Selasa, 10 Agustus 2021

Sejarah Kongres Pemuda Pra Kemerdekaan Indonesia

 Kongres Pemuda (ejaan van Ophuysen: Congres Pemoeda) adalah kongres nasional yang pernah diadakan 2 kali di Jakarta (Batavia). Kongres Pemuda I diadakan tahun 1926 dan menghasilkan kesepakatan bersama mengenai kegiatan pemuda pada segi sosial, ekonomi, dan budaya. Kongres ini diikuti oleh seluruh organisasi pemuda saat itu seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Betawi, dan organisasi pemuda lainnya. Selanjutnya juga disepakati untuk mengadakan kongres yang kedua.


Kongres Pemuda II, yang diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928 dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito dari PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia), menghasilkan keputusan penting yang disebut sebagai Sumpah Pemuda. Selain itu pada kongres tersebut Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman juga ditetapkan sebagai lagu kebangsaan.

Kongres Pemuda I (30 April - 2 Mei 1926)
Kongres Pemuda yang pertama ini dilaksanakan di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda I dilaksanakan dari tanggal 30 April - 2 Mei 1926. Kongres Pemuda I diketuai oleh Muhammad Tabrani.

Kongres Pemuda II (27 - 28 Oktober 1928)
Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Persiapan Kongres
Upaya mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pergerakan dalam satu wadah telah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Sebagai kelanjutannya, tanggal 20 Februari 1927 diadakan pertemuan, tetapi pertemuan ini belum mencapai hasil yang final. Sebagai penggagas Kongres Pemuda Kedua adalah Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Hindia Belanda.

Pada tanggal 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi untuk persiapan kongres kedua, dan dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini telah hadir perwakilan semua organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan kongres pada bulan Oktober 1928, dengan susunan panitia yang membagi jabatan pimpinan kepada satu organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan) sebagai berikut:

-Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)
-Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java)
-Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
-Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)
-Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond)
-Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
-Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)
-Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)
-Pembantu V: Mohammad Rochjani Su'ud (Pemoeda Kaoem Betawi)

Pelaksanaan
Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, diadakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Muhammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, kongres diadakan di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula mendapat keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada rapat penutupan di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri: hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres akhirnya ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Peserta
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Gedung
Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong.

Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Organisasi Kepemudaan yang terlibat:
Jong Java
Jong Java adalah suatu organisasi kepemudaan yang didirikan oleh Satiman Wirjosandjojo di Gedung STOVIA pada tanggal 7 Maret 1915 dengan nama awal Tri Koro Dharmo (TKD) (bahasa Indonesia: "Tiga Tujuan Mulia"). Perkumpulan pemuda ini didirikannya karena banyak pemuda yang menganggap bahwa Boedi Oetomo dianggap sebagai organisasi elit.

Sejarah Kongres Pemuda Pra Kemerdekaan Indonesia
Foto para pendiri Jong Java di arsip Museum Sumpah Pemuda

Pada saat didirikan, ketuanya adalah Dr. Satiman Wirjosandjojo, dengan wakil ketua Wongsonegoro, sekretaris Sutomo dan anggotanya Muslich, Mosodo dan Abdul Rahman. Tri Koro Dharmo bertujuan untuk mempersatukan para pelajar pribumi, menyuburkan minat pada kesenian dan bahasa nasional serta memajukan pengetahuan umum untuk anggotanya. Hal ini dilakukan antara lain dengan menyelenggarakan berbagai pertemuan dan kursus, mendirikan lembaga yang memberi beasiswa, menyelenggarakan berbagai pertunjukan kesenian, serta menerbitkan majalah Tri Koro Dharmo.

TKD berubah menjadi Jong Java pada 12 Juni 1918 dalam kongres I-nya yang diadakan di Solo,[2] yang dimaksudkan untuk bisa merangkul para pemuda dari Sunda, Madura dan Bali. Bahkan tiga tahun kemudian atau pada tahun 1921 terbersit ide untuk menggabungkan Jong Java dengan Jong Sumatranen Bond, tetapi upaya ini tidak berhasil.[3]

Oleh karena jumlah murid-murid Jawa merupakan anggota terbanyak, maka perkumpulan ini tetap bersifat Jawa dan terlihat dalam kongres II yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1919 yang dihadiri oleh sedikit anggota yang tidak berbahasa Jawa. Namun dalam kongres ini dibicarakan beberapa hal besar antara lain:

1. Milisi untuk bangsa Indonesia
2. Mengubah bahasa Jawa menjadi lebih demokratis
3. Perguruan tinggi
4. Kedudukan wanita Sunda
5. Sejarah tanah Sunda dan
6. Arti pendirian nasional Jawa dalam pergerakan rakyat

Pada pertengahan tahun 1920 diadakan kongres III di Solo, Jawa Tengah dan pada pertengahan tahun 1921 diadakan kongres ke-IV di Bandung, Jawa Barat. Dalam kedua kongres tersebut, bertujuan untuk membangunkan cita-cita Jawa Raya. dan mengembangkan rasa persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia.

1921 - 1929
Dalam semua kongres yang pernah diadakan, perkumpulan ini tidak akan ikut serta dalam aksi politik, di mana hal ini ditegaskan dalam kongresnya yang ke-V, pada tahun 1922 di Solo, Jawa Tengah, bahwa perkumpulan ini tidak akan mencampuri politik ataupun aksi politik.

Namun pada kenyataannya perkumpulan ini mendapatkan pengaruh politik yang cukup kuat yang datang dari Serikat Islam (SI) di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Dalam kongresnya pada tahun 1924, pengaruh SI semangkin terasa sehingga mengakibatkan beberapa tokoh yang berpegang teguh pada asas agama Islam akhirnya keluar dari perkumpulan ini dan membentuk Jong Islamieten Bond (JIB).

Pada tahun 1925 wawasan organisasi ini kian meluas, menyerap gagasan persatuan Indonesia dan pencapaian Indonesia merdeka. Pada tahun 1928, organisasi ini siap bergabung dengan organisasi kepemudaan lainnya dan ketuanya R. Koentjoro Poerbopranoto, menegaskan kepada anggota bahwa pembubaran Jong Java, semata-mata demi tanah air.[4] Oleh karena itu, maka terhitung sejak tanggal 27 Desember 1929, Jong Java pun bergabung dengan Indonesia Moeda.

Jong Ambon
Jong Ambon adalah organisasi kepemudaan Ambon pada masa pergerakan nasional sebelum Sumpah Pemuda. Maksud dan tujuannya adalah menggalang persatuan, kesatuan dan mempererat tali persaudaraan di kalangan pemuda-pemuda yang berasal dari daerah Ambon (Maluku). Salah satu tokoh Jong Ambon yang terkenal adalah Johannes Leimena.

Sejarah Kongres Pemuda Pra Kemerdekaan Indonesia
Dr. Johannes Leimena, seorang dokter, politisi, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia tercatat sebagai salah satu menteri yang menjabat paling lama selama pemerintahan presiden Soekarno

Jong Batak
Jong Batak atau yang juga dikenal dengan nama Jong Bataks Bond adalah perkumpulan para pemuda yang berasal dari daerah Batak (Tapanuli), yang bertujuan untuk memperat persatuan dan persaudaraan di antara para pemuda yang berasal dari daerah tadi serta turut serta memajukan kebudayaan daerah. Salah satu tokoh yang terkenan dari organisasi ini adalah Amir Sjarifudin, Todung Sutan Gunung Mulia Harahap, Sanusi Pane, Adam Malik Batubara, Saleh Said Harahap dan Arifin Harahap.

Sejarah Kongres Pemuda Pra Kemerdekaan Indonesia
Para pengurus Jong Bataks Bond dalam arsip Museum Sumpah Pemuda

Kesadaran satu daerah dengan budaya yang sama, Jong Batak keluar dari Jong Sumatra karena dominasi orang Minang di organisasi tersebut, Minang yang Matrineal dan Tapanuli yang Patrineal mengakibatkan kedua suku tersebut saling berlawanan.

Jong Sumatranen Bond
Jong Sumatranen Bond (JSB; bahasa Indonesia: Perkumpulan Pemuda Sumatra) adalah perkumpulan yang bertujuan untuk mempererat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi. Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini dikarenakan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak.

Sejarah Kongres Pemuda Pra Kemerdekaan Indonesia
Panji Jong Sumatranen Bond

Kelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang mengatakan bahwa Sumatra belum matang bagi sebuah politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap mendirikan perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap gerakan modern JSB sebagai ancaman bagi adat Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra.

Jong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tidak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang digunakan kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya.

Sejarah Kongres Pemuda Pra Kemerdekaan Indonesia
Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah Pemuda. Duduk di tengah Mohammad Yamin dan di paling kiri A.K. Gani.

Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta dibantu beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan.

Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bentuk reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kepentingan kaum adat. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas mengatakan dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangkit dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang keperluan umum.

Sejarah Kongres Pemuda Pra Kemerdekaan Indonesia
Taman Tugu Jong Soematra di depan Hotel Inna Muara Kota Padang

Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920.

Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Surat kabar Jong Sumatra
Jong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tidak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang digunakan kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya.

Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta dibantu beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan.

Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bentuk reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kepentingan kaum adat. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas mengatakan dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangkit dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang keperluan umum.

Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920.

Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Jong Islamieten Bond
Jong Islamieten Bond (JIB, disebut juga Perhimpunan Pemuda Islam) adalah organisasi perhimpunan pemuda dan pelajar Islam Hindia Belanda.

JIB didirikan tanggal 1 Januari 1925 di Batavia. Organisasi ini bukanlah organisasi politik karena tidak terlibat dalam kegiatan politik, tetapi menyelenggarakan kursus-kursus pendidikan dan mempererat persatuan bagi pemuda dan pelajar Islam Hindia Belanda. Anggota JIB merupakan anggota dari Jong Sumatranen Bond, Jong Java, dan organisasi pemuda lainnya.

Sejarah Kongres Pemuda Pra Kemerdekaan Indonesia
Tokoh Jong Islamieten di Museum Sumpah Pemuda

Dalam kongres pertama JIB, Wibowo terpilih menjadi ketua umum. Pada tahun 1925, JIB sudah mempunyai anggota 1004 orang, dan 4 cabang, yaitu di Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Madiun. Setelah kongres, H. Agus Salim berkampanye ke Bandung, hingga JIB memiliki 7 cabang.

Pada kongres kedua tahun 1929, Kasman Singodimedjo terpilih menggantikan Wibowo. Kongres ketiga tahun 1935, M. Arif Aini terpilih menjadi ketua umum dan kantor pusat dipindahkan ke Semarang.

JIB menerbitkan surat kabar Annur (Het Licht). JIB juga mendirikan organisasi Pandu Indonesia (Natipij), organisasi pertama dengan nama berbahasa Indonesia.

Dalam bidang pendidikan, JIB mendirikan sekolah HIS di Tegal pada bulan Oktober 1931 dan mendirikan sekolah HIS di Tanah Tinggi, Batavia pada bulan November 1931.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kongres_Pemuda
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kong...s_Pemuda_Kedua
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong_Java
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong_Ambon
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong_Batak
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong...umatranen_Bond
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong...slamieten_Bond

Minggu, 08 Agustus 2021

Disewakan Kos-Kosan Daerah denpasar, menerima Harian / Mingguan / Bulanan

 



Kos Bersih dan nyaman 

Harian / Bulanan 

free wifi, free listrik, free air, free sampah 

 pemesanan kamar, whatsapp 0882 9209 6763 089 609 52 7771 

 alamat: jl sesetan Gg gumuk sari c, No 14, Denpasar

Sejarah Pandemi Flu Spanyol di Batavia

 Di pusat pemerintahan Hindia Belanda, penyebaran virus Flu Spanyol cukup sulit dikendalikan. Penanganannya pun kerap tersendat.



Sejarah Pandemi Flu Spanyol di Batavia
Perawat di bangsal rumah sakit di Amerika Serikat sedang melihat kondisi pasien Flu Spanyol (Wikimedia Commons)


Pandemi virus Covid-19 di Indonesia belum berakhir. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kasus harian di sejumlah daerah di Indonesia masih cukup tinggi. Pada awal Agustus 2021 saja terjadi kenaikan yang signifikan di beberapa daerah. Yang tertinggi berada di wilayah Jawa Tengah dengan 4331 kasus. Disusul Jawa Barat dan Jawa Timur, masing-masing mencatatkan angka 4301 dan 4113 kasus.

Meski ketiga daerah tersebut mengalami lonjakan kasus harian yang signifikan, wilayah dengan jumlah keseluruhan kasus Covid terbesar hingga Agustus 2021 tetap dipegang oleh DKI Jakarta. Dilansir laman resmi Satgas Covid-19, jumlah kasus terkonfirmasi di ibu kota mencapai 820,370 kasus. Tercatat ada lebih dari 12 ribu orang meninggal dunia dan 13 ribu orang dalam perawatan. Sementara sisanya telah dinyatakan sembuh.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, sebagaimana dikutip CNN Indonesia, menyebut jika tingginya angka kasus di Jakarta disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, imbuh Riza, karena Jakarta itu ibu kota RI dan pusat interaksi warga. Selain itu Jakarta juga merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi RI.

Faktor kedua, Jakarta menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tingkat kapasitas testingnya melebihi standar WHO. Sejak Maret 2020 Dinas Kesehatan Jakarta sudah melakukan tes kepada lebih dari 3 juta orang. Sementara faktor lain, menurut Riza, terjadi lantaran mobilitas masyarakat yang tinggi karena sudah merasa jenuh berada di rumah.

“Semua orang yang melakukan interaksi banyak sekali di Jakarta, sehingga kalau potensi interaksi tinggi menyebabkan potensi penularan juga semakin tinggi,” tutur politisi Gerindra tersebut.

Rupanya tidak hanya masa pandemi Covid-19 saja Jakarta menjadi pusat persebaran virus di Indonesia, pada masa pandemi Flu Spanyol tahun 1918-1919 kota itu juga memiliki tingkat penularan penyakit yang tinggi. Tercatat lebih dari seribu orang meninggal akibat virus asal benua Eropa tersebut. Lantas apakah kondisi Jakarta saat itu lebih mengkhawatirkan daripada sekarang?

Kota Batavia, sebutan Jakarta masa kolonial, merupakan pusat pemerintahan dan salah satu pusat ekonomi di Hindia Belanda. Kota itu menjadi titik temu masyarakat dari berbagai daerah yang umumnya datang untuk berdagang dan urusan politik. Mobilisasi masyarakat di sana sangat tinggi. Setiap orang bebas berinteraksi dan keluar-masuk kota. Kondisi tersebut membuat Batavia rawan akan persebaran penyakit. Terlebih setelah virus Flu Spanyol merangsek masuk ke Hindia Belanda awal abad ke-20.

“Bisa dibilang Batavia menjadi salah satu titik penyebaran utama dari Flu Spanyol selama gelombang kedua dari pandemi tersebut,” tulis Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919.

Sayangnya bahaya virus Flu Spanyol di Batavia, begitu juga daerah lain di seluruh Hindia Belanda, telat mendapat perhatian masyarakat maupun pemerintah kolonial.

Menurut Arie Rukmantara, dkk dalam Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, mereka terlalu menganggap enteng keberadaan virus tersebut. Tidak sedikit juga yang menyamakan Flu Spanyol dengan influenza dengan gejala yang sedikit lebih berat dari biasanya.

Semua pihak baru benar-benar memperhatikan wabah Flu Spanyol ini pada akhir Oktober 1918, ketika koran-koran di Batavia memberitakan situasi kesehatan di Hindia Belanda yang kian memburuk. Padahal serangan virus itu sudah memasuki gelombang yang kedua. Sin Po, misalnya, menyebut bahwa serangan virus dari hari ke hari semakin berbahaya dan gelombang kedua itu lebih menakutkan dari sebelumnya.

Dalam sebuah laporan di Rumah Sakit Umum Batavia, pasien influenza bertambah secara signifikan dalam waktu singkat. Diketahui pada akhir 1918 rumah sakit tersebut telah merawat sebanyak 435 pasien yang umumnya menderita sakit paru-paru. Menurut Ravando, besar kemungkinan mereka itu adalah korban dari virus Flu Spanyol.

Mengutip surat kabar Sin Po,31 Oktober 1918, Ravando menyebut bahwa peningkatan jumlah korban virus itu membuat bangsal-bangsal rumah sakit di seluruh Batavia mendadak penuh. Bahkan rumah sakit militer yang cukup besar, dengan kapasitas 600 tempat tidur pun terpaksa harus menambah jumlahnya menjadi 700 agar bisa menampung lebih banyak pasien.

“Merebaknya Flu Spanyol di Batavia ditengarai juga tidak lepas dari keadaan higienitas kota tersebut yang sangat buruk, lantaran kondisi udara dan sistem sanitasinya yang sangat mengkhawatirkan,” kata Ravando.

Kondisi genting itu juga membuat kegiatan masyarakat Batavia selama akhir tahun 1918 amat terbatas. Masyarakat enggan keluar rumah karena takut terpapar virus. Hal itu membuat banyak saudagar menutup usahanya. Diceritakan Iswara N. Raditya dalam 1918: Kronik Kebangkitan Indonesia, kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Bahkan banyak perkantoran tutup lantaran kekurangan pegawai.

Tercatat hingga November 1918, Flu Spanyol di Batavia telah menelan korban ratusan jiwa di kalangan bumiputera. Pemerintah setempat pun dengan cepat bergerak membagikan obat-obatan, khususnya obat paru-paru, ke seluruh pelosok Batavia. Pendistribusiannya diawasi oleh para mahasiswa STOVIA, calon dokter Jawa, dan dinas kesehatan pemerintah kolonial.

Namun menariknya, imbuh Ravando, di dalam penjara-penjara Batavia kondisinya justru relatif aman dan terkendali. Amat berbeda dengan kondisi di luar yang dilanda kepanikan. Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada itu menduga para sipir dan direktur penjara telah mempelajari cara menangani pandemi di lingkunganya ketika gelombang pertama (Juli - September 1918) menyerang. Mereka amat membatasi kegiatan keluar-masuk orang luar ke penjara.

“Bila selama gelombang pertama korban dari virus itu kebanyakan adalah pesakitan dari penjara, (setelahnya) Flu Spanyol menyerang siapapun tanpa pandang bulu,” tulis Ravando.


"Pandemi di Batavia - Historia" https://historia.id/sains/articles/p...a-vxg9x/page/1

Pulau Kanibal di Siberia yang Ditutup-tutupi Soviet

 "Daging manusia berceceran, tercabik-cabik, dikuliti, dan digantung di pohon di seluruh pulau. Di mana-mana ada mayat.”



Pada Mei 1933, lebih dari 6.000 orang yang dibuang ke Siberia diturunkan dari tongkang ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni di Sungai Ob. Di bawah pengawasan para penjaga, apa yang disebut “elemen masyarakat Soviet yang berbahaya secara sosial” ini sedang menunggu untuk dikirim ke kamp kerja khusus lebih jauh ke timur.

Selama hampir sebulan, mereka dibiarkan begitu saja di sebidang tanah kecil tanpa makanan. Akhirnya, beberapa dari mereka tak bisa menahan diri dan mulai memakan sesama manusia.

Tak Pandang Bulu

Ini semua bermula ketika pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk menerapkan kembali sistem paspor yang sebelumnya telah dihapus pasca-Revolusi 1917. Saat itu, pemimpin Bolshevik menghapus paspor sebagai alat untuk mengendalikan mobilisasi masyarakat di dalam negeri. Dengan demikian, warga Soviet dapat tinggal dan bekerja di mana pun mereka mau.

Pada kenyataannya, masyarakat petani, setelah merasakan dampak kebijakan ekonomi Soviet (perang melawan petani kaya dan kepemilikan pribadi, penerapan pertanian kolektif, dll.), berbondong-bondong pindah ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Urbanisasi besar-besaran ini ternyata mengakibatkan kelangkaan tempat tinggal bagi kaum proletar, pilar utama rezim yang berkuasa.

Kaum pekerja menjadi sasaran utama yang akan diberikan paspor mulai akhir 1932. Sementara itu, para petani tidak memiliki hak untuk memiliki paspor sampai 1974.

Bersamaan dengan pengenalan sistem paspor, kota-kota besar melakukan “operasi pembersihan” untuk mengusir mereka yang tidak memiliki dokumen yang mengesahkan hak untuk menetap di sana. Selain petani, pembersihan dan penangkapan tersebut menargetkan semua unsur “anti-Soviet” dan “masyarakat yang tidak masuk dalam kelas sosial mana pun”. Ini termasuk lintah darat, gelandangan, pengemis, tunawisma, pelacur, mantan pendeta, dan kategori populasi lainnya yang tidak terlibat dalam pekerjaan yang bermanfaat secara sosial. Properti mereka (jika ada) disita dan mereka dikirim ke permukiman khusus di Siberia dan dipekerjakan untuk kebaikan negara.

Pemimpin negara percaya kebijakan semacam itu ibarat sambil menyelam minum air. Di satu sisi, ia membersihkan kota dari unsur-unsur asing dan musuh negara. Di sisi lain, wilayah Siberia yang sebelumnya sepi kini mulai dihuni.

Polisi dan petugas keamanan OGPU begitu bersemangat dalam operasi penggerebekan paspor. Mereka sering kali menahan orang-orang di jalan, termasuk mereka yang punya paspor, tetapi tidak membawanya saat itu. Daftar “pelanggar” dapat mencakup pelajar yang sedang dalam perjalanan mengunjungi kerabat atau sopir bus yang keluar untuk membeli rokok. Suatu kali, kepala departemen kepolisian Moskow dan kedua putra jaksa Kota Tomsk bahkan ditangkap. Sang ayah berhasil menyelamatkan mereka dengan cepat, tetapi tidak semua orang yang tertangkap memiliki kerabat berpangkat tinggi untuk membantu mereka.

Para “pelanggar rezim paspor” tidak menjalani pemeriksaan menyeluruh. Mereka segera dinyatakan bersalah dan dikirim ke kamp kerja paksa di timur negara itu. Situasi ini makin diperburuk oleh fakta bahwa mereka dibuang ke Siberia bersama para penjahat demi meringankan beban penjara yang sudah penuh sesak di bagian Eropa negara itu.

Kisah malang yang terjadi pada salah satu kelompok pertama orang-ornag yang dibuang itu dikenal sebagai tragedi Nazino.

Pada Mei 1933, lebih dari 6.000 orang diangkut dari kapal tongkang ke sebuah pulau kecil terpencil di Sungai Ob dekat Desa Nazino di Siberia. Mereka seharusnya tinggal di sana hanya sementara waktu sambil menunggu akomodasi di kamp tujuan, yang ternyata tak siap menerima begitu banyak penghuni baru, disiapkan.

Orang-orang buangan ini mengenakan pakaian yang sama sejak polisi menahan mereka di jalan-jalan Moskow dan Leningrad (Sankt Peterburg). Mereka tidak memiliki tempat tidur atau alat apa pun untuk membuat tempat tinggal sementara.

Pada hari kedua, angin bertiup kencang, kemudian suhu turun di bawah nol dan kemudian hujan mulai turun. Tak berdaya melawan alam, para tahanan hanya bisa duduk di sekitar api unggun atau berkeliaran di sekitar pulau untuk mencari kulit kayu dan lumut karena tak ada seorang pun yang menyuguhi mereka makanan. Baru pada hari keempat, mereka dibawakan tepung gandum, tetapi porsinya hanya beberapa ratus gram per orang. Setelah menerima jatah yang sedikit itu, orang-orang langsung menyerbu sungai. Mereka menggunakan topi, alas kaki, jaket, dan celana panjang sebagai wadah untuk membuat semacam bubur.

Pulau Kanibal di Siberia yang Ditutup-tutupi Soviet

Tak lama kemudian, ratusan orang di antara mereka tewas. Lapar dan kedinginan, mereka tertidur di dekat api unggun dan terbakar hidup-hidup atau mati kelelahan. Beberapa juga menjadi korban kebrutalan beberapa penjaga yang memukuli tahanan dengan popor senapan mereka. Sementara itu, para tahanan tak mungkin melarikan diri dari “pulau kematian” karena pulau itu dikelilingi oleh kru senapan mesin yang siap menembak siapa pun yang mencoba melarikan diri.

Pulau Kanibal di Siberia yang Ditutup-tutupi Soviet

Pulau Kanibal

Kasus kanibalisme pertama di Pulau Nazinsky terjadi pada hari kesepuluh. Yang pertama kali melakukan aksi biadab tersebut adalah para penjahat bengis di antara tahanan. Terbiasa bertahan dalam kondisi brutal, mereka membentuk geng untuk meneror tahanan lain.

Tanpa disadari, penduduk desa terdekat menjadi saksi mimpi buruk yang terjadi di pulau itu. Seorang gadis petani, yang waktu itu baru berusia 13 tahun, mengenang bagaimana seorang gadis muda yang cantik dirayu oleh salah satu penjaga. “Ketika dia pergi, orang-orang menangkap gadis itu, mengikatnya ke pohon dan menikamnya sampai mati, memakan tubuhnya hingga tak bersisa. Mereka lapar dan ingin makan. Daging manusia berceceran, tercabik-cabik, dikuliti, dan digantung di pohon di seluruh pulau. Di mana-mana ada mayat.”

“Saya memilih mereka yang tak lagi hidup, tetapi juga belum mati,” kata seorang tahanan bernama Uglov, yang dituduh kanibalisme, bersaksi selama interogasi. “Anda bisa melihat bahwa seseorang sudah mati, bahwa mereka akan mati dalam satu atau dua hari. Jadi akan lebih mudah bagi mereka untuk mati ... sekarang, segera, daripada menderita selama dua atau tiga hari lagi.”

Theophila Bylina, penduduk Desa Nazino lainnya, mengenang, ”Orang-orang yang dibuang terkadang menghampiri rumah kami. Suatu hari, seorang perempuan tua datang dari Pulau Kematian. Dia dibuang sangat jauh .... Saya melihat betisnya telah dipotong. Ketika saya bertanya, dia berkata, ‘Betis saya dipotong di Pulau Kematian dan dipanggang.’ Semua daging betisnya telah dipotong. Kakinya membeku sepanjang waktu dan perempuan itu membungkusnya dengan kain compang-camping. Namun, dia bisa berjalan tanpa bantuan. Dia kelihatan tua, padahal dia baru berusia 40-an.”

Sebulan kemudian, orang-orang yang kelaparan, sakit, dan kelelahan, yang bertahan hidup dengan jatah makanan ala kadarnya yang kadang-kadang dibagikan, dievakuasi dari pulau itu. Namun, cobaan mereka tak berakhir sampai situ. Korban jiwa terus berjatuhan di permukiman Siberia. Mereka berusaha bertahan hidup dengan jatah makanan yang sedikit di barak yang dingin dan lembap, yang sama sekali tak layak huni. Pada akhirnya, dari 6.000 orang, hanya 2.000-an saja yang selamat.

Pulau Kanibal di Siberia yang Ditutup-tutupi Soviet

Dirahasiakan

Tragedi ini tak akan pernah diketahui siapa pun selain penduduk setempat jika bukan karena Vasily Velichko, seorang pengurus Partai Komunis di Distrik Narym. Dia dikirim ke salah satu permukiman buruh pada Juli 1933 untuk melaporkan keberhasilan pemindahan para tahanan ke sana. Namun, ia malah melakukan penyelidikan mendalam tentang apa yang telah terjadi.

Velichko mengirim laporan terperincinya, berdasarkan kesaksian lusinan orang yang selamat, ke Kremlin, dan hal itu menimbulkan kegemparan. Sebuah komisi khusus yang tiba di Nazino melakukan penyelidikan menyeluruh, menemukan 31 kuburan massal di pulau itu dan masing-masing berisi 50—70 mayat.


Lebih dari 80 orang tahanan dan penjaga diadili, termasuk 23 orang yang dijatuhi hukuman mati karena “menjarah dan menyerang” dan sebelas karena kanibalisme.

Setelah penyelidikan selesai, rincian kasus tersebut, bersama laporan Vasily Velichko, dirahasiakan. Dia kehilangan pekerjaannya sebagai anggota partai, tetapi tidak dikenakan sanksi lebih lanjut. Setelah menjadi koresponden perang, dia selamat dari Perang Dunia II dan menulis beberapa novel tentang transformasi sosialis di Siberia, tetapi dia tidak pernah berani menulis tentang “pulau kematian”.

Masyarakat umum baru mengetahui tragedi Nazino pada akhir 1980-an, tak lama sebelum runtuhnya Uni Soviet.
https://id.rbth.com/sejarah/83876-pu...uni-soviet-wyx