Minggu, 08 Agustus 2021

Disewakan Kos-Kosan Daerah denpasar, menerima Harian / Mingguan / Bulanan

 



Kos Bersih dan nyaman 

Harian / Bulanan 

free wifi, free listrik, free air, free sampah 

 pemesanan kamar, whatsapp 0882 9209 6763 089 609 52 7771 

 alamat: jl sesetan Gg gumuk sari c, No 14, Denpasar

Sejarah Pandemi Flu Spanyol di Batavia

 Di pusat pemerintahan Hindia Belanda, penyebaran virus Flu Spanyol cukup sulit dikendalikan. Penanganannya pun kerap tersendat.



Sejarah Pandemi Flu Spanyol di Batavia
Perawat di bangsal rumah sakit di Amerika Serikat sedang melihat kondisi pasien Flu Spanyol (Wikimedia Commons)


Pandemi virus Covid-19 di Indonesia belum berakhir. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kasus harian di sejumlah daerah di Indonesia masih cukup tinggi. Pada awal Agustus 2021 saja terjadi kenaikan yang signifikan di beberapa daerah. Yang tertinggi berada di wilayah Jawa Tengah dengan 4331 kasus. Disusul Jawa Barat dan Jawa Timur, masing-masing mencatatkan angka 4301 dan 4113 kasus.

Meski ketiga daerah tersebut mengalami lonjakan kasus harian yang signifikan, wilayah dengan jumlah keseluruhan kasus Covid terbesar hingga Agustus 2021 tetap dipegang oleh DKI Jakarta. Dilansir laman resmi Satgas Covid-19, jumlah kasus terkonfirmasi di ibu kota mencapai 820,370 kasus. Tercatat ada lebih dari 12 ribu orang meninggal dunia dan 13 ribu orang dalam perawatan. Sementara sisanya telah dinyatakan sembuh.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, sebagaimana dikutip CNN Indonesia, menyebut jika tingginya angka kasus di Jakarta disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, imbuh Riza, karena Jakarta itu ibu kota RI dan pusat interaksi warga. Selain itu Jakarta juga merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi RI.

Faktor kedua, Jakarta menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tingkat kapasitas testingnya melebihi standar WHO. Sejak Maret 2020 Dinas Kesehatan Jakarta sudah melakukan tes kepada lebih dari 3 juta orang. Sementara faktor lain, menurut Riza, terjadi lantaran mobilitas masyarakat yang tinggi karena sudah merasa jenuh berada di rumah.

“Semua orang yang melakukan interaksi banyak sekali di Jakarta, sehingga kalau potensi interaksi tinggi menyebabkan potensi penularan juga semakin tinggi,” tutur politisi Gerindra tersebut.

Rupanya tidak hanya masa pandemi Covid-19 saja Jakarta menjadi pusat persebaran virus di Indonesia, pada masa pandemi Flu Spanyol tahun 1918-1919 kota itu juga memiliki tingkat penularan penyakit yang tinggi. Tercatat lebih dari seribu orang meninggal akibat virus asal benua Eropa tersebut. Lantas apakah kondisi Jakarta saat itu lebih mengkhawatirkan daripada sekarang?

Kota Batavia, sebutan Jakarta masa kolonial, merupakan pusat pemerintahan dan salah satu pusat ekonomi di Hindia Belanda. Kota itu menjadi titik temu masyarakat dari berbagai daerah yang umumnya datang untuk berdagang dan urusan politik. Mobilisasi masyarakat di sana sangat tinggi. Setiap orang bebas berinteraksi dan keluar-masuk kota. Kondisi tersebut membuat Batavia rawan akan persebaran penyakit. Terlebih setelah virus Flu Spanyol merangsek masuk ke Hindia Belanda awal abad ke-20.

“Bisa dibilang Batavia menjadi salah satu titik penyebaran utama dari Flu Spanyol selama gelombang kedua dari pandemi tersebut,” tulis Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919.

Sayangnya bahaya virus Flu Spanyol di Batavia, begitu juga daerah lain di seluruh Hindia Belanda, telat mendapat perhatian masyarakat maupun pemerintah kolonial.

Menurut Arie Rukmantara, dkk dalam Yang Terlupakan: Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, mereka terlalu menganggap enteng keberadaan virus tersebut. Tidak sedikit juga yang menyamakan Flu Spanyol dengan influenza dengan gejala yang sedikit lebih berat dari biasanya.

Semua pihak baru benar-benar memperhatikan wabah Flu Spanyol ini pada akhir Oktober 1918, ketika koran-koran di Batavia memberitakan situasi kesehatan di Hindia Belanda yang kian memburuk. Padahal serangan virus itu sudah memasuki gelombang yang kedua. Sin Po, misalnya, menyebut bahwa serangan virus dari hari ke hari semakin berbahaya dan gelombang kedua itu lebih menakutkan dari sebelumnya.

Dalam sebuah laporan di Rumah Sakit Umum Batavia, pasien influenza bertambah secara signifikan dalam waktu singkat. Diketahui pada akhir 1918 rumah sakit tersebut telah merawat sebanyak 435 pasien yang umumnya menderita sakit paru-paru. Menurut Ravando, besar kemungkinan mereka itu adalah korban dari virus Flu Spanyol.

Mengutip surat kabar Sin Po,31 Oktober 1918, Ravando menyebut bahwa peningkatan jumlah korban virus itu membuat bangsal-bangsal rumah sakit di seluruh Batavia mendadak penuh. Bahkan rumah sakit militer yang cukup besar, dengan kapasitas 600 tempat tidur pun terpaksa harus menambah jumlahnya menjadi 700 agar bisa menampung lebih banyak pasien.

“Merebaknya Flu Spanyol di Batavia ditengarai juga tidak lepas dari keadaan higienitas kota tersebut yang sangat buruk, lantaran kondisi udara dan sistem sanitasinya yang sangat mengkhawatirkan,” kata Ravando.

Kondisi genting itu juga membuat kegiatan masyarakat Batavia selama akhir tahun 1918 amat terbatas. Masyarakat enggan keluar rumah karena takut terpapar virus. Hal itu membuat banyak saudagar menutup usahanya. Diceritakan Iswara N. Raditya dalam 1918: Kronik Kebangkitan Indonesia, kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Bahkan banyak perkantoran tutup lantaran kekurangan pegawai.

Tercatat hingga November 1918, Flu Spanyol di Batavia telah menelan korban ratusan jiwa di kalangan bumiputera. Pemerintah setempat pun dengan cepat bergerak membagikan obat-obatan, khususnya obat paru-paru, ke seluruh pelosok Batavia. Pendistribusiannya diawasi oleh para mahasiswa STOVIA, calon dokter Jawa, dan dinas kesehatan pemerintah kolonial.

Namun menariknya, imbuh Ravando, di dalam penjara-penjara Batavia kondisinya justru relatif aman dan terkendali. Amat berbeda dengan kondisi di luar yang dilanda kepanikan. Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada itu menduga para sipir dan direktur penjara telah mempelajari cara menangani pandemi di lingkunganya ketika gelombang pertama (Juli - September 1918) menyerang. Mereka amat membatasi kegiatan keluar-masuk orang luar ke penjara.

“Bila selama gelombang pertama korban dari virus itu kebanyakan adalah pesakitan dari penjara, (setelahnya) Flu Spanyol menyerang siapapun tanpa pandang bulu,” tulis Ravando.


"Pandemi di Batavia - Historia" https://historia.id/sains/articles/p...a-vxg9x/page/1

Pulau Kanibal di Siberia yang Ditutup-tutupi Soviet

 "Daging manusia berceceran, tercabik-cabik, dikuliti, dan digantung di pohon di seluruh pulau. Di mana-mana ada mayat.”



Pada Mei 1933, lebih dari 6.000 orang yang dibuang ke Siberia diturunkan dari tongkang ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni di Sungai Ob. Di bawah pengawasan para penjaga, apa yang disebut “elemen masyarakat Soviet yang berbahaya secara sosial” ini sedang menunggu untuk dikirim ke kamp kerja khusus lebih jauh ke timur.

Selama hampir sebulan, mereka dibiarkan begitu saja di sebidang tanah kecil tanpa makanan. Akhirnya, beberapa dari mereka tak bisa menahan diri dan mulai memakan sesama manusia.

Tak Pandang Bulu

Ini semua bermula ketika pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk menerapkan kembali sistem paspor yang sebelumnya telah dihapus pasca-Revolusi 1917. Saat itu, pemimpin Bolshevik menghapus paspor sebagai alat untuk mengendalikan mobilisasi masyarakat di dalam negeri. Dengan demikian, warga Soviet dapat tinggal dan bekerja di mana pun mereka mau.

Pada kenyataannya, masyarakat petani, setelah merasakan dampak kebijakan ekonomi Soviet (perang melawan petani kaya dan kepemilikan pribadi, penerapan pertanian kolektif, dll.), berbondong-bondong pindah ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Urbanisasi besar-besaran ini ternyata mengakibatkan kelangkaan tempat tinggal bagi kaum proletar, pilar utama rezim yang berkuasa.

Kaum pekerja menjadi sasaran utama yang akan diberikan paspor mulai akhir 1932. Sementara itu, para petani tidak memiliki hak untuk memiliki paspor sampai 1974.

Bersamaan dengan pengenalan sistem paspor, kota-kota besar melakukan “operasi pembersihan” untuk mengusir mereka yang tidak memiliki dokumen yang mengesahkan hak untuk menetap di sana. Selain petani, pembersihan dan penangkapan tersebut menargetkan semua unsur “anti-Soviet” dan “masyarakat yang tidak masuk dalam kelas sosial mana pun”. Ini termasuk lintah darat, gelandangan, pengemis, tunawisma, pelacur, mantan pendeta, dan kategori populasi lainnya yang tidak terlibat dalam pekerjaan yang bermanfaat secara sosial. Properti mereka (jika ada) disita dan mereka dikirim ke permukiman khusus di Siberia dan dipekerjakan untuk kebaikan negara.

Pemimpin negara percaya kebijakan semacam itu ibarat sambil menyelam minum air. Di satu sisi, ia membersihkan kota dari unsur-unsur asing dan musuh negara. Di sisi lain, wilayah Siberia yang sebelumnya sepi kini mulai dihuni.

Polisi dan petugas keamanan OGPU begitu bersemangat dalam operasi penggerebekan paspor. Mereka sering kali menahan orang-orang di jalan, termasuk mereka yang punya paspor, tetapi tidak membawanya saat itu. Daftar “pelanggar” dapat mencakup pelajar yang sedang dalam perjalanan mengunjungi kerabat atau sopir bus yang keluar untuk membeli rokok. Suatu kali, kepala departemen kepolisian Moskow dan kedua putra jaksa Kota Tomsk bahkan ditangkap. Sang ayah berhasil menyelamatkan mereka dengan cepat, tetapi tidak semua orang yang tertangkap memiliki kerabat berpangkat tinggi untuk membantu mereka.

Para “pelanggar rezim paspor” tidak menjalani pemeriksaan menyeluruh. Mereka segera dinyatakan bersalah dan dikirim ke kamp kerja paksa di timur negara itu. Situasi ini makin diperburuk oleh fakta bahwa mereka dibuang ke Siberia bersama para penjahat demi meringankan beban penjara yang sudah penuh sesak di bagian Eropa negara itu.

Kisah malang yang terjadi pada salah satu kelompok pertama orang-ornag yang dibuang itu dikenal sebagai tragedi Nazino.

Pada Mei 1933, lebih dari 6.000 orang diangkut dari kapal tongkang ke sebuah pulau kecil terpencil di Sungai Ob dekat Desa Nazino di Siberia. Mereka seharusnya tinggal di sana hanya sementara waktu sambil menunggu akomodasi di kamp tujuan, yang ternyata tak siap menerima begitu banyak penghuni baru, disiapkan.

Orang-orang buangan ini mengenakan pakaian yang sama sejak polisi menahan mereka di jalan-jalan Moskow dan Leningrad (Sankt Peterburg). Mereka tidak memiliki tempat tidur atau alat apa pun untuk membuat tempat tinggal sementara.

Pada hari kedua, angin bertiup kencang, kemudian suhu turun di bawah nol dan kemudian hujan mulai turun. Tak berdaya melawan alam, para tahanan hanya bisa duduk di sekitar api unggun atau berkeliaran di sekitar pulau untuk mencari kulit kayu dan lumut karena tak ada seorang pun yang menyuguhi mereka makanan. Baru pada hari keempat, mereka dibawakan tepung gandum, tetapi porsinya hanya beberapa ratus gram per orang. Setelah menerima jatah yang sedikit itu, orang-orang langsung menyerbu sungai. Mereka menggunakan topi, alas kaki, jaket, dan celana panjang sebagai wadah untuk membuat semacam bubur.

Pulau Kanibal di Siberia yang Ditutup-tutupi Soviet

Tak lama kemudian, ratusan orang di antara mereka tewas. Lapar dan kedinginan, mereka tertidur di dekat api unggun dan terbakar hidup-hidup atau mati kelelahan. Beberapa juga menjadi korban kebrutalan beberapa penjaga yang memukuli tahanan dengan popor senapan mereka. Sementara itu, para tahanan tak mungkin melarikan diri dari “pulau kematian” karena pulau itu dikelilingi oleh kru senapan mesin yang siap menembak siapa pun yang mencoba melarikan diri.

Pulau Kanibal di Siberia yang Ditutup-tutupi Soviet

Pulau Kanibal

Kasus kanibalisme pertama di Pulau Nazinsky terjadi pada hari kesepuluh. Yang pertama kali melakukan aksi biadab tersebut adalah para penjahat bengis di antara tahanan. Terbiasa bertahan dalam kondisi brutal, mereka membentuk geng untuk meneror tahanan lain.

Tanpa disadari, penduduk desa terdekat menjadi saksi mimpi buruk yang terjadi di pulau itu. Seorang gadis petani, yang waktu itu baru berusia 13 tahun, mengenang bagaimana seorang gadis muda yang cantik dirayu oleh salah satu penjaga. “Ketika dia pergi, orang-orang menangkap gadis itu, mengikatnya ke pohon dan menikamnya sampai mati, memakan tubuhnya hingga tak bersisa. Mereka lapar dan ingin makan. Daging manusia berceceran, tercabik-cabik, dikuliti, dan digantung di pohon di seluruh pulau. Di mana-mana ada mayat.”

“Saya memilih mereka yang tak lagi hidup, tetapi juga belum mati,” kata seorang tahanan bernama Uglov, yang dituduh kanibalisme, bersaksi selama interogasi. “Anda bisa melihat bahwa seseorang sudah mati, bahwa mereka akan mati dalam satu atau dua hari. Jadi akan lebih mudah bagi mereka untuk mati ... sekarang, segera, daripada menderita selama dua atau tiga hari lagi.”

Theophila Bylina, penduduk Desa Nazino lainnya, mengenang, ”Orang-orang yang dibuang terkadang menghampiri rumah kami. Suatu hari, seorang perempuan tua datang dari Pulau Kematian. Dia dibuang sangat jauh .... Saya melihat betisnya telah dipotong. Ketika saya bertanya, dia berkata, ‘Betis saya dipotong di Pulau Kematian dan dipanggang.’ Semua daging betisnya telah dipotong. Kakinya membeku sepanjang waktu dan perempuan itu membungkusnya dengan kain compang-camping. Namun, dia bisa berjalan tanpa bantuan. Dia kelihatan tua, padahal dia baru berusia 40-an.”

Sebulan kemudian, orang-orang yang kelaparan, sakit, dan kelelahan, yang bertahan hidup dengan jatah makanan ala kadarnya yang kadang-kadang dibagikan, dievakuasi dari pulau itu. Namun, cobaan mereka tak berakhir sampai situ. Korban jiwa terus berjatuhan di permukiman Siberia. Mereka berusaha bertahan hidup dengan jatah makanan yang sedikit di barak yang dingin dan lembap, yang sama sekali tak layak huni. Pada akhirnya, dari 6.000 orang, hanya 2.000-an saja yang selamat.

Pulau Kanibal di Siberia yang Ditutup-tutupi Soviet

Dirahasiakan

Tragedi ini tak akan pernah diketahui siapa pun selain penduduk setempat jika bukan karena Vasily Velichko, seorang pengurus Partai Komunis di Distrik Narym. Dia dikirim ke salah satu permukiman buruh pada Juli 1933 untuk melaporkan keberhasilan pemindahan para tahanan ke sana. Namun, ia malah melakukan penyelidikan mendalam tentang apa yang telah terjadi.

Velichko mengirim laporan terperincinya, berdasarkan kesaksian lusinan orang yang selamat, ke Kremlin, dan hal itu menimbulkan kegemparan. Sebuah komisi khusus yang tiba di Nazino melakukan penyelidikan menyeluruh, menemukan 31 kuburan massal di pulau itu dan masing-masing berisi 50—70 mayat.


Lebih dari 80 orang tahanan dan penjaga diadili, termasuk 23 orang yang dijatuhi hukuman mati karena “menjarah dan menyerang” dan sebelas karena kanibalisme.

Setelah penyelidikan selesai, rincian kasus tersebut, bersama laporan Vasily Velichko, dirahasiakan. Dia kehilangan pekerjaannya sebagai anggota partai, tetapi tidak dikenakan sanksi lebih lanjut. Setelah menjadi koresponden perang, dia selamat dari Perang Dunia II dan menulis beberapa novel tentang transformasi sosialis di Siberia, tetapi dia tidak pernah berani menulis tentang “pulau kematian”.

Masyarakat umum baru mengetahui tragedi Nazino pada akhir 1980-an, tak lama sebelum runtuhnya Uni Soviet.
https://id.rbth.com/sejarah/83876-pu...uni-soviet-wyx

Selasa, 03 Agustus 2021

Air Keran Terbukti Positif Covid-19? Cek Dulu Faktanya!

 Beredar informasi air keran yang di tes menggunakan Rapid Test Antigen dan hasilnya positif. Salah satu pengunggahnya adalah akun Facebook Info Seputar Blora. Video itu diunggah pada 22 Juni 2021. Hingga kini video itu telah disukai 3 kali dan diputar ulang sebanyak 800 kali.


Air Keran Terbukti Positif Covid-19? Cek Dulu Faktanya!
Sumber Foto: Kompas.com

Dari video tersebut muncul hasil reaktif atau positif. Narasi di video menyindir apakah air keran yang di tes positif akan dikarantina. Selain itu narasi juga mengarahkan penonton untuk percaya bahwa tes Covid-19 adalah penipuan.

Akun Facebook Info Seputar Blora menuliskan bahwa air keran yang dites hasilnya positif. Itu adalah bukti bahwa rapid test antigen tidak valid.

Kali ini video yang sama kembali beredar dan diunggah di akun Facebook Sportss Giffts. Video tersebut menunjukkan seorang satpam yang melakukan tes antigen dengan menggunakan air keran dan alat tersebut menampilkan positif Covid-19. Postingan ini disukai sebanyak 10 kali, dikomentari 1 kali, dan disebarkan kembali 32 kali.

Air Keran Terbukti Positif Covid-19? Cek Dulu Faktanya!
Sumber Foto: Turnbackhoax.id

Air Keran Terbukti Positif Covid-19? Cek Dulu Faktanya!
Sumber Foto: Kumparan.com

Lantas, benarkah air keran positif Covid-19 dan dapat menyebarkan virus tersebut?

PEMERIKSAAN FAKTA

Hansip Hoax telah melakukan penelusuran terkait air keran positif COvid-19 tersebut melalui situs Kompas.com dan AFP Fact Check.

Kabar ini sudah berulang kali muncul tetapi dengan video yang berbeda, Dicky Budiman selaku Epidemiolog Universitas Griffith menjelaskan bahwa informasi tentang air keran positif Covid-19 dengan menggunakan alat tes antigen adalah tidak benar.

Ia menjelaskan SARS-CoV-2 tidak menyebar melalui air tetapi melalui udara sehingga air biasa tidak akan bisa terdeteksi oleh alat. Penggunaan alat tes antigen pada video tersebut menguji sampel yang bukan semestinya sehingga PH dari alat tes antigen terganggu dan merusak antibodi pada film alat sehingga hasil yang dikeluarkan tidak valid.

Alat tes antigen sendiri hanya bisa digunakan dengan menggunakan sambil yang diambil dengan swab yang dimasukkan melalui hidung bukan dengan menggunakan sampel air ataupun cairan lainnya.

Air Keran Terbukti Positif Covid-19? Cek Dulu Faktanya!

KESIMPULAN

Jadi kesimpulannya Gan, berdasarkan pemeriksaan fakta yang dilakukan Hansip Hoax menyatakan informasi mengenai air keran yang positif Covid-19 tersebut merupakan informasi tidak benar aliasHoax.

Sebarkan ya informasi dan klarifikasi ini ke rekan dan keluarga kalian agar terhindar dari hoax yang menyesatkan.

Ramai Isu Vaksin Ada Microchip, Peneliti AstraZeneca Indra Rudiansyah Buka Suara

 Ramai Isu Vaksin Ada Microchip, Peneliti AstraZeneca Indra Rudiansyah Buka Suara


Suara.com - Peneliti vaksin Covid-19 asal Indonesia Indra Rudiansyah menanggapi 'teori konspirasi' yang mengatakan bahwa program vaksinasi Covid-19 merupakan agenda konspirasi elit global untuk memasang microchip ke tubuh masyarakat dunia.

Indra Rudiansyah merupakan mahasiswa dari Universitas Oxford dan salah satu peneliti yang ikut mengembangkan vaksin Covid-19 AstraZeneca di Inggis.

Menurut Indra, isu pemasangan microchip bermula ketika pendiri Microsoft sekaligus orang terkaya di dunia - Bill Gates, ikut mendanai penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19, bahkan sebelum Covid-19 menyebabkan pandemi.

"Tentang microchip, bisa dikaitkan dengan Bill Gates. Latar belakang Bill Gates di bidang informasi teknologi (IT) dan menjadi philanthropy yang mendukung vaksin," ujar Indra dalam acara bincang media, Kamis (30/7/2021).

Ramai Isu Vaksin Ada Microchip, Peneliti AstraZeneca Indra Rudiansyah Buka Suara

Bill Gates melalui perusahaannya, lanjut Indra, memang memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan.

Sebagai seorang yang dermawan dengan kekayaan yang melimpah, Bill Gates fokus mendukung program lingkungan, kesehatan dan kemanusiaan termasuk pengembangan vaksin Covid-19 yang diharapkan dapat menyelamatkan umat manusia.

Jadi, secara tegas Indra memastikan bahwa isu pemasangan microchip lewat vaksin adalah hoaks atau kabar bohong yang menyesatkan.

Vaksin, lanjut Indra, adalah produk medis berisi kandungan protein yang digunakan untuk merangsang sistem imun untuk mengenali virus atau bakteri sebagai sumber penyakit.

Setelahnya sistem imun akan bekerja, membuat formula untuk membentuk antibodi khusus yang bisa menyerang virus atau bakteri tersebut.

"Vaksin mengandung bahan sebagian protein virus atau virus yang sudah dimatikan. Ada juga komponen tambahan, yaitu larutan penyangga yang bisa menstabilkan virus tersebut agar tidak mudah hancur dan juga untuk menyeimbangkan dengan cairan di dalam tubuh," papar Indra.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa vaksin yang oral ditambahkan gula untuk menstabilkan vaksin tersebut. Ada juga komponen yang dimasukkan agar vaksin tidak mudah rusak saat disimpan.

Lelaki yang sedang menempuh program doktor di Universitas Oxford itu mengaku sangat miris dengan berbagai hoaks atau kabar bohong yang beredar, yang bisa menghambat penanganan pandemi Covid-19.

"Masyarakat yang sudah teredukasi bisa menghindari berita-berita yang bohong. Oleh sebab itu, kita harus melindungi masyarakat yang masih belum paham terkait vaksin," tegas Indra.

Hal senada dikemukakan pula oleh Vaksinator, dr. Ursula Penny Putrikrislia. Ia yang juga alumni Beswan Djarum angkatan 2011/2012 mengemukakan, sangat tidak mungkin vaksin -- termasuk vaksin Covid-19, mengandung microchip lantaran ukuran alat suntik vaksinasi Covid-19 sangatlah kecil.

"Hanya muat 1 cubic centimetres (cc) dan cairan yang digunakan untuk vaksin hanya 1/2 cc. Chip tidak muat dimasukkan di dalam suntikkan, karena bentuknya benda padat sedangkan vaksin benda cair. Chip tidak bisa ditanamkan ke dalam tubuh melalui suntikan vaksin," timpalnya.

https://www.suara.com/health/2021/07...nsyah?page=all

Pertanyaan bagi yg percaya adanya chip dalam vaksin.. 
kenapa harus repot-repot membuat chip yg bisa menyatu dengan cairan vaksin padahal memasang chip di smartphone yg digunakan hampir seluruh masyarakat jauh lebih mudah?

Jeanne d’Arc Dituding Penyihir Gara-gara Mendengar Suara Tuhan

 Jeanne d’Arc Dituding Penyihir Gara-gara Mendengar Suara Tuhan


Jeanne d’arc adalah sosok wanita yang sampai saat ini dianggap sebagai pahlawan Prancis. namun bagi orang Inggris, Joan of Arc alias Jeanne adalah perempuan gila, sesat, dan penyihir. Ia dianggap sinting karena mengaku bisa mendengar suara orang-orang yang sudah meninggal.


Sehingga, Pemerintah Inggris pun memutuskan untuk membakar wanita yang dipuja rakyat Prancis ini. Saking takutnya saat itu, jenazah Joan sampai dibakar tiga kali dan abunya dibuang ke Sungai Seine, Prancis.

Kisah Joan alias Jeanne d’arc ini kemudian menjadi legenda bagi rakyat Prancis. Ia dianggap mewakili Prancis untuk melawan Inggris yang menjadi musuh bebuyutan saat itu.

Jeanne d’arc sebenarnya adalah rakyat biasa. Ia bukan dari kelompok bangsawan Prancis. Ia hanyalah korban kejahatan Perang 100 Tahun, perang terbesar pada abad pertengahan yang terjadi pada 1337-1453. antara Inggris dan Prancis.
Jeanne terlibat dalam perang saat ia berusia 19 tahun. Tidak seperti kehidupan para prajurit, ia berasal dari keluarga kelas menengah. Ayahnya merupakan pemilik perkebunan yang juga bekerja sebagai penjaga keamanan di Domremy, Prancis.

Menariknya pada usia 13 tahun, ia mengaku telah mendengar suara malaikat yang memintanya untuk sering datang ke gereja agar bisa memperjuangkan wilayah Orleans. Dari situlah muncul ambisi bahwa dia harus menjadi salah satu prajurit untuk mengalahkan pasukan Inggris. Dan benar saja, ketika usianya sudah menginjak 19 tahun, Jeanne d’Arc pergi dari rumah dengan alasan ingin tinggal bersama pamannya.

Perang kekuasaaan
Perang 100 tahun antara Inggris dan Prancis ini bermula pada 1066 saat raja Inggris ingin menguasai sejumlah daerah di Prancis. Biasanya, untuk memperluas wilayahnya, sejumlah raja Inggris melakukan praktik menikahi puteri bangsawan atau raja Prancis.

Nah, saat Prancis diperintah oleh Raja Charles VII, ia tak punya keturunan. Akhirnya, Raja Inggris, Edward mencoba merebut kekuasaan dari Charles VII. Akibatnya Inggris menyerbu Prancis dengan tujuan merebut wilayah ini dari Charles VII.

Perang 100 tahun membuat keluarga Jeanne harus berpindah-pindah tempat karena desanya dibakar musuh. Itu hanya salah satu bentuk kekerasan yang pernah ia alami. Pada 1429, Jeanne memberanikan diri masuk ke istana untuk bertemu Raja Charles VII. Menyamar sebagai pria agar bisa diterima, Jeanne mengaku mendengar suara malaikat yang memintanya untuk ikut perang membela Prancis.

Jeanne lantas pergi ke Vaucouleurs pada Mei 1428 untuk bertemu dengan Robert de Baudricourt, komandan garnisun dan pendukung Charles. Mendapati seorang gadis muda ingin bergabung,  Baudricourt jelas menolak. Jeanne pun kembali ke rumahnya.

Siapa bilang gadis ini menyerah? Pada Januari 1429, dia kembali ke Vaucouleurs dengan membawa serta beberapa penduduk desa. Mereka menyebutnya sebagai sang dara yang ditakdirkan untuk menyelamatkan Prancis.

Setelah melewati beberapa pemeriksaan untuk memastikan bahwa Jeanne bukan penyihir alih-alih Kristen tulen, Charles dan para penasihatnya mengizinkan Sang Perawan Orleans bertempur.

Dengan modal ia mendapat perintah dari Tuhan, Jeanne berperang melawan Inggris. seluruh rakyat Prancis mempercayai apa yang dikatakan Jeanne apalagi kemenangan demi kemenangan memperlihatkan bahwa Tuhan merestui Jeanne untuk melawan Inggris.

Kemenangan pertama dan yang paling menonjol dari pertempuran Jeanne adalah perebutan kembali Orleans yang berlokasi di pinggir sungai dan paling dekat dengan Paris. Pada masa itu, Orleans adalah salah satu dari tiga daerah kaya di Prancis.

Dari Mana Penyihir Berasal? Berikut Sedikit Kisahnya



Macbeth and the WitchesSir Joshua Reynolds/WikimediaCommons



Sejarah penyihir itu rumit, dan seringkali menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Dari mana penyihir berasal? Dan apakah mereka selalu datang dengan sapu? Sihir adalah kata yang kebanyakan orang merasa akrab dengannya, di Indonesia sihir adalah mungkin yang sering disebut dengan "ilmu hitam" seperti santet, pelet, teluh, kerap kali menjadi obrolan tongkrongan di malam mencekam.

Sosok penyihir mungkin tidak terlalu populer di Indonesia, kita lebih mengenal dukun, menurut seorang teman tongkrongan ane, "ada perbedaan mendasar antara penyihir dan dukun, penyihir memiliki kekuatan yang berasal dari dalam dirinya sendiri, sedangkan dukun kekuatannya berasal dari luar dirinya"ucapnya di suatu malam.

Penyihir juga tertanam dalam budaya kita melalui buku, film dan drama. Masalahnya adalah kebanyakan dari apa yang kita pikir kita tahu mungkin telah terdistorsi oleh beragam versi yang kita dengar dan kita lihat.


Ilustrasi eksekusi penyihir
twitter.com/aylaana



Asal Penyihir
Gambaran seorang Penyihir awalnya adalah sosok wanita tua, jelek, berhidung bengkok, mengaduk ramuan mengepul di dalam kuali. Penyihir digambarkan sebagai makhluk keji, jahat dan mengerikan.

Mari kita mulai dengan pertanyaan "apakah penyihir sebagai makhluk keji seperti itu benar-benar pernah ada atau apakah seluruh penyihir jahat yang mengerikan dan jahat ini hanyalah mitos yang dibuat-buat?"

Ribuan tahun yang lalu, orang-orang menjalani kehidupan yang "primitif" jauh daripada yang kita kenal sekarang. Tanpa kemewahan pengobatan dan perawatan modern. Ketika seseorang sakit atau terluka tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Menjadi sakit sangat berbahaya dan akibat dari penyakit apa pun sering kali jauh lebih serius. Selama masa-masa awal itu, ada beberapa wanita yang mempelajari ramuan penyembuhan dan jenis perawatan lainnya.


Ilustarsi penyihir yang mendengarkan keluhan seorang wanita
flickr.com/internetarchivebookimages
Wanita-wanita ini sangat ahli dalam hal pengetahuan tentang pengobatan herbal. Banyak orang menerima bantuan pengobatan rumahan yang dibuat oleh para wanita ini. Mereka juga kadang-kadang membantu persalinan bayi, menggunakan berbagai obat herbal untuk meringankan rasa sakit dan penderitaan yang dialami saat melahirkan.

Sedikit yang dipahami tentang penyembuhan dan pengobatan di masa lama, dan ketika agama Kristen menyebar ke seluruh Eropa, semua penyembuhan harus dilakukan secara ketat melalui orang-orang di gereja. Ada banyak orang lain yang merasa bahwa jika seseorang sakit atau terluka itu adalah hukuman Tuhan untuk beberapa dosa yang dilakukan dan penderitaan yang datang darinya hanyalah sesuatu yang harus dihadapi dengan tabah sebagai bentuk pertobatan.

Seiring berjalannya waktu, para wanita ini mulai diasosiasikan dan dituduh akan berbagai hal termasuk bid'ah, anti kristen dan akhirnya banyak yang dituduh sebagai pemuja setan. Kata Penyihir sebenarnya berasal dari kata "Wicca" yang berarti "Jalan Menuju Kebijaksanaan" dianggap kebijaksanaan orang-orang yang memilki pengetahuan selama masa-masa sulit.

Gereja memandang penyembuhan yang dulu bermanfaat bagi banyak orang sebagai sihir jahat, penyembahan pagan (hari ini Wicca memang menjadi agama neo-pagan, tapi dulu hanya merupakan tradisi). Para penyihir dituduh melakukan hal-hal yang sesat, terutama melakukan perintah iblis dan bersekongkol dalam beberapa rencana yang diatur untuk menghancurkan umat manusia. Tuduhan sihir mendorong pengasingan untuk para penyembuh dan banyak yang meninggalkan kota dan hidup tenang di desa-desa terpencil.


Pentakel adalah bintang dengan lingkaran di sekelilingnya, digunakan oleh banyak penganut agama Wicca.
Malloym/WikimediaCommons

Mereka yang dituduh mempraktekkan segala bentuk sihir diadili dengan cepat dan kemudian dieksekusi di depan umum sebagai hukuman, dengan cara yang sangat mengerikan untuk dilihat semua orang di desa.

Tidak jelas kapan tepatnya penyihir datang dalam sejarah, tetapi salah satu catatan paling awal tentang penyihir ada dalam Kitab Samueldiperkirakan ditulis antara 931 SM dan 721 SM. Ini menceritakan kisah Raja Saul mencari Penyihir Endor untuk memanggil roh Nabi Samuel yang sudah mati untuk membantunya mengalahkan tentara Filistin. Penyihir itu membangunkan Samuel, yang kemudian menubuatkan kematian Saul dan putra-putranya.

Dalam karya Homer, Odisseia (Odyssey)tahun 800 SM di mana Circe mengubah pria menjadi binatang dan digambarkan sebagai seorang penyihir. Praktik sihir ilegal banyak dalam undang-undang hukum Romawi, namun banyak dari hukum-hukum ini benar-benar hukum terhadap sihir yang berbahaya, bukan untuk sihir yang bermanfaat yang membutuhkan keterampilan khusus seperti penyembuhan.


Lukisan Circe mengembalikan pengikut Ulysses ke bentuk manusia
Giovanni Battista Trotti/WikimediaCommons

Pada Abad Pertengahan mungkin penyihir muncul padaperiode Skolastisisme yang dimulai sejak abad ke-9 hingga abad ke-15. Masa ini ditandai dengan munculnya banyak sekolah berbasis keagamaan dan banyak pengajar ulung menganalisis pemecahan masalah dogmatis secara rasional. Perhatian mulai dipusatkan pada aspek-aspek cerita rakyat yang telah dihilangkan atau dimasukkan ke dalam peribadatan Kristen pada periode-periode sebelumnya.

Biara-biara besar selama abad ke-12 hingga ke-14 menjadi sibuk dengan masalah moral perihal mimpi basah, mempertanyakan apakah mimpi basah itu berdosa?Para biksu melaporkan bahwa mimpi basah sering kali terjadi akibat dirayu dan dipaksa oleh sosok wanita. Karena tidak ada wanita yang diizinkan masuk ke asrama biara, muncul gagasan bahwa sosok wanita itu merupakan jelmaan setan yang mampu mengubah diri mereka menjadi wanita untuk menggoda para biarawan ke dalam dosa seksual.

Lompatan logika lebih lanjut menyimpulkan bahwa setan ingin menghasilkan keturunan. Jadi mereka menghantui asrama biara untuk mencuri benih manusia untuk mengisi rahim wanita dengan anak-anak iblis. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang bisa menjadi wanita seperti itu?Ahli demonologi (ilmu tentang setan) merumuskan identitas yang tepat untuk penerima benih, dialah wanita tua, terbuang, jelek dan melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai penyihir jahat.


Ketakutan Terhadap Penyihir

Perlahan-lahan gagasan tentang penyihir itu muncul di seluruh eropa. Secara umum, penyihir diartikan sebagai orang yang menggunakan entitas magis (makhluk ghaib), yang mungkin termasuk kekuatan yang dia bawa di dalam tubuhnya, untuk menyakiti orang lain. Dia tidak harus perempuan dan tentu tidak harus memiliki topi dan sapu.

Ketakutan terhadap penyihir terjadi di Eropa ketika banyak penyihir yang dituduh kemudian mengaku di bawah siksaan, dituduh melakukan berbagai perilaku jahat. Dalam satu abad, perburuan penyihir menjadi hal biasa dan sebagian besar terdakwa dieksekusi dengan cara dibakar di tiang pancang atau digantung. Wanita lajang, janda, dan wanita lain yang terpinggirkan menjadi sasaran khusus.

Antara tahun 1500 dan 1660, hingga sekitar 60.000 tersangka penyihir dihukum mati di Eropa. Sekitar 80 persen dari mereka adalah wanita yang dianggap bersekongkol dengan Iblis. Jerman memiliki tingkat eksekusi sihir tertinggi, sementara Irlandia memiliki yang terendah.

Publikasi “Malleus Maleficarum” mendorong perburuan penyihir menjadi semakin viral. Buku ini pada dasarnya adalah panduan tentang cara mengidentifikasi, berburu, dan menginterogasi penyihir.


The 'Malleus Maleficarum', atau 'The Hammer of Witches', adalah risalah yang mempromosikan eksekusi para penyihir berdasarkan teori teologis demonologi. Ditulis oleh Heinrich Kramer, diterbitkan di Jerman pada tahun 1497
Wellcome Collection (public domain)

Malleus Maleficarum mencap sihir sebagai bid'ah dan dengan cepat menjadi otoritas bagi Protestan dan Katolik yang mencoba mengusir penyihir yang tinggal di antara mereka. Selama lebih dari 100 tahun, buku itu menjadi bestseller di Eropa.

Karena penyihir telah menjadi begitu ditakuti dan Gereja sangat menentang siapa pun atau apa pun yang terkait dengan ilmu sihir. Situasi segera mencapai puncak ketika seseorang mempraktikkan pengobatan atau kegiatan lain semacam itu segera dituduh sebagai penyihir. Apa saja yang tidak biasa bisa membuat seseorang mendapat masalah. Serangkaian peristiwa malang dituduhkan atas mantra jahat atau sihir. Kejadian-kejadian seperti sakit, kematian, keguguran sering disalahkan pada penyihir. Jika seorang tetangga menjadi tidak puas pada seseorang, cukup mudah untuk menghilangkan masalah itu dengan membuat tuduhan tersebut.

Penyihir Salem

Ketika histeria penyihir menurun di Eropa, histeria tumbuh di Benua Amerika yang terguncang akibat perang antara Prancis dan Inggris, epidemi cacar, dan ketakutan berkelanjutan akan serangan dari suku-suku asli Amerika. Suasana tegang mulai kembali mencari kambing hitam, dialah penyihir. Mungkin pengadilan penyihir paling terkenal terjadi di Salem, Massachusettspada tahun 1692.

Samuel Parrispendeta puritan di Massachusetts memiliki anak bernama Betty Parris, dan keponakan bernama Abigail Williams, keduanya menderita penyakit misterius di akhir tahun 1691 yang menyebabkan mereka mengalami kejang aneh, kejang di mana tubuh mereka akan bergerak-gerak liar. Para dokter pada waktu itu tidak mengetahui penyakit apa yang diderita anak-anak itu terutama karena pengetahuan mereka yang terbatas.

Para dokter yang tidak mengetahui penyakit kedua anak tersebut, mengklaim bahwa kedua anak tersebut disihir. Segera setelah diyakini bahwa anak-anak tersebut disihir oleh semacam mantra jahat, tuduhan mulai dibuat. Pelaku yang malang dan paling jelas adalah beberapa yang paling tidak mampu membela diri. Seorang wanita bernama Tibuta, seorang budak yang pernah bekerja untuk keluarga Parris.


Lukisan pemeriksaan penyihir, terinspirasi oleh Pengadilan Penyihir Salem
T. H. Matteson (public domain)
Beberapa wanita lokal juga dituduh, seorang tunawisma Sarah Good dan seorang lagi yang diketahui tidak ke gereja selama bertahun-tahun Sarah Osborne. Meskipun akhirnya semua wanita ini dieksekusi karena diduga mempraktikkan sihir, Sarah 1 dan Sarah 2 menyatakan bahwa mereka tidak bersalah sampai hari mereka dieksekusi. Selama masa tuduhan, banyak wanita dibawa dengan tuduhan sihir dan akhirnya dieksekusi, biasanya dengan dibakar hidup-hidup sambil diikat ke tiang atau digantung.

Pada akhirnya, sekitar 150 orang dituduh dan 18 orang dihukum mati. Wanita bukan satu-satunya korban Pengadilan Penyihir Salem, enam laki-laki juga dihukum dan dieksekusi.Pada akhir 1692, persidangan akhirnya dihentikan dan sisa terdakwa diampuni dan kemudian dibebaskan dari penjara. Meskipun persidangan berakhir, gagasan untuk mempertahankan kontrol agama atas populasi umum melalui taktik menakut-nakuti masih jauh dari selesai. Belakang ini diyakini bahwa kedua anak tersebut diracuni oleh jamur yang menyebabkan kejang dan delusi.

Massachusetts bukanlah yang pertama dari 13 koloni yang terobsesi dengan penyihir. Di Windsor, Connecticut pada tahun 1647, Alse Young menjadi orang pertama di Amerika yang dieksekusi karena sihir. Sebelum pengadilan penyihir terakhir Connecticut berlangsung pada tahun 1697, empat puluh enam orang dituduh melakukan sihir di negara bagian itu dan 11 orang dihukum mati karena kejahatan tersebut.

Di Virginia , orang-orang tidak terlalu panik dengan penyihir. Faktanya, di Lower Norfolk County pada tahun 1655, sebuah undang-undang disahkan yang menyatakan bahwa menuduh seseorang melakukan ilmu sihir merupakan kejahatan.

Mitos Penyihir

Penyihir dan praktik sihir terus ditakuti dan legenda serta mitos terus berkembang sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu. Ada banyak cerita rakyat tentang penyihir yang diceritakan turun-temurun. Para penyihir memang membawa sapu namun bukan untuk terbang, tetapi sapu ini digunakan untuk membersihkan suatu area atau ruangan sebelum ritual penyembuhan dilakukan di sana.

Kemudian muncul gagasan bahwa penyihir dapat terbang menggunakan sapu yang mulai diyakini secara luas, para penyihir biasa terbang tengah malam. Ada banyak takhayul dan mitos tentang kucing hitam yang sering dikaitkan juga dengan penyihir. Banyak legenda mengatakan bahwa kucing hitam adalah roh penyihir yang diciptakan kembali dalam bentuk binatang. Cerita lain menyatakan bahwa kucing hitam hanyalah pembantu penyihir dan membantu mereka dalam melakukan sihir hitam dan dianggap sebagai rekan supernatural penyihir.

Tentu saja sebagian besar cerita ini memiliki sedikit kebenaran, dan sebagian besar terdiri dari mitos yang telah diceritakan dan diceritakan kembali oleh orang-orang yang sangat percaya takhayul yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi.


Ilustarasi penyihir sedang membaut ramuan ditemani kucing hitam
maxpixel.net
Gambaran penyihir tua, jelek, berhidung bengkok sedang mengaduk kuali sambil tertawa tidak pernah benar-benar ada kecuali dalam imajinasi para pendongeng. Penyihir sering diceritakan kembali sebagai makhluk tua dan buruk rupa karena kejahatan adalah buruk sehingga cerita terasa lebih baik jika menggambarkan penyihir dengan cara ini. Kuali yang kita kaitkan dengan penyihir jelas berasal dari panci besar tempat ramuan dibuat untuk membantu baik yang sakit maupun yang terluka.

Penyihir Abad ke-21

Penyihir hari ini telah berubah dengan bergam variasi dan tidak hanya sebatas makhluk jelek. Kisah penyihir mulai berubah dengan tokoh penyihir baik yang melakukan sihir. Mantra mereka merupakan kumpulan kebijaksanaan ilmu sihir abad ke-20. Ramuan sihir untuk membantu orang lain mulai sering kita lihat dalam berbagai film dan buku. Mantra yang menyakiti biasanya digunakan untuk menghentikan seseorang melakukan kejahatan atau menyakiti diri sendiri.

Namun para penyihir masih menghadapi penganiayaan dan kematian. Beberapa pria dan wanita yang diduga menggunakan sihir telah dipukuli dan dibunuh di Papua Nugini sejak tahun 2010, termasuk seorang ibu muda yang dibakar hidup-hidup. Kekerasan terhadap orang yang dituduh sebagai penyihir juga telah terjadi di Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah dan di komunitas imigran Eropa dan Amerika Serikat.