Kongres Pemuda (ejaan van Ophuysen: Congres Pemoeda) adalah kongres nasional yang pernah diadakan 2 kali di Jakarta (Batavia). Kongres Pemuda I diadakan tahun 1926 dan menghasilkan kesepakatan bersama mengenai kegiatan pemuda pada segi sosial, ekonomi, dan budaya. Kongres ini diikuti oleh seluruh organisasi pemuda saat itu seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Betawi, dan organisasi pemuda lainnya. Selanjutnya juga disepakati untuk mengadakan kongres yang kedua.
Kongres Pemuda II, yang diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928 dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito dari PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia), menghasilkan keputusan penting yang disebut sebagai Sumpah Pemuda. Selain itu pada kongres tersebut Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman juga ditetapkan sebagai lagu kebangsaan.
Kongres Pemuda I (30 April - 2 Mei 1926)
Kongres Pemuda yang pertama ini dilaksanakan di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda I dilaksanakan dari tanggal 30 April - 2 Mei 1926. Kongres Pemuda I diketuai oleh Muhammad Tabrani.
Kongres Pemuda II (27 - 28 Oktober 1928)
Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Persiapan Kongres
Upaya mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pergerakan dalam satu wadah telah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Sebagai kelanjutannya, tanggal 20 Februari 1927 diadakan pertemuan, tetapi pertemuan ini belum mencapai hasil yang final. Sebagai penggagas Kongres Pemuda Kedua adalah Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Hindia Belanda.
Pada tanggal 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi untuk persiapan kongres kedua, dan dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini telah hadir perwakilan semua organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan kongres pada bulan Oktober 1928, dengan susunan panitia yang membagi jabatan pimpinan kepada satu organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan) sebagai berikut:
-Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)
-Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java)
-Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
-Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond)
-Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond)
-Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
-Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes)
-Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)
-Pembantu V: Mohammad Rochjani Su'ud (Pemoeda Kaoem Betawi)
Pelaksanaan
Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, diadakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Muhammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, kongres diadakan di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula mendapat keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutupan di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri: hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres akhirnya ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Peserta
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.
Gedung
Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong.
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Organisasi Kepemudaan yang terlibat:
Jong Java
Jong Java adalah suatu organisasi kepemudaan yang didirikan oleh Satiman Wirjosandjojo di Gedung STOVIA pada tanggal 7 Maret 1915 dengan nama awal Tri Koro Dharmo (TKD) (bahasa Indonesia: "Tiga Tujuan Mulia"). Perkumpulan pemuda ini didirikannya karena banyak pemuda yang menganggap bahwa Boedi Oetomo dianggap sebagai organisasi elit.
Foto para pendiri Jong Java di arsip Museum Sumpah Pemuda
Pada saat didirikan, ketuanya adalah Dr. Satiman Wirjosandjojo, dengan wakil ketua Wongsonegoro, sekretaris Sutomo dan anggotanya Muslich, Mosodo dan Abdul Rahman. Tri Koro Dharmo bertujuan untuk mempersatukan para pelajar pribumi, menyuburkan minat pada kesenian dan bahasa nasional serta memajukan pengetahuan umum untuk anggotanya. Hal ini dilakukan antara lain dengan menyelenggarakan berbagai pertemuan dan kursus, mendirikan lembaga yang memberi beasiswa, menyelenggarakan berbagai pertunjukan kesenian, serta menerbitkan majalah Tri Koro Dharmo.
TKD berubah menjadi Jong Java pada 12 Juni 1918 dalam kongres I-nya yang diadakan di Solo,[2] yang dimaksudkan untuk bisa merangkul para pemuda dari Sunda, Madura dan Bali. Bahkan tiga tahun kemudian atau pada tahun 1921 terbersit ide untuk menggabungkan Jong Java dengan Jong Sumatranen Bond, tetapi upaya ini tidak berhasil.[3]
Oleh karena jumlah murid-murid Jawa merupakan anggota terbanyak, maka perkumpulan ini tetap bersifat Jawa dan terlihat dalam kongres II yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1919 yang dihadiri oleh sedikit anggota yang tidak berbahasa Jawa. Namun dalam kongres ini dibicarakan beberapa hal besar antara lain:
1. Milisi untuk bangsa Indonesia
2. Mengubah bahasa Jawa menjadi lebih demokratis
3. Perguruan tinggi
4. Kedudukan wanita Sunda
5. Sejarah tanah Sunda dan
6. Arti pendirian nasional Jawa dalam pergerakan rakyat
Pada pertengahan tahun 1920 diadakan kongres III di Solo, Jawa Tengah dan pada pertengahan tahun 1921 diadakan kongres ke-IV di Bandung, Jawa Barat. Dalam kedua kongres tersebut, bertujuan untuk membangunkan cita-cita Jawa Raya. dan mengembangkan rasa persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia.
1921 - 1929
Dalam semua kongres yang pernah diadakan, perkumpulan ini tidak akan ikut serta dalam aksi politik, di mana hal ini ditegaskan dalam kongresnya yang ke-V, pada tahun 1922 di Solo, Jawa Tengah, bahwa perkumpulan ini tidak akan mencampuri politik ataupun aksi politik.
Namun pada kenyataannya perkumpulan ini mendapatkan pengaruh politik yang cukup kuat yang datang dari Serikat Islam (SI) di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Dalam kongresnya pada tahun 1924, pengaruh SI semangkin terasa sehingga mengakibatkan beberapa tokoh yang berpegang teguh pada asas agama Islam akhirnya keluar dari perkumpulan ini dan membentuk Jong Islamieten Bond (JIB).
Pada tahun 1925 wawasan organisasi ini kian meluas, menyerap gagasan persatuan Indonesia dan pencapaian Indonesia merdeka. Pada tahun 1928, organisasi ini siap bergabung dengan organisasi kepemudaan lainnya dan ketuanya R. Koentjoro Poerbopranoto, menegaskan kepada anggota bahwa pembubaran Jong Java, semata-mata demi tanah air.[4] Oleh karena itu, maka terhitung sejak tanggal 27 Desember 1929, Jong Java pun bergabung dengan Indonesia Moeda.
Jong Ambon
Jong Ambon adalah organisasi kepemudaan Ambon pada masa pergerakan nasional sebelum Sumpah Pemuda. Maksud dan tujuannya adalah menggalang persatuan, kesatuan dan mempererat tali persaudaraan di kalangan pemuda-pemuda yang berasal dari daerah Ambon (Maluku). Salah satu tokoh Jong Ambon yang terkenal adalah Johannes Leimena.
Dr. Johannes Leimena, seorang dokter, politisi, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia tercatat sebagai salah satu menteri yang menjabat paling lama selama pemerintahan presiden Soekarno
Jong Batak
Jong Batak atau yang juga dikenal dengan nama Jong Bataks Bond adalah perkumpulan para pemuda yang berasal dari daerah Batak (Tapanuli), yang bertujuan untuk memperat persatuan dan persaudaraan di antara para pemuda yang berasal dari daerah tadi serta turut serta memajukan kebudayaan daerah. Salah satu tokoh yang terkenan dari organisasi ini adalah Amir Sjarifudin, Todung Sutan Gunung Mulia Harahap, Sanusi Pane, Adam Malik Batubara, Saleh Said Harahap dan Arifin Harahap.
Para pengurus Jong Bataks Bond dalam arsip Museum Sumpah Pemuda
Kesadaran satu daerah dengan budaya yang sama, Jong Batak keluar dari Jong Sumatra karena dominasi orang Minang di organisasi tersebut, Minang yang Matrineal dan Tapanuli yang Patrineal mengakibatkan kedua suku tersebut saling berlawanan.
Jong Sumatranen Bond
Jong Sumatranen Bond (JSB; bahasa Indonesia: Perkumpulan Pemuda Sumatra) adalah perkumpulan yang bertujuan untuk mempererat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi. Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini dikarenakan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak.
Panji Jong Sumatranen Bond
Kelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang mengatakan bahwa Sumatra belum matang bagi sebuah politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap mendirikan perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap gerakan modern JSB sebagai ancaman bagi adat Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra.
Jong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tidak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang digunakan kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya.
Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah Pemuda. Duduk di tengah Mohammad Yamin dan di paling kiri A.K. Gani.
Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta dibantu beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan.
Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bentuk reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kepentingan kaum adat. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas mengatakan dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangkit dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang keperluan umum.
Taman Tugu Jong Soematra di depan Hotel Inna Muara Kota Padang
Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920.
Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Surat kabar Jong Sumatra
Jong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tidak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang digunakan kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya.
Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta dibantu beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan.
Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bentuk reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kepentingan kaum adat. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas mengatakan dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangkit dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang keperluan umum.
Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920.
Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Jong Islamieten Bond
Jong Islamieten Bond (JIB, disebut juga Perhimpunan Pemuda Islam) adalah organisasi perhimpunan pemuda dan pelajar Islam Hindia Belanda.
JIB didirikan tanggal 1 Januari 1925 di Batavia. Organisasi ini bukanlah organisasi politik karena tidak terlibat dalam kegiatan politik, tetapi menyelenggarakan kursus-kursus pendidikan dan mempererat persatuan bagi pemuda dan pelajar Islam Hindia Belanda. Anggota JIB merupakan anggota dari Jong Sumatranen Bond, Jong Java, dan organisasi pemuda lainnya.
Tokoh Jong Islamieten di Museum Sumpah Pemuda
Dalam kongres pertama JIB, Wibowo terpilih menjadi ketua umum. Pada tahun 1925, JIB sudah mempunyai anggota 1004 orang, dan 4 cabang, yaitu di Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Madiun. Setelah kongres, H. Agus Salim berkampanye ke Bandung, hingga JIB memiliki 7 cabang.
Pada kongres kedua tahun 1929, Kasman Singodimedjo terpilih menggantikan Wibowo. Kongres ketiga tahun 1935, M. Arif Aini terpilih menjadi ketua umum dan kantor pusat dipindahkan ke Semarang.
JIB menerbitkan surat kabar Annur (Het Licht). JIB juga mendirikan organisasi Pandu Indonesia (Natipij), organisasi pertama dengan nama berbahasa Indonesia.
Dalam bidang pendidikan, JIB mendirikan sekolah HIS di Tegal pada bulan Oktober 1931 dan mendirikan sekolah HIS di Tanah Tinggi, Batavia pada bulan November 1931.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kongres_Pemuda
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kong...s_Pemuda_Kedua
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong_Java
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong_Ambon
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong_Batak
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong...umatranen_Bond
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Jong...slamieten_Bond