karena luka yang diterimanya, Gajah Pagon harus ditinggalkan di Desa Pandakan (Hardjowardojo 1956:39-40).
Mengenai tokoh Gajah Pagon Kitab Pararaton menyatakan:
“Gajah Pagon tidak dapat berjalan, berkata Raden Wijaya: ‘Penghulu Desa Pandakan saya titip seorang teman, Gajah Pagon tak dapat berjalan, agar ia tinggal di sini’.
Berkatalah orang Pandakan: ‘Hal itu akan membuat buruk taunku, juka Gajah Pagon ditemukan di sini, sebaiknya jangan ada pengikut tuanku yang diam di Pandakan. Seyogyanya ia berdiam di tengah kebun, di tempat orang menyabit rumput ilalang, di tengah-tengahnya dibuat sebuah ruangan terbuka dan dibuatkan gubuk, sepi taka da orang yang tahu, orang-orang Pandakan membawakan makanannya setiap hari’.
Gajah Pagon lalu ditinggalkan di situ.” (Hardjowardojo 1965:40).
Gajah Pagon tidak diceritakan lebih lanjut oleh Kitab Pararaton, namun dapat ditafsirkan bahwa keadaan Gajah Pagon berangsur-angsur membaik dan sembuh dari lukanya. Kemungkinan lain yang terjadi adalah ia dinikahkan dengan anak perempuan dari Macan Kuping.
Setelah kepala desa Desa Pandakan meninggal dunia, Gajah Pagon menggantikan tugasnya sebagai kepala desa. Selain itu, Majapahit dapat didirikan dengan menunjuk Raden Wijaya sebagai raja. Saat itulah para pengikut setia Raden Wijaya masing-masing diberikan kedudukannya, walaupun dalam berbagai sumber menyatakan bahwa ada yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan. Namun, Gajah Pagon tetap menjadi kepala desa Desa Pandakan.
Tafsiran selanjutnya yang terjadi adalah Gajah Pagon memiliki putra dari perkimpoiannya dengan anak Macan Kuping. Anak lelaki yang tumbuh gagah seperti ayahnya yang diberi nama Gajah Mada.
Gajah Mada dilahirkan dan dibesarkan di Desa Pandakan. Kemudian, ia mendapat pendidikan kewiraan oleh ayahnya. Nama desa Pandakan sendiri mungkin berlokasi di wilayah Pandakan sekarang, salah satu kecamatan di utara Malang. Apabila hal ini benar adanya, maka dapat disimpulkan bahwa Gajah Mada lahir di Jawa Timur, di dataran tinggi Malang, sebagai daerah awal mengalirnya Sungai Brantas.
Diawal berdirinya Majapahit, orang yang cukup disegani dan menggunakan nama “Gajah” hanya Gajah Pagon. Jika sang ayah, Gajah Pagon dikenal pada masa pemerintahan Raden Wijaya, maka Gajah Mada mulai dikenal pada masa pemerintahan Raja Jayanegara. (AGU)